Puisi-Puisi M. Anton Sulistyo
TENTANG EKSIL SESUDAH MENDENGAR LAGU WHEN I’M 64 *)
-1-
ketika lampu kenangan mulai padam satu-satu
kata-kata kadang kehilangan makna, barangkali
makna memang tak perlu kata-kata. Seperti tamsil
dalam puisi penyair eksil tanpa negara, tanpa nama,
tanpa titimangsa. Seperti suara yang menggigil
lebih lirih dari embusan angin, jauh + terpencil
tapi sangat mengusik batin:
“bersiaplah segera mencari tanah air klangenan
sebelum rindu hilang dari ingatan suci semesta”
-2-
karena memikirkan usia mendekati purna
sebelum tidur yang nyaris tak pernah lelap
sebuah kapal meluncur dari dalam kepalaku
berlayar berputar-putar di langit-langit kamar
di mana selalu menunggu kelebat bayang-bayang
dan mural bendera dwi warna yang terus berkibar
di balik halimun sebuah negeri khayalan ± 50 tahun lamanya
-3-
aku masih percaya cinta sejati itu
ada dan konon mampu berhibernasi
yakni saat diri mulai diterjang kesepian
membayangkan seseorang bukan kekasih
tapi martir yang datang bertamu dari masa lalu
ia membawa mukjizat keajaiban musim semi
lantas menghidupkan kembali semua harapan
yang sudah lama mati atau hanya tampak mati
-4-
sebab tumpukan waktu mulai miskin kenangan
hidup bagaikan duduk melamun di kursi goyang
di mana ayunannya makin lama makin pelan
kadang mendadak berhenti, seakan membungkam
keasyikan batin bertanya pada diri sendiri
– apakah di dunia sudah tidak ada lagi keajaiban
atau semua yang di dunia ini adalah keajaiban?
-5-
ketika lampu kenangan mulai padam satu-satu
di meja kerja yang jarang dipakai bekerja
sekotak cerutu dan seguci ciu selalu ada
berjaga seperti sepasang memedi sawah
siap menghalau paranoia + gelisah
lalu dering telepon, lengking ambulans, suara jalan raya
terdengar begitu riuh, begitu akrab, begitu menyentuh
seolah sapaan mesra sambil pelan-pelan membunuh.-
queens, 2020/23.
*) When I’m 64 – lagu The Beatles yang membuat lansia merasa nelangsa
DI KAMAR MANDI
di kamar mandi ia betah menyimak bunyi
derau di sela gemercik air keran
sambil menyanyi lagu rohani
membayangkan sebuah dunia asing
di dalam cermin – sebelum dinding –
mungkin ada ceruk gua, berisi gema
sisa isak tangis Hawa yang berduka
karena membuat Tuhan kecewa
mungkin hanya suasana suwung
usai membaca antologi “Dukamu Abadi”
seperti rahim menyimpan kehangatan
di mana waktu seolah tak bergerak
seperti pintu menuju ke alam liyan
di mana mimpi-mimpi terus dilahirkan
seperti gunung dan burung khayalan Attar
di mana semesta sejenak tak bercadar
ia keranjingan berdiri di depan cermin
mengagumi jejak hujan di kornea mata
dan terpesona pada wajahnya sendiri
jarum jam membuat goresan hitam di dahi
membentuk lanskap sebuah kota yang bangkit
dari mati suri setiap pagi.
queens, 2020/23.
IKHTISAR ASMARA TAMBANGRARAS – KI AMONGRAGA
Sesudah malam ke 40 Centhini hampir semaput, namun lega
Dan bahagia melihat Tambangraras menggeliat sambil mendesah,
Napasmu, kakang, desauan angin gunung menebar kembang
Tampak siluet Amongraga menari di balik kelambu, menembang
Bibirmu, rayi, seperti hutan tropis rindu gerimis
Rumputan tegak pohonan kaku, apakah kita tersihir, rayi ?
Tak ada yang istimewa untuk dicatat dari suara napas terengah
Magnet ekstase menarik tubuh mereka mendekat, sedikit jengah
Laut berombak, kakang,
mari berlayar ke pulau mawar
Cuaca mendung mendaki bukit cinta tak sampai puncak
Malam berlalu, hening tersisa di pucuk kembang randu
Pohon-pohon berbisik, rayi,
akar-akarnya mendesah merasakan lingga gelisah
Waktu melambat, Tambangraras makin menggigil
Yoni menagih janji, berapa malam lagi berselimut sepi
Tubuhku sumur, kakang, timbalah nikmat dari sumberku
Amongraga terlena dalam tapa, batin dan tubuhnya
Meronta, keduanya sama-sama membayangkan surga
Aku bayangkan teduh gelombang dari dadamu, rayi
Asmara berdenyut hingga ujung-ujung jari
Ketika mereka saling mengisap nikmat candu berahi
Lehermu, rayi, selicin blimbing wuluh kecut berpeluh
Bukit eksotis, wangi pancuran mistis membius prana
Padang rumput berdiri tegak di sekujur tubuh
Merayakan suasana firdausi di dalam kamar
Kakang, ada dentuman lembut dalam tubuhku
seolah gunung Merapi sedang melepas magma
Harum ilalang di atas yoni menjanjikan kepayang
Gumam tanpa arti terdengar seperti tembang riang
Bintang gubuk penceng menyala di pejam mataku, rayi
Tetes pertama embun menamatkan dahaga menahun
Lekaslah, kakang, menunggang kuda pacu
menembus dinding malam sepiku
Burung parkit menjerit ke langit subuh
Aku terjangkar, rayi, dalam garbamu tak ingin pulang
Pagi bergegas, matahari terbit, mata hati seputih kapas
Garbaku, kakang, menyanyi puji-pujian dalam bahasa sunyi
Sesudah malam ke 40 pencipta tokoh Centhini gemetar
Diterjang lapar seusai kerasukan ruh keindahan
Tangannya bergerak sendiri, menulis epilog
Atas nama gairah memburu cerah :
Amongraga telah menemukan rahasia suluk semesta
Setiap kepergiannya menjauh dari wangi keringat
Tambangraras, ternyata hanya mengembara
dari ada kembali ke tiada berulang kali.-
bintaro, 2022.
SOLILOKUI SUSUHUNAN ING ALAGA
“seandainya aku tidak gegabah mengumbar berahi
terpikat sinden jelita, janda muda dari Pajang
seandainya, ya, seandainya,”
susuhunan ing alaga seperti bergumam, sesaat
sebelum dijemput malaikat maut, di tengah kesepian
dan rasa terhina dilengserkan dari kursi singgasana
“mungkin keberadaan keraton Pleret masih tersisa
setidaknya berupa reruntuhan untuk peziarahan.”
burung pembawa sial tampak terbang berputar-putar
di atas situs kerajaan yang kini hanya tinggal cerita
dan tiap orang boleh menafsir sesuka hatinya
“mungkin juga aku tak sampai terpuruk oleh karma buruk
dipermalukan dan takluk pada pangeran dari seberang
yang bersekutu dengan darah dagingku sendiri.”
esok malamnya sesudah berita lelayu menyebar
berkelebat cahaya aneh seperti bintang berpindah
meluncur dari langit pantai selatan, jatuh di persawahan
sebuah prasasti terbuat dari api yang tak tercatat sejarah
karena konon hanya dapat dibaca sedikit orang
yang berpandangan waskita, tertulis demikian :
“aku akan berupaya meluruskan babad tanah Jawa
pada kehidupanku yang berikutnya
dan berikutnya lagi.”
juni, 2021.
NAGARI 1000 MENHIR
kami merasa menjadi bagian dari semesta
lantas menjalin percakapan dalam bahasa bumi
di sini, dikelilingi kehijauan bukit-bukit
tiga anak sungai kecil menyatu dan berubah deras
ketika memasuki aliran sungai purba Batang Mahat
di sini, 1000 batu-batu menhir berdiri kesepian
menghadap ke arah gunung Sago, menghormati leluhur
seolah menunggu titah
kapan harus tetap tegak atau rebah
menyerah pada terjangan gelombang waktu
di antara rumputan liar, diselimuti udara segar
kami terpukau pahatan batu megalitik yang magis
membayangkan jarum jam mandek
dan mendengar gema mantra puji-pujian
merembes pelan-pelan dari kedalaman celah bumi
seakan ada yang sedang menunggu kami berkunjung
ke masa silam, menuruni anak tangga evolusi
yang tak terhitung jumlahnya.
juni, 2021.
Nagari Seribu Menhir julukan situs cagar budaya untuk Nagari Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Menhir di Nagari Mahat konon ada sejak 2400SM yang mengindikasikan ini termasuk zaman Megalitikum Tua.
MEMBAYANGKAN KAKEK
– di alun-alun lor 1965
kakek lahir saat banyak ormas masih bebas
berbaris dan bernyanyi riang keliling kota
seperti ritual purba menolak bala
di alun-alun banyak orang berseragam hitam-hitam
berpidato lantang sampai suaranya nyaris hilang
menyihir khalayak, histeris bersorak
apakah mungkin kegaduhan itu sekadar katarsis
seperti mengabaikan batin yang terbungkam
dan putus asa menahan terjangan lapar?
kakek hanya mengkhayalkan kenyang
ingin tidur lelap, menghayati kediaman
berharap itu menjadi awal dari kedamaian
– di Pragon 1974
di Pragon, Prapatan Gondomanan
ada kelenteng Fuk Ling Miau
atau “berkah tak terhingga”
di setiap sudutnya tercium harum dupa
konon dapat meredakan amarah + rasa nelangsa
dan panas kemarau tak kuasa mengalahkan
kesejukan altar di ruang pemujaan
sang dewi welas asih, Kwan Im
kakek kerap bertemu seorang biksu tua
dengan jubah warna kuning gading
dengan tatapan mata hening
“ jangan risaukan hidup setelah mati
karena sesedikit apapun kebajikanmu
tersedia surga untukmu,” ujar sang biksu
setiap kali, kalimat itulah yang terngiang
kakek pun berangkat tidur malam dengan tenang.
– di shopping center 1975
di Shopping Center Yogya, tercium bau buku-buku
yang bertumpuk di trotoar, seolah jendela astral
menunggu siapa saja yang ingin berziarah
memasuki sisi dunia sebelah dalam
kakek merasa batinnya mendengar bisikan Attar
ketika membaca kisah Musyawarah Burung *)
“ mengapa begitu lama waktu dihabiskan untuk merenung
supaya bunga kesadaran mekar di jantungku?”
terbayang dirinya menjadi bagian dari 30 ekor burung
yang mencapai balairung sang raja burung, Simurgh,
menatapnya dengan mata seteduh danau yang dalam
kakek merasa takjub, saat di hadapannya terhampar
lembah sepi ketiadaan. Di sana yang satu
menjadi banyak. Di sana yang banyak
menjadi satu
kakek tiba-tiba tidak ingin bertanya lagi
tentang surga atau tentang mati
bahkan tentang diri sendiri.-
Yk, 2022.
*) “ Musyawarah Burung” adalah karya Attar paling terkenal. Attar artinya “penyebar wangi” julukan atau gelar untuk Faridu’d-din Abu Hamid Muhammad Bin Ibrahim seorang sufi yang hidup tahun 1120 – 1230.
INSOMNIA KAKEK
katanya, hampir tiap malam
kakek keranjingan berjalan-jalan
memasuki kota suci terlarang
di dalam kepalanya
mencari sumber sunyi
yang menyerupai mati
seraya berharap menemukan lubang cacing
jalan pintas rahasia menuju surga pribadi
yang hanya ada pada hari ini
karena kemarin sudah lenyap
dan besok masih gelap
katanya, hampir tiap malam
kakek meditasi mendaras afirmasi:
“dalam tidur aku akan mendengar
apa yang ingin kudengar, akan melihat
apa yang ingin kulihat.”
padahal subuh sering datang
lebih dulu daripada kantuk.-
queens, 2020.
PETA DI BROSUR PERJALANAN
Ada brosur yang tiap kali kaubaca
akan membawa khayalanmu tamasya
ke tempat yang kelihatan atau tak kelihatan
“Apakah surga termasuk destinasi?”
Batinmu pasti bertanya atau bergumam
Surga tentu saja tidak ada di peta
karena masih sedang dibangun
di bawah kulit kepalamu
“Apakah maut termasuk destinasi?”
Batinmu risau, kembali bertanya atau bungkam
Maut tentu saja juga tidak ada di peta
karena telah kausangkal keberadaannya
hingga ia berkelana ke mana-mana seperti pencuri
Mengenakan jubah hitam, membawa sabit panjang
dengan kerudung yang menyamarkan pucat wajahnya
Ada brosur yang jika kaubaca sebelum tidur
akan menyilakan embusan angin kencang
memadamkan lampu di tiap ruang kenanganmu.-
queens, 2020.
M. Anton Sulistyo, dilahirkan di Jember, Jawa Timur.
Puisi-puisinya masuk dalam antologi bersama antara tahun 1991 – 2023.
“Belum Dalam Lukamu!” adalah satu-satunya kumpulan puisi tunggalnya, diterbitkan oleh SASTRA DIGITAL pada September 2013.
Email : mantonsulistyo@gmail.com