Konser Musik Franki Raden & INO di Eropa 2025: Memosisikan Jalan Kebudayaan
Oleh Azuzan JG
Dibawah guyuran hujan ratusan penonton itu masih bertahan.
Mereka terpesona oleh suguhan komposisi musik Franki Raden dan Indonesian National Orchestra (INO). Nomer demi nomer yang disajikan INO melalui puluhan alat-alat musik tradisional Indonesia itu membuat mereka tidak beranjak ke pertunjukan seni lainnya. Peristiwa ini terjadi sore hari 6 Juli 2025 di Roots Festival.
Festival musik tahunan itu digelar di Ooster Park, taman asri di kota Amsterdam. Di ruang publik seluas 12 hektar itu digelar berbagai konser musik dan atraksi kesenian dari berbagai negara. Acaranya cukup padat, nyaris berhimpitan. Penontonnya tersebar di depan panggung-panggung terbuka dan gerai-gerai makanan yang tersebar di ajang festival itu.
Satu jam sesudah konser di panggung utama, Franki Raden dan INO masih mengadakan workshop di panggung kecil, berjarak sekitar 200 meter dari panggung utama. Pada awal workshopnya, penontonnya hanya beberapa. Hujan belum reda. Banyak pengunjung festival berteduh di bawah tenda gerai-gerai makanan di sudut-sudut taman. Disana mereka masih bisa menikmati suara musik dari panggung di seberangnya sambil menyantap ayam panggang Jamaica atau sekedar minum kopi mix arabica sembari saling bercerita.

Suasana area Roots Festival di Ooster Park, Amsterdam . (Foto: Penulis)
Ini situasi tak terduga
Begitu lengkingan terompet pencak ditingkahi tetabuhan kendang Sunda dan Taganing Batak mulai dimainkan sebagai pembuka workshop, ratusan pengunjung yang tersebar di gerai-gerai makanan itu bergegas berdatangan. Bebunyian alat-alat musik tradisional itu seperti magnet kuat yang mengalahkan rintik hujan. Dalam sekejap ratusan orang berpayung sudah berkerumun di sekeliling panggung kecil tempat INO memainkan musiknya.
Dalam program workshop itu, selain mengajak penontonnya ikut memainkan berbagai alat-alat musik tradisional Indonesia, Franki menginformasikan tentang asal-usul alat-alat musik tradisional yang mereka mainkan.
“Kendang ini dari Sunda, Jawa Barat. Taganing itu dari Tanah Batak, Sumatera Utara, sedangkan Hadrah ini dari Betawi, Jakarta. Disana ada Gong dari Bali dan Jawa. Dan kidung yang tadi dinyanyikan oleh Satya itu dari Bali,“ ujar Franki menjelaskan kepada penontonnya.
“Saya pernah ke Bali…Oh ya, saya pernah ke Sumatera… Saya punya saudara disana, “demikian antara lain gumam yang terdengar diantara pengunjung workshop itu. Suasana workshop mencair. Selesai workshop mereka kemudian saling menyapa meski warna kulit mereka berbeda.
Ketertarikan penonton pada konser dan juga workshop musik yang digelar Franki Raden dan INO di berbagai negara itu, tidak cuma karena ramuan komposisi musiknya. Franki Raden dan INO membuka komunikasi kepada penontonnya, menceritakan sambil sesekali memainkan alat-alat musik tradisional yang mereka bawa. Informasi itu menjadi hidup karenanya. Hal serupa mereka lakukan juga di sela-sela pentas mereka di Bimhuis dan tempat-tempat lainnya.

Suasana workshop musik yang digelar Franki Raden dan INO. (Foto: Penulis)
Dua minggu sebelum pentas di Roots Festival itu, INO menggelar serangkaian konsernya di Bimhuis Amsterdam dan kemudian di Portugal. Di tahun-tahun sebelumnya mereka menggelar konsernya di Polandia, Jerman dan Belanda. Kita bisa bisa baca resensi pertunjukan mereka, sambutan penontonnya di berbagai negara di Eropa itu hampir sama. Selesai konser penontonnya spontan berdiri dan bertepuk tangan berlama-lama.
Itu adalah standing ovation, tradisi penonton di negeri barat, sebuah penghargaan atas pertunjukan seni yang mereka saksikan. Bila suatu pertunjukan itu membosankan, tepuk tangan mereka hanya sesekali lalu mereka bergegas meninggalkan auditorium sambil menggerutu.
Standing ovation itu dialami Franki Raden dan INO berkali-kali. Tidak jarang terjadi, penontonnya meminta INO memainkan nomer tambahan, seperti terjadi 20 Juni lalu di Bimhuis Amsterdam. Ya, sebelum main di Roots Festival, mereka main di Bimhuis dan kemudian 23 Juni di Portugal. Itu serangkaian konser mereka yang sudah terjadwal tahun ini di Eropa.

Standing ovation setelah pertunjukan kelompok musik Franki Raden bersama Indonesian National Orchestra (INO). (Foto: Penulis)
Tentang Bimhuis, ini adalah gedung pertunjukan di pusat kota Amsterdam. Tidak sembarang pemusik boleh main disana. Bimhuis konsisten mengemban misi seperti terbaca di situsnya: menjanjikan “seni mendengar” bagi penontonnya. Franki Raden dan INO diundang langsung oleh pengelola Bimhuis setelah mereka menyaksikan konser INO di teater Amere Den Haag setahun sebelumnya (2024).
Satu hal penting perlu dicatat, Franki baru bisa memastikan kedatangan INO sebulan sebelum konser digelar. Keterlambatan konfirmasi kedatangan itu sehubungan hambatan pengurusan visa. “Sempat ngeri-ngeri sedap juga,” ungkap Franki. Maka jadilah, pemberitahuan konser INO baru dicantumkan di situs Bimhuis sebulan sebelum konser INO diselenggarakan. Itu sebenarnya tidak lumrah. Biasanya, program pertunjukan di Bimhuis sudah tercantum di situsnya 6 bulan sebelumnya. Meski demikian, gedung konser Bimhuis berkapasitas 400 penonton malam itu hampir terisi penuh. Konser musik apa pun di Bimhuis telah dipercaya publiknya, sesuai misi yang telah menjadi brand nya.
“Nusantara Concerto, ini adalah persembahan terakhir dari kami malam ini,” ujar Franki memberitahu penontonnya. Seusai konser di Bimhuis malam itu Franki dan INO harus bergegas ke Schiphol. Mereka sudah ditunggu di Portugal untuk persiapan konser mereka berikutnya. Tapi lagi-lagi seusai nomer terakhir itu penontonnya tidak segera beranjak. Mereka bertepuk tangan berlama-lama. Franki agaknya membaca situasi ini. “Baiklah, ini adalah Rentak 106, nomer tambahan dari kami. Anda semua boleh ikut menari,” ujar Franki.

Pertunjukan musik kelompok musik Franki Raden dan INO. (Foto: penulis)
Sambutan publik di Eropa terhadap konser musik Franki dan INO ini menggugah Paguyuban Budaya Fusion Arts, organisasi kesenian diaspora Indonesia di Belanda. Mereka meminta kesediaan Franki dan INO untuk mengadakan workshop musik di IHA, Indonesia House Amsterdam. Tawaran mengadakan workshop ini diterima Franki dengan senang hati. Di kesempatan workshop 4 Juli itu Franki memaparkan rahasia komposisi musiknya:
“Musik bagi saya adalah enerji. Alat-alat musik tradisional itu adalah The Bank of Energy. Mungkin penontonnya menangkap enerji non fisik yang muncul dari bunyi-bunyian alat-alat musik kita itu. Enerji spiritual itu akan muncul bila kita tahu kuncinya,“ jelas Franki.
Selanjutnya ia memaparkan bahwa alat-alat musik tradisional itu tidak serta merta ada. Leluhur kita dulu susah payah membuatnya. Dalam proses membuat alat-alat musik itu leluhur kita melakukan berbagai ritual seperti berpuasa, semedi, dan sebagainya. “Getaran enerji itu akan muncul dari alat-alat musik itu bila kita menjalani esensi ritual sebagaimana dilakukan si pembuatnya. Ini adalah kuncinya,” ungkapnya yakin.

Franki Raden (Foto: penulis)
Penjelasan yang sama konsisten disampaikannya dalam berbagai workshop, di sela-sela pentas, dan dalam berbagai wawancara.
Dalam komposisi musiknya, selain menggunakan berbagai alat musik tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia, Franki menambahkan alat musik Didgeridoo, Bass dan Gitar elektrik.
Didgeridoo? Bukankah alat musik ini merupakan alat musik tiup suku Aborigin dari Australia? Dan Gitar dan Bass elektrik, bukankah itu alat-alat musik yang biasa dipakai dalam musik industri barat? Hal ini sempat menjadi pertanyaan banyak orang.
“Kita butuh lower range, nada rendah khas didgeridoo. Sedangkan gitar dan bass elektrik itu kita butuh power nya ketika kita main di panggung-panggung terbuka. Ini untuk kebutuhan komposisi. Alat-alat musik tradisional kita seperti rebab, serunai, kecapi, itu lebih tepat dimainkan di tempat pertunjukan tertutup. Selain itu, pemilihan berbagai alat-alat musik itu juga dimaksudkan untuk terjadinya dialog nonverbal antar budaya,” jelas etnomusikolog lulusan Universitas Wisconsin- Madison USA 2001 ini.

Desmal Hendri memainkan alat musik didgeridoo dalam pertunjukan musik Franki Raden dan INO. (Foto: penulis)
Dialog nonverbal antar budaya dan dimensi sipiritual dalam komposisi musik Franki dan INO ini mencuat jelas dalam nomer NFN Arabica yang mereka mainkan di Bimhuis. Di nomer itu salah seorang pemain Hadrah Betawi melantunkan sebuah nyanyian sufi dari jazirah Arab. Syair itu ditulis Rabiyah Al Adawiyah, seorang sufi wanita Irak dari abad 8. Syair itu berisi pujian terhadap sang Khalik, dilantunkan dengan irama pembacaan kitab suci. Suara berbagai alat-alat musik dibunyikan perlahan dan mengalir. Samar-samar diantara syair itu, terdengar kidung Bali yang dilantunkan Satya. Suasana Bimhuis malam itu terasa khidmat.

Satya melantun kidung Bali diringi alat musik Hadrah Betawi. (Foto: Penulis)
Melalui dimensi spiritual dalam bermusik itu, para pemain INO merasa seperti terhubungkan satu sama lainnya. Ini berbeda dengan metode bermusik dengan memakai partitur ketat dalam tradisi bermusik ala barat.
“Kami sama-sama bisa merasa kapan tempo musiknya dicepatkan, dihentak, atau dilambatkan,” ungkap Hendri Kurnia pemain Hadrah Betawi.
“Sewaktu bermain, kami merasa seperti nyambung,” kata Desmal Hendri menimpali. Pria Minang ini memainkan serunai, Taganing Batak dan Didgeridoo.
Sepanjang pertunjukan INO di Bimhuis, dan di berbagai tempat lainnya, berbagai alat-alat musik yang mereka mainkan itu jalin menjalin seperti berdialog satu sama lainnya. Kendang Sunda bersahut-sahutan dengan Taganing Batak. Di saat tertentu Hadrah Betawi dibunyikan menghentak, lalu tempo musik berobah disambut gesekan rebab yang bersambung dengan suara rendah Didgeridoo. Pada saat terompet pencak Sunda menggema, gitar elektrik dengan efek bunyi seperti terompet menyambutnya.
Melalui dialog nonverbal dalam bermusik itu, mereka seperti ingin menyampaikan pesan ke semua orang, bahwa berbagai kebudayaan itu meski berbeda tetapi bisa saling berhubungan, menjalin kebersamaan dalam mencapai sebuah tujuan.
Pentas musik INO di berbagai negara adalah salah satu model yang bagus bila Indonesia sebagai negara mau menjadikan kebudayaan sebagai peretas jalan dari berbagai kebuntuan di berbagai bidang yang tengah dialaminya.
Sebagai ilustrasi berulang, Korsel pernah mengalami kebangkrutan ekonomi di tahun 1977. Setelah melihat bidang-bidang politik, hukum, ekonomi, macet, mereka memilih jalan pemajuan kebudayaan sebagai jalan keluarnya. Upaya pemajuan kebudayaan itu dilakukan pemerintahnya puluhan tahun tanpa henti.
Kita bisa lihat jelas, langkah pemajuan kebudayaan mereka itu kemudian berbuah efek luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi negaranya. Tahun 2000-an awal, berbagai produk automotif dan elektronika Korsel masih ditertawakan orang di Eropa. “Bila ada 10 mobil yang mogok di jalan, 8 diantaranya bisa dipastikan itu buatan Korea,” demikian olok-olok masyarakat Eropa saat itu terhadap produk Korsel. Olok-olok itu muncul di berbagai stand-up comedy dan di kafe-kafe.
Sekarang, seiring mencuatnya berbagai kesenian-kesenian mereka di pentas seni berbagai belahan dunia, kepercayaan diri bangsa itu tumbuh. Produk-produk automotif dan elektronika dari negeri mereka bersandingan dengan berbagai produk buatan Eropa.
Kesungguhan mereka dalam memelihara jalan kebudayaan itu juga tampak di Roots Festival itu. Sekelompok pemusik dari Korsel muncul di panggung utama. Dalam rombongan mereka ada 3 sound engineer dari negara mereka yang ikut mengoperasikan soundsystemnya.
“Kalian menginap di hotel mana?” tanya salah seorang dari mereka.
Pertanyaan sederhana itu mereka lontarkan bersahaja. Mereka mungkin mengira, kaum seniman lumrah diperlakukan sangat baik oleh negaranya. Tetapi itu jadi miris bagi rombongan kesenian dari negara lainnya. Selama berpentas di Eropa, Franki Raden dan INO pontang-panting mencari penginapan murah dan tempat-tempat penginapan alternatif di rumah-rumah warga Indonesia yang ada di Eropa. Nasib serupa kerap dialami seniman-seniman Indonesia lainnya bila mereka mendapat undangan mentas di berbagai negara.
Itu seharusnya tidak terjadi
Langkah pemajuan kebudayaan yang berdampak positip pada bidang ekonomi itu juga bisa kita lihat di Turki. Seiiring meningkatnya peminat kesenian Turki di Eropa, produk elektronik dari negara itu mulai dipercaya konsumen di berbagai negara. Mesin cuci, kulkas, pemanas dan pendingin ruangan, dan macam-macam produk elektronik bermerk Beko dari Turki bersandingan dengan apa yang orang Eropa sebut “A” merk, untuk menyebut produk elektronik kelas atas.
Indonesia menyimpan harta karun tak terhingga di bidang kebudayaan. Tetapi itu tidak bisa didulang seperti mengeksploitasi tambang. Dilakukan hari ini, hasilnya dinikmati seketika, lalu meninggalkan kerusakan dalam waktu lama pada bumi dan penghuninya.
Pemajuan kebudayaan adalah upaya intensif yang terfokus pada pemajuan kualitas manusia-manusianya, dan dilakukan tidak untuk pemanis seketika. Seketika dijadikan pemanis dalam seremonial, lalu setelahnya ditelantarkan seperti lahan tambang yang habis dikeruk.
Bidang kebudayaan bersentuhan dengan inovasi dan kreatifitas. Kebuntuan di berbagai bidang kehidupan itu antara lain karena jalan kebudayaannya tidak terpelihara. Berbagai produk bernilai ekonomi itu pada akhirnya berhubungan dengan manusianya. Manusia adalah makhluk berbudaya.
Valado dos Frades, Portugal 17 Juli 2025
*Azuzan JG, alumni teater IKJ, pemerhati seni pertunjukan. Bermukim di Arnhem, Nederland.