Antiga, Rianto dan Sosok-sosok Tubuh Abstrak
Oleh Benny Krisnawardi
Banyak yang beranggapan Dunia tari Tanah Air tak lagi mengeliat seperti dulu. Lesu, mati suri, tak bisa lagi meliuk dalam irama zaman yang terus berkembang seiring desas desus aura melenial yang nyaris memupuskan rasa cinta akan warisan agung tari para leluhur bangsa.
Miris rasanya mendengar itu. Sebagai anak bangsa yang pernah dibesarkan dan didik dalam lingkungan budaya tradisi yang kuat, seakan tak percaya bila hal itu betul-betul terjadi.
Hari ini sabetan tajam keris-keris pusaka serta jentikan jemari diantara liukan tubuh para penari kebanggaan kita selama ini, seakan dipandang sebelah mata. Penari-penari itu kini berpindah dari formasi satu ke formasi berikut diantara obrolan dunia, dan tak sempat lagi menoleh kepadanya saat menyelesaikan sebuah adegan cinta akan negeri.
Adegan itu menuntut ketangguhan lahir bathin dalam memerankannya. Menembus waktu yang terus menuntut berbagai daya kreatif, agar tak tergilas oleh alasan klasik ini itu, yang sebenarnya merupakan kedok dari detak kegamangan dalam menghadapi berbagai rintangan.
Bila kita bicara penari, sosok yang selalu berperan penting dalam dunia tari itu sendiri, mungkin tidak banyak yang dapat bertahan dari hantaman gelombang waktu yang terjadi hari ini. Jika ingin bertahan, Ia harus siap dengan berbagai tantangan.
Sosok-sosok penari tangguhlah yang dapat bertahan, dan akan terus menari diantara gelombang waktu yang semakin mendesak dirinya. Ruang tubuh tempat ia menitipkan berbagai kosa kata, menjadi harapan tanpa henti untuk terus bersuara. Tolehan tanpa makna dari mereka yang berselisih faham, tak ia pedulikan seiring energi tubuhnya yang terus menari.
Dari sekilas apa yang terjadi di atas. Rasanya sosok Rianto, penari dan seniman asal Banyumas yang telah melahirkan banyak karya tari ini, mungkin sedang melalui atau akan selalu berada di gelombang waktu yang kita bicarakan itu. Bagaimana tidak, situasi yang sedang terjadi beberapa tahun ini, baik di Tanah Air bahkan dunia, tak membuat ia menghilang, malah sebaliknya. Ia seakan terus “menari-nari”, seperti menikmati alunan gelombang yang terus mengayunkan tubuhnya kian kemari.
Rianto hadir dalam berbagai program tari bergengsi di Tanah Air. Hal itu membuat namanya semakin menjadi perbincangan di kalangan masyarakat tari Indonesia, mungkin bahkan beberapa Negara lain.
Baru-baru ini Rianto hadir dengan karya tari “ANTIGA”, pada Borobudur Writers & Cultural Festival ke-10, 2021. Sebuah ajang Festival yang mengangkat berbagai peristiwa sejarah budaya di balik berdirinya Candi Borobudur.
“ANTIGA”, merupakan karya Rianto yang tampil secara virtual. Ditarikan oleh tiga orang penari, Abdi Karya, Cahwati dan Rianto sendiri. Untuk musik dikawal sendiri oleh Rianto dan kemudian ditata oleh Cahwati.
Karya tari “ANTIGA”, merupakan gambaran pesan tentang “Nyawi” ing diri pada tubuh. Menyatukan perasaan, ucapan dan perbuatan (hati, bibir dan perbuatan). Ketika tiga elemen ini disatukan dalam sebuah literatur dan foklor Jawa, merujuk pada tabiat buruk dalam kelemahan integritas yang merupakan sindiran indah dengan menggunakan istilah “alim antiga”. Alim merupakan (serapan dari bahasa Arab) artinya “Berpengetahuan”. Dan “ANTIGA” artinya telur yang di dalam bahasa Jawa lebih popular disebut TIGAN, yang merujuk kepada angka 3, sesuai dengan tiga bagian yang ada pada telur. Kuning telur, Putih telur dan Kulit telur.
Untuk menyebut orang yang tidak memiliki integritas, lebih kepada mereka yang memiliki status terpelajar atau berpengetahuan, dalam bahasa Jawa sering diungkapkan sebagai sindiran “Wong Alim Antiga”. Njaba putih njero kuning (Di luar putih akan tetapi di dalamnya kuning). Artinya Perbuatan berbeda antara lahir dan bathin.
Gerak jari tangan menyerupai anak ayam yang sedang berusaha keluar dari cangkang telur, menjadi adegan pembuka karya tari “ANTIGA”. Adegan ini terlihat sangat kuat. Sederhana akan tetapi menyampaikan banyak makna. Dibawakan oleh Rianto dengan posisi tangan diangkat pada level tinggi di atas kepala. Sementara semua tubuh dibungkus oleh kain yang dibuat khusus menyerupai bentuk kain sarung. Sehingga jari-jari tangan yang bergerak perlahan menjadi sangat fokus.
Peran kamera memanfaatkan cahaya matahari terbit (sunrise), sangat menguntungkan. Cahaya tubuh yang gelap jadi memperkuat adegan pertama ini. Hamparan alam yang terlihat samar karena tertutup kabut menjadi latar belakang. Semua gerak tangan begitu halus, lembut, mengalir pasti, seperti mengiringi takdir untuk melangkah, berjalan, memulai hidup di alam jagad raya ini.
Seiring petikan dawai alat musik dan senandung vokal bernuansa tradisi Makasar, kita diajak Rianto berpindah ke areal hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar yang rindang. Diantara pepohonan itu, tiba-tiba kita dikagetkan oleh penari yang berubah menjadi tiga orang. Pada awalnya saya mengira itu hanya sebuah editan yang menggabungkan satu penari menjadi tiga. Bagaimana tidak, karena sosok tiga penari tersebut muncul di balik pepohonan dan berlari dengan arah yang saling berbeda satu sama lain. Sementara kostum yang mereka pakai terlihat sama. Adegan ini menarik. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Ketiga penari berhenti pada posisi rendah, dengan arah dan jarak yang saling berjauhan.
Mereka terdiam sejenak seakan menyatu dengan alam lingkungan. Warna sarung hijau yang mereka kenakan menjadi selaras pula dengan warna daun yang berserakan serta pohon-pohon besar yang berdiri kokoh. Mereka terlihat menjadi partikel kecil diantara mahkluk alam yang ada di sekelilingnya.
Dari posisi diam rendah itu mereka mulai bergerak bangkit perlahan bersaman munculnya tembang Asmarandana yang berbicara akan keihlasan bathin manusia. Lirik – lirik tembang yang membawa kita ke perenungan yang dalam akan kehidupan manusia itu diolah oleh Gunawan Muhammad, budayawan senior yang sudah sangat dikenal oleh kalangan masyarakat sastra maupun seni pertunjukan Indonesia.
Kamera mulai bergerak perlahan dengan formasi melingkar berlawanan dengan pergerakan penari. Semakin lama sedikit menjauh dari penari. Sehingga ruang terlihat lebih besar dari sebelumnya. Saat bersamaan penari terlihat saling berjauhan satu sama lain. Aktivitas masing-masing saling berbeda. Baik arah maupun level. Sarung yang tadi membungkus tubuh mereka, mulai mereka gulung dengan posisi poros gulungan di kepala.
Tubuh mereka dari pinggang sampai dada mulai terbuka. Sementara sarung panjang yang menjadi pembungkus tubuh mereka tadi, kini telah menjadi gulungan panjang yang dilingkarkan menutupi muka dan semua kepalanya. Sehingga kain yang menutupi semua raut wajah mereka itu, seakan menjadi kedok atau topeng yang melahirkan berbagai ekspresi.
Kita tidak tahu, apakah Rianto ingin menggambarkan manusia-manusia berkedok, atau mengungkap sifat manusia yang perlahan mulai berubah wujud menjadi hewan-hewan buas. Hal itu semakin jelas terlihat saat jari-jari tangan penari membuat gerak seperti seekor hewan buas yang sedang mengeluarkan cakarnya di tanah, sambil meraup semua benda yang ada di genggamannya. Saat adegan ini berlangsung penari dalam posisi tengkurap. Meliuk-liuk seperti sedang memperlihatkan emosi yang tertahan.
Adegan ini melahirkan nuasa budaya primitive yang kita tahu ada di berbagai daerah pedalaman Nusantara. Begitu juga pada karya ini. Vokal-vokal tradisi bernuansa mantra dari daerah Makasar, Sulawesi Selatan, yang diolah Rianto pada bagian karya ini, merupakan hasil dari perjalanan migrasi bunyi dari penelitian Rianto mengenai mantra-mantra yang ada di daerah Banyumas dan Makasar, Sulawesi Selatan.
Saat suasana matra-matra itu terus mengeluarkan berbagai tekanan irama yang menyayat, dua orang penari menggeliat dan merangkak mengarah ke sebuah pohon besar. Mereka terus mendekat ke akar pohon dan seperti ingin menggapai posisi yang lebih tinggi.
Posisi jari-jari tangan yang sesekali terlihat ingin mencakar pohon besar itu menunjukkan sebuah sikap yang ambisius. Namun karena postur tubuh mereka yang kecil seperti tidak sanggup untuk menggapai posisi yang lebih tinggi. Sehingga, apa yang mereka lakukan tampak sia-sia.
Mereka terlihat menyerah. Apapun yang mereka lakukan seperti tidak mendatangkan hasil apa-apa. Akhirnya mereka tersadar, bahwa kekuatan mereka tidak sanggup untuk menakhlukkan pohon-pohon besar yang telah berdiri kokoh, kuat dari segala sisi, baik akar, kulit pohon bahkan ranting-ranting sekalipun. Dua penari itu akhirnya duduk terdiam dalam kepasrahan sambil membelakangi pohon besar yang tadi tempat bergantung bagi dirinya.
Adegan berubah. Mantra-matra yang bernuansa budaya primitif masih terus berjalan. Saling sahut bersahut penuh emosi. Sekilas seperti menggambarkan sebuah perseteruan yang sengit antara dua kelompok yang yang sedang bersiteru. Mengeluarkan ilmu-ilmu pusaka, untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Semua menjadi buas saling menjatuhkan.
Di posisi lain, muka penari yang masih tertutup oleh sarung tadi, kini ditumbuhi oleh ranting-ranting yang tajam. Mereka terlihat menjadi buas. Bergerak lebih agresif, menatap lurus tajam ke depan sesekali berpaling ke kanan dan ke kiri.
Pergulatan panjang akan kehidupan manusia, tak akan terlepas dari wujud alam yang telah dikodratkan Ilahi. Semua berada pada bentuk yang saling berbeda satu sama lain, baik wujud maupun warna.
Hal itu diungkap Rianto pada bagian akhir karya ini. Tiga warna kain yang menguntai panjang dari tempat ketinggian, mencipta garis imajiner yang kuat diantara wujud alam lainnya. Warna itu seperti mengalirkan energi akan kehidupan yang sebenarnya. Masuk pada diri makhluk hidup dimanapun berada.
Air sungai yang mengalir dan membasahi tubuh tubuh dua orang penari menjadi adegan penutup karya ini. Dua orang penari itu tepat berada di tengah-tengah air yang mengalir. Seperti berbaur menjadi satu ke dalam sumber energi kehidupan itu. Mengalir, mengikuti perputaran waktu sampai batas yang kita tidak tau kapan semua itu akan berakhir.
Karya ini telah membawa kita akan sebuah perjalanan hidup. Kemana jalan itu akan kita tuju, dimana posisi kita sebenarnya. Jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.
Terima kasih untuk karya “ANTIGA”
*Benny Krisnawardi adalah penari, koreografer dan pengajar di Prodi Tari – Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta.