Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.
BALADA GOA LAWA
Goa Lawa membuka mulutnya
seperti rahim purba
yang telah menyimpan ribuan kesunyian
sebelum nama-nama manusia ditemukan.
Dari celah itu, angin keluar perlahan,
membawa napas bumi
yang berumur lebih tua daripada bukit-bukit sekitarnya.
Dinding batu berdiri kukuh
seperti pasukan penjaga yang tak terlihat,
diukir oleh tetes air
yang bekerja dengan sabar
sejak zaman ketika cahaya
belum terbiasa turun ke tanah.
Kelelawar berputar dari langit goa,
sayapnya membentuk lingkar hitam
yang seolah menjadi mantra pembuka
bagi siapa pun yang berani
melangkah lebih dalam.
Suara mereka samar,
seperti bahasa makhluk malam
yang hanya dipahami oleh batu dan akar.
Ketika seorang peziarah masuk,
lantai goa bergetar halus
seakan mengenali langkahnya.
Gema dari langkah itu berputar di udara,
menjadi nyanyian panjang
yang memanggil kembali ingatan
para pertapa yang pernah mengurung waktu
di dalam ruangan yang tak mengenal matahari.
Di titik terdalam,
gelap berkumpul dalam lingkar besar
seperti majelis para penunggu tua.
Mereka tidak tampak,
namun kehadiran mereka berat
seperti tangan gaib
yang memegang bahu sang peziarah
dan memintanya duduk.
Ia menutup mata.
Gelap menyusup ke dadanya,
menghapus bayangan dunia luar
hingga ia dapat mendengar
denyut halus yang datang dari dinding:
denyut bumi,
denyut waktu,
denyut doa yang tertinggal
dari mereka yang pernah bersujud
tanpa ingin dikenal siapa pun.
Di atasnya, dari sebuah celah tak terduga,
cahaya turun tipis
bagai pedang perak
yang menusuk lapisan gelap
tanpa melukai apa pun.
Batu di bawahnya menyala lembut,
seakan mengingat kembali
kepada cahaya asal
yang dulu pernah memandikannya.
Peziarah itu mengangkat wajah,
dan dalam cahaya yang nyaris tak tampak itu,
ia merasa dirinya sedang ditimbang
oleh sesuatu yang tak bernama.
Ia mendengar suara tanpa suara,
pesan yang datang dari ruang yang sangat jauh:
“Yang berani memasuki gelap,
akan menemukan pintu
yang tak mungkin dibuat oleh terang.”
Ketika ia keluar,
udara luar terasa seperti dunia baru
lebih muda, lebih akrab,
lebih setia menemaninya.
Langkahnya ringan
karena ia membawa sebentuk keteguhan
yang hanya dapat diperoleh
dari tempat yang menyembunyikan diri
di dalam sunyi yang paling tua.
Goa Lawa,
dengan wajah hitamnya yang tak berubah,
kembali menutup suara,
menjaga rahasia
agar hanya mereka yang siap
yang dapat mendengar gemanya.
2025
BALADA CURUG CIPENDOK
Di Pegunungan Bayan, kabut mengalir dari puncak,
menutup dunia di antara jatuhan air yang tak henti.
Curug Cipendok menetes dari langit,
mengalir di atas batu-batu purba
yang menahan arus, menundukkan waktu.
Seorang peziarah mendekat tanpa kata,
langkahnya diselimuti riak yang menari di udara.
Air jatuh menaburkan embun di wajahnya,
seperti ayat-ayat yang hanya bisa dibaca hati
yang rela dibasuh oleh arus kesabaran.
Setiap tetes menampar sunyi, lembut namun tegas,
mengajarkan bahwa jatuh bukanlah hukuman,
melainkan jalan yang mengembalikan manusia
kepada sumber yang terlupakan.
Arus mengalir, membawa cerita batu, pepohonan, dan angin
ke dalam dada yang berserah.
Di tepian lain, kabut menunduk ke sungai,
mengabdi pada kesucian yang tak terucap.
Peziarah menutup mata, mendengar air berbicara:
“Kesucian bukan harta yang dicari,
tetapi arus yang menunggu
seseorang rela larut di dalamnya.”
Air terjun itu adalah guru yang diam,
menunjukkan bahwa setiap jatuh adalah pembelajaran,
dan setiap basuhan jiwa membawa kembali
kepada kejernihan yang lebih dalam
daripada cahaya siang yang menembus kabut.
Curug Cipendok terus mengalir,
membisikkan doa yang mengikat manusia, batu, dan langit,
menghidupkan nadi alam sebagai saksi
bahwa di sana, dalam sunyi,
jiwa yang bersih akan bertemu
dengan aliran yang menghidupkan.
2025
BALADA SENDANG PANGURIPAN
Di cekungan tanah tua,
mata air bening mengerucut
seperti cermin yang menunggu tangan manusia.
Pepohonan berdiam mengelilingi sendang,
daunnya menunduk seakan memberi hormat
pada setiap langkah yang mendekat.
Orang-orang datang tanpa tergesa,
membawa harapan yang terikat di dada.
Mereka mencuci wajah,
menyelamkan kata-kata rahasia
ke dalam air yang tenang,
mengirim doa yang hanya bisa dibaca
oleh hati yang sabar.
Setiap riak yang muncul
adalah bahasa sunyi yang menuntun jiwa.
Air mengalir di antara jari,
menyingkap cahaya di dasar,
mengingatkan bahwa setiap kesalahan
bisa dibersihkan dengan keikhlasan
dan penghayatan.
Di sana, pantulan sendang
bukan sekadar wajah,
melainkan bayangan hati yang terbuka.
Siapa yang jernih melihat aliran,
akan menemukan jalannya sendiri,
seperti air yang mengalir,
tanpa menuntut,
tetapi menuntun.
Sendang Panguripan tetap diam,
mengikat manusia, bumi, dan langit
dalam satu nadi,
menjadi saksi bahwa setiap jiwa yang datang
akan menemukan cermin dirinya,
dan cahaya yang menunggu di dasar air.
2025
BALADA MASJID SAKA TUNGGAL
Masjid kuno berdiri di tengah lapang,
satu saka menanjak ke langit
seperti menahan doa seluruh alam.
Lantai tanah merunduk di bawah kaki,
bau kayu tua menganyam sejarah
yang tak pernah hilang di udara.
Para peziarah melangkah perlahan,
menyentuh tiang tunggal dengan rasa hormat.
Mereka mendengar napas masa lalu
yang tersisa di celah dinding,
gema azan yang dulu dikumandangkan
masih menembus tiap sudut ruangan,
menjadi teman sunyi yang setia.
Satu saka itu menegaskan,
bahwa ketunggalan adalah inti ibadah.
Yang satu menopang yang lain,
tanpa suara namun penuh arti.
Setiap peziarah merasakan
bahwa dalam kesederhanaan tiang itu
terdapat kekuatan yang mengikat manusia, bumi, dan langit,
menjadi pusat doa dan cahaya yang tak lekang waktu.
Dan ketika mereka keluar,
masjid tetap diam,
tetapi terasa hidup di setiap langkah yang pergi.
Saka tunggal itu tetap berdiri,
sebagai saksi bahwa yang satu
cukup untuk menopang dunia,
cukup untuk menampung doa setiap hati
yang datang dengan ikhlas.
2025
BALADA KAMANDAKA
Di punggung bukit itu,
tempat cahaya selalu datang terlambat,
jejak Kamandaka terbuka
seperti luka tua
di tubuh Pajajaran
yang terus berdetak.
Pinus-pinus menunduk dalam bayangannya,
menjaga nama
Raden Banyak Catra
pangeran yang menolak takhta,
yang pergi sebelum mahkota
menjadi belati
di tengkuknya sendiri.
Batu-batu berlumut
berkilau hijau gelap,
seperti menadah kembali malam
ketika ia melarikan diri:
derap kuda memercikkan waktu,
teriak prajurit terbelah angin,
dan doa yang pecah
seperti kendi
di lantai istana.
Angin membawa serbuk tanah
dan wangi kayu prasejarah,
menggugah suara-suara
yang ditinggalkannya:
ratap ibunya yang jauh,
rimba yang memanggil pulang,
dan dingin takdir
yang menyentuh kulitnya
seperti mata pedang
tajam, terang, tak mengenal belas.
Peziarah yang naik
akan mendengar rintih bukit:
rintih penyamaran
yang menanggalkan nama.
Dialah pangeran
yang menjadi kabut,
menjadi lutung hitam,
menjadi bayangan yang berlari
dari manusia
namun mendekat
kepada rahasia dirinya.
Di perut gua,
kegelapan menyala
seperti mata leluhur
yang tak pernah tidur.
Di sanalah ia menimbang
hidup yang mengejarnya
dan mati yang memanggilnya,
di sanalah ia belajar
bahwa kekuasaan
adalah pedang tanpa gagang
menghunus siapa pun
yang ingin menggenggamnya.
Di usia itu,
angin menyebut namanya
dengan gemetar halus:
Kamandaka
bukan sekadar pelarian,
melainkan jiwa yang ditempa
oleh kecemasan zaman,
oleh keterasingan yang panjang,
oleh cinta yang sembunyi
di balik getar Purbasari
cinta yang tidak butuh wajah
untuk melihat nasibnya.
Sementara itu,
di tanah Galuh
bergema kisah Ningrat Kancana:
raja yang menanggung murka leluhur
karena mengawini
yang sudah bertunangan.
“Purbajati Purbatisti”
mengguncang istananya,
dan ia turun takhta
seperti bulan
yang padam terselimuti kabut.
Galuh dan Sunda
kemudian disatukan kembali
oleh Jayadewata
Sri Baduga yang menggenapkan
getar dua zaman.
Di bukit ini,
dua jalan sejarah saling bersilang
seperti dua cahaya
yang mencari tubuhnya sendiri:
Kamandaka yang menolak takhta
karena luka kujang pamungkas,
dan Ningrat Kancana
yang menanggalkan kuasa
karena purbajati leluhur
lebih tinggi dari singgasana.
Kini Kamandaka abadi
di tubuh bukit
di batu yang tak tidur,
di pinus yang tak berhenti berdoa,
di angin yang mengusung sejarah
seperti lentera
yang tidak padam
meski badai datang bergantian.
Barangsiapa mendaki
dengan kepala tegak
akan pulang dengan tengkuk basah:
bukit ini mengajari
bahwa ketinggian sejati
milik mereka
yang berani menunduk,
yang menerima luka
sebagai pintu cahaya,
yang rela hilang
agar sang Cahaya
menemukan mereka.
2025
BALADA GUNUNG SLAMET
Kabut turun perlahan
seperti jubah leluhur
yang disampirkan kembali
ke bahu gunung.
Cemara-cemara hitam berjajar,
menjadi pasukan sunyi
yang sejak abad-abad lalu
menjaga gerbang langit.
Angin dari punggungan
membawa gema sejarah
gema langkah para resi,
para lelana hati,
dan para prajurit tua
yang pernah bermalam
di bawah bayang kawah.
Di antara desir itu,
nama Sang Hyang Slamet
berdenyut pelan
seperti nadi bumi.
Pendaki naik perlahan,
menghitung napasnya
seperti menghitung dosa.
Setiap pijakan
adalah kurban kecil,
setiap jeda
adalah sujud tanpa lantai.
Gunung mendidik diam-diam:
tentang batas diri,
tentang lentur jiwa,
tentang kerendahan
yang tak bisa diajarkan
oleh guru mana pun.
Langit semakin tipis.
Nafas menjadi cahaya yang serak.
Di lereng tinggi itu
angin berubah menjadi altar
membakar sisa kesombongan
yang menempel di tubuh manusia.
Siapa yang naik
akan merasa ditelanjangi:
oleh dingin yang tajam,
oleh hening yang tak berujung,
oleh takdir yang melihat
tanpa kedip.
Semakin tinggi seseorang naik,
semakin ia harus menunduk,
seakan puncak adalah mihrab
yang tak boleh disentuh
dengan kepala tegak.
Pendaki belajar
bahwa kemenangan
hanya milik mereka
yang berserah
pada kerasnya batu
dan lembutnya angin.
Ketika puncak tersibak,
kabut berdansa
seperti tirai putih
dalam ritual kuno.
Matahari muncul perlahan,
membasuh wajah pendaki
dengan cahaya yang bening
seakan mengatakan:
“Di sinilah kesucian diuji,
di sinilah hati dipulangkan.”
Sebab Slamet bukan sekadar nama,
melainkan anugerah tua
yang diwariskan gunung
kepada mereka
yang berani membersihkan diri
di tangga langitnya.
2025
BALADA RAGASEMANGSANG
1.
Di pertigaan Sokanegara,
lampu jalan bergetar seperti napas yang menahan tangis.
Bangunan kecil berdiri,
sebatang nisan yang berubah menjadi benteng,
sejak Belanda mengetuk sejarah dengan tangan gemetar.
Udara di dalamnya menahan napas sendiri,
jeruji menatap dunia,
membiarkan bunga mawar layu,
asap dupa menari seperti bayangan yang tak ingin mati.
Kota berputar di sekelilingnya
seperti bulan mengelilingi malam yang tak beranjak
dari sunyinya.
2.
Ragasemangsang, tubuh tergantung,
badai yang berjalan di bumi Banyumas.
Potongan tubuhnya bersatu kembali
jika tanah mencium darahnya,
sejarah menolak dilupakan.
Raden Pekih berdiri di hadapannya,
doa di satu tangan, keberanian di tangan lain.
Tetapi badai itu tak bisa ditundukkan.
Ia jatuh, tubuhnya hancur,
namun jiwa Ragasemangsang terus menggantung
di pohon tua yang kini hanya bayangan.
3.
Sejak itu, pertigaan menjadi sunyi ritual.
Pejabat datang, pedagang berbisik harapan,
orang dari Bandung, Tasik, Surabaya,
hingga Tionghoa yang memahami arwah.
Makam kecil itu bukan batu dan semen,
ia penjaga tanpa seragam,
pelindung yang menunggu sopan santun.
4.
Sekop pertama menggali tanahnya,
langit menurunkan peringatan.
Seorang pejabat bermimpi sosok berjubah gelap:
“Aku tidak ingin dipindahkan.”
Pekerja roboh, bangun tanpa ingatan.
Suara langkah muncul di siang terik,
tidak ada siapa-siapa.
Semen diperkuat, cat diperbarui,
bangunan bertahan.
Kota sadar: beberapa makam dijaga
oleh kehendak yang lebih tua dari sejarah.
5.
Angin berputar pelan di pertigaan,
lampu bergetar seperti mata yang menahan tangis.
Tubuh Ragasemangsang menggantung
antara dunia nyata dan dunia yang diam-diam menyertai.
Ia bukan hantu, bukan dendam,
ia jiwa yang menunduk,
yang menahan gelap dan terang
seperti malam menahan bulan.
Dan kota Purwokerto
akan terus berputar di bawah bayangannya,
seperti balada yang tak selesai dinyanyikan,
seperti doa yang menunggu jawaban yang tak terlihat.
2025
BALADA BATU GULING
(Suara dari Desa Datar)
Batu besar terguling di tanah datar,
hutan kecil menahan nafasnya sendiri,
angin berdesir gelisah di sela daun,
seolah menuturkan nama-nama yang terlupa.
Para pejalan berhenti,
menyentuh permukaannya yang dingin dan kasar,
membaca jejak leluhur yang tidak tertulis
prasasti yang hanya bisa dirasakan.
Air menetes dari cekungan batu,
tidak kering meski kemarau menindih desa,
diyakini membawa berkah bagi anak-anak yang sakit,
menjadi saksi sabar yang tak menuntut.
Batu menhir berdiri tegak,
dua pasang mata sejarah yang menatap utara dan selatan,
ke arah Gunung Slamet yang diam menunggu.
Lumpang pecah setengah,
tetap menyimpan kenangan ritual yang telah hilang.
Ketabahan adalah kemampuan bumi menahan dirinya,
menggenggam sejarah yang jatuh dan terguling,
manusia pun harus demikian,
mengerti bahwa beberapa rahasia harus tetap diam.
Di Desa Datar, batu ini tidak bergerak sendirian,
ia berguling dengan legenda Bima,
dengan langkah-langkah mereka
yang dulu menapaki punden berundak,
membawa doa, ketakutan, dan harapan.
Dan siapa pun yang datang,
dari luar kota atau tetangga desa,
menyadari:
tidak semua yang berguling itu hilang,
tidak semua yang diam itu mati.
Batu Guling tetap di tempatnya,
suci, sunyi, dan abadi,
penjaga yang menahan gelap dan terang,
seperti malam yang menundukkan bulan di atas desa.
2025
BALADA JALUR ZIARAH
LERENG UTARA SLAMET
Di jalur tua yang memanjang ke utara,
pagi turun dengan langkah yang sangat ringan;
sungai kecil bergumam di bebatuan,
seakan mengulang doa yang pernah gugur
dari bibir para leluhur.
Kabut membangun tirainya sendiri,
membuka dan menutup seperti kelopak
yang sedang belajar sujud.
Di baliknya, beringin berdiri,
hening, teduh, seperti rahasia
yang disimpan gunung untuk dirinya saja.
Para peziarah datang perlahan,
napas mereka menetes di udara dingin;
dada mereka membawa pergumulan
yang tak disebutkan, namun terdengar
di antara detak langkah-langkah yang ritmis.
Setiap tikungan menjadi mihrab kecil,
setiap batu menjadi tasbih yang terlepas
dari genggaman bumi.
Burung pagi memecah sunyi,
sayapnya seperti salam
yang dilemparkan langit.
Di satu tanjakan yang curam,
angin tiba-tiba berhenti.
Seseorang menunduk,
mendengar bisikan yang tak berasal dari luar:
suara bening dari ruang terdalam,
mengajak pulang kepada kejernihan.
Cahaya dari punggung Slamet
menetes perlahan ke tubuh para peziarah,
membentuk garis halus seperti ukiran nur
di wajah-wajah yang mulai pasrah.
Mereka berjalan lagi,
lebih ringan dari sebelumnya,
seolah gunung menampung sebentar
beban yang tidak mereka sebutkan.
Ketika sore menyentuh lereng,
jalan turun menjadi zikir terakhir:
daun-daun bergetar lirih,
air sungai memantulkan cahaya
yang merunduk lembut.
Dan siapa pun yang kembali dari jalur itu
selalu pulang dengan langkah berbeda,
lebih hati-hati, lebih sederhana,
seperti telah belajar dari gunung
bahwa perjalanan yang paling tinggi
adalah perjalanan yang sunyi.
Ziarah, akhirnya,
bukan tentang melihat ke puncak,
melainkan tentang membiarkan hati
ditata ulang oleh keteduhan:
seperti tanah yang diam,
seperti kabut yang patuh,
seperti cahaya yang tahu
kapan harus menyala
dan kapan harus merendah.
2025
BALADA CAHAYA ONJE
1.
Di hutan pakis yang sunyi,
tiang-tiang kayu mengangkat atap ijuk,
Masjid Raden Sayyid Kuning berdiri,
menyapa matahari yang malu-malu,
menyusuri kabut sejarah yang lembut,
di Desa Onje, cikal bakal cahaya Purbalingga.
Sungai tempuran tiga berbisik,
memadu doa dengan riak air,
dari batu dakon yang cekung,
hingga arca Bukut yang diam menunggu,
semua menyanyikan lagu leluhur,
ritme waktu yang tidak pernah pudar.
Setiap sudut desa menyimpan bisik sejarah:
kadipaten yang menundukkan bumi,
jejak kaki Adipati Onje menapak tanah merah,
dan pohon-pohon yang menunduk seperti saksi abadi,
menjaga rahasia yang hanya dapat dibaca oleh jiwa.
2.
Langkahku menapaki makam Raden Sayyid Kuning,
di mana doa dan rindu menari tanpa suara,
setiap hembus angin membawa cerita,
tentang syiar yang menembus hutan belantara,
tentang Adipati Onje yang menundukkan bumi dan waktu,
dan istri yang diam, namun abadi dalam doa.
Nasi penggel dibawa mengelilingi desa,
daun pisang bergetar, alunan ritual menyatu dengan tanah,
penggelanyang menari pelan,
menghitung langkah, membisikkan shalawat,
seperti detak jantung desa yang terdengar di seluruh alam.
Klawing Tubing, jeram yang menantang adrenalin,
mengguncang tubuh namun menenangkan jiwa,
karena sungai bukan sekadar air,
tapi arus cahaya yang memercikkan nur,
mengajarkan bahwa keberanian dan doa berjalan beriringan.
3.
Dari batu dakon yang cekung,
dari arca Bukut yang menunggu,
lahirlah hikmah tersembunyi.
Jejak Putri Kajoran dan kebiasaan kuno menempel pada tanah,
mengisahkan sejarah yang tak terdengar oleh telinga,
namun terasa oleh hati yang bersih.
Masjid tua menatapku,
empat tiang pakisnya tegak, menahan langit,
atap ijuknya menelan sinar pagi,
menjadi pelita bagi peziarah yang tersesat di dunia fana.
Setiap bisikan angin adalah doa,
setiap langkah peziarah adalah shalawat,
dan setiap cahaya yang menembus daun
adalah nur yang menuntun.
4.
Oh Onje, kau bukan hanya tanah dan batu,
kau adalah simfoni doa, sejarah, dan pengorbanan,
cahaya yang menembus gelap,
dari jejak kaki leluhur, dari tiang pakis yang tegak,
hingga riak sungai yang menari di bawah bulan.
Aku menunduk, menyerap nurmu,
menyadari bahwa cinta dibawa oleh rindu,
bukan sebaliknya,
dan doa adalah jalan menuju nur yang tak ternilai.
Di antara makam, masjid, dan sungai,
aku mendengar suara masa lalu:
bisik Adipati Onje, tawa Putri Kajoran,
dan shalawat yang mengalun di sepanjang hutan,
menjadi simfoni abadi yang mengalir di nadiku.
5.
Langit pagi memantulkan kilau hijau desa,
sungai, hutan, batu, dan doa bersatu menjadi satu nada,
mengalun seperti rebana yang tak pernah lelah.
Cahaya bukan sekadar sinar,
tapi suara sejarah yang menuntun jiwa,
menjadi puisi hidup,
di mana manusia belajar bahwa setiap langkah,
adalah perjalanan dari kegelapan menuju cahaya.
Di Desa Onje, aku menemukan rahasia:
bahwa nur sejati ada di antara bisikan batu,
alunan sungai, dan doa yang tak pernah berhenti,
dan setiap manusia, bila mendengar,
akan menari dalam balada cahaya yang abadi.
2025
—–
*Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, kemudian lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Abdul Wachid B.S. menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).***





