Ziarah Seni Modern dan Sosok Patron Seni Hendra Hadiprana

Oleh Bambang Asrini Widjanarko*

Sebuah ziarah dihamparkan, seperti mengikuti arah hati menyusuri ‘jejak-jejak sakral’ dalam sejarah seni modern Indonesia. Pameran Retrospeksi bertajuk Napak Tilas Seni di Galeri Hadiprana, Jakarta 23 Agustus sampai 15 September 2025 ini membuka memori. Event itu menyibak ulang karya koleksi-koleksi salah satu patron seni penting, tepatnya seni rupa; Hendra Hadiprana. 

Koleksinya yang dipamerkan oleh keluarganya, membawa pesan terang dan menuntun kita bahwa bagaimana seni, sejarah dan para pelopor seni modern membawa kita sampai hari ini.

Disana ada peran seorang patron seni, sebab tak hanya ia menjadi kolektor dengan membeli karya namun menginspirasi serta mendukung sejak awal bahkan membantu, sebagai sahabat tatkala mereka semua—para pelukis itu, yang kemudian kita kenal sebagai para maestro seni rupa kita–masih berusia muda.

Sebagai yang disampaikan oleh Srihadi Soedarsono mengaku pada 1950an, ia semasa masih mahasiwa sudah mengenal Hoe Tjoe Heng, nama Tiong Hwa dari Hendra Hadiprana dengan sebutan Mas Henk. Saat itu, Srihadi menjadi saksi bagaimana relasi kolektor dan seniman telah dibangun dengan sangat baik, saat Hendra berkunjung di Jurusan Seni Rupa Fakultas Tenik Bandung (yang sekarang menjadi ITB). 

“Mas Henk pribadi yang luwes dan figur muda yang demikian dekat dengan seniman-seniman dan menyukai membeli karya-karya bercorak abstraktif”, pernyataan Srihadi itu tersemat di catatan keluarga Hendra.

Penulis kemudian bersua dalam Pameran Retrospeksi ini dengan karya Gregorius Sidharta Soegijo, dengan lukisannnya yang bagus Pensaliban Jesus, karya tahun 1958. Lukisan indah yang  membetot awal perhatian dengan ukuran 135x 100cm, oil on canvas, yang bercorak abstraktif dan figuratif yang beririsan pada gaya kubisme yang lugas. 

Seperti pengakuan Puri Hadiprana, putri sulung almarhum Hendra, yang menyatakan bahwa karya G Sidhartalah yang awal ayahnya beli dan sempat terjadi dialog yang dituturkan, ”Pak saya baru pulang dari Belanda, ijinkan saya akan membawa pulang karya Bapak setahun lagi kelak, jika jika saya sudah memiliki uang”, yang dijawab bersahaja oleh pelukisnya, “Silahkan kapan saja bisa”.

G. Sidharta, Pensaliban Jesus, 135x100cm, oil on canvas, 1958, koleksi keluarga Hendra Hadiprana. (Sumber: Penulis)

Jika menaksir bahwa pada 1953, pematung dan pelukis G. Sidharta menuntut ilmu dan belajar di Jan van Eyck Academie, Belanda selama tiga tahun, maka pertemuannya di tahun 1957 dengan Hendra yang baru berusia 26 tahun. Saat ia kembali ke Tanah Air dari studi Arsitektur dan Desain Interiornya di Akademik Minerva Afdeling Architectuur, Groningen, Belanda. 

Saat itu, pembaru seni patung Indonesia yang progresif ini, G. Sidharta berpameran lukisan di hotel Des Indes, Harmoni, Jakarta dan masih mengajar di jurusan seni patung ASRI (Akademi seni Rupa Indonesia), Jogjakarta. Yang pada 1965, ia berpindah mengajar di Jurusan Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung) bergabung dengan But Muchtar dan Rita Widagdo di jurusan patung, hingga ia pensiun pada 1997. 

Tiga Karya Spiritualisme dan Abstrak Meditatif

Dari sekian lukisan dan patung yang dipamerkan di Pameran Retrospeksi diantaranya karya milik keluarga Hendra Hadiprana, yakni Sadali, Pirous, G Sidharta sampai Srihadi dan Jeihan serta Wianta dan Yusuf Affendi. Sejarahlah yang menyatukan, setidaknya dalam tiga karya yang elok dan memiliki benang merah: karya G Sidharta, AD Pirous dan Srihadi Soedarsono.

Yang seturut penulis, memberi penanda dan petanda zaman dan Hendra dengan jeli merangkainya sebagai kesatuan koleksinya yang penting. Yang menurut penulis, layak diulas dengan kecenderungan-kecenderungan seni modern yang menampak di era itu, yakni abstrak-meditatif. 

Corak abstraktif yang beririsan pada gaya kubisme yang lugas karya tahun 1958 milik G. Sidharta lebih layak dimasukkan pada langgam abstrak-meditatif yang secara personal, seperti contoh keimanan Katoliknya yang dengan sengaja mengaburkan sosok Yesus dengan pendekatan non realistik namun masih samar menampakkan reresentasi seseorang. 

Lukisan keseluruhan cenderung abstraktif, saat sama menandainya dengan berlabur tipis kotak-kotak muram menyatu dengan figur Yesus di depan dengan latar belakang pendekatan kubistik.

Hadirnya konsep spiritualisme saat itu, dengan corak khusus juga tak lepas dari fenomena bagaimana Bandung School—sebagai disebut para sejarawan seni dengan mazhab Bandung, yang pada awal terbentuknya Akademi Seni Rupa di Bandung (tahun 1950-60an), para pengajar di waktu itu seperti But Muchtar dan Ahmad Sadali dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar seni rupa. 

Saat mereka berada di sana, gaya yang sedang populer adalah fenomena yang dinamakan sebagai New York School. Karya-karyanya yang muncul adalah memuat gaya abstrak ekspresionisme dengan kecenderungan yang berspektrum dari kegelisahan personal yang kuat (angst), kecenderungan-kecenderungan Timur, seperti keyakinan Buddhist dan spiritualisme secara general.

Ahmad Sadali menelisik kembali lebih dalam dan menemukan dalam ekspresi Tauhid dalam Islam. Yang Secara estetik, karya abstrak meditatif menghadirkan bentuk-bentuk geometris atau unsur rupa yang dibentuk secara simbolik untuk mengundang apresiator merenung (meditatif) di hadapan karya lukisan atas tafsir makna yang tersirat.

Maka, karya koleksi Hendra Hadiprana berjudul Kaligrafi Al Fatihah yang bertarikh 1971 berukuran 140×100 cm ini, yang terinspirasi era spiritualisme seni di Tanah Air berasal dari ilham AD Pirous melihat pameran seni Islam, justru di Museum Metropolitan Museum, New York adalah salah satu koleksi Hendra yang menawan.

AD Pirous, Kaligrafi Alfatihah, 140cm x 100cm, oil on canvas, 1971, koleksi keluarga Hendra Hadiprana. (Sumber: Penulis)

Abstrak Meditatif, dari seni spiritual yakni Keislaman sendiri telah hadir pada awal dekade 1960an melalui terbentuknya Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), yakni  Musyawarah Nasional yang tergelar pada 1962. Lesbumi mengeluarkan sebuah pernyataan tentang Seni Keislaman sebagai respon dari Surat Kepercayaan Gelanggang yang hingar-bingar suara-suara tentang pernyataan modernisme: yakni “seni hanya untuk seni”, disusul oleh lawannya, Mukadimah Lekra, dengan kredo sosialisme: “seni untuk rakyat”.

Maka, saat ‘gonjang-ganjing politik-ideologis’ dari awal tahun 1950-an sampai akhir 1960-an dan awal 1970an adalah warisan pernyataan Lesbumi yang membawa seni ke gagasan ”seni sebagai bentuk pengabdian pada Allah SWT.”

Kita bisa merelasikan juga dengan dua karya koleksi Hendra diatas, G. Sidharta dan AD. Pirous dengan yang mengeksplorasi topik ke-Tuhanan dan spiritualisme dengan adanya benang merah lebih ke karya spiritualisme ala Srihadi. Meski karyanya bertarikh 1987, namun karya itu menerakan imej horizon puitis dengan biru tua dan pasir keputihan yang bertemu di kelir biru muda yang terasa hening dan mengenang masa-masa abstraktif tahun 1970-an awal. 

Atsmofir lukisan Srihadi, dengan bidang-bidang kosong itu dalam lukisan berjuluk Horizon dengan media oil on canvas berukuran 140×140 cm menyiratkan suasana kontemplatif.

Srihadi Soedarsono, Horizon, 140cmx140cm, oil on canvas, 1987, koleksi keluarga Hendra Hadiprana. (Sumber: Penulis)

Sementara itu, Pameran Retrospeksi Napak Tilas Seni yang digelar ini juga menampilkan dari koleksi sahabat-sahabat Hendra Hadiprana, dari keluarga seniman dan tentunya, seniman-seniman muda lain yang menjadi mitra Hendra selama masih hidup. 

Puri Hadiprana, putri sulung Hendra menyebut bahwa memang ayahnya orang yang kuat dan sangat memegang prinsip untuk selalu maju, seperti katanya bahwa ia acapkali ‘ngeyel’, dibuktikan balik ke Tanah Air pada 1957, seperti dituturkannya:

“Ayah tak luluh meski kondisi Jakarta masih sangat porak-poranda pada 1957, dimana-mana ada grafitti, kota menjadi kumuh seolah tak ada masa depan bagi Jakarta. Saat itu, ayah sempat terkejut sebab ada sebuah pameran seni rupa di Hotel Des Indes, Harmoni, yang dibuka oleh Ir. Soekarno bahkan saat Tanah Air lagi gawat-gawatnya”, ujar Puri mengenang.

Dari narasi lain, keluarga mengingat bahwa Hendra di usia 20-an memang memiliki bara api semangat dan tekad, tatkala ia terhenyak pada kolega-koleganya yang terpelajar memilih balik ke negeri Belanda. Saat kapal Oranje, kapal yang ditumpangi Hendra Hadiprana dari galangan kapal Groningen Belanda, bersandar di pelabuhan Aleksandria, Mesir. 

Ada informasi bahwa Indonesia di masa transisi, usai Konferensi Asia-Afrika 1955 dan komitmen negar-negara Selatan meneken deklarasi Bandung, tapi tahun 1957 kondisi negeri lebih gawat terjadi. Perselisihan atas Papua Nugini Barat membara, Soekarno memimpin nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan mendirikan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).

Hendra tetap bersikukuh pulang ke Indonesia. Lamat-lamat, ia tertawan ingatan atas nasehat Professor pengajarnya jika menunda keberangkatan balik ke Tanah Air, ia akan ditawari pekerjaan penuh waktu di Groningen sebagai staf peneliti atau pengajar. 

Namun Hendra telah terpikat pada buku yang justru diberikan oleh Profesornya dengan ratusan halaman yang berjuluk: Mahabharata. Keterpesonaan atas narasi Mahabharata dan kecintaan pada seni dan budaya negeri, membawa hatinya tetap menuju Jakarta. Meskipun teman-teman bergelar diploma Sarjana, bahkan lebih dari separuh penumpang kapal Oranje balik ke Belanda, tak meruntuhkan usia mudanya berbulat tekad.

Pada akhirnya, warisan Hendra Hadiprana membawa pesan tak hanya terang dan menuntun kita pada sejarah, karya-karya lukisan seni modern yang menawan, yang membawa kita sampai saat ini. Namun, melihat sosok yang tulus mencintai seni dari seorang arsitek dan patron seni sebagai sebuah cermin besar berupa tekad dan keberanian untuk berbuat, tak peduli dalam kondisi apapun. 

*Bambang Asrini Widjanarko, penulis seni dan pelukis