Puisi-puisi Djoko Saryono

DRUPADI:
Bertahun-tahun perempuan itu
menggeraikan rambutnya: duh betapa panjangnya, tak terukur lulurnya,
tak tampak ujung pangkalnya.
Waktu seperti terlipat di dalamnya.

Bertahun-tahun perempuan itu
tak juga mengeramasi rambut panjangnya: duh betapa semerbaknya, tak ada tanda berakhirnya, tak terlihat hulu muaranya.
Lajur waktu serasa tak sanggup menampungnya.

Sebab darah muncrat belumlah
tersedia: Dursasana masih tertawa,
belum menjambak rambutnya:
dan memang belum dipentaskan Baratayudha.

DRUPADI 1
waktu gugur
tubuh terbujur

lalu ia pun keramas
bukan harum membekas
bau anyir menguar dari rambut
“darah…darah,” orang menyebut

telah tunaikah dendam?
sudah lunaskah pelecehan?
ia mencari harum bersemayam
tempat napas dada disucikan

rambut panjangnya menjuntai
meriwayatkan siapa terbantai

DRUPADI 2
[Sengkuni bersiasat
Duryudana mengasah kesumat]

Tak ada rembulan
Berayun-ayun di langit
Semua terjebak penantian
Suasana terasa wingit

[Dadu pun dimainkan
Akal bulus berseliweran
Di manakah kesadaran?
Teluh bertebaran]

Pandawa kalah
Segala berpindah
Harta juga kerajaan
Drupadi kesayangan

[Ada boyongan
Tanpa kenduri selamatan]

Bedebah!
Drupadi menyumpah
Dursasana terus melangkah
Merengkuh tubuh nan indah

Bedebah!
Drupadi kian geram
Dursasana tak surut langkah
Mengumbar nafsu hitam

Bedebah!
Mulut Drupadi ingin muntah
Dursasana makin gelap mata
Mempermalukan kehormatan wanita

Bedebah!
Hendak kuminum darah!
Drupadi di puncak amarah
Perjudian biang segala susah

DRUPADI 3
[ada alpa menjajah dada
suasana ruang getas seketika]

Jiwa ksatria – sirna
Hasutan Karna makin gila
”Telanjangi dia!,” perintahnya
Dursasana terbantai brutal lupa

Diraihnya Drupadi
Dilucuti busana tabir diri
Drupadi memeluk pucuk semedi
Busana pun terkelupas tak henti

[ada kelancungan belingsatan
di dada, senyap dan ramai bertikaian]

Dursasana pun tiba di puncak gemetar
Habis tenaga disesap gemeretak geram
”Darahmu, inginku!” suara Drupadi bergetar
Gerai rambutnya jadi lelancip pisau dendam

DRUPADI 4
Tatap Dursasana kosong
Kata wanita itu memberondong

Darahmu!
Hanya darahmu!
Bisa menyanggul rambutku
Kutunggu saat di batas waktu

Drupadi lalu menulisi ingatan
Dengan bokor darah kemerahan
Perasan tulang daging Dursasana
Dilumat Bima di palagan Kurusetra

Angin tak bisa lagi menjerit
Pintu-pintu tak sanggup berderit
Rambut Drupadi menyentuh lantai
Mencipta jalan dendam bagai sungai

DRUPADI 5
Di tenda berkubu
Drupadi menunggu
Bau amis menggerayangi Kurusetra
Amarah berceceran di mana-mana

di mana nurani berada?
desir mengirim bacin manusia

[Hari keenam belas pun tiba
Murka Bima mendidihkan jiwa]

Dua lengan Dursasana putus
Dada robek seperti lubang kakus
Darah muncrat bak deras air mancur
Ditenggak habis Bima tanpa seloki ukur

[Hilang batas antara kesumat dan kelegaan
Kurusetra terlihat cuma ladang kebengisan]

“Ini hari terakhir rambutmu tergerai”
Lantas Bima memeras kumis jenggot lebat
Mengucurkan darah ke rambut terurai
Drupadi keramas darah sampai surya lewat

Perempuan itu lalu menyanggul rambut
Masih kuyub basah darah lelaki malang
Tak tahu terpuaskan dendam atau luput
Kematian dan derap kuda dilumat petang

[Tak ada orang menembang
Kehampaan suasana mengerang]

***

*Prof. Dr. Djoko Saryono merupakan guru besar Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia Universitas Negeri Malang.