Gondrong Seniman, Perlawanan dan Persoalan

Oleh Agus Dermawan T.

Rambut gondrong semula diklaim sebagai milik seniman. Namun pada 1970-an gondrong mewabah jadi milik seluruh kaum lelaki segala profesi. Pemerintah Orde Baru resah dan berhasrat membrangus.

—————

PADA AWAL tahun 1973 warga STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) “Asri” Yogyakarta mendapat berita buruk. Pasalnya, ada kabar bahwa pemerintah Orde Baru mengecam dan akan memangkas rambut para lelaki yang gondrong di mana saja, termasuk di kampus. 

Syahdan gerakan antigondrong itu adalah pelaksanaan dari perintah serius dari Pusat, atau Jakarta. Ada pun tujuan pemangkasan itu adalah untuk “menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan pemuda dan remaja Indonesia”. Karena gondrong dianggap buah infiltrasi kebudayaan asing, yang disulut oleh kaum hippies, gerakan sosial kaum muda liar di Amerika. 

Tapi para mahasiswa “Asri” (termasuk siswa Sekolah Seni Rupa Indonesia) tenang-tenang saja, walau sesungguhnya “ngeri-ngeri sedap” juga pikiran dan hatinya. Mereka – yang hampir semuanya gondrong – hanya mengumpat sambil berkata, “Pilihan kami hanya : cukur sukarela, tidak masuk kuliah, atau tidak keluar rumah.” 

Gondrong mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri”, tahun 1974. Dari kiri, Widodo Andoyo (jadi pejabat Kantor Wilayah Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah), Setianto Riyadi (ilustrator harian Kompas, penyusun buku Kretek Jawa – Gaya Hidup Lintas Budaya), Nisan Kristiyanto (pelukis neo dekoratif terkenal), Haris Purnomo (pelukis kontemporer ternama), Agus Dermawan T (penulis dan kritikus seni). (Sumber: Agus Dermawan T.)

Tahun 1973 lewat, razia gunting rambut ternyata tidak terlalu menyentuh Yogyakarta, sehingga kepala para pemuda di kota ini tetap gondrong adanya. Namun tak berarti mereka terbebas dari ancaman. Terutama bagi yang sedang mudik atau bertandang ke luar kota. Beberapa mahasiswa “Asri” asal Bali mudik dengan gondrong kebanggaannya. Namun ketika balik ke Yogyakarta sudah plontos. “Sial, saya kena razia di Banyuwangi,” kisahnya.

Gondrong diklaim sebagai milik seniman dan calon seniman. Bagaimana riwayatnya, belum muncul fakta valid yang mendukung. Tapi mereka tidak keberatan apabila disebut bahwa pilihan gondrong itu muncul lantaran pusaran tren ikut-ikutan. Bukankah pada zaman dulu para seniman hebat dan seniman panutan selalu berambut gondrong? Lihat rambut komposer Joseph Haydn dan Beethoven, sastrawan William Shakespeare dan pelukis Raphael. Simak rambut ahli sungging Majapahit Jaka Prabangkara, putera Prabu Brawijaya V. Perhatikan rambut Hendra Gunawan, John Lennon, Affandi, Mick Jagger, sampai personil grup musik Pink Floyd dan seterusnya. Mereka gondrong.

Gondrong komposer Joseph Haydn dan sastrawan William Shakespeare. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong komposer klasik Beethoven. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong pelukis Raphael dan Leonardo da Vinci. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong Raden Saleh dalam lukisan Johann Christian Albrecht Schreuel. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Sambil meyakini bahwa gondrong tidak memiliki kandungan mudarat, seniman juga tak pernah berpikir apakah rambut gondrong punya manfaat. Sehingga rambut di kepala dibiarkan tumbuh saja, apa adanya. 

Mereka juga tidak mempelajari bahwa rambut yang dipelihara panjang dengan basuhan santan akan menghasilkan “mahkota” yang indah. Lantaran santan mengandung vitamin, zinc, vitamin B6, dan kalium. Mereka tidak kepingin tahu bahwa usapan minyak zaitun adalah fosfor yang menghaluskan helai rambut dan menguatkan akar rambut. Mereka juga tidak perduli bahwa rambut lebat dan panjang berfungsi sebagai penerima energi matahari yang membangunkan tenaga otak serta daya rekam memori. Maka, sejauh pengamatan, gondrong bagi seniman adalah sekadar bukti faal atau fisiologis yang berkaitan dengan profesi. 

Namun dalam ketidak tahuan dan ketidak perdulian itu, ada satu makna yang tiba-tiba berusaha dipercaya : gondrong sebagai tanda permanen antikemapanan. Tanda ini dicetuskan WS Rendra saat mempersiapkan Perkemahan Kaum Urakan di Pantai Parangtritis, Bantul, Oktober 1971. 

Gondrong WS Rendra. (Sumber: Agus Dermawan T.)

“Apabila dunia mapan pegawai negeri, birokrat dan pengusaha mengambil rias rambut pendek tertata, dan tentara penguasa selalu berambut cepak tiga sentimeter saja, maka seniman adalah bagian yang melawan itu semua. Seniman adalah bagian yang menuntut kebebasan. Gondrong salah satu manifestasinya!” Dengan pernyataan Rendra itu menjadi nyata bahwa fenomena gondrong tidak berkelindan di laskar seni rupa saja, tetapi juga menjuntai di kepala seniman berbagai bidang. 

Gondrong penulis Seno Gumira Ajidarma dan fotografer Oscar Motuloh. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong pelukis Nasirun dan kurator Mikke Susanto. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong perupa Tisna Sanjaya dan pelukis Srihadi Soedarsono. (Sumber: agus Dermawan T.)

Gondrong seniman Remy Silado dan pengampu filsafat Tommy Awuy. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Gondrong Bre Redana, sang ahli menulis. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Siapa yang mengusulkan

Apabila isu pelarangan gondrong di “Asri” mulai mengusik pada awal 1973, di Stasiun TVRI (Televisi Republik Indonesia) sudah muncul nyata pada 1972. Itu diawali dari peraturan yang ditandatangani oleh M. Sani. Kepala Studio TVRI Jakarta ini mengeluarkan aturan bahwa para figur berambut gondrong tidak layak dipertontonkan ke banyak orang. Dengan begitu mereka dilarang tampil di TVRI. Aturan itu mengacu kepada isi Surat Keputusan 15 Januari 1972 yang ditandatangani Jenderal Soemitro. 

Peraturan ini jelas membuat gelisah para seniman penampil yang (sebagian besar) berambut gondrong. Apalagi pada kurun itu hanya TVRI saja yang bisa jadi etalase untuk sosialisasi diri. Karena stasiun televisi lain belum lahir. Lebih jauh, upaya memangkas gondrong itu tidak hanya berlaku untuk para seniman Indonesia saja, tetapi juga terhadap seniman luar negeri. Oleh karena itu video musik negeri seberang yang menampilkan lelaki gondrong, dilarang tayang! 

Namun TVRI tidak selalu konsisten, karena dalam satu sisi acap terlihat didorong kepentingan. Misalnya, pada 1973 TVRI menyiarkan pementasan panggung sensasional grup musik AKA (Apotik Kaliasin, Surabaya), yang beranggotakan Ucok Harahap, Soenata Tanjung, Syech Abidin Jeffri dan Arthur Kaunang. Padahal rambut mereka sangatlah gondrong. Mengapa TVRI melanggar peraturan sendiri? Alasannya sederhana: siaran itu dipastikan banyak penontonnya. 

Gondrong pemusik Leo Kristi dan Ucok Harahap. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Ooo, berarti, khusus band AKA boleh tampil di TVRI? Aha, tidak juga.

Dalam wawancara dengan majalah MIDI edisi 15 September 1973 personil AKA mengungkap bahwa mereka pernah diundang untuk tampil di layar TVRI. Tapi dengan syarat, rambut gondrongnya dipangkas dulu, atau minimal harus diikat ke belakang, dan kamera tivi akan mengambil dari posisi depan. Tentu mereka menolak semua ini. “Kami mau yang seadanya saja. Gondrong ya gondrong,” kata Ucok Harahap dengan halus, lantaran (kalau kasar) kawatir dicokok seluruh aktivitas panggungnya.

Mengapa rambut gondrong dipersoalkan, dan mengapa gondrong dilarang, adalah fenomena yang membingungkan. Dari sini muncul pertanyaan penting: siapa yang memunculkan ide pelarangan rambut gondrong itu. Sampai sekarang tidak ada yang berani memastikan. Namun ada yang menduga pelarangan itu datang Ibu Tien Soeharto. Ibu Negara yang selalu melihat suaminya, Presiden Soeharto, berambut rapi jali ala tentara.

Dugaan itu menjadi agak jelas ketika membaca buku 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto susunan Tarman Azzam dan kawan-kawan (Terbitan Persatuan Wartawan Indonesia, UMB Press, Jakarta). Dalam sebuah artikel diceritakan bahwa Ibu Tien menegur wartawan yang berambut gondrong. Sang Ibu meminta agar wartawan itu segera mencukur rapi rambutnya, kalau tetap mau masuk Istana Presiden.

Selera rambut rapi Ibu Tien ini pada waktu kemudian seperti ditindak lanjuti oleh Pak Harto, dengan mengirim radiogram yang isinya melarang pegawai negeri berambut gondrong. Bahkan dalam instruksi itu terselip imbauan, agar anak lelaki anggota ABRI dan pegawai negeri juga tidak boleh gondrong. Gerakan sistematis antigondrong ini segera menjalar ke sekolah-sekolah. 

Dari sini muncul kesimpulan bahwa gondrong yang semula adalah simbol perlawanan para seniman atas kemapanan, sudah menjadi milik lelaki semua profesi, semua usia, dan semua kalangan. Sehingga gondrong seperti wabah buas di tengah publik luas.

Pemangkasan gondrong pun makin masif. Pada 1 Oktober 1973 berkatalah Jenderal Soemitro di TVRI: “Rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig, acuh tak acuh! Karena itu, sekali lagi, gondrong tidak diperbolehkan.”  

Lagi-lagi masyarakat protes. Tapi alih-alih melunak, Soemitro malah membuat peraturan yang lebih keras. Pelarangan menyeluruh tak pandang bulu segera diberlakukan mulai 5 Oktober 1973, persis hari ulang tahun ABRI. Ini sebagai kelanjutan dari razia pemotongan rambut di ruang publik dan di jalan-jalan, yang sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya. Siapa pun yang gondrong, dari tukang parkir sampai dokter, digunting rambutnya oleh tentara. (Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! : Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an, Margin Kiri. Tangerang, 2010). 

(Sungguh mati, pada masa ini banyak seniman ngumpet dengan perasaan kelu, meski mereka jarang yang mengaku.)

Untungnya gerakan antigondrong berlangsung tidak terlampau lama. Karena perlawanan atas kebijakan ala tentara Jenderal Soemitro ini – dalam skala sosial politik yang lebih besar – diam-diam digesek oleh gerakan Jenderal Ali Moertopo, yang dikawal para teknokrat alumni Berkeley. Sementara gerakan Ali dalam satu sisi (secara tak sengaja) beriringan dengan aspirasi para mahasiswa, seniman, dan budayawan, yang menghendaki kebebasan. “Perang Dua Jenderal” ini menghasilkan Malari, atau Malapetaka 15 Januari 1974. Demo besar yang menyebabkan Jakarta hangus terbakar. Setahun pasca Malari, soal gondrong tidak dipersoalkan lagi.

Dari Zeus

Gondrong memang hanya mode, bahkan cuma mitos. Pada era Yunani kuno, penguasa tertinggi digambarkan selalu berambut gondrong. Dewa Zeus, Ares, Poseidon, misalnya. Bahkan Apollo ditahbiskan sebagai dewa tertampan hanya karena rambutnya panjang dan gaya. Pahlawan perang jenius Achilles juga gondrong, sehingga tampak sangat perkasa. Di sisi lain Samson diceritakan memiliki kekuatan yang bersumber dari rambutnya yang panjang. Sehingga ketika rambut itu dipotong diam-diam oleh Delilah, hilanglah semua kedigdayaannya. Sementara mereka yang berambut pendek dan plontos sering diposisikan sebagai budak atau tukang kelahi hidup-mati di arena gladiator. 

Gondrong Dewa Ares yang perkasa. (Sumber: agus Dermawan T.)

Meski dalam kenyataan pada masa sekarang tidak begitu. Karena banyak orang hebat dan cerdik cendekia yang berambut pendek tertata. Bahkan profesor selalu digambarkan berambut ala kadarnya. Sedangkan yang gondrong kadang disamakan dengan pemuda jalanan yang ugal-ugalan.

Selebihnya, rambut juga dianggap sebagai simbol identitas sangat pribadi. Meskipun pada suatu saat model rambut di kepala seseorang adalah “public domain”, sehingga tak punya hak paten, dan boleh ditiru. 

Dengan begitu, seperti dikatakan Anthony Synnot, sosiolog dan antropolog Concordia University, “Rambut pada hakikatnya adalah alat berekspesi diri. Rambut adalah alat komunikasi. Dengan rambut seseorang bisa dipandang sedang adem-ayem tiada persoalan. Dengan potongan rambut orang bisa ditafsirkan sedang memprotes atau melawan sebuah keadaan. Seperti gondrong seniman, mahluk yang pada dasarnya selalu, selalu dan selalu melawan kondisi mapan.” 

Sebagai penutup, teriring peristiwa sejarah kecil namun sulit untuk dilupa. Pada abad ke-18 di wilayah Virginia, Amerika, Francis Russel, Duke of Bedford V mendadak memotong sangat pendek rambutnya yang berpuluh tahun gondrong. Tindakan itu ia lakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang mengenakan pajak tinggi terhadap produk hair powder atau bedak untuk perawatan rambut. Apa yang dilakukan Francis lantas diikuti oleh ribuan pemuda dan orang tua di kota itu, yang semula semuanya berambut gondrong. Kejadian tersebut menjadikan kota  mendadak gundul. 

“Tanpa rambut gondrong, Bedford adalah kota melompong dan omong kosong. Tanpa rambut panjang, Bedford adalah wilayah yang tanpa tenaga dan perlaya,” kata Francis. ***

*Agus Dermawan T.  Pengamat budaya dan seni, penyuka rambut gondrong.