Puisi-Puisi Rida K Liamsi
Singapura, Sebuah Meta Historia
: YY
Selamat ulang tahun, Singapura
Tapi jangan melupakan sejarah
Andaikata Tengku Long,
pangeran Melayu dari Lingga ,
putera mahkota yang tersingkir
dari perebutan tahta
tidak datang ke teluk Singapura
Dan masuk ke dalam kabin perahu Raffles
dan berjabat tangan ,
akan adakah bandar dagang ,
permata di selat Melaka itu ,
200 tahun kemudian ?
Seperti dalam dongeng lama
Pangeran yang terluka itu memgembara
Mengadu nasibnya bersama temenggung muda yang sedang murka
Negeri warisan para leluhurnya
Telah diporak poranda oleh Belanda
dan sekutu nya
Sosok kumal sehelai sepinggang
wajah letih dan bau anyir laut
Sisa ombak dan garam kesedihan
Masuk ke kabin perahu Raffles
dan menyorongkan salamnya
: Tuan mau merajakan saya di Singapura ? Apa yang tuan minta ?
Raffles mengangguk. Farquhar berbisik
Temenggung menjeling
: Kompeni Inggeris ingin membangun loji, semata loji, untuk berdagang
dan membangun sulaturrahmi .
Kami kini telah terusir
dari semenanjung dan negeri lainnya.
Beri kami sepetak tanah
dan kami beri tuan sekepal ringgit
persaudaraan sampai akhir zaman
Meta historia ,
alangkah indahnya kata kata.
Andai kata Tengku Long tak hendak menjadi Raja.
Andaikata Temenggung tetap memendam dendam dan menolak dusta.
Andaikata, takdir sejarah tak membawa putera tertua Raja Lingga itu ke muara Sungai Singapura, ke perahu Gubernur Benggala,
Adakah kalian akan menaikkan bendera di puncak istana
dan sang Merlion akan tetap menyembur air kemakmuran sepanjang masa ?
Tengku Long dan Temenggung Johor,
tak pernah membayangkan, bahwa setelah diberi sepetak, Inggeris minta sekampung. Setelah berhasil mencacak bendera, mereka minta hak memukul gong keliling kampung, menobatkan hukum dan kuasa mereka orang orang Eropa.
Mereka singkirkan Sultan ke Kampung Gelam.
Mereka bujuk Temenggung
ke teluk belanga. Mereka kerat kuasanya tiap saat
dengan tipu muslihat .
Mereka laga Sultan malang itu dengan temenggungnya.
Mereka kobarkan bara cemburu dan dengki
mereka harau agar terus sengketa
Dan bersakit hati
Raja Melayu yang malang. Raja Melayu yang malang .
Maka hengkanglah Sultan malang itu ke Melaka,
Menyeberangkan rasa pedih dihianati.
Menyingkir penuh luka ke Tengkera, berkubur di halaman sebuah masjid tua. Dilepas tembakan senapan, peluru peluru parodi dari senjata lawan Seorang pewaris telah tersingkir dan seorang Raja segera dilupakan sejarah.
Selamat ulang tahun Singapura
Andaikata pengeran Lingga yang terluka itu tetap di Inderasakti.
Andaikata dia menyerahkan nasibnya pada Belanda
Di mana Raffles akan membangun tapak mimpi sejarahnya ,
sementara di Bengkulu dia seakan duduk diatas bara ?
Apa yang akan mereka putuskan dalam warkah Tractat London yang penuh bala ?
Maka berterimakasih lah pada sejarah, takdir yang telah menuliskan kehendaknya pada perjalanan hidup putera Mahmud Riayat Syah itu.
Pasanglah gapura di gerbang kota
Tulislah riwayat Tengku Long
dan tak hanya foto foto tua di istana kampung Gelam
di muzeum dan tempat wisata.
Dirikan prasasti ingatan tentang sang pangeran malang yang terbuang,
jejak darah Tun Seri Lanang
Pewaris sejarah Parameswsra
Andaikata Tengku Husin,
putera mahkota yang terpedaya
tidak hendak masuk ke kabin perahu Raffles
di teluk Singapura.
Andaikata Temenggung muda yang membawa luka sejarah
tak hendak membubuh tanda jempolnya di warkah janji setia,
Angin muson akan lama mengekalkan Singapura sebagai sarang perompak , dan jadi ceruk pertemuan perahu perahu yang berlindung sambil berjaga dengan semua senjata.
Di ceruk ceruk batu , hanya ada cerita tengkorak tengkorak lama yang akan jadi artefak sejarah, seperti makam makam tua di Bukit Larangan.
Selamat ulang tahun Singapura .
Sebuah metha historia adalah jalan sejarah yang menjadi sumber kearifan suatu bangsa.
Dari bilik kerja seorang executive muda
di sebuah pencakar langit di Marina Bay,
angin muson tetap terasa berdesau meski tenggelam dalam deru pesawat terbang dan berita berita bursa saham dan pasar uang.
Tapi , masih adakah yang tahu dan mengenang ihwal pangeran malang dari Lingga
yang terluka dan putus asa
Yang dengan tangan gemetar menyambut salam sang penguasa laut Britania
dan khawatir dirinya akan ditangkap dan dibuang ke Benggala ?
Singapura , sebuah meta historia
Alangkah indahnya kata kata
8 Agustus , 2020
*) Dari buku “ Luka Sejarah Husin Syah “
Laksamana, Dimana Negeri Kita
1511
Di ujung selatan jazirah Melaka
Angin laut berkabar, Melaka jatuh ke tangan peringgi
Pesara Laksamana renta dalam usia, termangu menjalani titimangsa
: Runtuh juga benteng Melayu yang aku tegakkan dengan darah dan air mat
Tak tagak Hang Nadim sendiri mengangkat panji
Sementara Mahmud sang pencinta
Mabuk asmara di istana Kayu Ara
Membiar para penghianat membuka pintu Kota
Membiar Musuh berdiri di depan istana dengan moncong meriam membidik singgasana
Angin laut berkabar
: Laksamana, peringgi ingin Tuanku kembali ke Melaka
Mereka hendak memberi kuasa dan harta benda
Dada Laksamana berdesir
Bayangan perangkap dan hianat
Membayang bagai sihir
Angin semenanjung bergolak
Bersisik ombak Laut Temasik .
Laksamana memandang arah bintang, mencium maung malam ,
dan aroma dendam
: Tidak, beta tak kan kembali ke Melaka
Gemuruh jantung memberi isyarat
Petaka menunggu darah tua ku Bentangkan layar, angkat jangkar
Turunkan dayung, kisarkan cikar
Kita berlayar !
: Laksamana, dimana negeri kita ?
Angin laut berdesir, musim menghembus bau anyir
: Ke Bintan lah kita, ke tanah tempat
Pertama Beta mengorak langkah,
Menggengam keris, membuka silat.
Tanah yang mengajar beta darah pendekar
Angin, ombak dan gemuruh rindu menyatu
Dalam desau musim dan rasa lelah pendekar tua
: Aku sudah memayar bakhtera Samarluki
Aku sudah membelah bahtera laksamana Haru
Aku sudah menghirup setanggi Istambul
Aku sudah menyaksikan lenggok penari jepun
Kini biar aku rehat dan menyimpan kenangan ku
Dari Bentan, kelak biar aku melimau keris para pewaris
Darah Laksamana tak boleh kikis
Tradisi kesatria Bentan tak boleh khalis
Melaka, jangan menangis
Biar yang lahir kemudian menghunus keris
Tak ada kuasa asing yang takkan habis
Tuah negeri Melayu,
Daulat Raja Iskandar Zulkarnain
Kuasa Bukit Siguntang
Takkan Melayu hilang di dunia
Angin selatan berarak
Ombak utara memutih
Gemuruh rindu mengetuk pintu
: Selamat datang Laksamana
Ke Bentan, jantung negeri Melayu
2020
Angin Santubong
: Kepada Sri
Aku mendengar angin Santubong
Mendesau ke segenap rantau
Menembus kabut dan tebing gunung
Menuju laut mencari jejak
Merindu Bentan, negeri ingatan
Merdu suara rindu
Seperti nyanyian para bunian
Peri angin yang mengejar ingin
Peri waktu yang memburu rindu
Wahai kerinduan
Aku mendengar ketukan di tingkap
Angin gunung yang bercakap
dan aroma cinta yang terperangkap
: masihkah kau ingat
bait puisi ku seperti azmat
Bermunajat menjelang tidur mu yang hidmat ?
Wahai kerinduan, masihkah kau simpan
Dalam ingatan sepenggal bisikku
sebelum malam berakhir
Dan fajar menghujat syair sebagai sihir
Angin Santubong menderu
Membawa risau ke ceruk rantau
Mencari jejak ingin, mencari jejak mau
Mencari tanda rindu
Di sisa sisa basah tubuh mu
Masihkah seperti aroma bentan
Tempat semua harap disimpan
Tempat wangi bunian menulis ingatan
Sisa berahi sebelum pagi menyuruhnya pergi
Sebelum Santubong menutup pintu
Mengunci hasrat dari ingin
mencari laman bermain
Aku mendengar Santubong mendesau
Menuju teluk rantau mencari kau
Wahai kehendak yang tak mungkin terjangkau
Alangkah risau
Oktober 2020
Taubat
Sosok compang camping
Dari masa lalu
Bertabik di pintu
: Beri aku sajadah
Dan pintu itu pun terbuka
Lalu terdengar isak tangis seperti puisi yang dibacakan
di malam yang kehilangan detak jarum jam nya.
Menyembilu.
2020
Taubat ( dua )
Jangan berseteru
Dengan masa lalumu
meski hanya sebutir pasir
Masa lalu adalah pondasi
segala takdir
Berdepan dan bertabik lah
Siasat dan sayat topengmu
Buka dan dedah siapa kamu
Jangan menista masa lalu
tempat yang kau pijak kini
Adalah keringat masa lalumu
yang menjadi batu
Adalah Oksigen masa kinimu
Berdepanlah
Selongkar siapa dirimu
Sosok compang camping di masa kini sempoyongan berjalan ke masa depan
Meski hanya sehela nafas yang tersisa
Itulah diri yang kau bawa terus ngembara
Masa lalu adalah pintu yang kau buka
Untuk masuk ke masa depan
melalui pintu masa kini
Kau yang menutup pintu masa lalumu
Kau yang membuka pintu masa kini mu
Kau yang merancang pintu masa depanmu
Jangan angkuh
Jangan mencerca
Jangan menyesal
Kau cuma sebutir debu dari masa lalu
yang melayang ke masa kini,
dan tak tahu adakah kau masih sempat bermimpi tentang masa depan mu
2020
Dayangku Laut ( dua )
O, Dayangku Laut
Berhentilah menangis saat bulan mengambang.
Airmatamu tak lagi manjur jadi sihir. Kemewahan sudah membeli hidup .
Cinta telah terpuruk ke dalam keranjang sampah.
Sudahlah !
O Dayangku Laut ,
Ngembaralah ke laut dalam ,
ke palung palung baru di benua lain
yang airnya masih terasa garam.
Yang lautnya masih biru menyimpan gemuruh rindu
Disini, padang lamun tempat kau bersembang setiap petang ,
semakin kelam, berlinyang.
Kapal kapal membuang ballas, menyamak kehidupan laut.
Meremuk karang, membunuh biota. Palung rindumu telah jadi ruang kematian.
O Dayangku Laut
Musim ombak, musim angin
sudah tak lagi berurut.
Tiap waktu membuat laut selalu surut
Kau tak lagi boleh berenang
sambil mengenang berahimu yang hanyut menuju celah celah batu dan terumbu
Meneteskan keturunan yang baru
Para pemburu kemejan kini berubah jadi pembunuh.
Mengasah tempuling setiap petang menunggu kau timbul dan berenang pulang
Para penjaring mengganti benang jaringnya dengan nilon
agar dapat menjerat lehermu
ketika kau berenang pulang
Para pemukat menebar perangkap semakin dekat ke darat
menyekat kibas ekormu
ketika kau berenang pulang
O Dayang ku Laut
Berhentilah berharap kekasih mu
akan kembali ke laut setiap palung surut
Riwayatmu kini hanya ada dalam buku buku
Menjadi canda para mahasiswa yang menulis skripsi sarjana.
Mereka tak pernah tahu mengapa kau menangis .
Bila kau menangis.
Luka cinta apa yang telah mengiris
O Dayangku Laut
Pergilah ngembara ke laut lepas,
ke palung baru, ke benua lain
Berhentilah menangis
Jangan biarkan bulan bulat di langit barat menghanyutkan rindumu, menyayat lukamu
Dedaunan setu sudah terkulai diluka musim
Tak ada lagi musim bermain
Simpan airmata mu
Di bibir pantai, di sampan sampan,
di perahu perahu,
pancing, jaring, pukat dan tempuling, mengintip taring mu,
memimpikan tulang tulangmu
merindukan daging daging mu.
O Dayangku Laut
Riwayatmu, mitos mu, legendamu
telah tamat.
Sejarah telah berubah.
Sudah lah !
Pergilah ngembara
ke laut laut dalam.
Ke palung palung baru
Ke benua benua lain
O Dayangku Laut
2020
Kehilangan adalah …..
: SDD
Kehilangan adalah hujan yang menulis puisi di jalan jalan. Tidak hanya di bulan juli. Hujan telah berubah jadi duka
Mengekalkan pedihnya di semua celah waktu
Kehilangan adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis. Yang tak bisa menunda hujan meski mendung pergi diusir angin
Perasaan yang membumbung bersama kata kata menjadi garam waktu dan mencairkan duka kembali menulis puisi di jalan jalan
Kehilangan adalah duka yang kerap bangkit seperti butir air yang menguap
Yang kembali jadi hujan ketika kata kata mengetuk kaca jendela dan kita menengadah ke langit dan mendengar waktu berkata kata, dan kita merasa ada sesuatu yang tak kembali, dan menjadi hujan yang menuliskan puisinya di jalan jalan.
Tanjungpinang, Agustus 2020
Rida K. Liamsi (lahir di Dabo, Singkep, Lingga, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943) adalah sastrawan dan budayawan Melayu. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi yang dipublikasikan di berbagai surat kabar. Ia adalah pemrakarsa diselenggarakan Festival Hari Puisi Indonesia yang dimulai sejak tahun 2014, bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Selain sebagai sastrawan, ia juga menekuni profesi sebagai guru dan pewarta yang sekarang memegang kendali grup media Riau Pos. Atas ketokohannya di dunia sastra, ia telah menerima banyak penghargaan dari berbagai pihak, kerap di undang di banyak perhelatan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menjadi pembicara masalah-masalah kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu, ekonomi, dan sosial, serta membacakan karya-karyanya antara lain di Melaka, Johor Bahru, Kuala Lumpur, Seoul, dan Hanoi.
senang membaca sejarah dalam gelombang puisi
sejarah telah kubawa dalam narasi yang bergelombang
kini lewat kata-kata
yang menghempas
yang menikam
yang menerkam
tempurung itu memang masih menikam
Dato