Jakpro dan Problem Komersialisasi Tata Kelola TIM
Apa yang dikhawatirkan oleh almarhum Radhar Panca Dahana tentang komersialisasi fasilitas ruang-ruang TIM (Taman Ismail Marzuki) apabila Jakpro (PT Jakarta Propertindo) mengelola TIM mulai terjadi. Sudah sebelum bangunan TIM lama diruntuhkan dan lalu diganti dengan yang baru, Radhar telah memprediksi Jakpro akan lebih memprioritaskan pemasukan ekonomi daripada memperhatikan kepentingan, progam-progam dan tumbuhnya ekosistem kesenian Jakarta. Sebelum pandemi, ia melakukan demo-demo menentang rencana tata kelola TIM yang bakal diserahkan sepenuhnya kepada Jakpro.
Perkiraan Radhar kini terbukti. Komite Film DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tak bisa melaksanakan salah satu progam utamanya lantaran harus membayar sewa ruang putar (bioskop) Kineforum yang akan digunakan sebagai tempat acara. Bulan Maret kita ketahui adalah Bulan Film Nasional. 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999 karena tanggal 30 maret 1950 adalah hari awal syuting film pertama Indonesia Darah dan Doa yang disutradarai Usmar Ismail.
Sudah sejak awal tahun ini komite film DKJ merencanakan progam unggulan Bulan Film Nasional berupa pemutaran film dan diskusi di Kineforum dari 25 Maret sampai 2 April. Acara ini direncanakan menggunakan dua studio pemutaran, satu ruang serbaguna dan satu serambi terbuka Kineforum. Namun ternyata Jakpro menetapkan DKJ harus menyewa dan menerapkan sistem bagi hasil atau profit sharing. Jelas ini absurd, karena acara-acara DKJ adalah bukan acara profit dan sama sekali tidak menjual tiket. Pemutaran film yang diselenggarakan DKJ bagian dari pendidikan untuk publik. Bagian dari edukasi dan apresiasi untuk masyarakat.
Tahun lalu Jakpro masih menerapkan kebijakan Pemda DKI mengenai penggunaan ruang-ruang yang dikelolanya gratis bagi progam-pogam DKJ. Maka dari itu gedung-gedung baru di TIM seperti Graha Bakti Budaya, Teater Wahyu Sihombing dan Galeri Gedung panjang banyak dipakai untuk kegiatan komite-komite DKJ dari komite film sampai komite tari. Namun sekarang, Jakpro menegaskan seluruh gedung yang berada di bawah pengelolaannya bila digunakan DKJ harus bayar. Jakpro tak mau rugi. Juga beralasan bahwa Peraturan Gubernur tentang subsidi pengelolan progam-progam di TIM belum diketok palu.
Adalah mengherankan logika berpikir Jakpro. DKJ bagaimanapun adalah stake holder utama TIM. Harus ada fasilitas-fasilitas khusus apabila DKJ mengajukan progam-progam, termasuk penggunaan studio film. Apalagi sekarang studio film yang baru tergolong tak pernah digunakan. Studio film dalam lingkungan TIM seharusnya senantiasa ramai oleh progam-progam pemutaran dan diskusi. Dahulu, tatkala Kineforum lama letaknya tepat di belakang Studio 21 dan berada di sebelah kanan jalan menuju kampus IKJ (Institut Kesenian Jakarta) tiap bulan selalu kontinu dengan progam-progam.
Tata kelola TIM yang dilakukan Jakpro sampai sekarang masih jauh dari harapan para seniman pemangku. Tarif penyewaan Graha Bakti Budaya misal kini Rp 180 juta perhari. Jelas sangat terlalu tinggi bagi klompok teater atau tari pada umumnya. Untuk latihan saja mereka rata-rata masih kekurangan anggaran apalagi menyewa dengan tarif semahal itu. Mustahil. Sejauh ini yang pernah menyewa Graha Bakti Budaya tercatat Teater Koma yang mementaskan repertoar Lara Jonggrang dan dan pentas Lewat Jam Malam karya multi media Yudhi Tajudin yang mempertemukan film Usmar Ismail dan teater. Selebihnya sepi. Jarang yang menyewa Graha Bakti. Padahal dulu di Graha Bakti Budaya lama banyak sekali pertunjukan-pertunjukan. Hampir setiap minggu selalu ada pementasan. Bahkan di bulan Ramadhan seperti sekarang ini banyak kegiatan seperti pembacaan sajak-sajak atau Tadarus Puisi. Kini sepi.
Belum lagi berbicara tentang observatorium dan planetarium TIM. Planetarium yang dahulu selalu ramai dikunjungi anak sekolah bahkan sampai berbus-bus betul-betul sekarang terbengkelai. Observatorium tak lagi berfungsi. TIM memiliki tiga observatorium peneropongan bintang. Bila kita ke TIM kita melihat ada menara kecil berkubah setinggi 15 meter an bergambar mural Raden Saleh. Di situlah tempat teropong Code disimpan. Teropong Code bisa digunakan mengamati matahari dan bulan Sebelum revitalisasi, teropong sering digunakan. Menara ini tapi sekarang digembok, terlihat lusuh. Kondisi di dalam sangat mengenaskan. Kotor. Tangga melingkar tampak karatan. Atap banyak bocor. Di lantai tiga teropong code sekarang dibungkus terpal.
Observatorium kedua malah lebih mengenaskan. Dihancurkan oleh renovasi. Bila kita lihat sekarang ada kolam di dekat Teater Wahyu Sihombing, di situlah dulu letak bangunan observatorium. Observatorium ini tadinya diisi dengan teropong bintang Takashi berdiameter 15 cm yang bisa digunakan sampai mengamati Andromeda. Tapi karena menjadi kolam teropong itu kini digudangkan. Yang absurd adalah observatorium ketiga tempat peneropongan dengan menggunakan teropong Asco. Teropong ini diameternya 31 cm. Besar teropong hanya separuh dari yang dimiliki Boscha. Teropong Asco sangat penting sekali karena dipakai untuk memperhatikan obyek-obyek jauh seperti galaksi dan kluster. Observatorium ketiga ini masih ada. Tapi tidak bisa dimasuki karena pintunya disemen oleh renovasi Jakpro.
Nasib menyedihkan juga dialami planetarium. Tempat pemutaran simulasi bintang ini kini seolah ruang hantu. Tutup. Tak ada kegiatan sama sekali. Proyektor utama merk Carll Zeiss milik planetarium terlihat dibungkus karena sudah kurang akurat. Akibat penutupan ini, selain siswa-siwa sekolah tak bisa berbondong-bondong mempelajari sains perbintangan, simulasi Hisab Rukyat saat ramadhan yang biasanya dikalukan di planetarium juga tak bisa dilaksanakan. Jakpro seolah tak mau bertanggung jawab dengan persoalan observatorium dan planetarium.
Hotel dan wisma seni juga tidak jelas. Sampai sekarang baik hotel maupun wisma seni belum berfungsi. Dulu dikatakan bahwa wisma seni bisa digunakan menginap para seniman yang akan berpentas dalam progam-progam DKJ. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kapan beroperasi. Komite Teater DKJ yang tahun lalu mengundang rombongan teater dari Belanda dan Jepang akibatnya tak bisa menginapkan tamu-tamu asing mereka secara gratis di TIM.
Batalnya Bulan Film Nasional – karena diharuskan membayar sewa oleh Jakpro maka dari itu bisa menjadi momentum bagi seluruh stake holder seni di TIM untuk bersatu mempertanyakan segala sengkarut komersialisasi TIM ini. Akademi Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Save TiM dan juga Koalisi Seni – sebagai lembaga yang menaruh perhatian pada urusan tata kelola kesenian, sudah saatnya kini bahu membahu untuk berdiskusi dengan Gubernur DKI Heru Budi Hartono. Bukan lagi saatnya lembaga-lembaga ini bekerja sendiri-sendiri. Bukan lagi saatnya saling diam tak mau berkordinasi satu sama lain demi tata kelola Tim yang lebih baik.
Koalisi para stake holder TIM ini bisa duduk bersama dengan Gubernur dan membicarakan ulang mulai Peraturan Gubernur untuk Subsidi yang mendesak dikeluarkan sampai pada kemungkinan diputihkannya kontrak Jakpro untuk mengelola TIM selama 30 tahun. Koalisi ini secara kongkrit juga bisa meminta kepada Gubernur agar seluruh ruang yang dibawah pengelolan Jakpro seperti Galeri, Graha Bakti Budaya, Teater Wahyu Sihombing, Kineforum, ruang latihan Trisno Sumardjo, ruang latihan tari- apabila hendak digunakan DKJ tidak dikenakan sewa atau minimal diberi potongan sampai 90 persen.
Revitalisasi TIM memang sudah suatu keharusan. Tapi bila sedari awal pengelolaannya meminggirkan progam-progam DKJ dan seniman yang mendukung kehidupan TIM sehari-hari, ini akan menjadi api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa meledak. Almarhum Radhar Panca Dahana, secara tegas menyatakan pemangku utama di TIM seharusnya adalah seniman. Karena seniman lah yang memiliki sejarah panjang di TIM semenjak TIM berdiri. Sekarang saatnya segala unsur dan lini seniman di TIM bersatu, kompak melakukan protes ke Gubernur dan mendesak agar Kementrian Pendidikan Kebudayaan juga mencegah jangan sampai ekosistem kesenian di TIM tak berkembang karena aturan-aturan yang diterapkan Jakpro cenderung oligarkis.
BWCF2023