Puisi-puisi Djoko Saryono
RIWAYAT REMPAH
/1/
“Kamilah yang menyemaikan hasrat paling memabukkan kesadaran orang-orang di jagat raya: lantas mereka menumbuhkan dera di sepanjang pematang cerita hidup manusia!” ujar rempah-rempah bersama. Kepada tiap telinga semesta. Seluruh Eropa pun tegang, mata batin nyalang, saraf membangunkan gelinjang, dan orgasme lidah menghabiskan nafas orang-orang.
Telinga dan kepala memasang antena, lalu menyadap percakapan hangat rempah di kebun-kebun ternama. Maka Vasco da Gama, si Portugis bengal pemberani itu, menyusuri tempat-tempat asing yang tak terbayang di kepala orang kampung halamannya. Menjejak India dan Maluku yang tercinta, tanah surgawi hidup sejak moyang kita. Lantas Maggelan, si Spanyol yang bernyali itu, berjalan-jalan begitu jauh mengikuti mata angin Timur, melewati daratan dan lautan yang dijaga keasingan, hingga terdampar di nusantara. Seperti tak sudi hilang muka, Belanda pun bergegas menyusul Spanyol dan Portugis menapaki Maluku yang elok tak bertara.
Maka kolonialisme pun bermula: syahwat eksploatasi bengis lambat laun bekerja. Bertahun-tahun, berabad-abad tak ada lelahnya. Sampai kini tak beda: kendati zaman tak sama. Pohon-pohon rempah bertumbangan, eksploatasi baru tumbuh bermekaran. Daun dan bunga rempah mengering, penghisapan makin tajam taring. Kapal-kapal Spanyol, Portugis, dan Belanda tak lagi hilir mudik, petani-petani rempah tetap gemetar dihajar hardik.
/2/
Seolah dalam tarikh rekah fajar abad ketujuh belas Masehi. Dari puncak indah Benteng Tahula Tidore, ya Santiago de los Caballeros de Tidore dalam lidah Spanyol yang asing, berlagak seorang Juan de Esquivel, si gubernur jenderal Spanyol yang pemberani itu, aku berseru-seru di antara hantaman deru angin laut dan jernih air selat yang mengabarkan kerapu kehilangan karang:
Kalianlah rempah-rempah kepulauan Maluku yang menyedapkan hari-hari bersama: mengalirkan pikat rasa yang menggairahkan julur lidah-lidah percintaan kita. Liur-liur asmara setia menetes di telapak kaki rindu, tempat kita rajin meracik bumbu-bumbu cinta hidup yang tak pernah usai agar hasrat bertahan dalam gelora kendati kita dilahap masa.
Desis nikmat rasa rempah yang tersesap oleh saraf-sarafku mengabarkan betapa kalian memang rempah tiada dua: membikin banyak orang dari negeri asing berlayar melintasi lautan bergelora yang menyimpan gentar kesepian, menyeberangi selat-selat berbahaya untuk menginjak Banda. Para pelaut ternama terhisap aroma rempah menuju Banda.
Dan aku pelaut rindu yang tiba lebih dahulu, lalu memanen rempah Maluku yang masyhur sedari dulu, menghidu aroma dan mencecap habis tak sudah aneka rempah Banda. Kalianlah rempah-rempah Maluku itu: maka aku mengudap selalu demi kesedapan menu rindu yang kusajikan di pinggan kehidupan bersamaku.
/3/
Memandangi pohon-pohon rempah di sebaran ribuan pulau adalah bertualang menjelajahi syahwat birahi dagang yang menakik dalam luka demi luka di setiap dada: dada kita tentu saja. Hampar kebun pala, kapulaga, kemenyan, dan dupa cuma menyisakan tilas kepedihan dan kemelaratan di bawah bayang acung senjata. Kapal-kapal berlayar hanya menampakkan rasa kehilangan berkah dan kekayaan yang mesti diterima.
Memandangi berjuta bunga rempah di taburan ribuan pulau adalah menghitung barisan serdadu yang mengawal hasrat menguasai hidup dan nasib kita. Bunga cengkeh, lada, dan kapulaga yang menua melukis layu nasib dan menyisakan guguran harapan yang dipiara. Alur panjang laut yang begitu sibuk menampilkan sejarah panjang penderitaan yang tak terbaca.
Memandangi buah-buah rempah di tebaran pulau adalah berjuang membaca sejarah penguasaan pelbagai bangsa atas bangsa yang dibungkus gula-gula sepat di lidah kita. Harum cengkeh, kemenyan, dan dupa yang semerbak melenakan menjadi jarum-jarum lancip tajam yang menusuk jiwa. Jalur perjalanan laut yang panjang membentang berbilang samudra adalah ular ganas berbisa kesedihan yang tak juga sirna.
Memandangi rempah-rempah di ladang-ladang terbuka adalah usaha mencerna cerita-berbingkai khianat kita atas berkah yang tersedia. Kita undang sihir benda-benda yang asing dan kita timang begitu lena. Kemiskinan dan kehancuran yang terserak bersama pohon-pohon rempah tak terawat telah luput dari kornea mata.
/4/
Kemanakah kini pergi rupa-rupa harum rempah, yang telah meneluh dunia: di mana-mana tercium sepah, yang hambar di lidah penghidupan kita. Kebun-kebun bunga lawang, talang, dan secang kini langka, yang terpandang tungkul-tungkul sisa kejayaan: para pekebun betapa lama didera hilang asa, yang saban waktu memeluk kusam penderitaan. Sebab kuat aroma beratus rempah malah mencacah batin, meninggalkan rajah ketakberdayaan: betapa aneka tipu-muslihat begitu licin, membusukkan bunga rempah jadi bacin sebelum bermekaran.
Lihatlah, angin dari kebun-kebun mengirimkan racun sepi, rimbun semak ikut menggenapi dengan kerat-kerat sunyi. Tak ada lagi kapal-kapal penjelajah berlayar lalu lalang dan sandar di dermaga, bandar-bandar terlihat ringkih menua dengan bercak kelam masa lalu begitu sempurna. Tak ada orang-orang asing hiruk-pikuk bersiasat ala tukang judi penuh muslihat, lalu para pribumi membungkuk-bungkuk menyerahkan rempah nikmat dengan pundi bikin melarat.
Oh… zaman telah berkelebat, suasana hati seperti khianat, yang dekat dihempaskan tanpa derajat, yang jauh disanjung sebagai tuan yang hebat. Oh…mata batin siapa telah hilang dari kedalaman nurani, yang kekayaan sendiri dibikin mati, yang imitasi didatangkan sebagai datu ekonomi. Oh…dunia berpusing kelebat tak henti, nasib pekebun rempah memfosil di dinding penderitaan kendati almanak berkali-kali diganti.
HASRAT
/1/
“Kamilah yang menyemaikan hasrat paling memabukkan kesadaran orang-orang di jagat raya: lantas mereka menumbuhkan dera di sepanjang pematang cerita hidup manusia!” ujar rempah-rempah bersama. Kepada tiap telinga semesta. Seluruh Eropa pun tegang, mata batin nyalang, saraf membangunkan gelinjang, dan orgasme lidah menghabiskan nafas orang-orang.
Telinga dan kepala memasang antena, lalu menyadap percakapan hangat rempah di kebun-kebun ternama. Maka Vasco da Gama, si Portugis bengal pemberani itu, menyusuri tempat-tempat asing yang tak terbayang di kepala orang kampung halamannya. Menjejak India dan Maluku yang tercinta, tanah surgawi hidup sejak moyang kita. Lantas Maggelan, si Spanyol yang bernyali itu, berjalan-jalan begitu jauh mengikuti mata angin Timur, melewati daratan dan lautan yang dijaga keasingan, hingga terdampar di nusantara. Seperti tak sudi hilang muka, Belanda pun bergegas menyusul Spanyol dan Portugis menapaki Maluku yang elok tak bertara.
Maka kolonialisme pun bermula: syahwat eksploatasi bengis lambat laun bekerja. Bertahun-tahun, berabad-abad tak ada lelahnya. Sampai kini tak beda: kendati zaman tak sama. Pohon-pohon rempah bertumbangan, eksploatasi baru tumbuh bermekaran. Daun dan bunga rempah mengering, penghisapan makin tajam taring. Kapal-kapal Spanyol, Portugis, dan Belanda tak lagi hilir mudik, petani-petani rempah tetap gemetar dihajar hardik.
/2/
Seolah dalam tarikh rekah fajar abad ketujuh belas Masehi. Dari puncak indah Benteng Tahula Tidore, ya Santiago de los Caballeros de Tidore dalam lidah Spanyol yang asing, berlagak seorang Juan de Esquivel, si gubernur jenderal Spanyol yang pemberani itu, aku berseru-seru di antara hantaman deru angin laut dan jernih air selat yang mengabarkan kerapu kehilangan karang:
Kalianlah rempah-rempah kepulauan Maluku yang menyedapkan hari-hari bersama: mengalirkan pikat rasa yang menggairahkan julur lidah-lidah percintaan kita. Liur-liur asmara setia menetes di telapak kaki rindu, tempat kita rajin meracik bumbu-bumbu cinta hidup yang tak pernah usai agar hasrat bertahan dalam gelora kendati kita dilahap masa.
Desis nikmat rasa rempah yang tersesap oleh saraf-sarafku mengabarkan betapa kalian memang rempah tiada dua: membikin banyak orang dari negeri asing berlayar melintasi lautan bergelora yang menyimpan gentar kesepian, menyeberangi selat-selat berbahaya untuk menginjak Banda. Para pelaut ternama terhisap aroma rempah menuju Banda.
Dan aku pelaut rindu yang tiba lebih dahulu, lalu memanen rempah Maluku yang masyhur sedari dulu, menghidu aroma dan mencecap habis tak sudah aneka rempah Banda. Kalianlah rempah-rempah Maluku itu: maka aku mengudap selalu demi kesedapan menu rindu yang kusajikan di pinggan kehidupan bersamaku.
/3/
Memandangi pohon-pohon rempah di sebaran ribuan pulau adalah bertualang menjelajahi syahwat birahi dagang yang menakik dalam luka demi luka di setiap dada: dada kita tentu saja. Hampar kebun pala, kapulaga, kemenyan, dan dupa cuma menyisakan tilas kepedihan dan kemelaratan di bawah bayang acung senjata. Kapal-kapal berlayar hanya menampakkan rasa kehilangan berkah dan kekayaan yang mesti diterima.
Memandangi berjuta bunga rempah di taburan ribuan pulau adalah menghitung barisan serdadu yang mengawal hasrat menguasai hidup dan nasib kita. Bunga cengkeh, lada, dan kapulaga yang menua melukis layu nasib dan menyisakan guguran harapan yang dipiara. Alur panjang laut yang begitu sibuk menampilkan sejarah panjang penderitaan yang tak terbaca.
Memandangi buah-buah rempah di tebaran pulau adalah berjuang membaca sejarah penguasaan pelbagai bangsa atas bangsa yang dibungkus gula-gula sepat di lidah kita. Harum cengkeh, kemenyan, dan dupa yang semerbak melenakan menjadi jarum-jarum lancip tajam yang menusuk jiwa. Jalur perjalanan laut yang panjang membentang berbilang samudra adalah ular ganas berbisa kesedihan yang tak juga sirna.
Memandangi rempah-rempah di ladang-ladang terbuka adalah usaha mencerna cerita-berbingkai khianat kita atas berkah yang tersedia. Kita undang sihir benda-benda yang asing dan kita timang begitu lena. Kemiskinan dan kehancuran yang terserak bersama pohon-pohon rempah tak terawat telah luput dari kornea mata.
/4/
Kemanakah kini pergi rupa-rupa harum rempah, yang telah meneluh dunia: di mana-mana tercium sepah, yang hambar di lidah penghidupan kita. Kebun-kebun bunga lawang, talang, dan secang kini langka, yang terpandang tungkul-tungkul sisa kejayaan: para pekebun betapa lama didera hilang asa, yang saban waktu memeluk kusam penderitaan. Sebab kuat aroma beratus rempah malah mencacah batin, meninggalkan rajah ketakberdayaan: betapa aneka tipu-muslihat begitu licin, membusukkan bunga rempah jadi bacin sebelum bermekaran.
Lihatlah, angin dari kebun-kebun mengirimkan racun sepi, rimbun semak ikut menggenapi dengan kerat-kerat sunyi. Tak ada lagi kapal-kapal penjelajah berlayar lalu lalang dan sandar di dermaga, bandar-bandar terlihat ringkih menua dengan bercak kelam masa lalu begitu sempurna. Tak ada orang-orang asing hiruk-pikuk bersiasat ala tukang judi penuh muslihat, lalu para pribumi membungkuk-bungkuk menyerahkan rempah nikmat dengan pundi bikin melarat.
Oh… zaman telah berkelebat, suasana hati seperti khianat, yang dekat dihempaskan tanpa derajat, yang jauh disanjung sebagai tuan yang hebat. Oh…mata batin siapa telah hilang dari kedalaman nurani, yang kekayaan sendiri dibikin mati, yang imitasi didatangkan sebagai datu ekonomi. Oh…dunia berpusing kelebat tak henti, nasib pekebun rempah memfosil di dinding penderitaan kendati almanak berkali-kali diganti.
***
*Prof. Dr. Djoko Saryono merupakan guru besar Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia Universitas Negeri Malang.