Ketika Orang Darat Blusukan ke Laut

Oleh  Tjahjono Widijanto*

Kami telah berjanji kepada sejarah
Untuk pantang menyerah
Bukankah telah kami lalui pulau demi pulau selaksa pulau
Dengan perahu yang semakin mengeras
Oleh air laut
Selalu bajakan otot-otot kami Ya Tuhan
Yang tetap mengayuh entah sejak kapan
Barang kali akan memutih rambut kami ini
Satu demi satu merasa letih dan tersungkur mati
Tapi berlaksa anak-anak kami yang akan 

memegang dayung serta kemudi
Menggantikan kami
 ….

(Doa Para Pelaut yang Tabah: Sapardi Djoko Damono)

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Melonguane ibu kota Kabupaten Talaud, 27 April 2017, sajak Sapardi Djoko Damono, Doa Para Pelaut yang Tabah, –yang nukilannya digunakan sebagai lead di atas–  langsung berkelebat di benak.  Sejauh-jauh mata memandang laut lepaslah yang nampak di mata. Terlebih lagi penginapan Mutiara, penginapan sederhana yang saya tempati sebagai base camp terletak tepat di depan pelabuhan Melonguane, jadilah sejak membuka mata di pagi hari sampai hendak memejamkan mata saat malam, laut dan kehidupan samodralah yang menjadi pandangan yang setia melekat di pelupuk mata.

Kalau ada peribahasa ‘seperti rusa masuk  kota’ barangkali itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi awal kedatangan saya di bumi Porodisa itu. Lebih tepat lagi bila peribahasa itu diganti kalimatnya, ‘seperti rusa masuk laut’. Ya, sayalah rusa yang biasanya berada di semak-semak hutan atau di padang rumput di hutan-sawah pedalaman Jawa kini berada dan di kepung lautan, pantai, batu-batu karang, rerimbun bakau dan pohon-pohon kelapa yang menohok langit.. Saya yang selama ini lahir, dibesarkan, bergaul dan bertempat tinggal di budaya agraris dan pedalaman, sekonyong-konyong harus berada di kultur budaya lautan atau pesisiran. Sebagai wong ndesa, orang daratan, saya dihadapkan dan bahkan nyemplung dalam konteks sosial budaya Taloda yang artinya ‘orang laut’, sebutan lain untuk Talaud, dan ada juga yang menyebutnya sebagai Porodisa, tentulah hal ini cukup membuat repot beradaptasi. Dan ini diperparah lagi karena selama ini  pemahaman saya tentang kawasan Talaud, kawasan terluar yang langsung bersebelahan dengan Filipina adalah nol besar. Ibaratnya saya adalah mualaf  untuk segala hal yang berkaitan dengan Talaud. 

Maka hal pertama untuk mengatasi segala kegaguan itu maka pada hari-hari awal saya blusukan ke warung-warung, ke pangkalan-pangkalan tukang sewa speedboat, ke kampung-kampung nelayan, tetua adat, selain tentu saja mencara “info resmi” dari lembaga resmi seperi Dinas Pariwisata, Pemda, bahkan ke markas LANAL pun saya bertamu untuk mengumpulkan informasi awal tentang segala hal terkait dengan Talaud. Oh ya, berharap ada brosur-brusur yang memberi informasi tentang kebudayaan atau pariwisat alam di Talaud yang dikeluarka melalui dinas pariwisata atau meja informasi di penginapan misalnya, adalah suatu hal yang sia-sia. Bila kita ke Bali atau Lombok misalnya, hampir tiap meja penginapan ada brosur yang bisa dijadikan informasi  awal, hal ini tak ditemukan di Talaud. Semua informasi mana tempat-tempat yang perlu dikunjungi hanya bisa di dapat melaui “teknik tardisional”  bertanya ke sana sini secara lisan. Berharap melaui  internet akses internet di Talaud amatlah sulit, kalaupun ada informasi tentang Talaud masihlah terbatas dan kurang memadai. Selain itu hampr tiap hari listrik mati di Talaud. Maka praktis selama 27 hari saya “berumah” dan mengisi hari-hari di warung-warung, di pesisir pantai, jalan ke pelosok desa dan di pangkalan-pangkalan nelayan dan tukang sewa perahu.

Pesona Alam: Paradise yang Hilang

Hal pertama yang langsung membetot perhatian adalah pesona alamnya. Talaud adalah bumi Porodisa. Sebuah surga kata orang, tempat bersemayam banyak hikayat dan kearifan lokal yang masih terjaga. Sebuah bentang alam dari kumpulan pulau-pulau paling ujung Utara Indonesia. Kabupaten ini adalah penegas batas negara Indonesia dengan Filipina, yang terpisah oleh lautan dan menjadikannya kabupaten bahari, lengkap dengan pengaruh budaya maritimnya.

Sebuta Poradisa atau paradise (sorga) bagi Talaud rasa-rasanya tidak berlebihan. Talaud memiliki pulau-pulau dan pantai-pantai luar biasa indahnya. Suku bangsa Talaud mendiami gugusan pulau-pulau di wilayah bibir Pasific dan terdiri dari lima kepulauan, yakni Karakelang (Maleon), Salibabu (Sinduane), Kabaruan (Tamarongge), Nanusa (Batunampato) dan Tinonda (Miangas). Pulau Karakelang adalah pulau terbesar di Talaud, yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan di Melonguane, ibukota Talaud. 

Menjelajah ke pulau ini adalah sebuah petualangan yang diwarnai decak kagum keindahan alam yang masih sangat alami. Di sana-sani sajian panoramanya adalah soal kejernihan air laut, pasir berwarna perak,  langit biru yang bersih, bau pala  dan hijau daun yang subur. Di kota  Beo misalnya. Kota paling tua di Karakelang yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari Melonguane melalui jalan darat, sajian panorama keindahan pantai Luar biasa indahnya. Deburan ombak yang memecah di pasir putih, karang, pucuk-pucuk poho kelapa, pohon pala, cengkeh dan akar bakau adalah nyanyian dan pemandangan yang mengiringi perjalanan. Semua masih sangat alami. Melewati pasir panjang Tambio’i mata seakan-akan dimanjakan dengan pemandangan keindahan alam yang luar biasa. 

Belum lagi pantai-pantai tak berpenghuni seperti pulau Sarak misalnya, sungguh merupakan kekayaan alam yang indah jelita. Pasirnya berwana perak, air-air lautnya berubah-rubah warna dari warna putih, abu-abu, warna hijau lumut dan berubah lagi menjadi warna biru kecubung. Suara burung-burung Sampiri yang menjerit di rerimbun hutan bakau juga membawa suasana yang eksotik.

Melonguane ibu kota kabupaten Talaud juga merupakan pulau yang jelita. Setiap orang yang berkunjung ke Melonguane dapat menikmati kejernihan air laut di sekitar pelabuhan. Saking jernih dan bersih, ikan-ikan yang berenang di air pun terlihat dari atas dermaga Melonguane. Saat matahari terbit atau tenggelam selalu pula membawa suasana puitis dan lanskap eksotis. Kesibukan perahu-perahu motor yang menyeberangkan warga ke pulau Salibabu dan pulau-pulau kecil lainnya juga memberikan kesan tersendiri. Pendek kata pulau Karakelang menyimpan sejumlah destinasi wisata yang sungguh mempesona, walau harus diakui berbagai potensi wisata tersebut belumlah dikelola secara maksimal oleh pemerintah setempat. Mencari lokasi wisata pantai nan eksotis dengan hamparan pasir putihnya serta lansekap yang mempesona, tersedia cukup banyak di Karakelang.

Di  Karakelang juga terdapat sebuah desa yang merupakan desa adat tertua yang dianggap merupakan cikal bakal leluhur Talaud. Desa itu bernama Banada yang terletak paling ujung utara di pulau Karakelang. Perjalanan ke Banada merupakan tantangan tersendiri karena melalui jalan darat yang cukup melelahkan dengan kondisi alam yang cukup menantang. 

Banada dianggap desa paling tua di Talauda yang memiliki aroma mistis yang cukup kua. Dari Banada inilah kerajaan Porodisa bermula, dan hingga kini komplek pekuburan Raja Porodisa masih dapat disaksikan. Begitu pula peninggalan-peninggalan kerajaan hingga kini masih tersimpan rapi, antara lain berupa perhiasan raja, busana kerajaan, benda-benda persembahan, benda-benda pusaka dan sebagainya. Kerajaan Poradisa pada awalnya mencakup empat wilayah yakni Malat, Banada, Apan dan Lahu. Masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang yang disebut Ratumbanua. Suku juga terbagi empat yakni suku Tal’au, Laetu, Yoro dan Woe yang pusat kerajaannya di Banada.

Desa Banada hingga saat ini masih menjunjung tinggi peraturan nilai adat dan kearifan lokal. Hukum adat iustiadat yang harus dipatuhi warga misalnya antara lai larangan untuk mencuri, berkeliaran di saat malam, mabuk-mabukan, berbuat onar dan berzina. Apabila ada seorang melanggar, misalnya mencuri, maka yang bersangkutan akan diarak keliling desa dengan setengah telanjang dengan barang curiannya digantungkan di leher serta sepanjang jalan harus berteriak dalam bahasa daerah yang intinya tidak akan mengulangi perbuatannya Dengan kuatnya hukum adat tersebut nyaris warga desa tidak membutuhkan polisi untuk mengamankan daerahnya.

Desa Banada juga memiliki banyak tempat yang dihubungkan dengan terjadinya sejarah kerajaan Porodisa selain makam atau kuburan Raja Porodisa. Anatara lain yang cukup unik adalah pohon Lungkang. Pohon yang juga disebut dengan pohon Kerinduan ini konon saat purnama daunya yang semula berwarna hijau semua berubah menjadi putih. Pohon yang tumbuh di kawasan hutan yang disebut dengan nama Laroroan-umbanga ni dipercaya menjadi tempat tinggal manusia pertama di Talaud yang bernama puteri Winoso yang bergelar Woi Taloda. Puteri inilah nanti bersuamikan seoran lelaki gagah jelmaan seekor ikan mas dari langit yang bernama Winungkan atau disebut juga Rung Birisan. Berdasarkan cerita mite dan legenda inilah hingga kini pohon Lungkang dianggap sebagai pohon keramat di Banada.

Tapak Sejarah

Selain dari sisi legenda, sebenarnya nama Talaud telah disinggung-singgung sejak masa Majapahit melalui buku Negara Kertagama karya pujangga Mpu Prapanca. Dalam  Negara Kertagama pada pupuh XIV, nama Talaud disebut-sebut sebagai udamakatraya atau udamakatrayadi yang disebut-sebut sebagai “payung utara” bagi kerajaan Majapahit yang merupakan salah satu bagian dari Hasta Mandala kerajaan Majapahit.

Hasta Mandala diartikan sebagai delapan wilayah kebesaran Majapahit, yang lengkapnya adalah Hasta Mandala Dwipa yang harafiahnya bermakna delapan kawasan kepulauan yang terkenal dengan nama Nusantara. Dan Talaud atau udamakatraya merupakan Mandala VI dari Delapan (Hasata) Mandala itu. Mandala VI meliputi kawasa Sulawesi yang mencakup Banthayang, Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galiyao Selaya, dan Solot (Solor). Yang dalam bahasa aslinya dikatakan sebagai: “muwah tan i gurun sanusa manaran ri lombok mirah, lawan tikan i saksak adinakalun/ kahajyan kabeh, muwah tanah i banatanayan len/ luwuk tkan uda makatrayadinikanan sanusapupul...”.Dengan demikian sebenarnya Talaud namanya sejak lama telah tercatat sebagai salah satu Nusantara.

Secara geografis kepulauan Talaud terbentuk karena adanya pergeseran lempeng Halhamera dan lempeng Sangihe yang bertabrakan yang mengakibatkan lapisan permukaan bumi terangkat di atas  permukaan laut. Peristiwa ini terjadi konon sejak zaman Pleistosen (1,6 juta-10.00) hingga zaman Holocen. 

Bahasa suku Talaud terdiri atas enam dialek yakni salibabu, Karakelang, Esang, Nanusa, Miangas dan Kabaruan. Suku Talaud juga mempunyai bahasa purba atau bahasa kuno yang di sebut Sasahara. Sasahara ini dalam upacara-upacara adat terutama terkait dengan upacara keselamatan dan perlindungan pada Yang Gaib masih dipakai terutama oleh para pelaut.

Sendi kehidupan di Talaud paling utama adalah melaut atau mencari ikan. Selain melaut juga penghasil pala, cengkeh dan kopra. Pala dan cengkeh di masa lalu merupakan tumbuhan rempah yang paling diincar pedagang-pedagang Eropa. Namun boleh dikatakan suku Talaud adalah suku pelaut.  Mereka adalah pelaut-pelaut ulang dengan berbagai nama  jenis perahu yang setiap hari tiada lepas mengarungi lautan. 

Nah, sebagai orang darat bagi saya hal ini merupakan sesuatu yang menarik sekaligus mengagetkan. Jadilah setiap hari saya, orang darat ini turut menjelajahi laut. Kadang menyewa speedboat untuk mengunjungi pulau-pulau kecil, misalnya Lirung, Analan, Alude, Sarak hingga pulau Intata dan Kakaraton yang kira-kira berjarak tempuh 4-5 jam speedboat. Sesekali pula ikut melaut bersama nelayan di pantai Sawang membantu (lebih tepatnya “mengganggu” dan merepotkan) mereka para nelayan Talaud yang baik hati dan ramah menangkap ikan dengan perahu kora-kora atau bambut, sejenis perahu kecil. Meski tentu saja dengan hati miris dan gemetaran serta bibir terus melafad doa-doa karena diayun-ayun gelombang bibir Pasifik di lautan lepas. 

Namun rasa gemetaran itu terbayar lunas saat mendarat di pantai  ketika laiy nyare (laut surut), bersama-sama menggotong perahu ke pantai dan memindahkan ikan-ikan tuna hasil tangkapan ke dalam bika (keranjang rotan) dan mengusungnya di pundak di naikan ke darat untuk dijual, dihadiahi satu dua ekor tuna seukuran betis orang dewasa untuk dibakar dan  di makan bersama di pinggir pantai. 

—Sungguh indah Talaud, engkaulah surga, pradise yang masih tersia-sia dan terlupakan. Sungguh indah negeriku. Duhai negeriku, i love you—.

***

*Penulis adalah penyair dan kandidat Doktor Pendidikan Bahasa sastra Indonesia, UNS Surakarta.Tinggal di Ngawi Jawa Timur.