Tikus Sawah Pada Relief Cerita Mahakarmawibangga Di Candi Borobudur: Tikus Hama Padi Hingga Tikus Kantor Si Koruptor
Oleh M. Dwi Cahyono
“Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji lalu sembunyi”
A. Tikus Sawah si Hama Padi
Pertanyaan anak kecil acap lugas, bahkan kritis. Misalnya, “Yah, kenapa candi ini dinamai ‘Candi Tikus’, mana tikusnya ?”, demikianlah tanya Anes ketika diajak berkunjung ke Patirthan Tikus. Bisa jadi, pertanyaan demikian muncul di benak para pengunjung lain. Memang, latar penamaan situs ini berkait dengan tikus, tepatnya adalah hama tikus sawah (Rattus agentiventer). Pada sekitar tahun 1925 persawahan sekitar Candi Tikus di setiap jelang panen diserang tikus. Oleh karena itu warga melakukan operasi pemberantasan tikus (gropyokan tikus). Ketika tikus-tikus itu dikejar, lantas mengilang di gundukan tanah (gumuk) yang di permukaannya terdapat bata-bata lama beserakan. Maka, dibongkarlah gumuk tersebut, lantaran banyak terdapat lobang tikus. Setelah dibongkar, diketahui bahwa gumuk berbatu bata kuno itu adalah reruntuhan tinggalan purbakala, yang setelah diteliti (1926-1927) dan dipugar atas jasa dari Bupati Mojokerto kala itu, yakni Kromodjojo Adinegoro, jadilah arsitektur masa Majapahit yang berupa patirthan (kolam air suci).
Muasal nama “Candi Tikus” memang berkaitan dengan hama tikus, mengingat pada perempat pertama tahun 1990-an Trowulan dan sekitarnya merupakan areal persawahan luas. Manakala tanaman padi jelang fase generatif, persawahan yang padinya mulai masak itu menjadi sasaran serangan tikus. Binatang pengerat ini menyukai persawahan, ladang dan padang rumput untuk memperoleh makanan yang berupa bulir padi, jagung atau rumput. Tempat persembunyiannya berupa semak belukar, rumpun bambu, tanggul irigasi (galengan), pinggiran jalan kecil di areal persawahan (pematang) yang ditumbuhi gulma, kebun yang kotor, di bawah batu atau reruntuhan bangunan dan sisa-sisa kayu, dengan membuat lobang (dinamai “leng tikus”).
Ketika sawah pada fase bero, tikus pindah ke perkampungan dekat sawah, dan baru kembali ketika padi mulai masak. Serangan dilakukan pada malam hari, dengan memotong tangkai padi, sehingga ujung tangkai yang berbuah jatuh ke tanah untuk dimangsanya. Pada areal sawah yang luas, jumlah tikus-tikus sawah bisa amat banyak. Populasi tikus sawah ditentukan oleh ketersediaan makanan dan persembunyian yang memadai. Walaupun tikus sawah lebih kecil daripada tikus got, namun hewan ini memiliki kemampuan merusak yang besar, yang bisa menyebabkan sawah gagal panen (puso), sehingga tikus memperoleh gelar “binatang perusak”, musuh para petani. Anatomi tikus sawah bisa dikenali dari warna bulu yang coklat kekuningan, perut berambut warna kelabu dan tepian warna putih — sehingga unsur istilah latin-nya “argentiventer”, dalam arti : berperut keperakkan — dan berekor coklat.
Tikus sawah mudah dijumpai, baik di pedesaan ataupun perkotaan pada region Asia Tenggara, bahkan Asia. Dalam istilah lokal pada bahasa Jawa, sebutan baginya juga “tikus”, atau kadang memperoleh julukan “den baguse”. Kurang jelas betul mengapa binatang ini mendapat kata sebut “bagus (tampan)”. Kata “tikus” telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna, antara lain pada kitab Adiparwa (212) yang menyebut perkataan “lyang tikus (lubang tikus)”, kitab Agastyaparwa (357) dan Kunjarakarna (63), maupun dalam kakawin Bhomakawya (86.16) (Zoetmulder, 1995:1253). Tikus juga hadir sebagai wahana dewata, yaitu kendaraan Ganesya berkenaan dengan perannya sebagai “Dewa Perang”, dimana tikus merupakan kendaraan perusak atau penghancur lawan.
B. Gambaran Tikus Sawah dalam Relief Candi
Relief candi mengemban beragam fungsi, antara lain fungsi dokumentatif dan informatif. Dalam fungsi dokumentatifnya, kondisi nyata di masa lalu didokumentasikan secara visual ke dalam bentuk seni pahat (relief). Adapun dalam fungsi informatifnya, pada tampilan visualnya itu dapat “dikeluarkan” informasi tentang sesuatu di masa lalu, yang bukan tidak mungkin sesuatu itu masih didapati hingga kini. Kedua fungsi itu dijadikan acuan untuk ungkapkan relief cerita yang dipahat di teras I Candi Borobudur, yakni relief cerita “Mahakarmawibhangga”, terkait dengan tikus sawah sebagai hama padi.
Pada panil relief 65 digambarkan tiga ekor tikus sawah yang menyerang tanaman padi di suatu sawah yang kala itu tengah berbuah lebat. Tikus menggigit batang bagian tengah dari tanaman padi, hingga barang atas tempat padi berbuah jatuh ke atas tanah untuk dimangsanya. Pada panil sisi kiri digambarkan dua orang petanl tengah berada di kalong antara empat tiang lumbung yang berada di tepian sawahnya untuk menunggui padinya yang tengah berbuah jelang panen bersama dengan seekor anjing penjaga. Gonggong anjing sebenarnya mampu membuat tikus-tikus sawah takut. Namun, kala itu baik petani yang menjaga dan ajing peliharaannya terkantuk-kantuknya, sehingga para tikus bebas berpestapora menggasak tanaman padinya.
Relief hama tikus juga didapati pada panil cerita Mahakarmaeibangga lainnya, yang pada bagian tengah menggambarkan seorang pria sedang membakar sesuatu dan mengarahkan asapnya ke dalam sebuah liang tikus untuk mengusir atau membinasakan tikus-tikus yang berrsembunyi di dalamnya. Terlihat empat ekor tikus, dengan rincian dua ekor berada di dalam lubang (liang), seekor keluar dari liang, dan seekor lain berada di luar liang. Upaya ini dilakukan agar tikus-tikus tidak mengganggu padi di sawahnya. Teknik pemberantasan tikus demikian masih dilakukan hingga sekarang, yang dinamai “emposan”, yaitu membakar daun kelapa kering dan asapnya diarahkan ke dalam liang tikus. Pada relief ini terlihat seekor anjing yang disuruh menyalak atau menggonggong (jegog, jenggong) untuk menakuti-nakuti tikus agar keluar dari sarang untuk kemudian ditangkap secara beramai-ramai (digropyok).
Salah satu binatang — selain burung hantu — yang membantu petani hadapi tikus sawah adalah ular sawah. Perihal relasi antara tikus sawah dan ular sawah digambarkan pada relief “Cerita Tantri” di Candi Sojiwan, yang melukiskan tentang persahabatan antara tikus sawah dan ular sawah. Namun persahabatan mereka tidak lestari. Dikisahkan adanya seekor tikus berhasil ditangkap petani pemburu tikus dan akan digunakan sebagai makanan ular piaraannya. Si ular bermaksud memangsanya, tetapi si tikus memintanya jangan dulu. Katanya kalau sudah memakan tikus, maka ular menjadi gemuk dan ia bakal dimakan oleh pemburu. Oleh karena itu, sebaiknya berteman saja dan mendengarkan nasehatnya. Tikus menyuruhnya untuk menggigit tutup keranjang dimana tikus ditaruh. Demikian tutup keranjang terbuka, maka loloslah tikus. Namun tak lama setelah itu, ular yang kelaparan itu berhasil menangkap dan memangsanya.
C. Hama Tikus dan Upaya Penanggulangannya
Tikus adalah hama kedua terbahaya terhadap tanaman padi. Serbuan tikus bisa membuat panen gagal, atau paling tidak hasil panen padi berkurang. Oleh karena itu diupayakan untuk bisa mengendalikan dan jika mungkin berantas habis hama tikus, baik dengan cara fisik manual, secara hayati, sanitasi, kultur teknik, mekanik, maupun secara kimiawi. Berita tentang serangan hama tikus terhadap tanaman padi jelang panen adalah cerita duka dari waktu ke waktu, bahkan hingga kini. Tikus sawah termasuk dalam ordo Rodentia, famili Muridae dan sub-famili Murinae. Dari sub-famili ini ada dua genus yang memiliki dampak penting pada kehidupan manusia, yakni genus Mus dan Rattus. Bahaya tikus ada pula pada cepat berkembangnya populasi tikus. Umumnya sepasang tikus bisa berkembang biak menjadi 1.270 ekor per tahun. Betapa pesatnya populasi tikus berkembang dalam setahun.
Kegiatan tikus sangat aktif pada malam hari dan kegiatan hariannya amat teratur, dari mencari makanan, minum hingga mencari pasangan. Untuk menghindari lingkungan yang tidak menguntungkan, tikus membuat sarang di daerah yang lembab, dekat dengan sumber air dan makanan. Selain itu, binatang ini tinggal di batang pohon, sela-sela batu, tanggul, jalan kereta api dan perbukitan kecil. Petani harus dapat membedakan tikus sawah dan tikus rumah. Terkait dengan habitatnya ini, pemberantasan tikus secara sederhana adalah dengan bersihkan lahan, sanitasi, rumput atau semak yang suka digunakan tikus untuk bersarang. Cara lainnya dengan memburu tikus secara langsung (disebut “gropyokan tikus”) lewat pembongkaran liang tikus, diburu, dan bila tertangkap dibunuh secara masal. Liangnya digelontor air. Cara lain adalah memasukkan asap ke dalam liang (emposan, fumugasi), sebagaimana digambarkan pada relief Mahakatmawibhangga di teras I Candi Borobudur.
Ada pula pencegahan dengan LTBS atau Linier Trap Barrier System, yang berupa bentangan pagar plastik/terpal setinggi 60 cm ditegakkan dengan ajir bambu dan pada setiap jarak 1 m, dilengkapi bubu perangkap serta pada setiap jarak 20 m dilengkapi dengan pintu masuk tikus berselang-seling arah. LTBS dipasang di daerah perbatasan habitat tikus atau saat ada migrasi tikus. Pemasangan dipindahkan setelah tak ada lagi tangkapan tikus atau sekurang-kurangnya selama 3 malam. Serupa itu adalah membuat tirai persemaian pada saat padi disemai untuk melindungi persemaian padi dari hama tikus. Bahan yang digunakan adalah lembaran plastik atau kain bekas (tinggi sekitar 60 Cm) yang dipasang sekitar persemaian. Cara ini adalah teknik baru, yang tak tergambarkan pada relief tertelaah.
Bunyi-bunyi tertentu bisa juga digunakan untuk mengusir tikus, seperti gonggong anjing, bunyi sendaren (selaput getar tertiup angin), atau bisa dengan menggunakan kaleng dengan satu mulut terbuka dan pada satu sisi lainnya yang tertutup dilubangi untuk diberi benang bol yang digosok gondorukem atau kain berminyak tanah lantas dipelurut dengan jari tangan hingga keluar bunyi. Kitiran yang dihubungkan dengan alat sylophone juga membantu usir tikus. Pada kedua relief itu, gonggong anjing dipakai untuk menakut-takuti tikus yang menyerang sawah atau agar keluar dari sarangnya.
Ada pula cara hayati, yaitu dengan binatang yang menjadi musuh tikus seperti ular sanca, ular elang, burung hantu dsb. Cara hayati yang lain adalah dengan menanam tumbuhan tertentu yang dapat mengusir tikus sawah, seperti buah binatoro yang mengandung racun, daun mint, mengkudu, tanaman berduri, daun sirsak, cabe cawit, tanaman patah tulang, kayu putih, bawang putih, cengkeh, buah kopi, dsb. Tanaman itu bila ditanam di sekitar sawah niscaya sebabkan tikus sawah tak berani mendekati tanaman padi. Pada relief Cerita Tantri di Candi Sojiwan, tergambar permusuhan antara ular sawah dan tikus. Ular sawah adalah hewan pemangsa tikus sawah.
Upaya lainnya adalah secara kimiawi dengan pemberian Rodentisida, yang hanya digunakan bila populasi tikus amat tinggi, utamanya saat bero (awal tanam). Pemakaiannya harus sesuai dosis anjuran. Umpan ditempatkan di habitat utama tikus, seperti tanggul irigasi, jalan sawah, pematang besar, atau di tepian kampung. Atau dengan memberikan fumigasi yang efektif untuk membunuh tikus dewasa beserta anak-anaknya di dalam sarang. Agar tikus mati, lubang tikus ditutup dengan lumpur. Setelah difumigasi, liang tak perlu dibongkar. Fumigasi dilakukan lagi bila masih dijumpai sarang tikus, utamanya ketika pada pada stadium generatif.
Demikian tulisan tentang “tikus sawah”, seperti tergambar pada relief candi. Semoga tulisan ini mampu memberi tambahan pengetahuan para pembaca tentang cara kuno memberantas tikus sawah sebagai hama padi. Kendatipun diberantas, ternyata tikus tetap hidup dari waktu ke waktu. Tikus tetap menjengkelkan. Bahkan, kini keberadaannya tidak hanya di areal persawahan, tetapi juga di perkantoran, sehingga muncul sebutan “tikus kantor”. Yang dikrikiti olehnya bukan batang padi dan yang dimakan bukan bulir-bulir padi, melainkan ngrikiti anggaran daerah/nasional dan memangsa uang rakyat/negara. Tikus berelokasi dari sawah ke kantor, dari hama padi menjadi tikus kantor alias tikus berdasi pelaku “korupsi”.
*Penulis adalah Arkeolog dan pengajar Universitas Negeri Malang