ERROR 404 FILES: Sebuah Tafsir Epistemologi tentang Dialektika Konspirasi dan Korupsi Pertambangan

Oleh: Gus Nas Jogja*

Prolog:

Ketika Kebenaran Menjadi Entitas yang Dapat Dihapus

Ada satu titik di mana realitas tidak lagi ditentukan oleh apa yang ada, tetapi oleh apa yang tidak ada. Dalam dunia yang digerakkan oleh data, kekuasaan tertinggi bukan lagi terletak pada kemampuan untuk menciptakan fakta, melainkan pada keahlian untuk menghancurkannya. Di situlah Error 404 bermanifestasi—bukan sebagai kode teknis, melainkan sebagai sebuah paradigma epistemologis baru. Ia adalah tanda bahwa sebuah berkas pengetahuan, sebuah tautan kebenaran, telah dimusnahkan. Bagi Sang Konspirator yang bergerak dalam bayang-bayang, Error 404 adalah mahakarya: ia adalah kehampaan yang sempurna, ketiadaan yang begitu mutlak sehingga ia menjadi sebuah realitas tersendiri. Ini adalah seni anti-kreasi, di mana yang dipertaruhkan bukanlah uang, melainkan ingatan kolektif, narasi sejarah, dan pondasi kebenaran itu sendiri.

Ontologi Ketiadaan: Metafisika Korupsi Struktural

Korupsi, dalam pemahaman awam, adalah sebuah tindakan mengambil. Para mafioso mengambil uang, mengambil sumber daya, dan mengambil hak rakyat. Namun, dalam skandal yang berpusat di sektor pertambangan—sebuah pohon kehidupan yang diubah menjadi pohon kematian—korupsi mengambil wujud yang lebih sublim: ia adalah sebuah tindakan menghilangkan. Ini adalah ontologi ketiadaan, di mana keberadaan objek (data transaksi, laporan audit, kesepakatan rahasia) secara sistematis digantikan oleh kekosongan.

Para mafioso modern tidak lagi mencuri dengan tangan, melainkan dengan algoritma. Mereka tidak sekadar memanipulasi angka, tetapi memanipulasi keberadaan angka itu sendiri. Melalui jaringan perusahaan cangkang dan transfer digital yang kompleks, mereka menciptakan sebuah dunia paralel di mana kekayaan tidak pernah benar-benar ada di tempat asalnya. Ia adalah hantu yang merasuki sistem, mengambil wujud dan kemudian menghilang, meninggalkan jejak-jejak digital yang mengarah pada sebuah jalan buntu: Error 404. Dalam skema ini, korupsi bukan lagi anomali; ia adalah struktur. Dan untuk melawan struktur yang didasarkan pada ketiadaan, kita membutuhkan sebuah epistemologi perlawanan yang baru.

Fasad Informasi dan Kehampaan Profetik

Kitab Suci berbicara tentang fasad—kerusakan—yang dilakukan manusia di daratan dan lautan. Dalam konteks ini, fasad bukan hanya polusi fisik, tetapi juga polusi epistemologis. Narasi yang memutarbalikkan fakta, yang mengubah aktivis lingkungan menjadi “agen asing” dan suara rakyat menjadi “ancaman keamanan,” adalah bentuk-bentuk fasad informasi.

Ini adalah perang profetik. Para konspirator menciptakan kabut yang menyelimuti kenyataan, membuat mata manusia buta terhadap kebenaran yang paling jelas. Mereka tidak perlu membungkam oposisi; mereka hanya perlu menciptakan begitu banyak noise dan disinformasi hingga suara kebenaran tenggelam. Tujuannya bukan untuk membuat orang percaya pada sebuah kebohongan, tetapi untuk membuat mereka tidak percaya pada apa pun. Kepercayaan pada institusi, pada media, pada para pemimpin, dan pada sesama, semuanya terkikis. Yang tersisa adalah sebuah keheningan spiritual, sebuah kehampaan di mana keadilan tidak lagi bisa dicari karena buktinya telah menjadi Error 404.

Narasi profetik mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan tidak ada kejahatan yang benar-benar bisa lenyap. Crimes doesn’t Pay. Sekalipun data digitalnya dihapus, bekas luka di tanah Papua dan bumi Nusantara lainnya yang terus dijarah, penderitaan di hati rakyat dan bumi yang terluka adalah arsip yang tak akan pernah bisa dimusnahkan.

Sastra Ketiadaan:  Arkeologi Puing-Puing Kebenaran

Ketika semua berkas telah dihapus, dan semua jejak telah musnah, apa yang tersisa? Di sinilah peran sastra—sebagai arkeolog ketiadaan. Sastra tidak terikat pada data. Ia terikat pada pengalaman, pada memori, pada rasa sakit, dan pada keindahan. Ia adalah satu-satunya instrumen yang bisa menggali kebenaran dari puing-puing digital yang ditinggalkan oleh para konspirator.

Cerpen absurd menjadi metode yang paling tepat untuk menceritakan kisah ini. Karena dalam dunia di mana realitas itu sendiri menjadi absurd—di mana gunung emas tidak membawa kemakmuran, dan di mana kejahatan tidak meninggalkan jejak—hanya narasi yang tidak masuk akal yang bisa mendekati kebenaran. Cerpen itu adalah sebuah artefak. Ia merekam kegagalan sistem, bukan dalam bentuk laporan audit, tetapi dalam bentuk narasi puitis.

Epilog:

Api yang Tak Bisa Dipadamkan

Pada akhirnya, para Sang Konspirator mungkin berhasil menciptakan Error 404 yang paling masif. Mereka mungkin telah menghapus ribuan gigabyte data, merusak server, dan membungkam saksi. Namun, ada satu hal yang tidak bisa mereka hapus: jejak spiritual dari penderitaan. Api yang membakar hati rakyat, bisikan kebenaran yang mengalir dari generasi ke generasi, dan tekad untuk mencari keadilan—itu semua tidak memiliki file path. Ia tidak terenkripsi dalam hard drive atau tersimpan dalam server. Ia ada di dalam jiwa.

Error 404 adalah sebuah kesalahan. Bukan kesalahan teknis, melainkan kesalahan metafisik. Para konspirator percaya bahwa mereka bisa menghapus segalanya. Mereka lupa bahwa kebenaran tidak bisa dihapus, hanya bisa dicari kembali. Dan di tengah ketiadaan yang mereka ciptakan, ada sebuah suara profetik yang akan terus menggema: Suara rakyat adalah suara Tuhan, dan ia takkan pernah bisa dimusnahkan!

*Gus Nas, Budayawan.