Negeri Memalukan Karena Tidak Memiliki Rasa Malu Lagi

Oleh Tony Doludea*

Mantan Presiden Korsel Roh Moo-hyun (62 tahun) tewas saat mendaki gunung di dekat rumahnya, Sabtu 23 Mei 2009. Roh bunuh diri dengan cara melompat dari bukit itu.

Mantan Presiden itu meninggalkan rumahnya pada pukul 05.45 untuk mendaki bukit Ponghwa. Ia terlihat melompat  sekitar pukul 06.40. 

Roh melakukan bunuh diri diduga karena kasus korupsi yang membelitnya. Ia menerima suap sebesar USD 6 juta atau setara dengan Rp 60 miliar dari seorang pengusaha sepatu. Istri Roh disebut-sebut juga terlibat.

Roh menjadi presiden Korea setelah terpilih pada 2002. Ia menggantikan Kim Dae-jung dan berhenti setelah masa baktinya habis pada awal 2008. 

KBS TV mengutip surat yang ditinggalkan Roh:

“Saya merasa malu berdiri di hadapan seluruh warga negara ini.”  

“Saya mohon maaf karena telah mengecewakan anda semua.”

“Banyak orang telah bekerja keras, menanggung beban yang berat.”

“Saya tidak dapat dijadikan teladan terkait nilai-nilai luhur yang kita dambakan bersama. Saya tidak layak untuk berbicara tentang demokrasi, kemajuan dan keadilan.”

“Tolong perabukan jenazah saya. Dirikan nisan kecil untuk ku di desa.”

Saat dimintai keterangan oleh penyidik Roh berkata, “Saya tidak dapat memandang wajah anda karena saya malu sekali.” 

Rasa malu yang membuat Roh Moo-hyun melakukan tindakan tersebut didasarkan atas mekanisme sosial pada budaya orang Korea yang mengakar sangat dalam pada Konfusianisme. Juga nilai-nilai kolektivisme, yang memengaruhi sikap dan perilaku seseorang untuk menyesuaikan diri dengan harapan komunitas dan kehormatan keluarga.

Rasa malu ini bukan berasal dari kesadaran individual sseseorang, tetapi berasal dari kesadaran “hadirin yang tidak nampak”, yaitu pengharapan dan aturan komunitas.

Chemyeon (체면) artinya “wajah”, yaitu konsep budaya Korea yang merujuk pada citra publik, kehormatan dan status sosial seseorang dalam masyarakat. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga penampilan dan reputasi di hadapan orang lain, untuk menghindari rasa malu dan mempertahankan harmoni sosial. 

Chemyeon berbeda dengan konsep “wajah” budaya Barat, yang lebih mengarah pada diri individual. Chemyeon sangat erat kaitannya dengan pandangan dan penilaian orang lain terhadap diri seseorang. 

Budaya ini terbentuk dari nilai-nilai Konfusianisme yang menekankan tatanan sosial, rasa hormat dan hirarki. 

Chemyeon penting untuk menjalin hubungan yang harmonis, di mana menghormati chemyeon orang lain adalah bentuk nyata kemampuan interpersonal yang baik dan matang. 

Kehilangan chemyeon dapat menimbulkan rasa malu yang kuat dan mendorong seseorang untuk berusaha keras agar reputasi mereka tidak rusak. Namun Konfusianisme tidak pernah mengajarkan bahwa “kehilangan muka” itu harus diikuti dengan tindakan bunuh diri.

Inti ajaran Konfusianisme berpusat pada kebajikan (Dé, 德) dan etika moral yang mengatur hubungan antarmanusia untuk mencapai keharmonisan dalam masyarakat. 

Konfusianisme bukanlah sekadar teori, melainkan prinsip hidup yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Inti ajaran Konfusius disebut sebagai Lima Kebajikan Utama (Wu Chang).

Ren (仁), Kemanusiaan atau cinta kasih universal, yang merupakan kebajikan tertinggi yang mendorong seseorang untuk memperlakukan orang lain dengan empati dan niat baik.

Yi (义), Kebenaran atau keadilan adalah kewajiban untuk menjunjung tinggi kebenaran dan bertindak sesuai dengan tatanan moral.

Li (礼), Kesopanan atau tata krama adalah perbuatan yang benar, ibadah dan adat istiadat yang menunjukkan sikap batin seseorang melalui ungkapan perbuatan lahiriah.

Zhi (智), Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, lalu bertindak dengan pertimbangan yang matang.

Xin (信), Integritas atau dapat dipercaya, yaitu bersikap jujur, menepati janji dan dapat dipercaya oleh orang lain. 

Ajaran Konfusianisme menekankan pentingnya peran seseorang dalam masyarakat dan keluarga. Xiao (孝), Bakti dan rasa hormat kepada orang tua serta leluhur merupakan wujud pengabdian kepada keluarga. Bagi Konfusius hal ini merupakan langkah pertama menuju pada keunggulan moral.

Sementara Konfusius percaya bahwa karakter moral seorang pemimpin akan menciptakan pemerintahan yang damai dan stabil. Penguasa berbudi luhur adalah seorang pemimpin yang memiliki kebajikan ren dan yi, ia akan dicintai dan dipatuhi oleh rakyatnya.

Maka pengembangan diri adalah akar dari segalanya bagi Konfusianisme. Mulai dari rakyat jelata hingga pemimpin tertinggi. Bahwa dengan mempraktikkan kebajikan secara konsisten, seseorang dapat membangun karakter moral yang kuat, menciptakan keselarasan dalam keluarga dan masyarakat, serta mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik. 

********

Mencius (abad 4 SM) menegaskan bahwa rasa malu merupakan bagian integral dari pengembangan karakter moral dan perkembangan kebajikan, seperti kebaikan, kebenaran dan integritas. 

Mencius melihat bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk merasa malu tidak mungkin menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan menunjukkan perilaku yang baik. Bagi Mencius manusia tidak dapat hidup tanpa rasa malu.

Rasa malu adalah awal dari integritas moral dan penting dalam kehidupan manusia. Perbedaan manusia dan hewan bukan pada kecerdasan, kepiawaian, keberanian atau rasa takut, melainkan rasa malu.

Sedangkan menurut catatan Franz Magnis-Suseno, “orang Jawa” atau “masyarakat” itu memiliki dua prinsip yang mendasari pola pergaulan mereka. Dua prinsip sebagai kerangka normatif yang menentukan bentuk ideal interaksi manusia di dalam masyarakat tersebut. Yaitu kerukunan dan hormat. 

Masyarakat sadar bahwa sikap batin dan perilakunya harus sesuai dengan dua prinsip tersebut. Kerukunan adalah keadaan yang harmonis. Rukun artinya berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan serta bersatu untuk saling membantu dan menolong.

Semua pihak berada dalam keadaan damai satu dengan yang lainnya, saling menerima, bekerja sama dalam suasana tenang dan sepakat. 

Kerukunan tidak menciptakan keselarasan, namun berlaku rukun adalah tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada sebelumnya. Ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang ada dengan sendirinya selama tidak diganggu.

Berlaku rukun berarti menghilangkan gejala ketegangan, perselisihan dan keresahan dalam masyarakat. Rukun berarti berusaha untuk menghindari konflik dan perpecahan.

Sementara prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang harus bersikap menghormati orang lain melalui cara bicara dan menempatkan diri sesuai dengan peran dan kedudukannya.

Sikap dan perilaku seseorang harus mengungkapkan pengakuan kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial, yang tersusun dengan terperinci dan penuh cita rasa. Selaras dengan tatakrama dengan sikap hormat.

Masyarakat Jawa melatih sejak kecil kefasihan tatakrama dan sikap hormat melalui pendidikan dalam keluarga. Yang dilatih itu adalah wedi, isin dan sungkan.

Wedi atau takut ini merupakan tanggapan atas ancaman secara fisik dan atas akibat kurang enak dari suatu tindakan. Wedi terhadap orang yang lebih tua dan orang asing (yang belum dikenalnya). Wedi melahirkan sikap halus dan sopan.

Isin atau rasa malu ini merupakan langkah pertama bagi kematangan kepribadian Jawa. Maka jika seseorang dikatakan ora ngerti isin, tidak tahu malu. Itu merupakan kritikan yang sangat keras.

Anak-anak diajarkan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak tahu malu, di hadapan para tetangga, tamu dan orang lain.

Isin adalah satu kesatuan dengan rasa hormat. Orang Jawa akan isin jika tidak menunjukkan rasa hormat yang pantas terhadap orang yang harus dihormati.

Kemudian Sungkan, adalah rasa hormat yang halus dan sopan terhadap orang yang lebih tua, atasan dan orang yang belum dikenal.

Wedi, Isin dan Sungkan merupakan satu kesatuan perasaan yang memiliki fungsi sosial untuk mendorong supaya orang mampu mewujudkan prinsip hormat sehingga menciptakan keselarasan. 

Pembatinan, penghayatan dan pengamalan rasa tersebut merupakan tanda dan wujud nyata kepribadian seseorang yang matang. Tahu bagaimana membawa diri, sehat dan matang merupakan bentuk kepribadian yang ideal.

********

Negeri ini telah kehilangan budaya malu, padahal budaya malu ini sejalan dengan demokrasi. Demokrasi mensyarakatkan keterbukaan dan pertanggungjawaban pada publik. 

Keterbukaan mendorong efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan. Keterbukaan mendorong pertanggungjawaban dengan menyediakan informasi bagi rakyat tentang apa yang dilakukan pemerintah mereka.

Tujuan negara demokrasi adalah mewujudkan kedaulatan rakyat dengan memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk menentukan arah pemerintahan, melindungi hak asasi manusia, seperti kebebasan berpendapat dan berkspresi, menciptakan masyarakat yang adil dan inklusif dengan kesempatan yang sama bagi semua, serta mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mencapai kesejahteraan bersama. 

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Tujuan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat itu merupakan pedoman bagi pemerintah serta tanggung jawab seluruh warga negara untuk mewujudkannya. 

Hilangnya budaya malu dalam masyarakat demokratis itu berarti lemahnya kontrol publik terhadap penguasa dan bebalnya penguasa yang tak tahu malu.

Ancaman terbesar bagi masyarakat modern saat ini bukan lagi tentang pengambilalihan kekuasaan secara otoriter. Namun, transformasi sistem demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah permainan. 

Di permukaan, demokrasi seolah berjalan sebagaimana mestinya. Pemilu berlangsung dan pemilih mencoblos. Namun, masyarakat sebenarnya memilih politisi yang hanya melayani kepentingan diri sendiri, daripada kepentingan konstituen mereka.

Untuk itu budaya malu itu penting dikembangkan dalam masyarakat demokratis sebagai suatu bentuk kontrol publik.

Pada akhirnya rasa malu yang tinggi dapat melahirkan kejujuran, keterbukaan dan pengakuan atas keterbatasan kapasitas dalam menjabat. 

Secara mendalam, rasa malu akan dimaknai sebagai penegas eksistensi bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya. Sehingga keseriusan menghidupkan kembali budaya rasa malu ini mencerminkan tekad mewujudkan integritas diri.

—-

Kepustakaan

Hinton, David. (Translator) The Four Chinese Classics: Tao Te Ching, Chuang Tzu, Analects, Mencius. 

Counterpoint, Berkeley, 2016.

Legge, James. (Translator)  Mencius. Dover Publication, New York, 2010.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Gramedia, Jakarta, 1984.

Tamblyn, Nicholas. (Translator)  The Complete Confucius. 

Independently Published, 2016.

 ——-

Sumber Internet

https://www.nytimes.com/2009/05/23/world/asia/23korea.html

https://www.smh.com.au/world/roh-moohyun-suicide-probe-20090523-bioc.html

https://www.france24.com/en/20090523-former-president-roh-moo-hyun-dies-suicide-note-found

——

*Toni Doludea, Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indo.