Keragaman dan Paradigma Berkesenian

Pidato Dies Natalis ke-60 Institut Seni Indonesia Surakarta, 7/15/2024

 

Oleh Prof. Sumarsam* 

 

ABSTRAK

Keragaman adalah merupakan ciri menonjol kesenian Indonesia, suatu negara yang berpenduduk ratusan suku tersebar di ribuan pulau. Di pulau Jawa saja dapat diketemukan puluhan (mungkin ratusan) jenis kesenian. Salah satu kesenian dalam keragaman tersebut terbentuk dari hasil temu-silang budaya antara satu suku dengan yang lain—kesenian hibrida. Kebudayaan Barat juga mempunyai andil terbentuknya kesenian hibrida tersebut. Orasi saya akan memaparkan beberapa contoh kesenian hibrida: wayang Jawa masakini, Janger Banyuwangi, dan festival kesenian di suatu desa di Blora. Orasi saya tidak mengajukan deskripsi yang lengkap, tetapi cukup untuk bahan wacana selanjutnya.

Bagian kedua orasi akan membahas proses penciptaan suatu karya seni, didasarkan atas dua proses: proses pencarian inspirasi yang terjadi di dunia batin (inner space) dan proses penuangan inspirasi di dunia lahir (outer space). Yang akan saya ajukan dalam diskusi berkesenian ini adalah bahwa wacana penciptaan seni didasarkan atas dua hal: proses orientasi untuk menuju hasil terakhir (process-product oriented) dan proses orientasi mengamati hasil terakhir (end-product oriented). Sebelum orasi, ada sajian ritual: seorang cendekiawan didikan Amerika berpakaian regalia lulusan Cornell University berubah menjadi cendekiawan berpakaian regalia kehormatan ISI Surakarta. Ritual ini secara simbolis dan realitas merepresentasikan dialog dualisme produktif yang saya alami: dari berkelana berpuluh-puluh tahun mendapat didikan S-2 dan S-3 dan berstatus dosen senior di Amerika, kembali kekandangnya dan diterima sebagai anggota akademisi ISI Solo dan berorasi pada Dies Natalis ke-60, sambil mengenang kerjasamanya dengan dosen tercinta almarhum R.L. Martopangrawit yang berorasi pada Dies Natalis pertama ASKI tahun 1968.1

Screenshot, TVISI Solo, 2024

PIDATO

Assalam Mualaikum, salam sejahtera kepada semuanya.

Pertama, saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Rektor dan panitya sidang terbuka ISI tahun 2024 atas kesempatan yang diberikan untuk berorasi Dies Natalis ke-60 ISI. Ini suatu kehormatan, selain juga keistimewaan bagi saya karena saya adalah salah satu mahasiswa pertama dan juga lulusan pertama ASKI (cikal bakal ISI). Selain itu, orasi Dies ini mengingatkan saya kepada yang terhormat dan yang tercinta almarhum R.L. Martopangrawit. Beliau adalah pembawa orasi pertama Dies ISI, waktu itu istilahnya bukan Orasi Ilmiah, tapi “Dies Rede.” Dalam ngracik pidatonya, berjudul “Peranan Gembjang dan Kempjung Di dalam Patet,” beliau kerjasama dengan asistennya yang sekarang berdiri di podium ini, yang waktu presentasi nabuh gendèr untuk ilustrasinya.

R.L. Martopangrawit dan asistennya, ASKI 1968

Seiring dengan perjalanan waktu dan tersedianya kesempatan, saya meninggalkan ASKI tahun 1971, pertama menjadi pegawai staf lokal di KBRI Australia, kemudian mendapat undangan menjadi guru gamelan di Wesleyan University. Merasa tidak ingin ketinggalan pendidikan tinggi saya, sambil mengajar, saya menempuh dan menyelesaikan S- 2 di Wesleyan. Selama cuti dari mengajar, saya menempuh S-3 di Cornell, lulus tahun 1992.

Keragaman

Ada dua tema yang akan saya paparkan disini: keragaman dan paradigma dalam berkesenian. Akan saya mulai dengan keragaman. Untuk persiapan pidato ini, saya sempatkan mendengarkan beberapa orasi sebelumnya. Pada umumnya isinya menjelaskan tentang karakter, filsafat, tatanan, dan pendidikan kesenian dan berkesenian, dengan harapan ISI selalu menjaga kehidupan kesenian Jawa khususnya, Indonesia umumnya. Memang ada pidato tentang berkesenian secara detail, tetapi jarang. Pada umumnya isi pidato Dies ada resonansinya dengan visi dan misi UNESCO tentang warisan budaya dan isi Undang-undang Pemajuan Kebudayan Indonesia nomer 5 tahun 2017, tentang bagaimana supaya kesenian Indonesia bisa didokumentasikan, diselamatkan, dirawat, dibina, dan dikembangkan.

Yang khusus menjadi perhatian saya di antara isi pidato tersebut adalah fenomenologi pengaruh kesenian atau kebudayaan dari luar Indonesia, terutama kebudayaan Barat, pada kesenian Jawa, Hal tersebut juga tercantum dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan pasal 30 ayat 3 huruf c, tentang pengayaan keberagaman supaya dilakukan antara lain melalui penggabungan budaya (asimilasi), penyesuaian budaya (adaptasi), penciptaan kreasi baru atau pengembangan budaya sebelumnya (inovasi), dan penyerapan budaya asing (akulturasi). Jelas bahwa ayat UUD Pemajuan Kebudayaan tersebut memperhatikan fenomena persentuhan dengan kebudayaan luar Indonesia. Saya akan memberi beberapa contoh, mudah-mudahan bisa menjadi bahan untuk direnungkan dan bisa memacu wacana selanjutannya.

Wayang Jawa Masakini

Pertama, tentang wayang yang sudah sangat sering dibahas oleh banyak cendekiawan, komentator kebudayaan, dan seniman wayang sendiri, salah satu bahasan mereka adalah perubahan secara gradual sampai radikal isi dan format pertunjukannya setelah blèncong diganti dengan lampu listrik. Ini mengakibatkan transformasi dari teater bayangan dua dimensi, atau tiga dimensi dalam imaginasi,2 menjadi tontonan tiga dimensi sempurna dipresentasikan didepan kelir, termasuk melibatkan bintang tamu dan acara-acara tambahan lainnya. Penyinaran dengan lampu listrik tidak lagi digunakan untuk menimbulkan bayangan, tetapi tidak bedanya seperti spotlights yang digunakan oleh pertunjukan wayang wong di panggung bentuk procenium Eropa (lihat di bawah, hubungannya dengan Jangèr Banyuwangi). Kiranya tidak begitu kami sadari bahwa menonton pertunjukan wayang dalam format panggung wayang wong ini seperti menontonnya dari belakang panggung, termasuk menonton penarinya berbusana dan bersiap-siap untuk naik panggung.

Mengamati pertunjukan wayang masakini membuat judul buku Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas, menangkap tepat wujudnya karena adegan-adegan tambahan yang terjadi di depan kelir. Selain itu, sound system yang elaborat, menggunakan mikrofon banyak sekali dan pengeras suara yang besar-besar, dan kadang-kadang juga berbagai macam teknis untuk efek-efek visual, itu semua kurang lebih telah menjadi standard pertunjukan wayang masa kini. Ini adalah topik yang tak hentinya diwacanakan (Sumarsam 2013, 2016).

Ada data-data yang bisa kami pelajari bahwa menggunakan api untuk menyinari pertunjukan wayang mengandung makna simbol dan filsafat kehidupan manusia yang dalam. Yaitu bahwa Daya atau Power yang menggerakan alam dan manusianya terletak pada sinar alam, terutama api. Kami diingatkan syair dari Sendhon Langenswårå yasan Mangkunegara 2 Sekedar mengingatkan, walaupun dua dimensi merupakan format pertunjukan wayang yang kami lihat, sebetulnya penonton wayang dituntun untuk berimaginasi mengamati adegan-adegannya dalam format tiga dimensi (Arps 2016). Contohnya, kalau figure wayang ditancapkan di gedebog (pohon pisang) untuk menancapkan wayang dalam pertunjukan ada dua lapis, lapis atas dan bawah, sehingga alas kakinya terlihat sebaris dengan palemahan di kelir, itu berarti wayang tersebut berdiri. Tetapi kalau wayang ditancapkan di gedebog bawah sehingga bagian pantat kebawah terletak di bawah palemahan dengan badan diposisikan miring kedepan, itu berarti wayang tersebut duduk bersila. Imaginasi duduk sila ini bisa diamati lebih jelas dari bayangannya di belakang kelir, karena bagian pantat kebawah tidak dapat dilihat. Contoh yang lain, narasinarasi dhalang membuat penonton berimaginasi dalam tiga dimensi; emikian pula gunungan yang menggambarkan gunung, api, dlsb. 4

IV dalam gendhing Råjåswålå—Suryå, condrå, daru kartikå, samyå amadhangi jagad, dan seterusnya (Mangkunegara IV 1853-81). Di akhir pertunjukan “wayang” di Kerala, India, ritual khusus di selenggarakan, yaitu sang dhalang yang merasa meminjam api dari alam untuk pertunjukannya, secara ritual mengembalikan api tersebut kealam (Wadehra, Anurag & Salil Singh. 2000).

Maka timbul pertanyaan: kalau api alam dari blèncong dalam pertunjukan wayang dipercaya sebagai elemen yang paling kuasa, apakah adikuasanya penyinaran itu masih akan sama kalau api alam diganti dengan lampu listrik hasil teknologi manusia? Kami perlu merenungkan pertanyaan tersebut, kaitannya dengan ide-ide dalam filsafat, kekuasaan, dlsb. Yang jelas, dalam membahas wayang sebagai metafora, alegori, dan imageri kehidupan manusia, kami ditantang untuk menyorotinya dengan paradigma dan meracik bahasa yang baru untuk mendeskripsikan pertunjukan wayang masa kini.

Kesenian Hibrida

Kedua, saya tertarik pada kesenian hibrida yang hidup di bumi perbatasan, seperti di Cirebon, Banyumas (Hayward and Katarwi 2023) dan yang agak jauh, di Kalimantan Selatan tentang kesenian Banjar, kaitannya dengan hubungan antara Jawa dan Kalimantan beberapa abad yang lalu (Kartomi 2002). Dari topik yang sama, Jangèr Banyuwangi menarik perhatian saya (lihat Ilham 2023). Seni drama hibrida Jawa-Bali itu sering lakonnya Damarwulan, bahasanya bahasa Jawa, tetapi iringannya gamelan Bali kadang-kadang dicampur gamelan Gandrung dan Kuntulan, dan tarian dan kostumnya gaya Bali. Pengaruh elemen Barat pada Janger Banyuwangi: panggungnya gaya procenium Eropa yang dulunya dikenalkan teater Parsi di India ke Asia Tenggara pada abad ke-19.3 Juga tidak bisa ditinggalkan. Selain itu Jangèr Banyuwangi menggunakan sound system yang elaborat dengan multi pengeras suara gedhe-gedhe berbunyi menggelegar bisa didengar dari kejauhan, dari dekat bisa memecahkan membran telinga.

Tetapi apa yang bisa saya catat menurut pengamatan langsung saya? Penonton mentoleransi suara-suara yang keras menggelegar tersebut. Apa yang terjadi di Jangèr Banyuwangi, dalam tahap tertentu juga diketemui di kesenian hibrida yang lain. Tetapi keunikan bentuk hibrida Jawa-Banyuwangi-Bali-Barat sangat menonjol dalam Jangèr Banyuwangi. Mengapa demikian? 3 Menarik untuk diketahui bagaimana anggota masyarakat Parsi di Bombay dekat hubungannya dengan orang Inggris (penjajah India waktu itu) sebagai perantara hubungan antara orang India dengan orang Inggris. Demikian dekatnya orang Parsi dengan orang Inggris sehingga anggota masyarakat Parsi menjadi akrab dan menyukai teater Barat, membawakan ceritera-ceritera lokal dan Barat dipentaskan di panggung procenium yang saya singgung di muka. Kemudian, grup tontonan disponsori oleh orang Parsi tersebut dikenalkan di Asia Tenggara, termasuk di Malaysia dan Indonesia. Itulah awalnya panggung bentuk procenium Barat di kenalkan dan diadaptasi oleh seniman di Indonesia dan seniman-seniman Indo untuk pentas sandiwara, wayang wong, dan pertunjukan teater lainnya (Cohen 2006).

Gamelan Bali mengiringi drama tari Janger Banyuwangi, ceritera bahasa Jawa campur Osing, kostum gaya Bali, mikrofon dan pengeras ukuran sedang & besar di mana-mana, pencahayaan gemerlapan menyorot
panggung dan luar arena pertunjukan. Kebisingan, kegemerlapan, hidangan makanan berlangsung, penonton yang tak diundang berkerumun, toko dan warung darurat berderetan di tepi jalan. Foto koleksi penulis. Fotografer Ciptono Hadi. Janger Khrisna Buana, Banyuwangi

Festival Keagamaan

Ketiga, festival keagamaan di beberapa desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah membawakan pertunjukan wayang krucil sebagai intinya (Irawanto 2023). Wayang dibuat dari kayu itu sering menjadi ikon daerah setempat, tetapi pertunjukannya sangat terbatas, terutama untuk nyadran. Dibeberapa tempat, wayang tersebut dipentaskan di tengah-tengah makam.

Penyelenggarakan festival kesenian di desa Ngelo kecamatan Cepu, Blora dengan wayang krucil salah satu fiturnya, itu menjadikan festival hibrida Jawa-Barat yang sangat menarik. Festival itu diselenggarakan untuk menghormati dan memperingati danyang desa Mbah Maerah yang disemayamkan di makam tunggal di kampung itu.4 Wayang krucilnya mengandung makna keagamaan yang mendalam dan mengharukan. Pada waktu pertunjukan penonton tidak begitu memperhatikan pertunjukan wayang tersebut—penonton tidak banyak dan datang-pergi-datang. Dhalang Ki Pasiran mementaskan lakon ceritera Panji dan Menak. Makna keagamaan yang saya sebut tadi dilaksanakan di akhir pertunjukan. Begitu pertunjukan berakhir, penonton tua, muda, anakanak datang memenuhi sekitar tempat pertunjukan. Apa yang terjadi? Setelah pertunjukan wayang selesai, asisten dhalang mengeluarkan wayang golèk, sambil berdiri memegang wayang tersebut, menarikannya sekeliling panggung. Penonton yang memenuhi sekitar panggung berebut mengusap wayang golèk bermuka cantik representasi mbah Maerah, untuk mendapatkan berkah dari beliau. Saya sendiri sempat mengusap muka wayang tersebut.

Berebutan mengusap muka boneka Mbah Maerah. Screenshot dari video koleksi penulis. Videografer Ciptono Hadi.

Malam berikutnya ada tontonan dipentaskan persis dibelakang makam Mbah Maerah, yaitu pertunjukan Barongan dengan topèng-topèng dan kostum tari yang fantastik; permainan berbagai macam spotlights yang bisa digerak-putarkan tidak hanya untuk panggug tetapi seluruh area pertunjukan di muka dan sisinya; tarian barongnya diiringi musik gamelan dan nyanyian dengan menggunakan sound system yang elaborat dan pengeras suara yang besarbesar. Dalam benak saya, ah, apa Mbah Maerah tidak kebrebegan ya? Apakah mungkin masuknya teknologi Barat tersebut ikut menciptakan ruang sakral dalam konteks festival keagamaan desa untuk menghormati danyangnya tetapi dipadukan dengan tontonan sebagai hiburan? Dalam ilmu komunikasi, perpaduan antara religiositas dan tontonan terjadi wajar pada praktik lived religion, seperti pada festival keagamaan dalam konteks kehidupan masyarakat (Rinallo et al. 2013). Festival yang bisa dikatakan menyuguhkan hal-hal paradoks ini perlu untuk dikaji lebih lanjut.

UNESCO, SAFEGUARDING (PERLINDUNGAN) KESENIAN

Dalam komentar saya tentang wayang masa kini saya melacak kebelakang tentang fungsi api alam dari blencong untuk penyinaran pertunjukan wayang mencitrakan simbol kedalaman makna kehidupan manusia. Dan saya juga mempertanyakan apakah lampu listrik rekayasa manusia yang mengganti blencong mempunyai Daya (Power) dan simbol yang sama dengan api alam. Saya menganggap penyinaran wayang dengan lampu listrik yang sudah terjadi beberapa puluh tahun itu merupakan suatu keniscayaan, sesuai dengan perkembangan zaman—modernisasi, teknologi canggih, globalisasi, dlsb.

Bagaimana mendeskripsikan pertunjukan wayang masa kini? Kalau kami mengikuti suatu gagasan bahwa seni pertunjukan dibangun secara historis, dirawat secara sosial, dan 7 diterapkan secara invidual (Geertz 1973), maka jawabannya bisa menganut pendapat MacAloon (1984) mengenai Pertandingan Olimpiade. Yaitu bahwa “[p]ertumbuhan genre tontonan di masa modern bisa dipahami sebagai suatu bentuk sarana publik untuk mengungkap pikiran, berceritera tentang ambiguitas dan ambivalensi dalam eksistensieksistensi yang kita nikmati bersama.” (247). Dalam buku saya (2013), saya menyimpulkan bahwa pencahayaan listrik di dalam banyak hal sangat bermanfaat untuk pertunjukan wayang, meskipun ia juga sumber kontroversi, dapat dilihat sebagai metafora sekaligus realisasi tranformasi dinamis yang terus berlangsung yang dihasilkan dari temu-silang budaya Jawa-Barat.

Safeguarding dan Pemerintah

Selain itu, di sini ada satu hal wigati yang perlu ditambahkan, berkaitan dengan perkembangan wayang masa kini, yaitu tentang internasionalisasi wayang. Sebagaimana diketahui, wayang telah terdaftar sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO, suatu kebanggaan bagi seniman wayang dan bangsa, tetapi sering kami melupakan: sebetulnya apakah konsep warisan budaya tersebut? Apakah yang diharapkan dengan terdaftarnya kesenian sebagai warisan budaya tak benda? Untuk ini mungkin akan bermanfaat kalau kami memahami beberapa butir poin dari Konvensi UNESCO (2005) tentang warisan budaya tak benda.

Artikel 1 konvensi Safeguarding menyebut tujuannya sebagai (a) melindungi warisan budaya tak benda, (b) menjamin menghormati warisan budaya tak benda dari komunitas, kelompok-kelompok, dan invididual yang berkepentingan, (c) meningkatkan kesadaran ditingkat lokal, nasional dan internasional pentingnya warisan budaya tak benda, dan menjamin saling apresiasi kepadanya. Artikel 2 adalah sebutir definisi: ”Warisan budaya tak benda” berarti praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan – juga alat instrumen, objek, artifak dan ruang budaya yang berkaitan dengannya – yang mana masyarakat, kelompok-kelompok dan pada kasus tertentu individual, mengenalnya sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya tak benda yang ditularkan dari generasi ke generasi itu selalu dicipta ulang oleh masyarakat dan kelompok-kelompok dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah, dan ajang membentuk rasa identitas dan keberlangsungan hidup mereka, maka berarti mempromosikan rasa hormat terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia.

Kalimat yang saya garisbawahi (cetak huruf miring) itu bisa menjadikan wacana menarik dan penting tentang saling tarik-menarik dan saling berpengaruh antara nilai warisan budaya dan penciptaan ulang kesenian, termasuk juga menyajikan kesenian yang sudah ada. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh nilai-nilai budaya masa lampau mempengaruhi atau kurang mempengaruhi seniman yang mempraktikan ulang kesenian yang sudah ada dan mencipta kesenian baru? Apakah konsekwensinya kalau nilai-nilai budaya masa lampau tidak dipedulikan oleh senimannya karena alasan-alasan tertentu, seperti mengikuti gebyar modernisasi, komersialisasi, kepariwisataan, mengikuti selera pasar, dlsb?

UNESCO, sebagai institusi yang meneruskan kebijakan-kebijakannya melalui permeritah, memaknai Safeguarding sebagai tolok ukur untuk menjamin kelangsungan warisan budaya tak benda, termasuk mengidentifikasi, mendokumentasi, melakukan riset, 8 mempreservasi, memproteksi, mempromosikan, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan kesenian, melalui pendidikan formal dan nonformal; juga perlunya merevitalisasi berbagai macam aspek warisan tersebut. Jadi tidak hanya mengidentifikasi, tapi juga menghormati, merevitalisasi, dan mengembangkan warisan budaya.

Bagaimana ini semua dilaksanakan? UNESCO (1978) mengharapkan pemerintah melaksanakannya melalui kebijakan-kebijakannya. Mungkin menjadi tugas dan tantangan berat untuk pemerintah karena beragamnya organisasi-organisasi pemerintah atau nonpemerintah dan kelompok-kelompok senimannya—mereka mempunyai agendanya sendirisendiri untuk berkesenian. Tambah lagi bahwa kesenian itu tidak hanya dipentaskan secara formil (seperti yang disponsori institusi pemerintah. termasuk ISI, atau swasta) atau dipentaskan rutin seperti kethoprak atau wayang wong tobong dan acara-acara televisi, tetapi juga ditanggap untuk merayakan orang punya kerja, seperti sunatan, mantenan, dlsb. Dengan demikian, tidak mungkin pemerintah bisa mengawasi jalannya kehidupan dan pengembangan semua kesenian di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dengan harapan supaya masyarakat dan masyarakat kesenian menghormati keragaman dan kreatifitas manusia yang terwujud dalam nilai-nilai tinggi warisan budaya dunia dan mengembangkan kesenian tanpa meninggalkan nilai-nilai tersebut. Maka kelangsungan perwujudan gaya, bentuk, format, isi, pengembangan kesenian lebih banyak tergantung pada seniman-seniman lokal.

Sekarang pertanyaannya untuk kesenian yang terdaftar dalam warisan budaya tak benda, apa yang dapat dilakukan oleh seniman-senimannya sehubungan dengan konvensi Safeguarding menurut anjuran UNESCO? Mungkin seharusnya kalau terdaftar dalam Unesco Intangible Cultural Heritage of Humanity yang bertujuan menghormati dan menyadari nilainilai tinggi warisan budaya, itu dipertimbangan seniman dalam menyajikan dan merevitalisasi kesenian yang ada, menciptakan kesenian kreasi baru, atau mengembangkan kesenian pada umumnya. Ini mudah untuk dikatakan, tetapi sukar untuk dilakukan karena berbagai macam interpretasi bagaimana mengadaptasi nilai-nilai warisan budaya mereka.

Tetapi perlu diketahui bahwa dari waktu ke waktu UNESCO mengamati pelaksanaan praktik-praktik kelanjutan berkesenian dan berkonsultasi dengan yang berkepentingan dari kelompok yang telah terdaftar dalam Warisan Budaya tak Benda: apakah perkembangannya telah dinilai mengikuti anjuran-anjuran UNESCO? Apakah sangsinya? Kiranya kita tidak begitu mengetahui tentang hal ini. Tetapi perlu diketahui bahwa memang aturan menjatuhkan sangsi itu bisa terjadi menurut keputusan yang dirapatkan oleh panitya antar-pemerintah yang mengurusi kebijakan tentang perlindungan budaya. Tahun 2019 yang lalu panitya ini, atas permintaan dari masyarakat yang menerimanya, telah memutuskan “Aalst Carnaval di East Flanders” di Belgia mencoret dari daftar Warisan Budaya Tak Benda, karena festival tersebut mempresentasikan masalah rasisme (UNESCO 2019). Kami tidak bisa menebak masa depannya, apa saja yang kiranya dianggap sebagai pelestarian kebudayaan yang tidak mulus menurut masyarakatnya dan dipertimbangkan oleh UNESCO.

DARI JAGAD IDE KE JAGAD PRESENTASI, BATIN KE LAHIR

Sekarang akan saya lanjutkan dengan topik kedua: paradigma berkesenian. Saya telah menyinggung sedikit tentang kesenian bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan masyarakat dan manusianya, melalui simbolisme-simbolisme, imageri, alegori, filsafat, dlsb. 9 Dalam konteks ini, kadang-kadang timbul pertanyaan: bagaimana seniman berkesenian bisa mengangkat kesenian menjadi tangguh, beraura, dan berpengaruh? Bagaimana gamelan dan wayang bisa mendunia, Jangèr Banyuwangi dan wayang krucil di Blora bisa mengalir lebih meriah seiring jamannya yang tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Barat dengan teknologi visual dan auditori modern? Ini merupakan topik yang kompleks berkaitan dengan proses hibrida, silang budaya, silang agama, dlsb., yang sering menimbulkan diskusi pro dan kontra. Saya akan mencoba memfokuskan hanya pada satu paradigma berkesenian.

Process-product oriented, end-product oriented

Pertama, saya mengajukan pendapat bahwa untuk mengerti aura, marwah, nilai, Daya, dan makna kesenian, dua orientasi perlu dipertimbangkan, yaitu (1) berorientasi pada proses untuk menuju hasil terakhir produknya (process-product oriented) dan (2) berorientasi pada proses penilaian hasil terakhir (end-product oriented). Mungkin kebanyakan opsi kedua saja yang lebih menonjol, yaitu mengupas makna hasil produk yang sudah jadi. Tetapi sebetulnya opsi pertama—process-product oriented—itu yang lebih mendukung kesenian mempunyai Daya, marwah, berpengaruh, dan tangguh.

Contohnya, untuk mengetahui kain batik itu beraura, bukan karena hanya melihat indahnya batik dengan ulangan-ulangan pola-pola coretannya, tetapi proses membuat batik itulah yang membuat kedalaman maknanya—bagaimana sang pembatik secara tekun dan berhati-hati berjam-jam menulis dengan canthingnya pola-pola batik, bagaimana dia menghasilkan pola-pola batik yang kelihatan sama tapi berbeda (Kitley 1992a). Maka dari itu batik tulis mengandung makna dan marwah lebih dalam daripada batik cap. Itulah sebabnya batik mempunyai marwahnya sendiri-sendiri. Contohnya, kain batik yang dihasilkan oleh almarhum Bu Bei Mardusari (pesindhèn Mangkunegaran dan juga pembatik) mempunyai marwah-marwah tertentu (Kitley 1992b). Karena beliau pesindhèn, wilet-wiletan batiknya, isèn-isènnya terasa berkaitan dengan alunan-alunan cèngkok sindhènan gaya khas beliau.

Untuk seni rupa, saya tidak tahu banyak. Salah satu catatan saya adalah apa yang pernah dipaparkan oleh I Gusti Nengah Nurata (2017) dalam seminar di ISI beberapa tahun yang lalu (ISITV Solo 2017). Dalam dunia inner space sebagai ajang untuk mendapatkan inspirasi, tema, atau subjek sebelum beliau melukis, subjek itu didapatkan dari persentuhan antara dunia batin dan alam. Dari tema yang diketemukan dalam batiniah tersebut, beliau menggarap menurut kekuatan daya refleksi seni untuk menjadi karya seni rupa murni disuguhkan di outer space, atau dunia lahir. Estetika lukisan tersebut bisa dinikmati dengan mata fisik, tetapi juga mengandung makna aestetika yang bisa dilihat dengan mata batin.

Sebagai tambahan saya punya anekdot. Pada waktu penghasilan minyak di Indonesia meruah limpah, dari pihak pabrik minyak minta seorang pelukis membuat lukisan pabrik minyak. Tentunya diharapkan sang pelukis akan menghasilkan lukisan merepresentasikan pabrik minyak modern yang megah. Tetapi apa hasilnya? Sang pelukis memenuhi canvasnya dengan lukisan pemandangan yang indah-indah, berupa sawah, gubug, pohon, beberapa flora dan fauna. Non jauh di sana, ditengah-tengah pemandangan tersebut dapat dilihat lukisan kecil cerobong pabrik minyak yang mengepulkan asap. Ini berarti bahwa subjek dalam inner space telah digarap sang pelukis menjadi lukisan (outer space) yang tidak dikehendaki oleh pemesannya.

Dari contoh-contoh diatas bisa saya simpulkan bahwa dalam proses berkesenian, pertama sang seniman mengeksplorasi, mencari inspirasi kemungkinan-kemungkinanya di jagad ide (dunia inner space), mengkonsep apa yang akan dipresentasikan—subjeknya. Dalam dunia musik, ini terjadi di jagad bunyi batin (inner auditory space), sedangkan implementasinya (objeknya) terjadi di jagad bunyi nyata atau jagad lahir (outer auditory space).

Wantah dan tak wantah

Dua tahapan berkesenian ini terjadi dalam konteks lingkungan di mana kesenian tersebut dipentaskan. Secara langsung dan tidak langsung lingkungan mempengaruhi formasi dan transformasi kesenian—keduanya berkaitan dengan lingkungan bunyi (auditory environment). Lain kata, apa yang terjadi di lingkungan pencipta mempengaruhi atau justru menjadi subjek utama penciptaan. Jadi subjek ini bisa secara wantah (tangible) menentukan objeknya, tetapi bisa juga secara tidak wantah (intangible).

Ladrang Siyem adalah salah satu contoh penciptaan subjek menjadi objek secara wantah. Yaitu ladrang Siyem itu digubah berdasarkan pada lagu kebangsawanan kerajaan Siam “Sarasun Phra Barami,” digubah oleh “komponis” keraton Surakarta setelah mendengarnya pada waktu Raja Siam berkunjung ke keraton Kasunanan tahun 1929. Tetapi seiring dengan jalannya waktu, pangrawit tidak lagi tahu (atau tidak harus tahu) asal-usul gendhing itu, jadi subyeknya bisa menjadi subjek tak wantah.

Gendhing-gendhing yang digubah berdasarkan sekar måcåpat, dengan diberi nama sama dengan nama macapat tersebut, itu juga proses wantah. Kalau måcåpat digubah lebih rumit, dan diberi nama baru, bukan nama subjek måcåpatnya, itu termasuk proses intangible, tidak wantah. Contoh lainnya, gendhing Muncar yang subjeknya adalah måcåpat Maskumambang dan sekar måcåpat Kinanthi Surådiwongså digubah menjadi gérongan ketawang Subåkaståwå.

Berkenaan dengan ini, julukan “komponis” gendhing tradisional mempunyai arti yang lain daripada komponis musik klasik Barat. Kalau komponis di musik klasik Barat satu orang saja (composer) melakukan penciptaan komposisi dan orkestrasinya (semua instrumen, satu persatu), dengan menulis notasi lagunya (music score), untuk “komponis” gendhing Jawa tradisional, subjek dari seorang “komponis” dipakai sebagai referensi atau tuntunan untuk diimplementasikan secara kolektif oleh pangrawit-pangrawitnya untuk dilagukan melalui instrumen mereka. Subjek komposisi sebagai tutunan untuk diolah dan disajikan pangrawitpangrawit dalam melagukan instrumen mereka, itulah wujud komposisi wutuh sebagai objek yang diperdengarkan atau dipentaskan.

KESIMPULAN

Konstalasi, transmediasi

Bentuk, makna, dan konteks kesenian selalu berubah menurut perkembangan jamannya, dari jaman lampau dengan teknologi minimal ke periode modern Barat sampai jaman sekarang yang penuh dengan keberadaan segala macam teknologi yang canggih (Born 2013). Dalam hal ini, suatu kesenian selalu terbentuk secara transmediasi, yaitu berdasarkan pada konstalasi berbagai bentuk media yang tersedia pada zamannya: ada media non-tulis (oral), notasi, dan visual. Selain itu, makna kesenian dibentuk oleh konteks sosial-budayanya, konteks yang juga sebagai ajang diskursus dan diskursif tentang kesenian masa lampau, keberadaannya sekarang, dan yang akan datang.

Sekian dan terimakasih atas perhatiannya.


Untuk versi BWC ini, saya tambahkan bab baru tentang UNESCO Safeguarding. Saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Profesor Ismunandar, waktu itu masih menjabat Delegasi Permanen Indonesia untuk UNESCO, yang telah membaca dan memberi banyak masukan selama saya merevisi pidato ini. Juga terimakasih kepada Profesor Budi Setiyono, dosen ISI Surakarta yang telah memberi tanggapan kepada orasi saya.

2 Sekedar mengingatkan, walaupun dua dimensi merupakan format pertunjukan wayang yang kami lihat, sebetulnya penonton wayang dituntun untuk berimaginasi mengamati adegan-adegannya dalam format tiga dimensi (Arps 2016). Contohnya, kalau figure wayang ditancapkan di gedebog (pohon pisang) untuk menancapkan wayang dalam pertunjukan ada dua lapis, lapis atas dan bawah, sehingga alas kakinya terlihat sebaris dengan palemahan di kelir, itu berarti wayang tersebut berdiri. Tetapi kalau wayang ditancapkan di gedebog bawah sehingga bagian pantat kebawah terletak di bawah palemahan dengan badan diposisikan miring kedepan, itu berarti wayang tersebut duduk bersila. Imaginasi duduk sila ini bisa diamati lebih jelas dari bayangannya di belakang kelir, karena bagian pantat kebawah tidak dapat dilihat. Contoh yang lain, narasinarasi dhalang membuat penonton berimaginasi dalam tiga dimensi; emikian pula gunungan yang menggambarkan gunung, api, dlsb.

3 Menarik untuk diketahui bagaimana anggota masyarakat Parsi di Bombay dekat hubungannya dengan orang Inggris (penjajah India waktu itu) sebagai perantara hubungan antara orang India dengan orang Inggris. Demikian dekatnya orang Parsi dengan orang Inggris sehingga anggota masyarakat Parsi menjadi akrab dan menyukai teater Barat, membawakan ceritera-ceritera lokal dan Barat dipentaskan di panggung procenium yang saya singgung di muka. Kemudian, grup tontonan disponsori oleh orang Parsi tersebut dikenalkan di Asia Tenggara, termasuk di Malaysia dan Indonesia. Itulah awalnya panggung bentuk procenium Barat di kenalkan dan diadaptasi oleh seniman di Indonesia dan seniman-seniman Indo untuk pentas sandiwara, wayang wong, dan pertunjukan teater lainnya (Cohen 2006).

4 Menurut tradisi lisan, Mbah Maerah (Dewi Maerah) adalah isteri dari Pangeran Benowo. Kejadian pertentangan antara sang pangeran dengan bangsawan kerajaan Mataram, Dewi Maerah di perkosa oleh Raden Rongga, mengakibatkan sang Dewi bunuh diri.

——

BIBLIOGRAFI

MacAloon, John. 1984. Rite, Drama, Festival, Spectacle: Rehearsal Toward a Theory of Cultural Performance. Philadelphia: Institute for the Study of Human Issue.

Arps, Bernard. 2016. “Flat Puppets on an Empty Screen, Stories in the Round: Imagining Space in Wayang Kulit and the Worlds Beyond” Wacana 17, no. 3: 438–72.

Born, Georgina. 2013. Music, Sound and Space: Transformations of Public and Private Experience. Cambridge, UK. Cambride University Press.

Cohen, Matthew. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891- 1903. 2006. Athens: Ohio University Press.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc.

Hayward, Sean & Darno Kartawi. 2023. “Calung Banyumasan: Borderland Idntity Through the Lens of Musical Technique.” Malaysian Journal of Music, 12(2), 61-75.

Ilham, Mochamad. 2023. Janger Banyuwangi: Bertahan Melintasi Jaman. Jakarta: Penerbit BRIN.

Irawanto, Rudi. 2023. Menemukan Sang Hayyu: Perjalanan Mencari Wayang Krucil. Yogyakarta: Deepublish.

Kartomi, Margaret. 2002. “Meaning, Style and Change in Gamalan and Wayang Kulit Banjar Their Transplantation from Hindu-Buddhist Java to South Kalimantan.” The World of Music, 44/2).

Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas, Yogyakarta: Gama Media for Pusat Studi Kebudayaan UGM.

Kitley, Philip. 1992a. “Ornamentation and Originality: Involution in Javanese Batik. Indonesia 53: 1-19. ———. 1992b. “Portrait of an artist: Nyai Tumenggung Mardusari.” The Textile Museum Journal 31: 97-108.

Mangkunegara, KGPAA. 1853-81. Sendhon Langen Swara. Naskah SMP RP 80/4.

Ras, J. J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study the Malay Historiograhy. The Hague: Martinus Nijhoff.

Rinallo, Diego, et al. 2013. Consumption and Spirituality. New York and London: Routledge. 12

Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java. Chicago: University of Chicago Press. ———. 2013. Javanese Gamelan and the West. Rochester: Universoiy of Rochester Press. ———. 2016. Keynote: Dualisms in the Formative and Transformational Processes of Javanese Performing Arts. https://asia-archive.si.edu/essays/article-sumarsam/

UNESCO. “Materpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity: Proclamations 2001, 2003 and 2005.” ———. 1978. “Recommendation for the Protection of Movable Cultural Property. Paris: UNESCO. ———. 2019. “Decision of the Intergovermental Committee: 14. COM 12.” https://ich.unesco.org/en/decisions/14.COM/12

Presiden Republik Indonesia. 2017. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. ISITV Solo. 2017. “Seminar Internasional: Seni, Agama, & Peradaban.” Sesi 2. <https://www.youtube.com/watch?v=lq3E49DVOZ8>

Wadehra, Anurag & Salil Singh. 2000. “Barrowed Fire: The ShadowPuppets of Kerala.” Kathanjali Production Inc. https://www.youtube.com/watch?v=-j8cqPvM9aA

*****************

*Prof. Sumarsam, Komposer dan mengajar di Wesleyan University


 

TANGGAPAN PIDATO PROF. SUMARSAM PADA DIES NATALIS ISI SURAKARTA KE 60

Budi Setiyono, ISI Surakarta

Dies Natalis sebuah perguruan tinggi selalu menjadi momentum untuk merefleksi diri, terutama dalam hal kerja-kerja akademik. Begitupun yang dilakukan ISI Surakarta pada dies natalisnya ke 60 pada 15 Juli 2024 yang baru lalu, tatkala mendaulat Profesor Sumarsam, salah satu lulusan terbaiknya yang kini menjadi profesor di Wesleyan University USA untuk memberikan pidato ilmiah. Menariknya, sebelum memulai pidato ilmiahnya, Prof. Sumarsam mengawali dengan aksi simbolis, melepas pakaian regalia lulusan Cornell University tempat ia menyelesaikan studi doktoralnya dan menggantinya dengan beskap yang merupakan pakaian regalia kehormatan ISI Surakarta. Aksi kecil itu bukanlah sekadar gimmick pertunjukan, tetapi tampak benar-benar merupakan pancaran dari cara pandang Prof. Sumarsam yang tumbuh dan terselimuti oleh dua tradisi berfikir yang berbeda, yaitu tradisi ilmu-ilmu sosial dan humanitas Barat mutakhir yang cenderung berkembang ke arah kritisisme dan tradisi berfikir Jawa yang semu. Pengaruh dua tradisi akademik itu juga terpancar pada tema yang ia paparkan dalam pidatonya, yaitu keragaman dan paradigm berkesenian.

Melalui tema keragaman kesenian, Prof. Sumarsam ingin menunjukkan fakta mengenai kesenian di Indonesia yang jumlah dan ragamnya sangat banyak pada dasarnya merupakan hibrida. Jenis-jenis kesenian di banyak tempat yang acap digaungkan sebagai kesenian asli dari suatu tempat, fakta sebenarnya adalah hibrida akibat pengaruh kesenian atau kebudayaan dari luar Indonesia, termasuk juga Barat. Ia merujuk pada sejumlah hasil penelitian tentang kesenian yang ia lakukan, seperti wayang kulit, Janger di Banyuwangi, Kesenian-kesenian yang hidup di perbatasan seperti Banyumas, Cirebon dan Kalimantan Selatan, dan juga kesenian yang menjadi inti upacara seperti Wayang Krucil di Blora. Pada kasus wayang kulit masa kini misalnya, hibriditas terjadi langsung menukik sampai pada aras filosofis, tetapi oleh para pelaku, pengamat maupun penggemar wayang, hal itu dianggap sebagai lumrah dan tak perlu dipertanyakan keasliannya. Ketika Blencong sebagai penerang kelir yang di masa lampau menggunakan sinar api secara filosofis bermakna kekuatan (power) penggerak alam dan manusia, kini digantikan oleh lampu listrik yang lebih berperan seperti spotlight di panggung proscenium, alih-alih menghasilkan bayangan “hidup”. Keberadaan teknologi lainnya seperti pengeras suara, mikrofon, efek-efek visual juga merupakan fakta lain hybriditas yang tidak membuat wayang kulit dianggap tidak asli.

Tradisi berfikir Barat telah menuntun Prof. Sumarsam untuk melihat hibriditas karena pengaruh kebudayaan Barat itu, dan sekaligus secara kritis mempertanyaannya:”… kalau api alam dari blèncong dalam pertunjukan wayang dipercaya sebagai elemen yang paling kuasa, apakah adikuasanya penyinaran itu masih akan sama kalau api alam diganti dengan lampu listrik hasil teknologi manusia?” Kendati pertanyaan ini sebagian merupakan pengaruh tradisi berpikir, tetapi kemudian kembali pada tradisi berpikir Jawa. Mengapa demikian? Pertanyaan itu secara kritis seharusnya mengarah pada: Apakah jika blencong yang merupakan symbol kuasa alam dari sinar yang menggerakkan itu diganti dengan lampu listrik, artinya kuasa baru itu lalu beralih pada pemilik dan pencipta teknologi itu? Tradisi berpikir Jawa yang semu mengarahkan pertanyaan itu hanya pada ajakan untuk mendiskusikannya, dan jika pembaca cukup waskitha akan dengan cepat mamahami arahnya. Gambaran yang kurang lebih sama juga tampak dari uraian Prof. Sumarsam pada kasus penyelenggaran festival keagamaan di Desa Ngelo dalam mana pertunjukan Wayang Krucil menjadi intinya.

Prof. Sumarsam secara terus terang mengakui bahwa hibriditas seperti keberadaan lampu listrik dalam pertunjukan wayang adalah keniscayaan yang takterhindarkan. Namun, pertanyaan lain yang juga menggelitik Prof. Sumarsam, adalah bagaimana mendeskripsikan wayang maka kini? Lagi-lagi, pertanyaan ini adalah pertanyaan semu yang sesungguhnyanya amat tajam. Merujuk pada pandangan Geertz tentang seni pertunjukan dan MacAloon tentang olimpiade, secara samar-samar Prof. Sumarsam mempertanyakan tentang seperti apakah konsep warisan budaya, dalam konteks pengakuan UNESCO terhadap wayang sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia?

Konsep Safeguarding UNESCO sebagai tolok ukur untuk menjamin kelangsungan warisan budaya tak benda, bagi Prof. Sumarsam tidak cukup dengan mengidentifikasi, mendokumentasi, melakukan riset, mempreservasi, memproteksi, mempromosikan, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan kesenian, melalui pendidikan formal dan nonformal. Perlu juga melakukan revitalisasi menghormati, merevitalisasi, dan mengembangkan berbagai macam aspek warisan tersebut.

Tidak ingin sibuk memikirkan banyak pertanyaan dan kontroversi dari tema pertama yang ia bahas, Prof. Sumarsam seolah ingin menyodorkan jawaban tanpa harus terlibat dalam adu argument. Lagi-lagi ini mungkin pengaruh tradisi berpikir Jawa yang secara stereotipis memang selalu coba menghindar dari perdebatan terbuka. Bagaimana gamelan dan wayang bisa mendunia, bagaimana Jangèr Banyuwangi dan wayang krucil di Blora bisa mengalir seiring jamannya tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Barat dengan teknologi visual dan auditori modern? Jawabnya, kesenian itu harus bermakna dan bermaanfaat untuk kehidupan masyarakat dan manusianya, melalui simbolisme-simbolisme, imageri, alegori, filsafat. Untuk mengerti aura, nilai, daya, dan makna kesenian, bagi Prof. Sumarsam ada dua orientasi perlu dipertimbangkan. Pertama, (1) berorientasi pada proses untuk menuju hasil terakhir produknya (process-product oriented). Contohnya, untuk mengetahui kain batik itu beraura, bukan karena hanya melihat indahnya batik dengan ulangan-ulangan pola-polanya, tetapi proses membuat batik itulah yang membuat kedalaman maknanya dan (2) berorientasi pada proses penilaian hasil terakhir (end-product oriented). Dari cara menjawab perdebatan dan isi dari jawaban-jawaban ini, sekali lagi memperlihatkan bagaimana tradisi berpikir Jawa menyelimuti refleksi pidato Dies ISI ke 60, seperti yang disimbolkan dengan busana regalia beskap yang dikenakan oleh sang orator.