Puisi-puisi Emi Suy
DOA YANG DILIPATKAN DI SAJADAH IBU
ibuku tak pernah menghafal doa panjang
tapi ia tahu persis
kapan harus mengucap “ya Allah”
dan kapan diam adalah bentuk paling khusyuk dari pengharapan
sajadahnya bukan yang mahal
tapi penuh lipatan waktu
yang mengering bersama air mata
sambil menunggu kepastian dari langit
ia tak pandai bicara tentang surga
tapi ia tahu rasa lapar anak-anaknya
dan memasaknya menjadi iman
Jakarta, 2025
WAKTU YANG DISETRIKA IBU
waktu tidak pernah cukup di tangan ibu
tapi ia tetap menyetrika pagi dengan sabar
melipat letih menjadi pakaian sekolah
menggantungkan doa di jemuran
ibuku tak suka jam dinding
tapi ia hafal detik-detik rewelku
detik-detik ketika hidup hampir jatuh dari rak dapur
setrika tuanya bukan sekadar alat
itu adalah doa dalam bentuk panas
yang meluruskan kerah kemeja
juga degup cemas di dadanya
Jakarta, 2025
MENCUCI KAKI IBU
aku mencuci kaki ibu
dengan air yang dulu ia timba dari sumur
kulitnya retak, kukunya menghitam
ada sabda yang mengering di sela-sela jari
bukan air yang membersihkan
tapi getar di dalam dada
ketika telapak itu terasa lebih tua dari bumi
lebih hangat dari surga
aku tahu, sejak saat itu
jalan menuju Tuhan
bisa kutemukan
di langkah-langkahnya
Jakarta, 2025
KETIKA AKU TAK LAGI BISA MENANGIS DI SUJUDKU
aku pernah sujud
bukan karena cinta
tapi karena takut kehilangan
doa yang tak berani kusebut
karena tahu: aku terlalu penuh dunia
aku pernah berwudhu
tapi yang kubasuh hanya kulit
bukan gelisah
yang tak pernah kering
di balik pori-pori
aku membaca Al-Fatihah
seperti membaca peta
yang kutahu menuju Tuhan
tapi langkahku lebih akrab
dengan arah yang menyimpang
lalu suatu malam,
ketika hujan turun pelan
dan listrik padam
aku sujud dalam gelap
dan untuk pertama kalinya
aku menangis
bukan karena minta apa-apa
tapi karena akhirnya
aku tahu:
aku tak pernah benar-benar mengenal-Nya
Jakarta, 2025
YANG DISIMPAN DI DASAR DULANG
ibu menanak bukan sekadar nasi
ia menanak sabar
dalam kukusan yang berlapis doa
aroma wangi bukan cuma dari pandan
tapi dari ketulusan yang tak sempat
disuarakan
setiap pagi,
ibu menyendokkan cinta ke piring kami
tanpa berkata apa-apa
karena cintanya tidak butuh tepuk tangan
cukup kenyang di perut kami
Jakarta, 2025
SUMUR YANG TAK PERNAH KOSONG
sumur di belakang rumah
adalah ibu
selalu memberi
meski tubuhnya kian cekung
kulit tangannya keriput
tapi airnya tetap bening
bahkan ketika musim kemarau
mengubah sawah jadi retakan doa
ia mengangkat timba seperti
mengangkat nasib kami dari gelap
memikulnya ke dapur
mengubahnya jadi hidup
Jakarta, 2025
LANGIT DI KEPALA IBU
setiap kali aku menunduk
aku melihat langit di kepala ibu
bukan langit biru
tapi langit yang kadang kelabu
tapi tetap menurunkan hujan
langit itu penuh guratan
bukan awan
tapi kerut wajah yang menyimpan waktu
aku berteduh di bawahnya
bahkan ketika rumah kami
hanya berdinding angin dan genteng bocor
Jakarta, 2025
TANGAN YANG TAK PERNAH MINTA BALAS
tangan ibu
tidak halus
tapi tak pernah lelah
menyendok nasi
menyeka air mata
mengangkat beban yang tak pernah kami lihat
ia tak pernah berkata
“aku lelah”
tapi aku tahu
ada letih yang ia lipat
bersama kain cucian
aku ingin mencium tangannya
setiap selesai shalat
karena di sana
ada doa yang tak pernah selesai
Jakarta, 2025
ANAK YANG TAK SELALU PULANG
aku adalah anak
yang tak selalu pulang
kadang lupa jalan
kadang terlalu sibuk
kadang pura-pura kuat
ibu tidak pernah bertanya “kenapa?”
hanya menyiapkan piring tambahan
dan memanaskan sisa sayur kemarin
seolah waktu tak pernah basi
dalam cinta
aku pulang bukan untuk minta maaf
tapi untuk mendengar lagi suara
yang bisa menyembuhkan semua luka:
“sudah makan?”
Jakarta, 2025
YANG DITANAM IBU BUKAN CABAI SAJA
ibu menanam cabai
di kebun sempit belakang rumah
tapi yang tumbuh bukan hanya rasa pedas
juga sabar yang mengakar
ia tak pernah menghitung hasil panen
tapi tahu persis berapa uang yang dibutuhkan
untuk beli buku sekolah
setiap biji yang tumbuh
adalah harapan
bahwa hidup bisa terus ditanam
meski tanahnya tak selalu subur
Jakarta, 2025
YANG KUDENGAR DARI NAFAS IBU
tak ada suara
yang lebih tulus dari nafas ibu
yang terengah
sambil memanggul air
dari sungai
di subuh yang menggigil
doa bukan dari kitab
tapi dari dengus lelah
yang tak pernah sempat disusun jadi kalimat
amun kuyakin
sampai ke Tuhan
lebih cepat
dari bacaan para pendosa yang fasih
di ujung langkahnya
kupelajari iman
yang tak butuh ceramah
cukup telapak kaki retak
dan tangan yang tak pernah kosong
mengantar hidup ke pintu dapur
aku tak hafal banyak doa
tapi aku masih mengingat
bagaimana ibu menutup matanya
setiap selesai menanak nasi
seolah setiap butir
adalah dzikir
yang tak sempat ditulis malaikat
Jakarta, 2025
—–
Emi Suy adalah nama pena dari Emi Suyanti, lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979. Ia dikenal konsisten menyuarakan spiritualitas, luka, dan keperempuanan melalui puisi-puisinya yang lirih dan reflektif untuk menjadi pembelajaran bersama. Nama Emi Suy tercatat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018), serta Apa Siapa Perempuan Pengarang Indonesia (Kosa Kata Kita, 2024).
Karya-karyanya antara lain: Tirakat Padam Api ( kumpulan puisi, 2011), Alarm Sunyi (kumpulan puisi, 2017), Ayat Sunyi (kumpulan puisi, 2018), Api Sunyi (kumpulan puisi, 2020), Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (kumpulan puisi, 2022), Interval (kumpulan esai, 2023), dan Algoritma Kesunyian (kumpulan puisi bersama Riri Satria, 2023). Puisinya hadir di berbagai media ternama nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Pikiran Rakyat, serta lebih dari 200 antologi bersama penyair Indonesia lainnya.
Ia juga menekuni fotografi dan seni rupa. Karyanya terpilih dalam The Power of Woman (Bandung, 2016) dan Kecil Itu Keren (KIK) 2025 bersama 500 perupa dari 13 negara. Dalam bidang literasi, Emi menerima penghargaan Buku Puisi Terbaik dari Perpustakaan Nasional RI (2019), Basa-Basi Award (2019), dan Nominasi Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi (2020).
Ia kerap tampil membaca puisi di berbagai forum sastra nasional dan internasional, seperti Pertemuan Penyair Nusantara XII (Kudus), Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (Tanjung Pinang), dan Temu Penyair Asia Tenggara II (Padangpanjang).
Selain bersastra, Emi aktif sebagai pendiri Komunitas Jejak Langkah, ikut serta mendirika Jagat Sastra Milenia (JSM). Saat ini, Emi Suy bergiat di komunitas Kosakata Jakarta Barat.