Pelajaran Samin Surosentiko dan Monkey D. Luffy dari Pati
Oleh Dwi Sutarjantono*
“Ora obah, ora mamah. Kalau tidak bergerak, tidak makan.”
— Samin Surosentiko.
Pati yang biasanya tenang, bahkan sering dilabeli “kota para pensiunan,” mendadak riuh. Puluhan ribu warga memadati alun-alun, membawa spanduk dan mengangkat suara. Pemicu utamanya: penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dianggap melonjak tajam. Yang menarik perhatian saya, di tengah kerumunan muncul sosok berpenampilan ala Monkey D. Luffy dan Roronoa Zoro dari One Piece. Ini jelas bukan festival cosplay. Lalu, apa maknanya?
Bagi petani dan pelaku usaha kecil, pajak bukan sekadar angka di surat ketetapan, melainkan soal hidup sehari-hari. Meski kebijakan kemudian dicabut, rasa kesal belum reda. Pajak kembali menjadi titik paling sensitif dalam hubungan negara–warga.
Perlawanan ini tidak muncul dari ruang hampa. Seabad lebih lalu, Samin Surosentiko dari Blora (wilayah Karesidenan Pati) memimpin gerakan menolak pajak kolonial dan perampasan tanah. Bagi Samin, tanah adalah ibu, dan ibu tidak untuk dijual. Nilai itu menyebar hingga Pati, berpegang pada solidaritas komunitas dan menolak otoritas yang menindas.
Kini nilai itu hidup dalam wujud lain: dari balai desa pindah ke layar gawai, dari pesan lisan menjadi unggahan di media sosial, dari lumbung padi menuju linimasa. Aksi direkam, diunggah, lalu menjelma meme, video pendek, hingga ikon pop.
Kehadiran atribut Luffy di demo juga bukan kebetulan. Dalam One Piece, Luffy memimpin kru yang menolak tunduk pada “World Government” yang arogan. Ia mewakili kepemimpinan dari bawah, membela yang lemah, dan selalu curiga pada kekuasaan yang jauh dari rakyat. Saat atribut Luffy dan Zoro hadir di Pati, pesan yang terbaca: kami warga biasa, berhak atas keadilan dan martabat.
Namun, simbol saja tidak cukup. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengingatkan, pajak yang terlalu berat di masa ekonomi sulit justru melemahkan produktivitas dan merusak kemakmuran. Pati membuktikan itu: persoalan bukan hanya nominal, melainkan proses kebijakan yang jauh dari dialog publik.
Fenomena ini menunjukkan transformasi bahasa politik. Di Hong Kong, topeng V for Vendetta menjadi ikon perlawanan. Di Cile, mural dan tokoh pop menghiasi dinding kota. Di Indonesia, One Piece kini menjadi kamus visual baru: pesan yang cepat dipahami, mudah viral, dan menyatukan generasi. Tapi, seperti pepatah bilang, gambar bisa memancing perhatian, kebijakan hanya berubah lewat advokasi yang sabar dan terukur.
Apa yang perlu dibenahi? Pertama, uji beban PBB-P2 secara terbuka dan tunjukkan dampaknya pada petani, UMKM, dan pensiunan di tiap desa. Kedua, buka transparansi belanja daerah dengan bahasa yang mudah dipahami. Ketiga, adakan forum dengar pendapat rutin yang terdokumentasi, melibatkan perangkat desa, kelompok tani, pedagang pasar, hingga tokoh agama. Keempat, buat mekanisme keberatan pajak yang sederhana dan responsif. Kelima, moratorium kenaikan bagi kelompok rentan sampai kajian dampak selesai.
Kali ini yang diuji sesungguhnya adalah kontrak sosial pajak. Warga bersedia membayar jika negara dipercaya mengelola dan mengembalikannya dalam bentuk layanan. Legitimasi fiskal lahir dari keadilan beban, transparansi, dan partisipasi. Tanpa itu, kebijakan, betapapun rasional di atas kertas, mudah dibaca sebagai pemaksaan dari atas.
Sebagian massa di Pati mengibarkan atribut One Piece berdampingan dengan Merah Putih. Itu tanda bahwa protes ini bukan anti-negara, melainkan panggilan agar negara kembali pada akal sehat keadilan.
Wiji Thukul pernah mengingatkan, “Bila rakyat tidak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat. Bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.” Keluhan warga Pati adalah alarm. Ki Hadjar Dewantara pun memberi panduan sederhana: di depan memberi teladan (transparansi), di tengah membangun semangat (edukasi pajak yang masuk akal), di belakang memberi dorongan (mekanisme keberatan yang berpihak).
Pati mengajarkan bahwa akar sejarah Samin dan bahasa populer global bisa bertemu dalam satu gerak. Dari sawah hingga linimasa, dari ikon lokal hingga tokoh anime, keresahan bisa berubah menjadi simbol dan barisan.
Di layar animasi, Luffy selalu menang. Di dunia nyata, kemenangan hanya lahir bila negara berani merawat keadilan, transparansi, dan kepercayaan. Seperti kata Luffy, “Power isn’t determined by your size, but by the size of your heart and dreams.” Bukankah rakyat Pati membuktikan: kalau pemerintah tak adil, rakyat akan obah ‘bergerak’ agar bisa mamah ‘makan’?
—–
*Dwi Sutarjantono, pengamat budaya populer; Sekretaris Umum Satupena DKI; lahir di Pati.