Proses Kreatif “Aduh”
Oleh Jose Rizal Manua
Kami berlatih di teras rumah mas Putu yang berukuran 3m X 5m, yang di sudut-sudutnya berisi beberapa kursi. Di ruang sempit yang panas inilah mas Putu menyusun pengadeganan. Ya, kalau siang terasnya terasa cukup panas, membuat semua pemain mandi keringat setelah menyelesaikan sesi latihannya. Tapi, hikmah dari tempaan latihan keras ini membuat kami, para pemain jadi tahan banting. Dan terasa lega, setelah latihan berpindah ke Teater Salihara, tanggal 6 -10 Mei 2024. Di tempat mana kami akan mempertunjukan tontonan “Aduh”, pada tanggal 11 dan 12 Mei 2024.
Mas Putu Wijaya menetapkan latihan di mulai setelah pencoblosan pemilu, Selasa, tanggal 14 Februari 2024. Pukul 14.00 WIB- hingga malam hari. Tapi selama bulan ramadhan jadwal latihannya, pukul 14.00 hingga 18.00 WIB. Pada latihan pertama, kami, para pemain (Jose, Bei, Uliel, Ari, Rukoyah, Widi, Acong, Agung, dan Peni, sementara Taksu dan Imron menyusul), dibebaskan untuk memilih dialog yang kami sukai.
Perlu saya jelaskan, bahwa biasanya sutradara menentukan peran pada masing-masing aktornya, tapi kali ini Mas Putu mengambil kebijakan yang mengejutkan saya. Yaitu, setiap pemain disuruh memilih dialognya sendiri-sendiri. Ini memang tidak lazim dan agak aneh. Tapi begitulah proses yang kami jalani dalam memilih peran. Sehingga ketika masing-masing pemain usai memilih dialog terjadi tumpang-tindih, saling-silang, dan kontradiksi dalam hubungan “antar-watak” dari peran. Saya mengucapkan dialog “Pemimpin”, “Perintis”, dan dialog “Salah Seorang”, begitu juga teman-teman lain, dan kami akhirnya bingung sendiri. Dialog yang seharusnya diucapkan oleh saya, diucapkan oleh pemain lain, begitu pula sebaliknya. Tapi mas Putu dengan mudah meluruskan semua itu, tanpa menukar dialog yang kami pilih. Yaitu, yang selalu disebutnya sebagai ‘bertolak dari yang ada’, (melalui, jalan tikus atau memaksimalkan segala keterbatasan secara kreatif). Sehingga muncul hal-hal baru yang segar dan otentik. Yang memperkaya naskah tersebut.
Suatu ketika Mas Putu mengatakan: “Ini naskah saya yang menulis, jadi saya bisa sesuka saya membolak-balikkannya. Tapi kalau orang lain memainkan “Aduh”, kemudian melakukan, seperti apa yang saya lakukan sekarang ini, saya akan marah”, katanya sambil ngakak.
Uniknya, dialog-dialog yang kami pilih tersebut, membentuk perwatakannya sendiri, yang berdasar pada kecenderungan masing-masing individu. Dan dari sana watak masing-masing peran terbentuk. “Watak”, dalam tanda petik. Karena kita tahu, bahwa di dalam naskah “Aduh” tidak ada “watak” (yang mengandung dimensi phisiologi, sosiologi, dan psikologi), sebagaimana yang kita kenal dalam konsep Teater Barat.
Tokoh-tokoh di dalam naskah Aduh, hanyalah identitas atau sebutan, sebagai; “Si Sakit”, “Salah Seorang”, “Yang Simpati”, “Yang Usul”, “Pemilik Balsem”, “Yang Iri”, “Yang Berani”, “Yang Kesurupan”, “Pemimpin”, “Perintis”, “Yang Marah”, “Wakil”, “Yang Lain”, “Yang Satu”, “Yang Satu”, “Yang Makan”, dan “Pengusut”.
Karena para pemain memilih dialognya masing-masing, maka muncul masalah yang hubungannya dengan sebab-akibat, tapi secara kreatif Mas Putu merangkai hubungan sebab-akibat itu menjadi suatu kewajaran dalam satu-kesatuan yang tetap utuh.
Saya adalah salah satu pemain yang sulit menghafal dan paling akhir hafal naskah, sehingga sebagian dialog saya sebagai “Pemimpin” atau “Perintis” dioperkan kepada Bei, atau sebaliknya. Bahkan ada satu-dua dialog yang diucapkan oleh tiga orang pemain secara bergantian. Ini semua dilakukan untuk mengejar suasana dramatik dari adegan. Dan Mas Putu sangat piawai dalam meracik hal ini.
Misteri Yang Saya Alami
Saya sangat bersemangat untuk terlibat dalam proses “Aduh”. Karena naskah lakon ini adalah naskah lakon terbaik dalam Lomba Penulisan Naskah Lakon Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1973. Untuk itu saya harus melepaskan kontrak film dan beberapa pekerjaan lainnya. Karena menurut saya proses bagaimana Mas Putu menggarap naskah “Aduh” ini, sangat penting! Bagi saya “Aduh” adalah salah satu naskah lakon yang sulit di sutradarai. Tapi ditangan Mas Putu, dengan konsep Bertolak Dari Yang Ada, Teror Mental, dan Anekdot, semua bisa menjadi Unik, Otentik, dan Indah.
Kesulitan menghafal dalam proses “Aduh”, dikarenakan dialognya tidak runtut dan melompat-lompat penuh akrobatik. Dan saya harus mencari dan menemukan sendiri hubungan sebab-akibatnya secara kreatif. Disamping itu terdapat kalimat-kalimat yang sulit dihafal, karena kalimat tersebut merupakan cetusan dari pikiran-pikiran liar yang menyentak dan meledak, dan tidak memerlukan “inner action”. Misalnya, kalimat: “Lihat, dia yang mati di sana itu. Aku jadi ingat diriku sendiri, mungkin juga kau. Aku benci dia. Tapi kalau dipikir-pikir umpama kita seperti dia, tidak seperti kita sekarang ini. Tidak punya kenalan. Lepas di jalan raya seperti ayam. Sakit sendirian, berusaha sendirian, kalah-menang sendirian. Dan akhirnya mati juga sendirian. Wah, kita akan seperti dia, seperti apa yang dilakukannya tadi dan sekarang ini” … “Mereka akan ribut. Dan kita semua akan ditangkap. Untung tidak ada orang lain. Itu fitnah, kita di sini semua sama. Bangsat, sudah di tolong masih bikin celaka” … “Aku menyesal kau telah menjerumuskan kawan-kawan … Seperti perempuan tidak punya daya tahan. Mestinya kau bisa menolak tadi”. Dan beberapa kalimat lainnya yang merupakan cetusan dari pikiran.
Untuk mengatasi semua kesulitan itu, saya harus bekerja ekstra keras. Misalnya, dengan datang ke tempat latihan lebih awal, dan membaca dialog itu berulang-ulang hingga melampaui batas bosan.
Tidak hanya usai latihan saya terus latihan menghafal dan menghayati dialog-dialog itu, tapi juga dalam perjalanan ke tempat latihan. Itu sebabnya di dalam bis Trans Jakarta, saya selalu memakai masker supaya tidak kelihatan sedang menghafal naskah. Dan, Alhamdulillah, semua kerja keras itu akhirnya, terbayar. Dalam pementasan dua mlam itu, 11 dan 12 Mei 2024, saya bisa menjadi bagian ensamble, dari satu-kesatuan orkestrasi “Aduh”, yang saling melengkapi.
Saya bergabung di Teater Mandiri sejak tahun 1975, ketika ikut main dalam pementasan “LHO” (1975).
Ketika itu, di awal Agustus 1975, mulai dari larut malam hingga fajar merekah saya sangat tertarik menyaksikan latihan Teater Mandiri di Teater Halaman- Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang dipimpin oleh mas Putu Wijaya, setelah tinggal di masyarakat komunal Ittoen selama 7 bulan (1973).
Latihan yang dilakukan oleh mas Putu dengan beberapa anggota Teater Mandiri ini menurut saya tidak lazim, karena di mulai setelah larut malam dan berakhir menjelang fajar. Usai latihan semua pemain mandi keringat karena latihannya berlangsung selama lima jam tanpa istirahat; sangat keras dan menguras tenaga.
Belum pernah saya menyaksikan proses latihan teater serupa ini, yaitu tanpa kata-kata dan tidak ada jalan ceritanya. Mas Putu menamakan garapannya kali ini “Lho” yang kemudian dipentaskan di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tanggal 25-29 November 1975, dengan penonton yang selalu penuh setiap malamnya.
Setiap larut malam saya menyaksikan latihan itu, menemani pelukis Nashar yang sesekali memberikan latihan olah gerak dan olah batin. Setelah menyaksikan latihan selama dua minggu, akhirnya saya memberanikan diri untuk bergabung dalam latihan, dan mas Putu mempersilahkan. Sejak saat itu hingga sekarang saya menjadi salah satu anggota Teater mandiri.
Yang menarik dari proses “Lho” ini adalah properti yang setiap hari bertambah; ada gerobak, tali-tali yang dianyam, tangga, ondel-ondel, lampion, dan lain-lain, yang dipungut dari barang-barang rongsokan yang ada di sekitar Taman Ismail Marzuki. Semua properti yang digunakan tidak ada yang dibeli.
Suasana dari adegan-adegan yang dibangun kadang mengerikan dan dalam tempo yang cepat, ditingkah gemuruh musik Bali dan musik dari tong yang dipukul. Tidak ada penyelesaian dari adegan-adegan itu. Semua sambung-menyambung, menggambarkan cuplikan-cuplikan dari sketsa kehidupan yang keras, kejam dan kelam, yang merefleksikan ketidak-adilan. Protes terhadap ketidak-adilan ini adalah protes tanpa suara, tanpa menggunakan ‘kata’ protes. Kepada siapa saja yang menganggapnya sebagai protes.
Untuk mewujudkan pementasan diperlukan aktor-aktor Yang tangguh. Karena ketangguhan fisik sangat diperlukan dalam Pementasan yang temponya cepat ini.
Tidak ada tokoh utama dan tidak ada fokus! Ini mengingatkan saya pada lukisan tradisional Bali. Kalau kita melihat lukisan Bali yang tradisional maka ada beberapa hal yang sangat menarik, di antaranya seluruh bidang kanvas terisi penuh, yang berbeda dengan lukisan-lukisan Cina yang banyak memberikan ruang-ruang kosong.
Dalam lukisan Cina ruang-ruang kosong itu seperti puisi yang berbicara dengan sendirinya. Tetapi pada lukisan tradisional Bali tidak ada ruang kosong. Sehingga bila orang ingin mencari fokus dia akan bingung, karena fokusnya tidak jelas yang mana. Sepertinya semua yang dilukiskan di dalam kanvas (yang ada di tengah, sudut kiri, kanan, atas, bawah) berebutan untuk menonjol. Seolah orang Bali tidak mengenal fokus. Tetapi sebetulnya lukisan tradisional Bali itu adalah multi (banyak) fokus. Kemana saja orang memandang, itu adalah fokus. Begitulah yang tercermin dalam pementasan mas Putu.
Bentuk pementasan yang ditawarkan mas Putu ini juga menyimpang dari kelaziman. Umumnya sebuah pementasan ada alur cerita, ada tokoh utama, tokoh kedua dan ada penyelesaiannya. Tetapi pada “Lho”, pertunjukan berakhir dengan dimulainya adegan baru.
Misalnya, ketika pertunjukan usai dan penonton keluar dari gedung, adegan baru tiba-tiba berlangsung, di mana para pemain sudah ada di luar gedung dan dalam keadaan bugil teronggok di dalam gerobak. Kemudian seseorang mendorongnya pakai kayu ke dalam kolam yang ada di depan Teater Arena, seolah barang-barang rongsokan atau onggokan sampah.
Beberapa pemain lainnya sudah nongkrong di dalam kolam itu seperti orang yang sedang buang hajat. Mereka berdiskusi tentang masalah-masalah sosial-politik yang banyak dibicarakan oleh para Pejabat Negara di surat-surat kabar dan di televisi.
Dan penonton yang sudah mau pulang terpaksa tertahan, menyaksikan adegan yang berlangsung di kolam kecil itu. Bahkan penonton yang baru usai menyaksikan pertunjukan di Teater Tertutup (Teater Arena dan Teater Tertutup letaknya berseberangan) juga turut menonton, sampai akhirnya penonton pergi dan pulang dengan sendirinya.
Dari proses ‘Lho’ ini saya merasakan bahwa, konsep “Teror Mental, Bertolak Dari Yang Ada” sangat kental dalam diri mas Putu Wijaya. Juga konsep anekdot yang menjadi subjeknya. Semua Nampak nyata dalam pementasan ‘Lho’.
Selanjutnya, saya main dalam pementasan “LOS” (1980), “ZAT” (1982), “FRONT” (1986), “JPRUTT” (2018), “BILA MALAM BERTAMBAH MALAM” (2019), “GEER” dan “AH” (2021-2023), “ADUH” (2024), dan lain-lain.
Ketika Teater Mandiri mementaskan “Aduh” di Teater Arena- Taman Ismail Marzuki, tahun 1974. Saya sempat menontonnya. Membandingkan “Aduh” yang dipentaskan di Teater Salihara, tanggal 11 dan 12 Mei 2024, ini sangat berbeda. Perbedaannya tidak hanya pada idiom-idion artistik (seperti penggunaan 2 layar) yang menghasilkan siluet, sungai dan semak-semak, tetapi juga pada detail dan tafsir baru. Bahwa “yang sakit”, salah satu peran di dalam naskah, bukan hanya seseorang, tapi bisa juga bangsa atau Negara?
Menurut saya, “Aduh” yang di sutradarai tahun 2024, digarap lebih rinci, lebih detail, sehingga terasa sangat aktual dengan keadaan bangsa dan Negara Indonesia saat sekarang.
Penyutradaraan Aduh
Mas Putu adalah pekerja keras yang sangat menghormati dan menghargai penonton. Dia selalu ingin menyuguhkan tontonan yang terbaik untuk penontonnya. Itu sebabnya, untuk semua pemain dituntut ketangkasan individu, komitmen ensamble dan kerja keras. Karena gagasan-gagasan mas Putu datang sangat deras dan pemain harus mengimbanginya secara tangkas.
Dalam menyutradarai Aduh, mas Putu mengatakan: “Sebagai tontonan untuk masyarakat majemuk saya upayakan ADUH tidak berpijak di tanah seperti dongeng; sehingga bisa melayang di mana dan ke mana saja serta menyapa semua orang tak peduli apa keyakinan, panutan dan kebangsaannya.
Bebas bablas seperti anekdot. Sehingga tak menembak atau mengoyak telak sasaran tertentu. Terkesan hanya mengajak gojeg, bercanda dengan lelucon murahan/kampungan, yang tak menyentuh, apalagi melukai siapa pun. Bahkan yang kebetulan kecipratan sentilannya pun masih ikut tertawa atau tersenyum”.
Mas Putu mencuri ilmu anekdot yang selalu memakai topeng penggeli hati.
“Padahal kalau dibor jauh di dasar hati lamat-lamat ada udang di balik batu. Dengan kata lain saya jadi percaya, semua orang; bisa kita ajak ngerumpi asal kita mau pakai jalan tikusnya. Jadi tidak ada yang tak mungkin dalam dunia kreatif. Asal kita tetap percaya, meskipun rasa tak mungkin”. Katanya sambil tertawa.
Kemudian lanjutnya: “Gunjingan konyol yang tidak perlu dipercaya; ketika dibawakan dengan penuh penghayatan dan keyakinan dengan mengerahkan jiwa raga sebagaimana para pejuang yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai dalam Puputan Margarana, Bali; para pendukung tontonan akan menjadikan lakon (ADUH) sebagai sihir yang membawa penonton ke alam tak nyata tapi yang justru sangat nyata”.
Bagi Mas Putu tontonan bukan sekedar hiburan, tapi ritual untuk meresapi makna dari peristiwa.
Bagi saya, meskipun bersumber dari Teater Tradisi dan Teater Rakyat, konsep teater Putu ini sangat spesifik dan unik, juga bentuk pementasannya; berbeda dengan konsep kelompok-kelompok teater yang ada di Indonesia, bahkan tidak ada padanannya di dunia teater Barat.
Kreatifitas mas Putu dalam proses “Aduh” ini mengalir sangat deras, sehingga kami tunggang-langgang untuk mengimbangi gagasan-gagasannya. Ada saya gagasan kreatifnya dalam setiap sesi latihan, dan kami selalu ketinggalan ketika mengimplementasikannya dalam wujud pengadeganan. Misalnya, menjelang pementasan tanggal 11 Mei 2024, pukul 17.00 WIB, ketika beberapa pemain sedang latihan layar hitam, tiba-tiba ada salah satu pemain yang lampu HP-nya menyala. Secara spontan mas Putu berkata: “Coba nyalakan HP-HP yang lain. Semua yang di belakang menyalakan HP!”, teriak Mas Putu. Semua yang dibelakang layar menyalakan HP-nya masing-masing. “Coba gerakkan di layar… mengumpul… menyebar… terus, layarnya juga digerakkan… terus…!”, teriaknya. Dan permainan dari lampu HP yang barusan dilatih, langsung dijadikan adegan pertama untuk tontonan “Aduh”.
Akhirnya tontonan “Aduh” diawali dengan permainan cahaya dari HP yang menyiratkan gerak dari kunang-kunang. Suasana menjadi magis, karena diantaranya terdengar raungan bunyi sirine/ alarm. Ini merupakan sebuah adegan pembukaan yang memukau dan mencekam.
Gagasan-gagasan kreatif mas Putu, seringkali membuat saya berdecak kagum. Seperti, misalnya, layar hitam yang ukurannya 9m X 16m direntang/ digantung setinggi 2,5m, sehingga fungsinya menjadi tak terduga. Layar hitam itu bisa berfungsi sebagai “kunang-kunang”, sebagai “beban para pekerja”, sebagai “sungai”, dan bisa sebagai “semak-semak”, dan lain-lain. Inilah yang saya maksud dengan kreatifitas yang unik dan otentik.
Oya, dalam menyutradarai “Aduh”, mas Putu menggunakan layar hitam setinggi 2,5m dan dibagian depan menggunakan layar putih yang akan dijatuhkan di akhir adegan, sebagai ekspresi dari ‘langit yang runtuh’. Dan dalam siluet yang menggetarkan.
Bagi mas Putu Wijaya, “ADUH” adalah kesaksiannya, bahwa manusia sebagai individu dan individu sebagai anggota masyarakat bisa saling menerkam silih berganti sesuai dengan dialektika bersama dalam keberagaman.
Di Teater Mandiri, mas Putu memperlakukan pemain sebagai sebuah keluarga besar yang saling melengkapi. Semua diperlakukan setara sebagai ensamble dari sebuah orchestra. Dan semua diperlakukan sama. Melalui konsep Bertolak Dari Yang Ada, melalui jalan-jalan tikus yang rumit, mas Putu meracik dan menjahit pengadeganan menjadi satu-kesatuan yang utuh sebagai sebuah pementasan yang penuh teror dan menggetarkan.
Perlu kiranya saya menjelaskan, bahwa proses penggarapan “Aduh”, sebenarnya, waktunya sangat mepet. Dari 14 Februari hingga 10 Mei 2024. Dan latihan layar hitam dan putih hanya dilakukan di ruang yang sempit, karena cuaca tidak mendukung. Sore selalu hujan. Dan selama bulan Ramadhan, latihan hanya bisa hingga menjelang Magrib. Kemudian lima hari menjelang Lebaran dan lima hari setelah Lebaran latihan diliburkan, karena beberapa pemain pulang kampung. Tapi dengan piawai mas Putu bisa mengatasi semua keterbatasan itu.
Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari proses yang luar biasa ini! Dan bangga telah menjadi bagian dari kerja keras yang penuh kesungguhan. Banyak misteri yang saya pelajari dari proses kreatif tontonan “Aduh”. Yang tidak terpikirkan sebelumnya. Salut!
Jakarta, Rabu, 15 Mei 2024
*Jose Rizal Manua, Teaterawan dan anggota Teater Mandiri.