Metamorfosa Seni Lengger Banyumasan (Perihal Lengger Lanang, Pluralisme Gender dan Seni Kontemporer)
Oleh Rianto
Dewasa ini berbagai ragam pertunjukan tradisional mati suri atau bahkan punah tergerus oleh arus perubahan yang menempatkannya sebagai bagian masa lampau yang usang dan tidak popular. Namun demikian pertunjukan lengger (dengan penari perempuan) masih terus berlanjut. Meskipun seringkali masih dimaknai minor dan tampil dalam kondisi yang kurang bergairah, kenyataannya pertunjukan lengger masih digemari masyarakat. Sejak kekuasaan Orde Baru telah terjadi kekacauan istilah antara ledhek atau tayub di sisi timur sungai Serayu dan ronggeng di sisi barat sungai Serayu dengan istilah “lengger” yang pada awalnya dilakukan oleh pria. Untuk kepentingan efeumisme, pertunjukan tayub, ronggeng, dan lengger, selanjutnya disebut lengger.
Foto dokumentasi : Linda dewi
Iringannya yang pada awalnya menggunakan ringgeng, gamelan dan calung, selanjutnya hanya dipilih calung. Sekarang kita hanya dapat melihat pertunjukan lengger dengan iringan calung. Istilah “lengger” diperkirakan baru muncul setelah pada abad ke-19 semakin banyak penari laki-laki berdandan perempuan seiring dengan mulai berkembangnya kethoprak tobong yang melakukan pentas keliling. Lengger dengan penari pria berdandan wanita berkembang sejajar dengan ronggeng dan ledhek atau tandhak (juga disebut tayub). Istilah “lengger” dikenal sebagai jarwo dhosok (kata bentukan) yang berarti diarani leng jebulane jengger. “Leng” adalah simbolisasi kelamin wanita, sedangkan “jengger” adalah simbolisasi kelamin pria. “Lengger” bermakna dikira wanita ternyata pria.
Dokumen foto Rianto dengan alm.mbok Sulek (maestro Lengger yang tidak terekspos)
Lengger dari Serat Centhini sampai catatan Raffles
Sejumlah penelitian mengungkap, jejak keberadaan Lengger telah tersebut dalam Serat Centhini dan pada mulanya di tarikan oleh laki laki pada abad ke -16 sebelum kedudukannya digantikan oleh perempuan sejak tahun 1918.( Sunaryadi “Lengger Tradisi & Transformasi” ISI Yogyakarta, tahun 2000). Catatan tentang keberadaan lengger di dalam Serat Centhini Jilid V pupuh 321-356 karya Adipati Anom (1814-1823). Di dalamnya tertuang pengalaman Mas Cebolang di Wirasaba yang mendapati Kanjeng Adipati jatuh cinta kepada ledhek Nurwitri. Meskipun Kiai Adipati mengetahui Nurwitri sejatinya seorang pria, tetapi hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh ledhek yang dibawa oleh Mas Cebolang. Dalam pengaruh brem, tape dan tuak, ia mabuk bercampur asmara. Nurwitri Lah yang menjadi sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, “Nurwitri maju lah sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah”. Nurwitri menjawab, ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri di cubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan dicium. Tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita.
Pupuh Sinom:
57. Ki Dipati ris ngendika
Endi sabatmu kang dadi
Tandhak kang jebles wanodya
Mas Cebolang matur inggih
Punika kang prayogi
Pun Nurwitri namanipun
Pinundhut binusanan
Carestri ronggeng linuwih
Pinaringken kinen tumili lekasa
Pupuh Dhandhanggula:
14. Ki Dipati angendika aris
Esmu ngguyu marang Mas Cebolang
Panjakmu Nurwitri kuwe
Lah tilaren karuhun
Dimen kari nang njero becik
Suka tyas sun tumingal
Lir wong wadon lugu
Nora mantra-mantra lanang
Lan maninge manira akrya ringgit
Nurwitri kang muruka
22. Wuru kaworan alimpang brangti
Mring Nurwitri kang binrangti anyar
Katemben blero karsane
Nulya binekta kondur
Maring dalem gedhong kang wingking
Ki Dipati ngendika
Nurwitri dimaju
Sun sare singeben ingwang
Sembari rengeng-rengenga Lompong Keli
Montro Petung Wulungan
Catatan Thomas Stamford Raffles yang ditulis antara tahun 1811 hingga 1816 berjudul The History of Java (1978), bahwa di Jawa ada perempuan penari tradisi yang disebut ronggeng. Dalam tulisannya tersebut Raffles menceritakan bahwa kesenian itu oleh kalangan rakyat jelata hingga priyayi dan tampil dalam pertunjukan kesenian dari kota hingga pelosok desa. Raffles menganggap penarinya melakukan tindakan yang tidak terhormat yaitu tidur dengan banyak laki-laki hingga menurutnya seperti pelacur. Kedua catatan tersebut membuktikan bahwa pada tarian rakyat di Banyumas, baik yang dilakukan oleh perempuan berdandan perempuan maupun laki-laki berdandan perempuan sudah menjadi pertunjukan popular di wilayah Banyumas dan sekitarnya. Namun demikian belum ada istilah “lengger” untuk menyebut ragam pertunjukan tersebut. Beberapa istilah yang digunakan adalah “ledhek”, “tandhak”, dan “ronggeng”. Istilah “ledhek” dan “tandhak”lebih popular di wilayah kebudayaan Jawa, sedangkan istilah “ronggeng” lebih berkembang di wilayah kebudayaan Sunda.
Penelitian lain, Claudine Salmon misalnya dalam “Wayang dahai dan his view of The insular countries” 2003. Menyinggung keterhubungan Lengger sebagai sarana interaksi antara orang Tionghoa dan warga nusantara pada abad ke -18. Dikisahkan beberapa peruntungan niaga yang didapatkan oleh pedagang Tionghoa diekspresikan dalam ungkapan syukur terhadap leluhur dan dalam ritus kesuburan (agricultural ceremonies)masyarakat pribumi. Kala itu pakter pakter Tionghoa yang mendapat penghasilan dari sarang burung walet, saat masa panen kerap melakukan upacara mengundang Lengger sebelum pengumpulan sarang walet dimulai.
Foto-Foto dokumentasi Rianto Dance Community ( Rianto & alm.Mbok Sulek Desa Pengadegan, Banyumas )
Lengger beradaptasi dengan kondisi alam yang melingkupinya, mengeruk nilai-nilai kemanusiaan, seperti penerimaan pada pluralisme serta terbuka pada praktik silang budaya. Fokus eksplorasi Seni Kolaboratif Metamorfosa Lengger bertujuan menggambarkan perjalanan tradisi lengger yang bertahan sampai kini dengan segala transformasinya untuk mendeskripsikan kemampuan lengger sebagai berikut:
1. Lengger Barangan: Di masa silam, lengger yang merupakan melakukan pertunjukan dengan cara berkeliling dari satu kampung ke kampung. Di masa ini, seniman lengger mencipta calung, intrumen musik dari bahan bambu yang tentunya lebih ringan dibawa ketimbang gamelan kecil dari besi misalnya ringeng atau mondreng. Lengger Barangan dan calungnya merepresentasikan indigenous knowledge yakni cara seniman lengger berapatasi dan berinteraksi dengan lingkungan alam serta masyarakat pendukungnya.
Dokumentasi foto Famega, BBC News
2. Lengger Sintren: Praktik silang budaya antara seni tradisi lengger dari Jawa Tengah dan Sintren yang populer di wilayah pesisir Jawa Barat. Lengger Sintren berfokus pada cerita kasih tak sampai antara Sulasih dengan Sulandono. Lengger Sintren merepresentasikan.
Dokumentasi foto Kendalisada Arts Festival, Lengger sintren 2018
3. Calengsai: Perpaduan antara Calung, lengger dan barongsai. Calengsai dipraktikkan oleh komunitas seni tionghoa di Banyumas.Calengsai merepresentasikan unsur pembauran sebagai wujud kekayaan multikultural juga jejak bagi pluralisme.
Foto dokumentasi Kohirunishaabidah.blogspot
Lengger Lanang : Konsep Subaltern dan Konsep Male Gaze
Saya akan menjelaskan dua konsep yang bisa untuk memahami posisi sosial Lengger lanang. Pertama konsep Subaltern dan kedua konsep Male Gaze. Spivak (1994) menggunakan konsep Gramsci tentang Subaltern, yang berarti ‘berasal dari tingkat bawahan’. Subaltern adalah sebuah istilah yang digunakan Antonio Gramsci untuk merujuk pada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berada di bawah hegemoni kelas yang berkuasa. Kelas subaltern bisa mencakup petani, buruh dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses ke kekuasaan ‘hegemonik’. Karena sejarah dari kelas yang berkuasa terwujud dalam negara, sehingga sejarah adalah sejarah dari negara dan kelompok-kelompok dominan.
Sementara Laura Mulvey, (1990). Memiliki pandangan yang bisa dipakai untuk memahami isu perempuan dalam seni tradisi yaitu male gaze. Mulvey menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Dalam sinema, gambar dan arahan dalam film sangat dipengaruhi oleh laki-laki. Pesan yang ada dalam film dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan pada penonton, sementara perempuan hanya menjadi tontonan. Male gaze juga dapat berarti fantasi laki-laki tentang figur perempuan, perempuan juga diarahkan agar “to be look at ness”. Agar perempuan “enak dipandang”, maka perempuan ditampilkan untuk kekuatan visual dan erotis, digambarkan sebagai obyek seksual, menampilkan diri untuk kepuasan laki-laki. Film juga seringkali menampilkan laki-laki sebagai tokoh protagonis, perempuan hanyalah dijadikan material pasif untuk tatapan laki-laki (aktif).
Foto dokumentasi Tempo
Saya akan menggunakan dua pandangan ini untuk membahas Lengger Lanang. Lengger adalah seni pertunjukan tradisional yang berangkat dan berkembang dari kalangan masyarakat jelata yang jauh dari hegemoni kekuasaan kraton. Di sini penari Lengger melebur diri dan menyerahkan diri secara total kepada tradisi leluhur dengan mengorbankan citra dirinya sebagai laki-laki. Seorang pria penari Lengger telah menanggalkan maskulinitasnya dan menggantinya dengan femininitas untuk keperluan pertunjukan dan daya tarik penonton. Dan ini membuka peluang hingga perlakuan terhadap dirinya di luar pementasan. Ia merelakan dirinya dipandang berada di bawah hegemoni kaum pria sebagai “wanita”. Seorang Lengger Lanang pun harus merelakan dirinya diposisikan oleh para pria.
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Pertunjukan Lengger sesungguhnya adalah media ruang publik yang dapat diisi oleh penari pria maupun wanita. Persoalannya adalah penari pria yang berdandan wanita lebih sering dimaknai sebagai sosok banci dan kegagalan berekspresi dalam kesejatiannya. Namun demikian di setiap penampilannya selalu dilihat lebih seksama, dinilai lebih dalam, sebanding jika sosok penari itu dilakukan oleh wanita yang sesungguhnya. Hal ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan yang dapat dikembangkan lebih jauh menjadi pertunjukan tradisional Banyumas di masa yang akan datang.
Untuk pengembangan lengger dengan penari pria di masa sekarang dan masa yang akan datang saya mengusulkan agar kiranya seniman lebih kreatif mengangkat setiap potensi yang ada di dalamnya. Potensi gerak tarian adalah kekuatan utama. Tetapi potensi sosok penari yang berjenis kelamin laki-laki juga tidak kalah pentingnya. Kita bisa melihat sosok Tessy dalam Srimulat. Ia berdandan wanita. Tetapi melalui gesture maupun dialog di panggung tetep mencerminkan bahwa dia adalah seorang pria.
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Dalam konteks pengembangan lengger, perlu kira menempatkan sosok pria sebagai pria, dengan tanpa menghilangkan tampilan, kebiasaan dan pola pertunjukan yang feminin dengan penari sebagai objek imajiner perempuan. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Didik Nini Thowok yang senantiasa hadir sebagai sosok perempuan di panggung pertunjukan tanpa meninggalkan kodrat kelelakiannya. Apakah Tari Lengger yang ditarikan laki-laki dapat mengubah konsep maskulinitas bagi penari laki-laki? Yang saya pelajari dari bentuk tari tradisi Jawa – ialah tari tradisi Jawa memiliki banyak karakter. Sejak jaman dulu Lengger merupakan peleburan dua unsur untuk menyeimbangkan fungsi kehidupan sebagai bentuk spiritual masyarakat pada lingkungan dan alamnya, antara penyatuan maskulin dan feminin, penyatuan alam dengan lingkungan dalam spirit yang sama.
Hal yang sama juga dapat dilihat pada tarian tradisional di negara negara lain, contoh saja di negara Jepang pada kesenian teater “kabuki” yang semua pemainnya adalah laki laki, dan sebaliknya teater “takarazuka” yang semua aktor pemainnya adalah perempuan. Mereka mendapat pendidikan atau karantina yang luar biasa ketat untuk mendalami sebuah karakter, karena dalam waktu tertentu mereka harus bisa mengalihkan penjiwaan serta kehidupannya yang fokus pada apa yang dijalani sebagai seorang artis, sedangkan latar belakang kesenian saya yaitu Lengger, yang mana menerapkan tubuh di antara maskulin dan feminim. semua ini bisa saja diekspresikan dalam kehidupan sehari hari yang secara pembawaannya sudah bisa dilakukan dengan lembut, halus dan mengalir menjadi satu tubuh.
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Pengertian tubuh maskulin adalah sebuah usaha mencapai suatu titik dan feminim adalah medium penerima peristiwa. Bisa dikatakan maskulin adalah daging, otot, tulang dan sedangkan feminim adalah sebagai darah, sel sel dan sekaligus kerangka tubuh. Maskulin dan feminin adalah dua kutub sifat yang berlawanan dan membentuk suatu garis lurus yang setiap titiknya menggambarkan derajat kelaki-lakian (maskulinitas) atau keperempuanan (femininitas). Ini bisa dibentuk dari segi spiritual masing masing tubuh. Kita sadari bahwa tubuh kita merupakan bagian dari alam.
Buku Ronald F. Levant berjudul Masculinity Reconstructed menjelaskan bahwa terdapat sifat-sifat khas pada seseorang yang dianggap maskulin yaitu diantaranya menghindari sifat kewanitaan, membatasi emosi, ambisius, mandiri, kuat dan agresif. Orang-orang yang mencampurkan karakteristik maskulin dan feminin dalam dirinya dianggap androgini. Munculnya kajian androgini, para ahli feminisme berpendapat bahwa definisi gender tersebut telah mengaburkan klasifikasi gender.
Saya tidak sependapat dengan pemikiran itu. Saya berpendapat bahwa sifat maskulin berbeda dengan jenis kelamin karena kita semua tahu didalam masyarakat kita, laki-laki maupun perempuan dapat bersifat maskulin ataupun sebaliknya – dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Sifat maskulin juga memiliki konstruksi budaya dalam tubuh manusia, sebagaimana saya tahu untuk mengekspresikan gender tidak harus berhubungan dengan seksualitas contoh ketika dua pasang laki laki dan perempuan berpacaran dan tiba tiba perempuannya marah dan minta putus, seketika itu laki lakinya akan meredam emosi diri untuk perempuannya, rasa dan sifat emosi ini adalah sebuah kelembutan yang sama dimiliki oleh kaum perempuan. Kita harus sadari itu, nah disinilah kaum laki laki bisa menjadi lemah lembut. jadi jangan mentang mentang kalian itu laki laki bersikap di gagah gagah kan, namun didalamnya tetap muncul perasaan lembut (soft) yang bisa muncul kapan saja, demikian juga sebaliknya.
Dalam politik tubuh, laki-laki ditempatkan dalam ruang publik yang merupakan kewenangan sejarah. Politik tubuh itu sendiri akhirnya membuat tubuh laki-laki memiliki kekuasaan dan kapasitas yang semakin berkembang. Oleh karena itu filsuf Moira Gatens berpendapat mempersoalkan tentang tubuh perempuan tidaklah sesederhana menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan menjadi maskulin dan feminin, tetapi bagaimana tubuh ditandai menjadi laki-laki dan perempuan. Gatens mengutip pemikiran Foucault bahwa sejarah telah mengkonstruksi tubuh laki-laki yang tidak mendapat pertanyaan tentang perbedaan seksual. Menggunakan pendekatan Foucault, Gatens menyatakan bahwa tubuh imajiner merupakan efek dari sosial dan sejarah; dan dampaknya bukan pada genetis tetapi pada kekuasaan.
Selanjutnya Gatens menganggap bahwa tubuh imajiner telah menjadi kerangka kerja yang dapat menjelaskan bagaimana kekuasaan, dominasi dan perbedaan seksual saling terkait satu sama lain dalam pengalaman kehidupan laki-laki dan perempuan mengusulkan agar pengejawantahan perempuan mampu untuk membawa perempuan memiliki posisi setara dalam partisipasi sosial politik. Dengan demikian politik tubuh dapat dibentuk untuk perkembangan dan memperbaiki sejarah dan kehidupan saat ini.
Dalam kultur patriarkhis lelaki lebih bebas berekspresi dalam pertunjukan. Jika perempuan ronggeng tidak memiliki ruang ekspresi yang total di panggung, maka melalui Lengger seorang pria dapat tampil lebih total dalam jogedan, tembangan, maupun ekspresi panggung lainnya. Hal ini diperkirakan telah menjadi titik penting kehadiran lengger di Banyumas dan sekitarnya. Mereka yang memilih Lengger sebagai media ekspresi estetis menimbang diperlukannya tampilan wanita di panggung pertunjukan telah menjadi peluang kebebasan ekspresi para pria melalui pertunjukan Lengger.
Foto dokumentasi majalah Tempo
Tantangan Lengger dalam Pertunjukan Kontemporer
Banyak hal yang bisa dilakukan seniman untuk berupaya kuat demi keberlangsungan ketahanan kehidupan berkesenian (juga di masa pandemi ini). Tantangan yang dihadapi kesenian tradisi di Indonesia yakni pertama mengangkat seni tradisi itu untuk bersaing di dunia global internasional . Hal ini terjadi karena masyarakat seni tradisi masih melihat seni kontemporer adalah hal yang “tabu” dalam pemahaman kehidupan sosialnya. Tantangan kedua bagi kesenian tradisi adalah mencari ruang-ruang kerja kolaboratif diantara elemen seni tradisi dengan pertunjukan kontemporer. Seni tradisi cenderung memiliki kultur primordialisme yakni sikap menutup mengurung diri dari banyak keragaman budaya dan ini menurut saya sikap sangat kontraproduktif.
Foto dokumentasi Rianto dance Studio / community
Saya sendiri sebagai seorang penari Lengger Lanang Banyumas (secara harfiah berarti penari Lengger laki-laki, biasanya Lengger Banyumas ditarikan oleh perempuan) – saat ini mencoba banyak berkolaborasi dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan kontemporer. Saya berusaha berinteraksi dan berdialog secara global agar dapat lebih diterima masyarakat. Saya melakukan pendokumentasian dan riset dalam bentuk teks, audio maupun visual terhadap dimensi-dimensi sejarah dan perjalanan Lengger yang jarang dikuak secara utuh. Semuanya ini dengan maksud untuk mengeruk nilai-nilai kemanusiaan, seperti penerimaan pada pluralisme. Bagi saya secara esensial pertunjukan-pertunjukan kolaboratif yang melibatkan lengger dalam kesenian kontemporer merupakan sebuah “metamorfosa Lengger.”
“Metamorfosa Lengger” berniat menarasikan nilai-nilai kemanusiaan di masa lalu dan di masa kini demi kualitas hidup seni tradisi Lengger yang lebih maju di masa mendatang. Yang demikian akan memantik penjelajahan potensi dan kemungkinan artistik pengembangan tradisi Lengger agar tak mengalami pembekuan, kehilangan dinamik, dan agresivitas untuk mengeksplorasi kenyataan dan kekinian.
————————
Daftar Pustaka :
– Laura mulvey -“ afterimages On Cinema, Women and Changing Times “ tahun 2019
– Rangga Warsito -“ Serat Centini “ 1814 Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras)R.M.A. Sumahatmaka
– Ronald F. Levant-“Masculinity Reconstructed” tahun 1955
– Sunaryadi -“ Lengger Tradisi & Transformasi “ ISI Yogyakarta, tahun 2000)
– Takarazuka -“ Sexual Politics and Popular Culture in Modern Japan “ tahun 1998
*Penulis adalah Koreografer