Liminalitas Wayang dalam Perspektif Dekolonisasi Kontekstual

Oleh Purnawan Andra*

Wayang adalah salah satu ekspresi budaya kita yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2003. Wayang sebagai sebuah seni pertunjukan adalah representasi nilai etis-estetis dalam dramaturgi berunsur ‘”total theatre” dalam penyajiannya. Tidak hanya seni peran tokoh-tokohnya, bentuk wujudnya juga ekspresi seni rupa dalam tatah sungging, wanda (karakter) hingga warna yang digunakan, didukung seni tari dan musik dalam komposisi gerak, vokal dan gending pengiring yang digunakan sebagai sebuah susunan dialektika kultural.

Wayang juga mengandung makna dan nilai politik, sosial, budaya hingga religiusitas dan spiritualitas. Tentu bukan rumusan solusi langsung, tapi simbolisme yang mesti diolah, dimaknai dan dikontekstualisasi tentangnya. Dengannya, wayang membawa kita pada sebuah cara berpikir yang membawa pada makna tertentu di mana pandangan hidup dipraktikkan dalam seni pertunjukan. 

Seturut Afrizal Malna (dalam Andra, 2020), ketika menonton wayang kita bagai masuk dalam perpustakaan Plato, tentang idealisme dan ide-ide (meski kita tidak pernah sampai pada ide-ide itu sendiri). Kadang seperti ada di perpustakaan Heidegger: kita membaca tidak dengan cara melihat, tidak dengan kesadaran, karena kesadaran itu cenderung melupakan. Karena kesadaran itu dirutinkan, dilembagakan dalam hidup sehari-hari, yang membuat kita lupa. Kadang bagai masuk ke perpustakaan Hegel tidak ada penanda sehingga kita selalu bergerak diantara yang substansi dan artifisial. 

Hal ini yang membuat kita menyadari bahwa sejarah justru ada dalam diri kita, dan terletak pada cara kita membacanya. Tradisi (wayang), oleh karenanya adalah kita, bagian dari diri kita. Ia adalah kontinuitas pemaknaan terhadap kehidupan. Termasuk, dalam arus sejarah yang panjang, wayang tidak hanya menjadi cerminan budaya, tetapi juga alat perlawanan dan negosiasi terhadap kekuatan-kekuatan dominan, baik kolonial maupun pascakolonial.

Wayang dalam Kerangka Poskolonial

Kajian poskolonial menyebut bahwa budaya tidak pernah netral. Ia adalah arena di mana kekuasaan bekerja, di mana kolonialisme sering kali tidak hanya menjajah secara fisik, tetapi juga secara epistemik—memaksa kelompok pribumi melihat dirinya melalui kacamata kolonial. Edward Said dalam Orientalism menjelaskan bagaimana Barat membangun citra dunia Timur sebagai eksotis, irasional, dan statis, sehingga membentuk hierarki budaya yang mendukung kolonialisme.

Dalam konteks Nusantara, kolonialisme Belanda tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, tetapi juga membentuk narasi budaya yang membuat pribumi kehilangan otoritas terhadap tradisi mereka sendiri. Wayang, yang selama berabad-abad menjadi media pendidikan moral dan politik bagi masyarakat Jawa, juga mengalami perubahan dalam kerangka kolonial.

Di era kolonial, Belanda tidak menghapus wayang, tetapi mengarahkan narasinya agar lebih “sejalan” dengan kepentingan kolonial. Misalnya, dalam serat-serat yang ditulis oleh orang-orang terpelajar pada masa kolonial, nilai kepatuhan dan ketundukan kepada pemimpin lebih ditonjolkan dibandingkan semangat heroik atau perlawanan. Penguasa kolonial memandang wayang sebagai alat yang bisa digunakan untuk menanamkan nilai-nilai yang mendukung stabilitas kolonialisme, bukan sebagai media kritik sosial yang membangun kesadaran kebangsaan.

Bedjo Riyanto (2011) menjelaskan bahwa format seni pakeliran wayang kulit purwa yang dikenal sebagai pakem klasik adiluhung merupakan hasil rekayasa budaya yang sistematis. Kolaborasi antara elit bangsawan kraton di Vorstenlanden dan pejabat taal-ambtenaar kolonial Belanda menghasilkan kanonisasi kebudayaan Jawa dalam seni pedalangan. Upaya ini bukan sekadar ekspresi kecintaan terhadap budaya Jawa, tetapi juga bagian dari politik kebudayaan kolonial untuk menghadapi radikalisasi Islam sebagai kekuatan politik lain di luar Belanda dan kraton.

Dukungan lembaga-lembaga seperti Java Instituut, KITLV, dan Balai Pustaka memungkinkan proyek besar penerjemahan teks sastra Jawa Kuno seperti Mahabharata, Ramayana, Kakawin Arjuna Wiwaha, Pustaka Raja Purwa, dan Arjuna Sasrabahu ke dalam bahasa Jawa baru (sastra Jarwa). Terjemahan ini menjadi dasar bagi standarisasi lakon wayang kulit purwa. 

Usaha penyeragaman ini semakin kuat dengan berdirinya sekolah pedalangan: Padhasuka di Surakarta (1923) atas perintah Paku Buwana X, Habirandha di Yogyakarta (1925) atas perintah Sultan Hamengku Buwana VIII, dan Pasinaon Dhalang ing Mangkunegaran (1931) atas prakarsa Mangku Negara VII. Sekolah-sekolah ini mendapat dukungan dari Java Instituut dan menghasilkan kitab-kitab pakem seperti Pedhalangan Ngayogyakarta dan Serat Pustaka Raja Purwa karya Ranggawarsita sebagai standar pedalangan Surakarta.

Uniknya usaha penyeragaman pakem lewat lembaga sekolah ini hanya terjadi di lingkungan kelas dan masa-masa belajarnya. Selepas itu para alumnus sekolah-sekolah dalang ini kembali kepada mahzab, gaya, atau style kantung-kantung budaya lokal asalnya. Hal ini melestarikan apa yang disebut sebagai pakemisasi ketidakpakeman dari seni pertunjukan wayang itu sendiri (paling tidak sampai sekarang masih dikenal otoritas-otoritas tradisi yang melahirkan apa yang disebut sebagai pakem atau gaya khas pementasan wayang diantaranya gaya Surakarta, gaya Yogya-karta, gaya Banyumasan, gaya Jawa Timuran, gaya Pesisiran) (Riyanto, 2011: 8). Wayang tidak hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi juga menjadi ruang perlawanan dan negosiasi identitas. Wayang tidak sepenuhnya tunduk pada kolonialisme. 

Merebut Kembali Ruang Kultural

Memasuki era kemerdekaan, wayang kembali menjadi bagian dari proyek nasionalisme Indonesia. Pemerintah melihatnya sebagai simbol kebudayaan nasional, sebuah tradisi yang harus dilestarikan untuk membangun identitas bangsa yang merdeka. Namun, di balik upaya pelestarian ini, ada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah wayang benar-benar dibebaskan dari cara pandang kolonial, atau justru mengalami “nasionalisasi” yang masih mengikuti logika kekuasaan dominan?

Rezim Orde Baru, misalnya, menggunakan wayang untuk memperkuat ideologi negara. Lakon-lakon yang dipilih sering kali menggambarkan kepemimpinan yang stabil, harmoni sosial, serta kesetiaan kepada pemimpin—narasi yang mendukung otoritarianisme Suharto. Dalam konteks ini, dekolonisasi wayang tidak hanya berarti kemerdekaan dari pengaruh kolonial, tetapi juga dari bentuk-bentuk hegemoni baru yang membatasi potensinya sebagai ruang ekspresi yang bebas.

Sejak Reformasi 1998, berbagai dalang mulai melakukan eksplorasi ulang terhadap wayang. Mereka menafsir ulang cerita klasik agar lebih relevan dengan realitas sosial-politik kontemporer. Seturut Utomo (2022) kini para dalang melakukan eksplorasi terhadap pergelarannya. Lakon-lakon cerita mengalami tafsir dan artikulasi baru atas struktur narasi lama untuk menciptakan kontekstualisasi dengan dunia panggung mutakhir dan realitas kehidupan yang dihadapi. Gaya pakeliran diperkaya dengan lakon-lakon yang diselaraskan dengan konteks pergeseran zaman, pembaruan dialog yang lebih komunikatif, dramatika bermuatan kritik sosial, dan penampilan tokoh-tokoh yang bisa menjadi agen perubahan demi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. 

Tata ungkap wayang juga dieksplorasi. Tokoh-tokohnya melakukan pembebasan hegemoni kekuasaan artistik atas nama pakem, dengan tetap tidak mengabaikan basis nilai mitologi, filosofi, hingga religiositas dan spiritualitas yang melingkupinya. Menggunakan bahasa, sabetan, tembang, para dalang bereksplorasi untuk menghidupkan filosofi kemanusiaan untuk menghadirkan pandangan dunia tentang pembebasan hegemoni kekuasaan, egaliterianisme dan kepedulian sosial, pencapaian kebahagiaan hidup, hingga kesadaran keilahian. Dengannya, seusai menonton pergelaran wayang, penonton akan mendapat katarsis tentang spiritualitas dan estetika, empati kemanusiaan, dan religiositas yang transenden (Utomo, 2022).

Dalam perspektif dekolonisasi budaya, eksperimen ini bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali wayang dari kekuasaan hegemonik yang selama ini terbentuk. Seperti diungkapkan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, dekolonisasi bukan hanya soal kemerdekaan politik, namun juga tentang membangun kembali budaya dengan cara yang lebih otonom dan tidak lagi tunduk pada kepentingan kolonial atau kekuatan dominan lainnya.

Liminalitas Kontekstual

Dalam konteks tersebut, wayang dapat dibaca dalam kerangka liminalitas — sebuah ruang ambang, antara, transisi antara (pemahaman) dunia lama dan (konteks) dunia baru. Antara makna lampau dan perspektif masa depan. Ketika menonton wayang, orang akan mencoba untuk mengerti, memahami dan menempatkan wayang dengan diri dan sekitarnya, saat ini. Orang memaknai cerita wayang secara reflektif, kontekstual bahkan visioner. 

Semisal, meskipun bukan berasal dari kasta ksatria, tapi kemampuan olah senjatanya menjadikan Karna sebagai seorang panglima perang yang sederajat dengan raja. Seburuk-buruknya sosok raksasa, Sukrasana adalah tokoh penjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Semulianya Kresna sebagai titisan Wisnu, ia tetap harus menebus karmanya mati kesepian. Perspektif ini kemudian akan membawa sebuah pembelajaran bahwa kehidupan tak mutlak adanya dalam sebuah absolutisme.

Dengannya, wayang sebagai liminalitas memberi kesempatan untuk jeda, menyediakan momen reflektif dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak ke mana. Pada tataran nilai, orang diajak menemukan adanya relativitas – sebuah wilayah yang tak sekedar bersifat estetis tapi juga aksiologis (berkaitan dengan moralitas) (Hutomo, 2019).

Kenyataannya, bahwa di era globalisasi ini wayang menghadapi tantangan baru: komodifikasi dalam sistem kapitalisme budaya. Seperti yang dijelaskan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment, kapitalisme budaya adalah proses di mana budaya tidak lagi berfungsi sebagai ekspresi autentik, tetapi sebagai komoditas yang dijual di pasar. Seni, termasuk wayang, tidak lagi dinilai berdasarkan kedalaman filosofis atau nilai kulturalnya, tetapi berdasarkan daya jualnya dalam industri hiburan dan pariwisata.

Dalam konteks ini, wayang semakin dikemas untuk memenuhi selera pasar. Banyak pertunjukan kini berorientasi pada pariwisata, dengan menghilangkan aspek-aspek yang dianggap “terlalu berat” bagi penonton global. Pakeliran menjadi lebih singkat, cerita disederhanakan, dan nilai filosofisnya sering kali dikorbankan demi daya tarik visual. Alih-alih menjadi ruang refleksi kultural, wayang justru berubah menjadi produk hiburan yang kehilangan kedalaman maknanya.

Bahkan di tingkat nasional, wayang sering kali dimasukkan ke dalam festival budaya yang lebih bersifat seremonial daripada reflektif. Pergelaran wayang yang disponsori oleh korporasi atau pemerintah lebih sering menjadi ajang pencitraan daripada ruang kritik sosial. Ini adalah bagian dari apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulacra—di mana representasi budaya tidak lagi merujuk pada realitas yang sesungguhnya, tetapi pada citra yang telah dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan pasar.

Namun, tidak semua dalang mengikuti arus ini. Beberapa dalang tetap berusaha mempertahankan wayang sebagai medium kritik sosial. Eksperimen dalam bentuk wayang urban, wayang kampus, hingga wayang yang mengangkat isu-isu politik kontemporer adalah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme budaya. Sebelumnya kita mengenal dalang-dalang seperti Ki Enthus Susmono dan Ki Slamet Gundono (keduanya almarhum) misalnya, menggunakan wayang sebagai alat kritik terhadap ketidakadilan sosial dan korupsi. 

Kini kita bisa menyebut Ki Jlitheng Suparman dengan Wayang Kampung Sebelah-nya, Ki Benyek Catur Kuncoro dengan Wayang Hip Hop juga I Wayan Nardayana, dalang asal Bali yang dikenal dengan pertunjukan Wayang Cenk Blonk. Pertunjukan mereka kerap menyisipkan kritik sosial terhadap berbagai realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa meskipun kapitalisme budaya berusaha menundukkan wayang, masih ada ruang bagi eksplorasi kreatif yang menolak hegemoni pasar.

Bukan Reduksi, Tapi Reproduksi Budaya

Dengannya, wayang menjadi kesadaran yang tepat untuk bisa menciptakan kesadaran tatanan nilai melalui suatu tafsir dan rumusan baru tentang ruang kehidupan yang lebih beradab di masa kini dan masa depan. Untuk itu, jangan sampai “bahasa wayang” kualitasnya terdegradasi akibat campur tangan politik identitas, hasrat ekonomi hingga narasi kebudayaan yang kerap direkayasa demi kepentingan sesaat sekelompok kepentingan. 

Hasil peradaban ini harusnya dimaknai sebagai momentum pengingat, tidak semata peringatan atau ritus kultural untuk mengenang pencapaian estetis dengan hikmah-makna tekstual, historial dan tidak kontekstual. Ia harusnya bisa menjadi tonggak reflektif untuk menata dan membenahi kompleksitas masalah bangsa yang sebenarnya bersumber pada problem kultural sekularisme identitas dan egoisme sektoral.

Wayang perlu didudukkan dalam sistem sosial kemasyarakatan sebagai pola-pola komunikasi yang bermuatan reproduksi budaya untuk mencapai kesadaran kolektif. Wayang tetap menjadi ruang kritis, bukan sekadar peninggalan masa lalu yang direduksi menjadi objek nostalgia. Ia harus tetap hidup, berkembang, dan terus menjadi bagian dari percakapan intelektual yang lebih luas tentang identitas, kuasa, dan keadilan dalam dunia yang terus berubah. Dengannya kebudayaan bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang bisa mengatasi persoalan-persoalan kontemporer.

***

*Purnawan Andra, salah satu penulis buku Topeng Panji Mengajak Kepada yang Tersembunyi (Balai Soedjatmoko, 2014); bekerja di Kementerian Kebudayaan.