Puisi-Puisi Deddy Arsya
Ode Buat Un
Musim hujan kali ini luar biasa dinginnya,
kereta api bandara terhenti di pertigaan kota.
“Mau ke mana, Tambara?”
Aku mau ikut ke mana
saja kau membawa, asal
menjauh dari sejarah:
bahasa dari buku sejarah
berbau balsem jenazah.
Aku mau ke Pyongyang
menjenguk teman kecilku
yang kini menderita
obesitas;
aku mau dengar langsung
dengus gadis-gadis kurus
negeri-negeri salah urus;
gerung nuklir dan deklamasi
ode-ode buat yang terberkati;
o sahabat lama
bantu aku menjauh
dari hiruk dunia
dari masa lalu kian menua.
Ketika Gempa 1926
Orang-orang dalam kota secepat mungkin
hendak pergi keluar menyelamatkan diri
beberapa dapat dengan cepat pergi
dari bencana karena memiliki mobil
tetapi mereka yang tidak punya itu
tak dapat sebab tak ada keretaapi
jalur kereta rusak parah
tanah jalan kereta habis longsor
dan terban ke sungai dan lurah
sehingga jalan kereta ada bengkok dan patah
ada sebahagian tergantung di awang-awang.
Lama peluit kereta tak terdengar—kota bagai bisu saja
(jalur-jalur terban dan lokomotif tak dapat berjalan)
tapi pagi ini ribuan orang berdesak-desakan
payung-payung besar haripekan juga ikut
bersama marawa-marawa tinggi & panjang
diusung sebagai panji-panji
“besok kereta sudah bisa jalan lagi,” kata seorang stebea
berlagak serbatahu pada orang kampungnya
terlihat bangga sekali dia dengan gaweannya.
Tapi inlander, eh, tetap boleh
hanya di gerbong kelas III.
Mutilasi
Kalau aku dipotong jadi kecil-kecil, jadi aku peluru
melesat terbang dari moncong senapanmu. Tak kubertemu
lagi asalku. Melesat saja. Hendak di pangkal kokang saja
berdiam, tidak dapat aku memilih takdirku.
Aku serahkan
pada pelatuk.
Tapi pelatuk juga tak ada daya pada dirinya. Dia menyerah
pasrah pada jari, akan menarik atau menahan. Dengan napas
terengah dan menekan, selepas diam sebentar dada
jadi padat.
Tapi jari pun tak punya pilihan, akan ditekukkah dia?
Apa sempat tangan bertanya padanya? Melenggang saja
dia juga tidak pernah ditanya apa hendak dijangkau setelah
semua ini selesai, setelah
seorang terjerambab di lumpur pekat
pada pangkal kepala lubang nganga.
Semua akhirnya mengalah pada lengan yang jadi sumbu
segala gerak. Tapi, oh tidak, dia juga patuh pada kehendak.
Jantung berdegup-degup. Tak diperintah, tak mempan dibujuk,
tak guna dibentak. Dia pada apa menyerah?
“Kalau dipotong-potong jadi kecil ayah,
jadi peluru bagi senjataku,” kata anakku
yang masih suka tidur kejamban di kasur
mengacung-acungkan pisau ke mukaku.
Pikirku, “Ah, mungkin sebaliknya!”
Kau belaka, jadi peluru, bagi sepi harituaku
Tuhan-Tuhan yang Dulu
Masjid memanggil-manggil aku
tapi aku tak mau menyahuti.
Tuhan tak memanggil aku
—tuhan yang mana?
Tuhan orang-orang Sumeria
tuhan orang-orang Galilea
tuhan Makkah dan Madinah.
Eh, tuhan yang dulu juga?
Masjid memanggil-manggil aku
aku berdiam saja dalam pelukmu.
Lalu berderak jatuh palang pintu
bergederam patah palang waktu.
Bergeduk sampai ke hulu jantungku.
Eh, mungkin tuhan bersemayam di situ?
Ah, siapa tahu.
Gambaran Lain Neraka
Aku ingin mengubah neraka jadi kolam pemandian anak-anak
pada Minggu petang yang tak hendak terburu menjangkau Senin.
Lagu-lagu ceria yang terdengar dari puncak menara air
menimpa troli-troli penuh berisi pelampung kepala bebek.
Spatula berdentang lembut di tangan juru panggang yang lihai.
Roket busa yang melesat dari dasar marmer meledak di udara.
Aku ingin lebih ringan dari gelembung
aku ingin menjauh dari hidup yang pelik.
Tapi apakah aku mesti berkata “tolong, karcis dua!” untuk bisa
memasukimu tanpa dihantui rasa khawatir sergapan penjaga?
Aku ingin mengubah neraka jadi kolam pemandian anak-anak
pada Minggu petang yang tak hendak berlalu menemu Senin.
Pondok di Pinggir Ladang
Aku duduk di sebuah pondok di pinggir ladang
aku tidak sedang bergembira tapi juga tidak bersedih
aku baru saja selesai mengikat batang-batang tomat
angin menggoyang bunga-bunganya
tapi mereka tidak jatuh
mereka tengah bersiap jadi putik.
Aku ingin mengubah mereka jadi buah yang sintal
tapi burung-burung menyuruhku bersabar
kuhembuskan nafas pagiku pada akarnya
angin merenggut tangkai-tangkainya
tapi mereka tak luruh
mereka tengah bersiap jadi utuh.
Aku duduk di sebuah pondok di pinggir ladang
aku tidak sedang bergembira tapi juga tidak bersedih
aku baru saja menemu kekosongan
yang selama ini kuidam-idamkan.
Peladang Angin-Anginan
Aku sedang membersihkan semak-semak di pinggir sungai
yang mengalir di bawah ladangku, anak-anak keladiair telah
kucabuti dan bersama anak-anak bungaraya kuserahkan
mereka kepada arus air
mungkin mereka akan tumbuh lagi di suatu tempat di hilir
mungkin peladang angin-anginan lain yang akan menebasnya.
Aku berhasil melepaskan diri dari keinginan untuk membunuh
tidak ada korban yang dengan senang menyeru-nyeru algojonya.
Aku sedang membersihkan semak-semak di pinggir sungai
yang mengalir di bawah ladangku, aku hendak menanam
tanaman lain di situ dan berpikir suksesi tidak mesti dengan
mengarak keladiair dan bungaraya ke pisau pemenggalan.
Petani angin-anginan sepertiku terpaku pada arus kenyataan:
kelemahan hati telah menghindarkanku dari bengis kekuasaan!
*Deddy Arsya, lahir dan menghabiskan masa kecil di Bayang, Pantai Barat Sumatra. Menulis sajak, cerita pendek, cerita anak, tinjauan buku dan film, esai-esai kesejarahan dan seni-budaya di berbagai koran, majalah dan jurnal. Buku pertamanya Odong-odong Fort de Kock merupakan nominasi 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2013 dan terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik tahun 2013 versi Majalah TEMPO. Buku selanjutnya Penyair Revolusioner merupakan nominasi 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 sedangkan Mendisiplinkan Kawula Jajahan memperoleh Wisran Award tahun 2019. Sementara Khotbah Si Bisu terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik tahun 2019 versi Majalah TEMPO. Bukunya yang lain sebuah buku prosa berjudul Rajab Syamsudin Penabuh Dulang dan sebuah kumpulan esai sejarah dan sastra berjudul Celana Pendek dan Cerita Pendek. Yang termutakhir: sebuah kitab setengah lelucon berjudul Ustad x. & Simalanca: Lelucon-lelucon Pahit.