Dari Surat ke Gerakan: Membaca Gereja sebagai Ruang Kehidupan Baru

 Oleh Mike Hapsari 

Ada masa di mana rumah-rumah ibadah dipenuhi suara-suara syahdu yang membawa manusia mendekat pada keheningan batinnya. Ada masa di mana doa tidak hanya bergema di ruang-ruang sakral, tetapi juga di ruang-ruang dalam dada manusia. Namun zaman bergerak, dunia berubah. Bangku-bangku gereja yang dahulu penuh, kini sering hanya menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Di tengah perubahan itu, saya memilih untuk membaca ulang fungsi sebuah gereja. Saya bertanya pada diri sendiri: bisakah kita menghidupkan kembali rumah spiritual ini, bukan lewat ritual formal, melainkan lewat pengalaman berbagi yang paling manusiawi — berbagi rahasia dan kepercayaan? 

Dari pertanyaan itulah “Gereja Muda” lahir. Ia bukan hanya sekadar karya seni. Ia adalah doa yang lahir dari tubuh manusia, dari napas yang ingin berbicara jujur, dari jiwa-jiwa yang rindu untuk kembali mempercayai dunia. 

Melacak Jejak: Dari Surat ke Gerakan Tubuh 

Perjalanan Gereja Muda dimulai dari praktik panjang selama tiga tahun. Saya mengadakan pertunjukan-pertunjukan berbasis instruksi, di mana para partisipan — mereka yang datang sebagai penonton — diberi ruang untuk menulis. Surat-surat itu adalah doa yang tak selalu bernama Tuhan, melainkan panggilan jiwa: tentang luka, tentang cinta yang hilang, tentang rindu yang tak sempat dikatakan, tentang rahasia yang dipendam terlalu lama. Setiap surat, setiap catatan itu, saya baca kembali. Saya biarkan mereka berbicara dalam diri ini. Saya biarkan tubuh ini bereaksi, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan gerak. 

Tubuh menjadi tempat rahasia itu menemukan bentuknya — kadang menjadi gemetar halus, kadang menjadi tarikan napas panjang, kadang menjadi gerakan lambat seolah dunia menahan beban yang tak kasat mata. Metode penciptaan ini bukan hanya tentang artistik. Ini adalah penyerahan. Penyerahan pada sesuatu yang lebih besar dari ego seorang seniman.Penyerahan ini merujuk pada pengalaman manusia yang begitu dalam, begitu rentan, namun juga begitu kuat. 

Membaca Ulang Gereja: Rumah Rahasia 

Gereja, bagi banyak manusia, adalah rumah rahasia. Sebuah ruang tempat manusia datang dengan segala kelelahan hidupnya, duduk dalam diam, menangis dalam keheningan, mengadukan rahasia yang mungkin tak pernah bisa ia ungkapkan di tempat lain. Saya teringat ketika saya berada di Italia, dalam perjalanan sunyi ke Gereja ‘Francesco di Paolo’ di Venesia. Hanya saya sendiri dan seorang perempuan muda tidak saya kenal, beserta seorang imam tua yang memimpin ibadah pagi itu. Ruang itu terasa kosong, namun penuh dengan sesuatu yang tidak tahu itu apa. Penuh dengan perasaan yang tak bisa dilihat mata. Rasa kehilangan, kesetiaan, dan keberanian untuk tetap berharap, meski dunia di luar berlari tanpa peduli. 

Pengalaman itu melekat di tubuh ini, mengalir ke dalam Gereja Muda. Saya ingin menghidupkan ruang di mana rahasia bukan untuk disimpan dalam ketakutan, tapi diberikan dengan bebas, diterima dengan penuh hormat, dan ditransformasikan menjadi energi untuk hidup kembali. 

Tubuh Sebagai Altar Baru 

Dalam Gereja Muda, tubuh-tubuh kami — saya dan para penari — bukanlah objek tontonan. Mereka adalah altar baru, tempat rahasia dipersembahkan. Kami semua, bersama penonton, duduk menghadap ke satu arah. Tidak ada jarak antara kami. Kami bukan panggung dan penonton. Kami adalah komunitas — sebuah jemaat yang dibangun bukan oleh dogma, melainkan oleh keberanian untuk mempercayai. Gerakan tubuh dalam karya ini terlahir dari kejujuran. Bukan dari koreografi yang dirancang rapi, tetapi dari reaksi spontan terhadap surat-surat kehidupan yang kami terima. Setiap gerakan adalah doa. Setiap gerakan adalah pengakuan. Setiap gerakan adalah penerimaan. 

Saya teringat kata-kata Lacan: “Subjektivitas manusia terbentuk bukan hanya dari dirinya sendiri, tapi dari cermin dunia yang dihadapi.” Di dalam Gereja Muda, kami semua saling menjadi cermin: saling memantulkan luka, harapan, dan keyakinan bahwa dalam berbagi, manusia menemukan dirinya kembali. 

Spiritualitas yang Bertumbuh dari Bawah 

Banyak orang berbicara tentang kematian spiritualitas di kalangan muda. Saya melihatnya berbeda. Saya percaya bahwa spiritualitas kaum muda bukan mati, tapi mencari bentuk baru. Mereka tidak menolak kepercayaan. Mereka mungkin menolak keterpaksaan. Mereka mencari ruang di mana mereka bisa menjadi diri sendiri — lengkap dengan segala keraguan, rasa bersalah, ketakutan, dan kerinduan mereka. Gereja Muda menawarkan ruang itu. Ruang di mana berbagi rahasia adalah bentuk dari sebuah ibadah. Ruang di mana mendengarkan adalah bentuk tertinggi dari cinta. Ruang di mana setiap gerakan tubuh adalah tanda bahwa kita masih berjuang untuk percaya. Di ruang itu, spiritualitas bukan soal hafalan. Ia adalah soal kehadiran. Kehadiran yang penuh empati, kehadiran yang mengakui manusia apa adanya — rapuh, indah, dan penuh potensi untuk tumbuh. 

Liturgi Kehidupan: Doa yang Tak Terucapkan 

Karya Gereja Muda mengadopsi struktur misa Katolik: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Penutup. Saya berusaha menafsirkan dimana struktur itu bukan tentang bacaan formal, melainkan tentang perjalanan emosional manusia. 

● Pembukaan: saat manusia memasuki ruang kepercayaan, membawa serta rahasia mereka. 

● Liturgi Sabda: saat manusia mulai berbagi, membiarkan kata-kata atau gerakan tubuh mereka mengalir. 

● Liturgi Ekaristi: saat manusia mempersembahkan dirinya — seluruh luka, harapan, dan cintanya — untuk diterima. 

● Penutup: saat manusia kembali ke dunia, membawa berkah dari keberanian yang baru saja mereka temukan. 

Dalam setiap tahapan itu, saya melihat tubuh menjadi kitab suci yang hidup. Sunyi menjadi nyanyian yang terdengar lebih jujur daripada segala paduan suara. Air mata menjadi air baptisan yang paling murni. Dan dalam sunyi itu, saya tahu: iman belum mati namun, iman hanya menunggu untuk ditemukan kembali. 

Gereja Sebagai Tempat Menjadi 

Saya percaya bahwa seni — dan khususnya karya Gereja Muda — menjadi tempat di mana manusia dapat menjadi. Bukan menjadi sempurna, bukan menjadi lebih dari yang lain, tetapi menjadi manusia dalam seluruh ketidaksempurnaan dan kejujuran mereka. Setiap rahasia yang dibagikan dalam Gereja Muda bukanlah beban yang mempermalukan. Mereka adalah batu bata yang membangun rumah baru — rumah spiritual di mana manusia bisa kembali beristirahat dari dunia yang kejam. Dan saya percaya dimana setiap manusia, dalam hatinya yang terdalam, mencari rumah itu. Rumah yang tidak menuntut, tidak menghakimi, tidak menuntut kesempurnaan. Rumah yang hanya berkata, “Aku mendengarmu. Aku menerimamu.” Di zaman ini, kita mungkin tidak membutuhkan lebih banyak kata-kata. Kita membutuhkan lebih banyak ruang, ruang untuk diam, ruang untuk berbagi, pun ruang untuk mempercayai. Gereja Muda bukan jawaban. Namun karya tersebut adalah undangan. Undangan untuk kembali percaya — kepada sesama, kepada diri sendiri, kepada kehidupan yang meski luka, tetap indah untuk dijalani. Dan mungkin, dalam setiap gerakan tubuh, dalam setiap rahasia yang dibagikan, dalam setiap keheningan yang kita rayakan bersama, kita sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar karya seni. 

Kita sedang membangun kembali iman — iman pada kemanusiaan itu sendiri. Karena pada akhirnya, spiritualitas sejati bukan tentang aturan. Ia tentang keberanian untuk mencintai, meski dunia sering mengajarkan kita sebaliknya. 

*Mike Hapsari bergabung dengan Studio Plesungan Dalam program tari & performance art. Dan peserta Ruang-Antara, program menuliskan ingatan dan pengalaman.