Ozzy Osbourne: Akhir Hidup Si Penghisap Darah Kelelawar

Oleh Eko Y.A. Fangohoy*

Akhirnya mati juga Pangeran Kegelapan itu. Sekitar tahun 2010, ilmuwan yang tergabung dalam Knome, suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang bioteknologi, melakukan pengurutan DNA lengkap terhadap Ozzy Osbourne–Sang Pangeran Kegelapan–untuk mengetahui apa yang membuatnya unik dan mengapa ia masih hidup pada tahun tersebut. Salah satu hasil temuan mereka adalah bahwa DNA Sang Pangeran memiliki genome yang unik sehingga bisa menyerap sedemikian rupa berbagai zat-zat merusak yang dikonsumsinya selama ini: minuman keras, obat-obatan, dan mungkin juga darah kelelawar. Itulah sebabnya, ia masih hidup sampai waktu penelitian itu dilakukan. “Umurnya akan melebihi kita semua. Itu membuatku kagum–bagimana tubuhnya bisa menanggung sedemikian banyak [zat yang merusak],” kata Sharon Osbourne, istri Sang Pangeran. Ternyata, pada 22 Juli yang lalu, kekaguman para ilmuwan dan Sharon itu terhenti.   

Pangeran Kegelapan yang masih sempat tampil di depan para penggemarnya di Birmingham, Inggris, pada 5 Juli 2025–tepat 17 hari sebelum ia dipanggil oleh, barangkali, Kaisar Kegelapan di neraka–dan yang terkenal sebagai frontman Black Sabbath ini adalah sosok yang unik dalam sejarah musik rock dunia. Dengan perjalanan hidup yang panjang—membentuk band sendiri, bersolo karier, dan mengorganisasi Ozzfest—pria kelahiran 3 Desember 1948, Warwickshire, Inggris ini mengaku bahwa The Beatles menjadi inspirasi awalnya dalam bermusik. Dalam kata-katanya sendiri, “tidak terjadi apa-apa” dalam hidupnya sampai ia pertama kali mendengar The Beatles. “Sepertinya ada yang membalikkan dunia di ata saya,” katanya mengenai perjumpaan pertamanya dengan lagu the Beatles, “She Loves You”. 

Namun, berbeda dengan genre musik rock ketika ia bertumbuh, Ozzy hidup dalam—dan menghidupkan—genre rock yang berbeda. Dari genre musik masa remajanya, masuk ke dalam suatu genre rock yang berbeda, serta kemudian kelak ia “menarik diri” dari band serta genre yang membuatnya terkenal, Ozzy seolah melakukan gerakan “keluar” terus-menerus. Seolah-olah, predikat “Pangeran Kegelapan” yang disematkan kepadanya memang sangat cocok, karena ia selalu mencoba keluar dari kerangka formal yang mencoba membingkainya. Dari pembakuan yang jelas dan terang, ia bergerak ke arah yang “tidak jelas” dan bersembunyi di dalam kegelapan. Inilah sekelumit perjalanan musikal Sang Pangeran Kegelapan. 

 

Dari Tritunggal Baik ke Tritunggal Jahat

Membuat periodisasi dalam sejarah music rock merupakan pekerjaan susah-susah gampang. Musik rock adalah genre musik yang dalam sejarah mengalami proses duplikasi, replikasi, ramifikasi, dan diversifikasi terus-menerus. Abad ke-20 adalah “abad rock”. Semua genre music pasca-Perang Dunia ke-2 hampir secara mudah dilabeli sebagai “rock ini” atau “rock itu”. Kapitalisasi music rock tak bisa dihindari. Musik rock yang lahir di dunia barat menjadi salah satu komoditas pasar bebas. Selain film dan pakaian, justru musik rock inilah yang menjadi tulang punggung ekspansi budaya Barat ke seluruh dunia. 

Sejarah music rock diisi oleh beberapa fase genre music dengan beberapa band atau musisi yang menjadi pengusungnya. Fase rock awal ditandai oleh kelahiran music rock, yang diusung oleh para musisi Amerika pada era 1950-an awal (bahkan sebelumnya). Era “golden rock n’ roll” ini berakhir dengan kelahiran rock n’ roll modern yang diusung oleh, antara lain, trio band Inggris: The Beatles, The Rolling Stones, dan The Who. Fase selanjutnya ditandai ditandai oleh genre rock yang lebih beragam, salah satunya adalah genre psikedelik/progresif rock yang diusung oleh—untuk lebih mudahnya diwakili oleh, kebetulan trio band Inggris juga: Pink Floyd, King Crimson, dan Gentle Giant (beberapa pengamat biasanya mengganti Gentle Giant dengan The Moody Blues atau yang lain). Di sisi lain ada genre hard rock yang diusung oleh, antara lain—supaya sama dengan angka tiga sebelumnya, mari kita buat trio band, dan dari Inggris juga: Led Zeppelin, Deep Purple, dan Black Sabbath.  

Dari genre hard rock di atas, ketiga band pengusung genre ini sering dilabeli sebagai “unholy trinity” alias “tritunggal tidak suci” atau “tritunggal jahat”. Black Sabbath, Deep Purple, dan Led Zeppelin memiliki kontribusi dan pengaruh siginifikan pada perkembangan genre hard rock pada awal tahun 1970-an. Ketiganya dinilai menjadi pionir dalam mendorong batas-batas rock dari era sebelumnya—sebut saja era “tritunggal suci” atau “tritunggal baik” (Beatles, Rolling Stones, dan the Who)—dengan memasukkan rif gitar yang lebih berat, vokal yang lebih kuat, serta struktur lagu yang kompleks. 

Mengikuti Dietmar Eflein (2017), ketiga pengusung hard rock tadi sebenarnya berada dalam suatu kontinum yang sama tetapi berada pada sisi yang berbeda. Menurut Eflein, Black Sabbath berada pada sisi paling kanan dari suatu kontinum genre music rock. Kontinum ini—hard rock—berhulu di suatu jenis rock yang lebih bersifat blues dan berhilir di suatu jenis rock yang lebih keras, berat, ekstrem. Berikut ini diagram yang menggambarkan kontinum genre hard rock.

Led Zeppelin dan Deep Purple berada sisi sebelah kiri, sementara Black Sabbath pada sisi paling kanan, yang mewakili variasi yang lebih beragam, tetapi lebih gelap, dengan aspek blues yang berkurang. 

 

Black Sabbath: Keluar dari Jalur Hard Rock

Eflein lebih jauh menjelaskan apa yang dilakukan Black Sabbath pada sisi paling kanan dari spektrum hard rock di atas:

On the way toward extreme metal, the degree of distortion increases and supplements the guitar sound with distorted bass and screamed and/or growled vocals. Distorted drum sounds are few and commonly labeled as an industrial/electronic musical influence. The tone color of the bass is, however, relatively unimportant, while the timbre of the vocals is so strongly differentiated within various sub-genres that there is no such thing as a timbre typical to heavy metal as a whole. At the same time, the use of vocals in heavy metal seems to be influenced by a regard for the virtuosic control of the voice.

Penjelasan Eflein ini memperlihatkan bahwa Black Sabbath mengintesifkan suara distorsi pada gitar dan bass serta juga fitur vokal yang lebih berkarakter. Menurutnya, ini yang menjadi kekhasan dari genre heavy metal yang membedakan dari genre induknya: hard rock. 

Sementara itu, Deena Weinstein (2000) menjelaskan perbedaan Black Sabbath dengan mencoba menjawab pertanyaan: siapa pelopor heavy metal, Led Zeppelin atau Black Sabbath. Menurutnya, publik di Amerika Serikat lebih cenderung menganggap Led Zeppelin sebagai pelopor genre tersebut, sementara publik Inggris lebih condong pada Black Sabbath.  Namun, ia tak ragu mengatakan bahwa 

Black Sabbath’s tour in the early 1970s was touted by the record company as “Louder Than Led Zeppelin.” At concerts the stage is loaded with stacks of amplifiers so that the decibel level of the instruments can be raised to the Iimit. (Weinstein, hlm. 23). 

Sama seperti Eflein, Kristian Wahlström (2015) juga melihat kekhasan Black Sabbath terletak pada “time feel” drumnya yang memengaruhi suara keseluruhan band. 

As an example, a closer study of Black Sabbath has shown how the time feel of the drums affects the sound of the whole band. The “heaviness” can be examined from a rhythmic point of view. Black Sabbath, sounding dark and heavy, belongs more to the genre of classic heavy metal rather than hard rock.

Wahlström menyebut salah satu lagu Black Sabbath, “Sabbath Bloody Sabbath” (Sabbath Bloody Sabbath, 1973) menggambarkan nuansa berat dari kutipannya di atas. Menurutnya, pada lagu ini, gitar disetel lebih rendah daripada penyetelan standar, dan suara gitarnya lebih terdistorsi dibandingkan band-band lain di era yang sama, misalnya Led Zeppelin, Aerosmith, atau AC/DC. Mengenai ritme, dan lebih spesifik lagi, fungsi masing-masing instrumen dalam band, riff utama yang terdengar di intro dan verses mengungkapkan gagasan yang menarik. Secara jeli, ia melihat bahwa cukup jelas pada bagian riff sebelum verse kedua, drum dimainkan lebih santai, atau di belakang ketukan, dibandingkan instrumen lainnya. Nuansa lazy time terutama terlihat pada birama pertama dari riff dua birama tersebut, dan dipadukan dengan suara tom-tom drum yang lebih berat dan dalam, alih-alih snare drum standar.

Fakta bahwa drum lebih santai dibandingkan instrumen lainnya membuat keseluruhan band terdengar lebih berat, seolah-olah drum menyeret bass dan gitar. Hasil interaksi di antara musisi ini terlihat jelas ketika membandingkan bagian riff yang disebutkan sebelumnya pada rekaman orisinal dengan rekaman langsung dengan pemain yang sama sekali berbeda di album Ozzy Osbourne, Speak Of The Devil (1982). Versi terakhir terdengar lebih ringan dan cerah, dan drumnya jelas kurang santai. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena ini memberi Black Sabbath nuansa ritmis yang khas, yang menciptakan alur yang signifikan bagi band. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena ini memberikan nuansa ritme khas Black Sabbath, yang menciptakan alur (groove) yang signifikan pada band tersebut. (Wahlström, 2015).

Wenstein masih menambahkan unsur lain yang belum ada dalam pengusung hard rock sebelumnya—Satanism:

Black metal stands in thematic opposition to Christianity, not looking  upward to heaven but setting its sights on the underworld. Satanic symbols and imagery have been a staple of heavy metal since its beginnings with Black Sabbath and Led Zeppelin (Weinstein, hlm 34).

Namun, berbeda dengan Zeppelin, Sabbath—terutama Ozzy—menjadi langganan sasaran tuduhan warga Gereja atas keterkaitannya dengan setanisme.  Citra “klinis” yang menempel pada Zeppelin praktis tidak dimiliki Sabbath dan Ozzy. Baik penampilan mereka di atas panggung maupun lirik-lirik lagu yang lebih gelap—serta asal mula nama band ini yang berasal dari film horor Italia tahun 1963—melekat pada Black Sabbath dan tentu saja pangeran dari band dan subgenre baru ini. 

Seperti ditulis oleh Christopher M. Moreman (2003): “One Christian preacher, Jeff Godwin, decried Ozzy’s drunken decapitation of the dove as the symbolic destruction of the Holy Spirit.” Salah satu hal lain yang sering dikaitkan dengan Ozzy adalah kisahnya yang menggigit dan menghisap darah kelelawar dalam salah satu aksi panggungnya. Terinspirasi oleh adegan “lempar kue” dalam banyak aksi komedi, ia memutuskan bahwa barangkali hal yang kurang lebih sama bisa dicoba dalam konsernya.  Ia menutup salah satu tur “Diary of a Madman” tour pada tahun 1982 dengan melemparkan daging mentah ke arah penonton. Akibatnya para penonton mulai melemparkan daging kea rah Ozzy. Ia sendiri mengingat bahwa salah satunya adalah bangkai tikus dan testikel domba, bahkan ular hidup dan seekor katak besar. Ketika seekor kelelawar jatuh di atas panggung, Ozzy mengira itu hanya boneka karet, dan ia pun mulai menggigitnya. “Saya harus dibawa ke rumah sakit dan mendapat suntikan antirabies,” katanya“

Hal belakangan ini belum pernah dilakukan oleh Ian Gillan (Deep Purple) atau Robert Plant (Led Zeppelin)—Namun, seperti dituliskan oleh Moreman, Ozzy belakangan menyangkal keterkaitannya dengan pandangan hidup satanism: 

Through a brief biographical sketch, it becomes obvious that Ozzy Osbourne is far from a worshipper of the Dark Lord, but simply a talented iconoclast with a flair for creating controversy, and thus publicity.

Kontras musikal antara Black Sabbath dan Led Zeppelin bisa ditarik lebih jauh pada pencapaian penjualan album-album mereka. Berdasarkan data dari Recording Industry Association of America (RIAA), Black Sabbath memperoleh penghargaan 12 gold, 8 platinum, dan 3 gold untuk album-albumnya. Sementara itu, Led Zeppelin memperoleh penghargaan 19 gold, 18 platinum, dan 14 gold. Ini menunjukkan bahwa sound Led Zeppelin lebih mudah didengar dan populr, ketimbang sound Black Sabbath yang sepertinya lebih memiliki penggemar esoteris. 

 

Ozzy Osbourne: Keluar dari Black Sabbath

Pada akhir dasawarsa 1970-an, Pangeran Kegelapan—istilah yang disematkan oleh Ozzy pada dirinya sendiri—masuk dalam dunia yang lebih gelap. Obat-obatan yang memang menjadi ciri khas musisi rock sejak 1960-an semakin mewarnai kehidupannya. Teman-temannya di Black Sabbath, Tony Iommi (gitaris), Bill Ward (drummer), dan Geezer Butler (basis), memutuskan untuk mengeluarkan Ozzy pada April 1979. 

Alasan yang diberikan kepadanya adalah bahwa Ozzy tidak bisa dipercaya dan memiliki kecanduan pada obat-obatan yang berlebihan dibandingkan dengan anggota band lain. Ozzy mengeklaim bahwa konsuminya atas alkohol dan obat-obatan lain pada saat tidak lebih banyak atau tidak lebih sedikit dibanding ketiga temannya di Black Sabbath. Namun, akhirnya ia tetap keluar dari band yang ia besarkan dan membesarkannya. Never Say Die! (1978) menjadi album terakhirnya bersama Black Sabbath. Itu adalah album ke-8 sejak album debut mereka: Black Sabbath (1970). Kelak, mereka sempat reuni beberapa kali pada tahun 1990-an dan 2010-an (dengan album: Reunion, 1998, dan 13, 2013). 

Selain bersolo karier, Ozzy sibuk membentuk band lain, Blizzard of Ozz, dibantu oleh gitaris Randy Rhoads. Jelaslah, band ini sebenarnya hanya merupakan alat Ozzy Osbourne mengekspresikan minat dan selera musiknya. Arah musikal yang diambil Ozzy melanjutkan apa yang sudah dilakukannya dalam Black Sabbath. Citra yang melekat padanya sebagai Pangeran Kegelapan terus berlanjut. Album ketiganya bersama Blizzard of Ozz, Bark at the Moon (1983), menimbukan kontroversi. Seorang pria Kanada beranama James Jollimore membunuh seorang perempuan dan dua orang anaknya setelah dikabarkan mendengarkan album ini. Media dan berbagai kelompok Kristen seperti biasa langsung menuduh album ini dan Ozzy sendiri sebagai “setanis” dan memengaruhi Jollimore melakukan perbuatannya tersebut. Parahnya lagi bagi Ozzy, ini berbarengan dengan kasus lain di mana seorang penggemar bunuh diri setelah ia, dikabarkan, mendengar lagu “Suicide Solution” (dari album debut Blizzard of Ozz, 1980).

Namun, bukan Pangeran Kegelapan jika ia tidak mencoba berkeliat keluar dari bingkai-bingkai formal yang dicoba diterapkan padanya. Pada dasawarsa 1990-an, Ozzy dan istrinya, Sharon Osbourne—dibantu juga oleh putra mereka Jack Osbourne—mengadakan apa yang kemudian disebut sebagai Ozzfest, suatu festival tur musik tahunan di Amerika (dan kemudian juga di Eropa dan Jepang). Festival tur ini mengumpulkan banyak band heavy metal dan hard rock. Acarea ini secara rutin dilakukan antara tahun 1996 dan 2018. 

Walaupun banyak diisi oleh band bergenre heavy metal dan hard rock, festival ini mencakup juga genre lain, terutama berbagai subgenre di bawah payung heavy metal: alternatif metal, thrash metal, industrial metal, metalcore, hardcore punk, deathcore, nu metal, death metal, post-hardcore, gothic metal dan black metal. Kadang, Ozzy Osbourne dan band lamanya, Black Sabbath, tampil pula di ajang festival ini. 

Dasawarsa 2000-an menjadi saksi bagaimana Pangeran Kegelapan keluar dari pembingkaian formal yang diberikan kepadanya: ia muncul di hadapan publik dalam suatu acara reality show di MTV bertajuk The Osbournes. Bersama dengan istrinya Sharon, kedua anaknya, Jack dan Kelly Osbourne (anak tertuanya, Aimee Osbourne, sama sekali menolak tampil), Ozzy menjadi bintang dalam dunia yang tak pernah terbayangkan oleh media pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya.  Acara yang tayang antara tahun 2002 sampai 2005 ini menyedot banyak pemirsa dan, selain memiliki rating paling tinggi dalam sejarah MTV, acara ini memenangkan Primetime Emmy Award for Outstanding Reality Program pada tahun 2002. 

 

Epilog

Pada awal tulisan ini, disebutkan bahwa predikat “Pangeran Kegelapan” bukanlah predikat kosong untuk Ozzy Osbourne. Perjalanan musik dan hidupnya selalu berlari ke arah sisi-sisi gelap dalam sejarah musik. Studi terhadap DNA Pangeran Kegelapan yang membuat para ilmuwan bioteknologi kagum pada awal tulisan ini pun ternyata “tidak terhasil” menangkap rahasia Sang Pangeran. Sang Pangeran tidak hidup panjang umur. Ia “mati muda”, dalam usia 76 tahun–tentu ini usia yang cukup tua. Namun, dibandingkan para “opa” dari Rolling Stones dan Beatles, seperti Mick Jagger dan Paul McCartney, Sang Pangeran Kegelapan ternyata pergi lebih dulu. Tidak ada DNA yang bisa menahan kepergiannya lebih dulu daripada musisi favoritnya ketika masih remaja.

Namun, Sang Pangeran Kegelapan meninggalkan warisan unik untuk generasi selanjutnya: musik tidak selalu harus dibuat dengan cara yang sama. Bermusik seolah berarti mencari cara-cara berbeda, cara-cara baru, cara-cara yang tidak selalu mudah untuk diformalisasikan dalam bingkai terang, tetapi selalu menghindar ke dalam kegelapan. Hal-hal yang dilakukan pada beberapa dasawarsa terakhir hidupnya, baik Ozzfest maupun The Osbournes, menjadi bukti bahwa Ozzy Osbourne masih bisa mengejutkan media dan para pengamat. Barangkali, Ozzy Osbourne lahir memang untuk mendokumentasikan sisi-sisi gelap manusia yang tidak selalu mudah untuk dijelaskan.***

—-

Daftar Acuan

Elflein, Dietmar (2017), “Iron and Steel: Forging Heavy Metal’s Song Structures or the Impact of Black Sabbath and Judas Priest on Metal’s Musical Language” dalam Brown, Andy R.; Kahn-Harris, Keith; Scott, Niall; Spracklen, Karl (eds.). Global Metal Music and Culture: Current Directions in Metal Studies. 

“Five of Ozzy Osbourne’s wildest rock ’n’ roll moments” (2020), New York Post, https://nypost.com/2020/09/05/five-of-ozzy-osbournes-wildest-rock-n-roll-moments/

Moreman , Christopher M. (2003), “Devil Music and the Great Beast: Ozzy Osbourne, Aleister Crowley, and the Christian Right”, dalam Journal of Religion and Popular Culture, Volume V: Fall 2003.

“Ozzy Osbourne Is a Genetic Mutant: Osbourne’s genome shows he’s a part-Neanderthal with key gene variants” (2010), ABC News. https://abcnews.go.com/Health/Wellness/genetic-mutations-ozzy-osbourne-party-hard/story?id=12032552 

Wahlström, Kristian (2015), “The Groove of Hard Rock and Heavy Metal”, dalam Modern Heavy Metal: Markets, Practices and Culture.

Weinstein, Deena (2000), Heavy Metal: The Music and the Culture.

—-

*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).