Puisi-puisi D. Zawawi Imron
KURBAN
“Dengan Basmalah
Kuserahkan padaMu
anakku tersayang
Karena Engkaulah pemilik sejati”
Saat penyembelihan terjadi
Langit menyanyikan gerimis
Saat anak itu mendengar Takbir
Tak ada batu dan pasir yang tidak terseyum
Langit menjadi payung sutra biru
Bagi Ayah, Ibu dan Anak
Sehingga puisi ini tak punya lidah
Menyebut nama mereka bertiga
hamba termulia itu
Allahu Akbar
Kepada Allah semua akan bersujud
BISIK-BISIK GELOMBANG
Adakah kaudengar senandung di sela gulungan ombak
Saat pantai bosan diterpa buih
Saat cinta malas untuk menagih?
Kembalilah saja ke pangkuan sunyi
Dengan biduk tak mungkin kita membelah gelombang
Semua telah digariskan
Tentang wujud merumuskan sujud
Tentang sujud meluruskan wujud
Segalanya akan ikhlas menyebut laut
Tak ada kemenangan
Tak ada kekalahan
Sebentuk jangkar telah merekam
bisik-bisik di sela gelombang
AKU MERASA TERDESAK KE SUDUT SEPI
Aku merasa terdesak ke sudut sepi
Padahal masih tercenung di ujung tanjung
Tak ada kecerdasan yang mampu
Memetik ketajaman karang
Makanya kutulis sajak
Agar telapak kaki bisa teriak
Agar tak majal tuju kehendak
Ini dunia
Bukan sorga tempat kau punya bini bidadari
Dari sini kita belajar mengerti
Keadilan yang dirindukan
Kucoba belajar pada kepodang
Yang rasa senangnya disebar dengan berdenda
TAK ADA TEMPAT LAIN
Kudengar sayup
bisikmu di sela hujan
Mengalahkan halilintar
Aku mencintaimu secara benar
Dalam iman
engkau lebih kecil dari pecahan sebutir zarrah
Allahu Akbar
Tapi ingat
Hanya di sini kita bisa menanam pohon Akhirat
Tak ada tempat lain
MENOLAK LUMPUH
DI sini aku mendengar bisikmu menggelegar
Meniupkan tambahan ruh
Agar mati menjadi penting
Karena cinta yang mekar mengharumkan bunga
Bisa meledakkan mimpi di luar rahasia
Di sini Tuhan menyiapkan nilai,
Kita mau menjadi siapa?
Makanya kita jangan terlalu bangga
Dengan ladang yang luas
Kalau kita malas berlaku tangkas
Kita kembali kini mencermati
Bisikmu yang azali
Bahwa kaki yang tidak melangkah
Untuk mengejar gelegar
Hakikatnya telah lumpuh sebelum subuh
Bangkitlah untuk sisa umur cemerlang
BAYANG-BAYANG
Satu saat kuingin kau menjadi bayang-bayangku
Ke mana saja kupergi kau selalu melangkah bersamaku
Matahari tersenyum, langit menyempurkakan biru
Cinta memang tak perlu kuucapkan,
karena cinta bukan permainan bahasa
Satu saat kita gantian
Aku menjadi bayang-bayangmu
Engkau yang menari aku yang bernyanyi
Bulan memancar
Untuk menerangi panggung yang disiapkan Takdir
Bintang-bintang yang berkedipan
bertaburan ke bumi menjadi kembang
yang mengharumkan Dunia
BAYANG-
BAYANGKU
Sebentuk bayang-bayang tidur lelap di sampingku.
Tak berani kubangunkan
Takut bayang-bayang itu
Sedang bermimpi mendapat resep
Menghentikan adu domba yang sedang gaduh
di negeri ini
Setelah bangun bayang-bayang itu berbisik padaku,
“Kalau membangun sambil bertengkar
Mustahil cepat selesai”
Bayang-bayang itu lalu memberikan sesuatu
Lalu pergi
Lalu kubuka pemberian itu
Isinya sebuah bendera sobek
Membuatku marah dan terharu
Marah tak menyelesaikan masalah
Kuambil jarum dan benang
Bendera itu kujahit dengan teliti
Sampai utuh kembali
Setelah bendera itu kukibarkan
Bayang-bayang itu tegak di depanku
Lalu memberi hormat pada bendera
Setelah itu
Bayang-bayang itu masuk ke dalam dikirku
Kami kembali menjadi satu
SEDAPNYA TAKDIR
Siapa sangka, bayang-bayang tak bisa berbisik
Daun kuning yang runtuh pun masih bisa berbisik lirih,
Yang lepas berganti tunas
Tapi pohon dan rumput
sempat meresapi sujud
Saat burung dan belalang saling bersahut
Semua menjadi bisik,
dan suara hujan yang rintik
Menjadi sinyal
Ketika masih ada timur dan kemarau
Angin tak kan bertiup ke selatan
Tak ada jalan yang lurus
Pada setiap kelok dan liku
Keringat dan langkah berjalin kelindan
Itulah kenapa lebah
tak ambil alih tugasnya lalat
Kudengar ricik air mengalir
Bahwa kesetiaan menuntut jernihnya pikir
Agar kita bisa mengecap sedapnya takdir
ARBORETUM
Di hulu Brantas ini langit tetap melengkung
Kucoba menghitung ribuan pohon
yang ikut menjaga keseimbangan
Bahwa kanan dan kiri perlu gerak yang seimbang
Depan dan belakang perlu mata dan ketajaman
Sehingga sumber jernih ini menjadi
Mata kelenjar
Rawatlah kalbu dan jagalah empedu
Agar daun-daun yang lebat ini
Semakin fasih berbisik
Seperti batu, rumput, bunga
dan air yang tak mau berhenti mengalir
Yang diisambut langkah jutaan rakyat
yang tak bosan menderap mengejar Langkah Tuhan
Dengan arboretum
Kita tangkas dan bergetar
ARAH
untuk Sukardi Weda
Berlayar ke ufuk tenggara
Berdayung pada gelombang jiwa
Hanya ombak yang fasih
Meniru suara tasbih
Kau tahu, rindu tak perlu ditagih
Takarab tak boleh berlebih
Sujud yang terukur
Sajadahnya bukan kasur
Karena itu jangan menyerah
Untuk hidup perlu air yang basah
Engkau anak panah
Meluncur sekali tak bisa bisa dicegah
Karena Takdir meminta derap langkah
Bukan sekadar lidah yang bersumpah
D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.




