“Pax Vobiscum”, Seni Pak Beye dan Kawan-kawan

Oleh  Agus Dermawan T.  

SBY Art Community menggelar seni lukis dengan serius. Kumpulan seniman yang punya prospek berkembang. Bisa didorong untuk selalu menggelar pameran bertema kemanusiaan, politik dan sosial. 

————

SEMULA pameran lukisan Art for Peace and a Better Future karya SBY Art Community akan dibuka pada 31 Agustus. Namun karena guncangan demo besar dan kerusuhan massa pada 25 dan 28 Agustus, pembukaan ditunda, sampai akhirnya dibuka pada 6 September 2025. Pameran yang dikuratori Suwarno Wisetrotomo dan Rizki A. Zaelani ini diselenggarakan di Ashta District 8, SCDB, Jalan Senopati, Jakarta. Dan berlangsung sampai 5 Oktober 2025.

SBY Art Community didirikan oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY pada awal 2025. Pendirian kumpulan ini didorong oleh Pak Beye – begitu panggilan non politiknya – yang bersemangat melukis sejak tengah tahun 2021. 

Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, atau SBY, atau Pak Beye, dengan lukisannya. (Sumber: Tempo)

Kita boleh meyakini, semula Pak Beye melukis untuk mengikis kesedihan, sejak ditinggalkan oleh Ibu Ani yang wafat pada 2019. Dari situ ia percaya bahwa seni lukis bisa mendatangkan ketenangan hati dan pikiran. Keyakinan atas kebaikan-hati seni lukis itu mendorong Pak Beye untuk menjadikan seni sebagai medium perbaikan hal-hal yang lebih besar, seperti merestorasi jiwa dunia, yang pada dekade terakhir porak-poranda. Ini merupakan kelanjutan dari upaya “kesenian bermisi” nya pada belasan tahun silam. Kala itu Pak Beye memakai medium musik, dengan menghasilkan album “Save Our World” pada 2010. 

“Konferensi internasional di Oslo, Norwegia, telah mengilhami saya,” kata Pak Beye.

Misi yang dikandung Art for Peace and a Better Future tentulah menarik. Meski ini bukan tema baru. Pada April 1982 budayawan dan pujangga Sutan Takdir Alisjahbana atau STA menggelar pameran bertajuk Seni Lukis Masa Depan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran itu mengeritik dunia yang sedang dilanda kerusakan lingkungan dan dibakar api peperangan, seraya menyampaikan solusi dalam gambaran.

Komunitas SBY Art Community, Cikeas, sedang melukis bersama di studio. (Sumber: Dokumen)

Metafora damai menyertaimu

Sebagaimana pameran gagasan STA, pagelaran Art for Peace and Better Future karya Pak Beye dan kawan-kawan tidak berbicara langsung ihwal perdamaian dan perbaikan dunia. Lantaran dalam karya yang dipajang tersembul berbagai simbol dan metafora. Suatu hal yang menjadikan pameran ini terasa lebih “berkelok”, lebih “mendalam”, alias terbebas dari slogan. Meski ada resikonya: terlepas dari konteks.

Lalu dalam ruang pameran terpajang lukisannya yang berjudul National Monument-Jakarta; The Beauty of Indonesian Mountains; Bassano del Grappa, Italia; The Great Grand Canyon; Peace with Nature. Lukisan yang menggambarkan pemandangan tenteram nyaman. Pada lukisan The Day God Test our Faith and Courage ia melukis tsunami di Aceh. Sementara ciptaannya yang lekat dengan tema adalah Stop War, United for Peace. Di sini ia menggambarkan suatu wilayah yang menjadi puing akibat bom. Menggetarkan. Meski karya ini akan semakin utuh  apabila tidak diganggu oleh berbagai kolasi teks pamflet. Lantaran visual lukisan ini sudah apik dan telah lantang berbicara.

Lukisan metaforis karya seniman lain yang pantas diperhatikan adalah Renungan dalam Hening (M. Imam Bawon), Imagination of Nature (Tjokorda Bagus Wiratmaja), No Justice, No Peace dan Harmony Among Civilization (Jong Merdeka #3: kolaborasi Guntur Wibowo, MSR dan LaOD3), Ode to Arab Spring – The Sole Souls (Willy Himawan). Lalu lukisan kabut Damai Sejengkal, Sehasta, Sedepa (Agung Fitriana), Space Between a Rock and a Hand Place (Flavia Giulieta), abstrak manis Always on The Right Path (Zusfa Roihan), serta Damai Sekawanan Kuda (masdibyo). Menarik juga Raja Ampat, The Last Paradise (Akbar Linggaprana) yang menceritakan seorang gadis sedang menjaga Raja Ampat yang diancam agresi usaha pertambangan. Juga The Gathering in The Red Land (Agus TBR) yang mengisahkan seseorang mirip Jokowi duduk tercenung melihat bencana sosial yang baru terjadi. 

Dalam ruang pameran Art For Peace and a Better Future, dengan lukisan karya Willy Himawan. (Sumber: Lim Hui Yung)

Ruang pameran juga diwarnai oleh lukisan serba besar karya I Gede Arya Sucitra, Bambang Sugiarto, Cia Syamsiar, Ricki Roganda Sitepu, Rizky Romansyah, Koelo Maryam, Naufal Abshar dan Catur Nugroho. Lukisan mereka hadir dalam gaya naturalis, surealis, posteristik, karikatural, dan komikal.  

Salah satu pusat perhatian dalam pameran adalah Destruction Ruins Peace Paints. Lukisan ini mengompilasikan berbagai pikiran seniman ihwal “baik buruk dunia”. Bentuk dan warnanya yang mengindikasi berbagai karakter jejak kwas terjalin liat dalam harmoni yang kuat. Menarik, lukisan digarap keroyokan oleh 21 pelukis yang diambil dari empat institusi seni dan lima pelukis independen, termasuk Pak Beye. Lukisan berukuran 250 x 700 cm ini dikerjakan secara bergantian sejak Juli sampai menjelang September di Gelanggang Olah Raga Lavani di Puri Cikeas. Pax vobiscum, damai menyertaimu, adalah doa klasik yang didaraskan oleh lukisan itu.

“Seni merupakan merupakan soft power yang mampu menjembatani perbedaan, menyatukan bangsa, dan menyuarakan harapan untuk dunia yang lebih damai dan berkelanjutan,” kata Pak Beye dengan khidmat. 

Lukisan Akbar Linggaprana, Raja Ampat, The Last Paradise, dalam pameran Art for Peace and a Better Future. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Seni perdamaian, dalam ingatan

Atas pameran Art for Peace and a Better Future yang luhur konten ini saya jadi teringat kepada sejumlah karya seni dunia yang dicipta dengan misi yang sama. Kepada patung The Knotted Gun (Pistol Tersimpul) karya Carl Fredrik Reutersward (1934-2016), misalnya, yang berdiri provokatif di halaman Markas Besar Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), New York. 

Knotted Gun adalah karya seni yang berfungsi sebagai pengungkit ingatan, dan sekaligus sebagai tanda-tanda zaman serta peringatan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, ketika menerima patung monumen itu dari Pemerintah Luxemburg pada 1988. 

Pada mulanya patung perunggu yang menggambarkan pestol Colt Python 357 dengan moncong terbundel itu dicipta untuk mengenang terbunuhnya John Lennon (The Beatles). Ya, mendengar Lennon ditembak dengan pestol oleh Mark David Chapman pada 8 Desember 1980, Carl Fredrik tergerak untuk mencipta patung yang berkonten: “Stop pembunuhan!” Patung elegi itu lantas dipajang di Strawberry Field Memorial – Central Park, New York, sehampar taman tak jauh dari rumah Lennon. 

Menghayati kedalaman makna dan keunikan metafora patung, anggota kerajaan dan petinggi pemerintahan Luxemberg berniat membangun replikanya untuk dipacak di halaman Markas Besar PBB. Carl Fredrik sangat setuju. Apalagi ketika patung itu kemudian dibikin 30 copy, untuk menghiasi kompleks gedung perwakilan PBB atau taman prestisius di berbagai negara.

“Saya ingin menginspirasi semua orang untuk melawan kekerasan dengan kesenian. Ini ode bagi pencinta perdamaian yang dilantunkan oleh PBB,” kata Fredrik. Meski ia pasti sangat kecewa ketika melihat PBB tak bisa berbuat apa-apa atas kekekejian tentara Israel, yang sejak 2023 menewaskan lebih dari 64.000 jiwa di Gaza dan seputarnya.

Apa yang dikatakan oleh Carl Fredrik tampak jelas diamini oleh SBY. Dan pengaminan itu dipresentasikan dalam pameran Art for Peace and a Better Future.

Monumen perdamaian Knotted Gun karya Carl Fredrik di salah satu plaza di Swedia. Monumen ini juga ada di Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa, New York. (Sumber: Dokumen). 

Hantu Jembatan Ancol

Bahwa seni bisa meredakan permusuhan dan memaksa genjatan senjata, memang terbukti di banyak peristiwa. Seperti yang dilakukan oleh Pasukan Perdamaian Indonesia UNOC (United Nations Operation in the Congo), tahun 1960-1961. 

Mengetahui bahwa para pemberontak di Kongo (Congo, Afrika Tengah) sangat percaya tahayul dan begitu takut kepada hantu, beberapa tentara seniman di pasukan Garuda III mencipta patung kayu yang dibungkus kain putih menjuntai-juntai sehingga menyerupai hantu Maryam Jembatan Ancol. Maka ketika pasukan pemberontak menyerang malam hari, puluhan hantu-hantuan dimunculkan. Penerangan senter membantu penampakan, sehingga hutan jadi seperti teater yang menghenyakkan. Maka, tak kurang dari 3.000 tentara pemberontak dibikin runduk dan menyerah oleh penampakan berulang kali. 

Pasukan Perdamaian Indonesia pimpinan Kolonel Kemal Idris ini dipuji oleh Letnan Jenderal Kadebe Ngeso, dari Ethiopia. “Seni hantu menaklukkan peluru!” ujar Ngeso. Lalu pasukan Garuda III pun terkenal dengan sebutan Les Spiritesses, atau Pasukan Hantu Perempuan. 

Pada masa Perang Dunia II tersebutlah Geoffrey Barkas (penulis naskah film, produser dan sutradara) serta Tony Ayrton seorang pelukis. Dua seniman ini bekerja di Direktorat Kamuflase Timur Tengah milik Sekutu, yang sedang melawan tentara Blok Axis (Nazi-Jerman, Italia dan Jepang) di Afrika Utara. Dengan semangat keseniannya mereka membuat setting berbagai wilayah pertahanan perang palsu, dengan dilengkapi gudang amunisi, asrama, drum-drum minyak, mobil tentara serta tank. Benda-benda itu dibikin dari kardus, dipoles mendekati presisi, dan kemudian ditutupi terpal dan daun-daun. Sehingga dalam foto pengintaian lawan akan terlihat seperti asli, dan layak diserbu. 

Harapan Barkas dan Ayrton adalah, ketika musuh capek menyerbu wilayah yang salah, frustrasi akan melanda, peperangan akan terhentikan, dan kedamaian akan didapatkan. 

Ada pula seniman pencipta “sandiwara radio” yang membuat suara-suara di sebuah wilayah pertahanan. Audio itu berisi keriuhan di kamp militer yang disertai deru helikopter, truk, tank, dan teriakan perajurit. Audio tersebut lantas dibiarkan bocor dan masuk ke radar dan detektor musuh. Ujungnya menghasilkan kebingungan pihak lawan, lantaran sasaran yang dituju ternyata hanyalah wilayah kosong. 

Setelah perang usai, pihak Blok Axis dan khususnya pihak Nazi-Jerman mengakui bahwa mereka kalah besar lantaran dikibuli para Ghost Army atau Tentara Hantu ciptaan para seniman itu. 

Tapi (ternyata) tidak semua kerja seni difungsikan sebagai kendaraan menuju perdamaian. Karena ada pula seniman yang sengaja mencipta seni untuk menghancurkan lawan di medan perang. Kisah Kuda Troya adalah contohnya. 

Sebutan Troya berasal dari Troy, nama kerajaan yang didirikan pada 1.800 SM. Sedangkan kisah Kuda Troya berasal dari sastra ciptaan Homerus yang hidup pada abad 8 SM. Cerita diawali dari penculikan Helena dari Sparta, yang dilakukan oleh Paris, pangeran dari kerajaan Troya. Atas penculikan itu para petinggi Yunani marah, dan penyerangan dilakukan. 

Namun Troya sungguh susah ditaklukkan. Dari sini si ahli strategi, Oddysseus, merancang siasat bulus. Ia tahu orang Troya sangat memuja karya seni dan satwa kuda. Ia lantas memanggil para seniman untuk membuat patung kuda raksasa yang lucu dan sangat molek bentuknya. Patung kuda kayu ini kemudian dipersembahkan kepada rakyat Troya sebagai tanda genjatan senjata, awal dari perdamaian. Patung pun diletakkan di pelataran kerajaan. Lalu para petinggi Yunani mengajak rakyat dan tentara Troya berpesta pora sambil mabuk-mabukan. 

Rakyat Troya tidak menyangka bahwa ternyata tubuh patung kuda raksasa itu menyimpan puluhan tentara pilihan. Ketika tengah malam tiba, dan pada saat semua warga Troya teler lantaran mabuk, para tentara Yunani melompat keluar dari perut kuda dan membunuh para petinggi Troya. 

Dari Hitler sampai Putin

Menyaksikan lukisan Pak Beye, imajinasi kita akan dituntun untuk membayangkan kekhusyukannya menghadapi kanvas. Bagaimana ia asyik berkarya sambil melupakan problema politik dan sosial yang dulu mengelilinginya. Bagaimana ia tercenung-cenung di depan lukisan yang terus berusaha disempurnakannya. Maka, seorang (mantan) kepala negara serius melukis, adalah fenomena. Adalah peristiwa.

Namun meski ihwal seorang (mantan) presiden melukis harus disebut langka, Pak Beye tidak sendirian.

Lukisan apik panglima Nazi Jerman Adolf Hitler, Istana Neuschwanstein, 1914. (Sumber: Dokumen).

Pada jauh kurun sebelumnya, Adolf Hitler, yang kemudian jadi diktator keji panglima Nazi, juga melukis. Ia bahkan pernah mendaftar ke sekolah seni di Wina, meski ditolak beberapa kali. Dari tinjauan seni rupa, lukisan Hitler termasuk bagus, bahkan ada beberapa yang sangat indah, seperti Istana Neuschwanstein yang dicipta pada 1914. Juga lukisan tahun sebelumnya, Halaman Rumah Tua di Munchen.

Secara visual, lukisan cat air Hitler bisa dikomparasi dengan lukisan-lukisan pemandangan cat air Presiden Indonesia ke-1, Sukarno, yang tercipta antara 1925-1935. Termasuk lukisan berjudul Kampung Ambugaga yang dibikin saat Sukarno diasingkan di Pulau Ende. Meskipun nilai karya Hitler sedikit di atas karya Sukarno. 

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill juga dikenal sebagai pelukis. Sejumlah lukisannya diakui memiliki kualifikasi gubahan seniman profesional. Kemampuan melukis ini sangat disadari oleh Churchill, sehingga sering dibanggakan kepada banyak orang, termasuk kepada sahabatnya, Dwight D. Eisenhower, Presiden AS ke-34, yang juga sangat suka melukis. Churchill sering meledek bahwa lukisan Eisenhower itu amatir, sedangkan karyanya adalah gubahan seorang kampiun. 

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill sedang melukis, pasca Perang Dunia II. (Sumber: Dokumen).

Memasuki tahun 2000 Jimmy Carter juga aktif melukis. Karya presiden AS ke-39 ini pernah terjual 250.000 dolar. Bahkan ada lukisannya yang terbeli di atas 1 juta dolar dalam lelang amal. Obyeknya sekitar kupu-kupu, daun, bunga-bunga di taman, dan sekali-sekali perdu dan pohon. Pulasan Carter halus, ringan dan damai, seperti karakter politiknya. 

Pada 2021 Presiden Amerika Serikat ke-43, George W. Bush, menerbitkan buku karya seni lukisnya. Ada dua buku sekaligus yang dirilis. Yang pertama adalah Portraits of Courage: A Commander in Chief’s Tribute to America’s Warriors. Yang kedua adalah buku Out of Many, One – Portraits of America’s Immigrants. Lukisan potret Bush yang mengikut sapuan kasar Lucien Freud itu bagus dan menunjukkan ketinggian keterampilan, sehingga dipuji oleh kritikus Phillip Kennicott sebagai “goresan ramah seorang agresor dan politikus congkak”. 

Tak mau kalah, Vladimir Putin. Presiden Rusia yang jago judo ini ternyata kadang melukis. Selembar lukisannya yang berobyek hujan salju dari balik jendela, diikutkan lelang amal bagi Rumah Sakit St Petersburg di Moskow. Dan, wuiiit, laku 1,1 juta dolar! 

Lalu, siapa yang terbaik? Menurut saya, di antara para pemimpin negara modern yang melukis, Churchill adalah yang terbaik dari semua sisinya. Ia sangat mampu mengelola setiap anasir artistik sebuah lukisan. Dan ia terampil melukis obyek apa saja.

Yang mampu menyaingi Churchill saya rasa hanyalah Dwight D. Eisenhower. Jenderal ini jago dalam melukis potret. Di tengah kesibukannya sebagai kepala negara, ia menghasilkan sekitar 260 lukisan cat minyak. Sebagian lukisannya pernah dipamerkan di Museum Huntington Hartford, New York. 

Untuk menegaskan perbandingan dan penilaian itu, alangkah menarik apabila Pak Beye berpameran tunggal, pada suatu waktu. ***

*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku budaya dan seni. Narasumber ahli Koleksi Benda Seni Istana-istana Presiden Republik Indonesia.