Memoria yang Meniti Waktu dalam Detachment dan Deteritorialisasi 

Oleh: Indro Suprobo*

“Art is not communicative, art is not reflexive.
Art, science, philosophy are neither contemplative, neither reflexive,
nor communicative. They are creative, that’s all.” 

Gilles Deleuze 

—–

Pernyataan Deleuze ini memang keras dan menampar. Ia menegaskan bahwa seniman itu tidak semata-mata menghadirkan pesan atau representasi dari realitas, melainkan pertama-tama dan yang paling utama adalah menciptakan makna yang sama sekali baru, yang ia sebut sebagai kreativitas. Kerja-kerja seniman terutama adalah menjalankan kreativitas dan melahir-kannya dalam karya. Kreativitas menjadi laku dan nafas sehari-hari. 

Jika demikian, apakah komunikasi, refleksi dan kontemplasi itu menjadi tidak penting bagi seniman? Tetaplah penting, namun itu semua berada di dalam proses internal seniman dalam perjalanan melahirkan karya. Komunikasi, refleksi dan kontemplasi adalah jalan internal seniman untuk membantunya menjalankan “laku kreatif” dan melahirkan kreativitas. Maka hasil akhir yang dihadirkan oleh seniman bukanlah komunikasi, refleksi atau kontemplasi itu melainkan kreativitas, penciptaan makna baru. 

Pada tanggal 31 Mei 2024, Komunitas Sastra Bulan Purnama bersilaturahmi seni dan sastra di Studio Plesungan, Solo, sebuah studio yang dikelola oleh Melati Suryodarmo dan Halim HD. Dalam silaturahmi seni dan sastra itu, selain saling membacakan petikan cerita cekak (cerkak) dalam bahasa Jawa, petikan novel, dan puisi, komunitas Sastra Bulan Purnama juga menikmati suguhan performance art yang dihadirkan oleh tiga residen seni dari Singapura. Tulisan sederhana ini adalah catatan apresiatif pribadi atas tiga performance art yang dihadirkan dalam kesempatan itu. Pantas dikemukakan bahwa catatan apresiatif ini sangat dimungkinkan berbeda sekali dengan makna yang dimaksudkan oleh sang seniman pada mulanya, namun barangkali inilah makna kreatif yang kaya yang dapat dibaca dari karya atau laku seni yang dihadirkan dalam kesempatan itu. 

Memoria yang Meniti Waktu 

Ketiga performance art yang disuguhkan di Studio Plesungan pada silaturahmi seni dan sastra ini secara bersama-sama saya baca sebagai memoria yang meniti waktu. Ketiga seniman menunjukkan laku bagaimana masing-masing meniti waktu, yakni menghayati masa lampau, masa kini dan memutuskan seluruh gerak batin atas masa depan. Namun yang paling sakral dan penting dalam meniti waktu ini adalah bagaimana masing-masing meniti waktu saat ini (hic et nunc, here and now) dalam keseluruhan intensitas, otentisitas, dan kualitas serta kreativitas. Melati Suryodarmo menyebutnya dengan istilah bahasa Jawa yang khas, laku. Apa yang oleh Melati Suryodarmo disebut sebagai menjalani laku ini oleh Martin Heidegger disebut sebagai mewaktu (being in time). Proses mewaktu dapat dipahami sebagai sebuah proses yang dipilih secara sadar, penuh tanggung jawab dan otonom oleh manusia untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu. Dengan demikian, proses mewaktu adalah sebuah pilihan. Pilihan proses untuk mewaktu ini, yang merupakan pilihan otonom untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik dan berkualitas di dalam waktu, merupakan pilihan untuk terlibat secara aktif, kreatif dan produktif di dalam waktu keseharian. Ia terlibat namun tidak terlipat.1 Inilah esensi dasar dari meniti waktu. 

Performance Art yang disuguhkan ini saya baca sebagai memoria yang meniti waktu karena semuanya merupakan cara bagaimana masing-masing seniman menghayati masa lampau dan mengantisipasi masa depan di dalam otentisitas, kualitas, intensitas dan kreativitas mencipta makna di dalam masa kini. Refleksi, kontemplasi, dan antisipasi waktu oleh memoria itu dihadirkan secara otentik, intensif dan kreatif di dalam penciptaan makna saat ini dan di sini. Di dalam proses ini, ada dua hal penting yang pantas diungkapkan yakni detachment dan deteritorialisasi. 

Detachment 

Tak dapat dipungkiri bahwa titian waktu yang dihayati oleh setiap seniman ini melibatkan masa lalu mereka yang beragam rupa. Ada yang pada asal muasalnya memiliki keterkaitan waktu dengan seluruh pengalaman kejawatimuran namun dalam per-jalanan mengalami keterputusan radikal sehingga tak dapat ditelusur dan disambung lagi jejak-jejaknya pada masa kini. Ada yang masa lalunya diwarnai oleh jejak diskriminasi karena warna kulit Melayu yang menjadi faktisitasnya. Ada yang masa lalunya dirajut oleh kenangan-kenangan tentang susu kaleng sebagai paradoks tentang kegembiraan dan keyakinan bahwa ia telah meminum susu bagi kesehatan namun ternyata ia hanya meminum sari susu dan gula, yang barangkali, bisa jadi, merupakan pengalaman khas kemiskinan. Seluruh masa lalu itu telah meninggalkan jejak dalam memoria berupa rasa terluka, kehilangan (lost), kekosongan, serta kekecewaan karena ternyata realitas yang dihadapi dan dialami itu bukanlah seperti yang dipikirkan, digambarkan, diinginkan atau diharapkan. Ada jejak-jejak negativitas di dalam memoria. 

Terhadap masa lalu itu, setiap seniman telah memilih apa yang terpenting bagi dirinya dan tak akan pernah dapat diram-pas oleh siapapun, yakni detachment, melepaskan diri dari keteri-katan dan jerat. Mereka telah mengambil keputusan bahwa jejak-jejak negativitas di dalam memoria itu tak boleh dibiarkan membelenggu dan mengerdilkan. Jejak-jejak itu diterima sebagai realitas yang menimpa dirinya namun tak boleh secara dominan memengaruhi seluruh proses produksi makna di dalam kekinian dan masa depan hidupnya. Maka masing-masing memilih untuk memerdekakan diri dari jejak-jejak itu. 

Seluruh ekspresi gerak seperti menggeliat, memeluk tanah, merenggangkan tubuh dan merentangkan tangan menjangkau ke depan, mengosek-osek telapak kaki dari lelengketan, menggoreskan telapak kaki di atas tanah dan pasir, menggesek-gesekkan kaki di tapak-tapak tangga sambil terus berusaha untuk memanjatkan tubuh ke atas, dan yang paling radikal adalah gerak meninggalkan kaleng susu di tengah arena, lalu berjalan pergi dalam keheningan hanya membawa dirinya sendiri, adalah simbolisasi yang jelas dan menantang yang dihadirkan oleh para seniman dan performance ini tentang melepaskan dan membebaskan diri dari seluruh kelekatan yang secara potensial terkandung di dalam jejak-jejak negativitas masa lalu. 

Seluruh gerak geliat dan yoga meditatif ekspresif tubuh di atas tanah, hanya dengan berbalut stocking adalah gerak pembebasan dari jerat makna tubuh, terutama makna tubuh perempuan, dari segala common sense yang telah membekukannya dalam perjalanan masa. Gerak itu sedang melepaskan diri dari segala stigma yang telah dikenakan terhadapnya. Itulah puisi gerak yang dihadirkan oleh Nurul Atiqah Zaidi. 

Penampilan Nurul Atiqah Zaidi. (Foto: Penulis)

Berjalan beriringan dengan dua kaleng susu yang dikait dengan tali, berjalan di atas kaleng yang dikendalikan dengan tali pengikatnya, menerima dirinya terjatuh dan menerima kaleng yang meleyot, memperbaiki pleyotan dan perlahan-lahan berjalan lagi di atas kaleng yang sempat meleyot dan telah diperbaikinya itu, dan sekali lagi meninggalkan kedua kaleng susu itu di tengah arena lalu berjalan sendiri dengan tubuhnya, adalah sebuah laku yang menghadirkan simbolisasi tentang menerima dan meng-hargai segala jenis instrumen atau alat di dalam kehidupan (pandangan hidup, norma-norma, perspektif, cara berpikir dan sebagainya), yang seringkali telah merupakan warisan dari tradisi panjang masa lalu, yang kadang-kadang menghadapkannya kepada tragedi dalam kehidupan (terjatuh dari kaleng susu) yang seringkali juga melahirkan luka, dan akhirnya, sekali lagi inilah langkah yang paling radikal, yakni dengan ikhlas dan berani me-lepaskan dan meninggalkan seluruh instrumen kehidupan itu di tengah arena, lalu memilih melanjutkan hidup dengan martabat diri yang terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan instrumen baru yang berbeda, agar ia terus-menerus dapat secara bebas memproduksi makna. Inilah puisi gerak yang dihadirkan oleh Bong Chai Lee. 

Penampilan Bong Chai Lee. (Foto: Penulis)

Pilihan gerak membersihkan diri dari tujuh rupa jadah di atas tampah kecil, menggosok-gosokkan kaki pada tanah dan anak tangga, melepaskan kurungan, dan membasuh kaki di dalam air bunga, adalah simbolisasi dari gerak melepaskan diri dari semua hal yang lengket di dalam hidup, semua hal yang merupakan kelekatan di dalam hidup. Seluruh gerak ini merupakan langkah pembasuhan yang musti selalu dijalankan sebagai laku sehari-hari dan setiap waktu, agar terbebas dari segala yang memiliki kemungkinan untuk mengurung dirinya. Inilah puisi gerak yang dihadirkan oleh Maryam Binte Tayeb. 

Penampilan Maryam Binte Tayeb. (Foto: Penulis)

Itulah pilihan-pilihan yang disebut sebagai detachment, melepaskan diri, membebaskan diri, meluputkan diri, membiarkan diri mrucut dari segala hal yang mungkin menjerat, menyergap, mengurung, dan terus-menerus melukai hidup. Ini adalah langkah sangat penting dan sulit di dalam setiap laku, dalam setiap proses mewaktu agar menjadi intensif, otentik, berkualitas dan kreatif di dalam waktu. Dalam gerakan sosial, detachment ini dapat dibaca sebagai perlawanan dan subversi (menekuk dan membelokkan makna dari bawah, sehingga dapat mengakibatkan keterjungkalan). 

Deteritorialisasi 

Karena merupakan laku detachment, dengan sendirinya seluruh laku gerak yang dihadirkan di dalam performance art itu pada gilirannya menjadi langkah nyata deteritorialisasi, yakni membebaskan diri dari pembakuan, pemasungan, fiksasi (teritorialisasi) makna, sehingga melahirkan penciptaan makna baru yang secara sengaja dipilihnya, yang oleh karena itu dise-but sebagai kreativitas. Para seniman yang menghadirkan performance art ini sedang menghadirkan suatu gerak melam-paui (beyond) makna-makna baku yang telah diwariskan dan dilanggengkan oleh tradisi, norma-norma, pandangan-pandangan umum dan sebagainya. Melalui performance art ini para seniman sedang menciptakan makna-makna baru atas pengalaman masa lalu, dalam otentisitas yang intensif, berkualas dan kreatif pada masa kini, sambil terus-menerus melaju menuju kepada masa depan. Laku gerak yang merupakan deteritorialisasi ini, merupakan wujud nyata dari apa yang oleh Erick Fromm disebut sebagai proses senantiasa menjadi (becoming). 

Memoria yang meniti waktu dalam detachment dan deteritorialisasi yang dihadirkan di dalam laku gerak ini sebenarnya tidak hanya dihadirkan di dalam performance art, melainkan sejatinya terus dihadirkan di dalam waktu hidup saat ini dan di sini, da-lam seluruh kompleksitas geraknya, yakni dalam pikiran, cara pandang, sikap dan pilihan-pilihan tindakan yang nyata di setiap keputusan untuk melahirkan jejak di dalam waktu. 

Dengan demikian setiap saat adalah undangan dan kesempatan untuk senantiasa menjalani detachment dan deteri-torialisasi. Boleh dikatakan, setiap saat adalah undangan dan kesempatan untuk senantiasa menciptakan jarak atas pengalam-an dan realitas, membangun perlawanan makna dan menciptakan kebaharuan makna di dalam jejak kehidupan. 

Akhirnya, harus dinyatakan di sini bahwa barangkali, tulisan apresiatif sederhana ini, pada dirinya sendiri juga sudah me-rupakan detachment dan deteritorialisasi terhadap seluruh produksi makna yang dimaksudkan oleh ketiga seniman itu sendiri. Memang harus diakui secara ikhlas bahwa teks selalu sudah merupakan milik para pembaca, bukan lagi kewenangan para penulis puisi gerak dalam performance art. 

Kepada tiga seniman yang telah menghadirkan laku puisi gerak itu, dihaturkan terima kasih dan selamat. Seperti ditulis dalam kutipan awal dari pernyataan Deleuze, ketiga teman seniman yang telah menghadirkan performance art ini, saya baca sebagai manusia-manusia yang senantiasa berusaha menjadi subyek-subyek yang mrucut, tak terjerat dan tertangkap, karena selalu melahirkan kebaharuan dan kreativitas. Performance art menjadi medium sekaligus laku tentang hal itu. Selamat menghayati langkah-langkah mrucut di dalam waktu. 

———–

1 Lih. Indro Suprobo, “Lansia Menghayati Mistik Keseharian” dalam Adri Darmadji Woko et.al., Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah, Tonggak Pustaka 2024, hlm. iii-vi4.

*Indro Suprobo, penulis, editor, dan penerjemah buku. Tinggal di desa Yogyakarta.