Sarat Riwayat di Balik “Semesta Bercerita”

“Nihil certum est, praeter praeteritum“, kata Lucius Annaeus Seneca. Oleh karena itu masa lampau dijadikan pijakan kuat untuk melompat.”

——-

PAMERAN tunggal ke-12 Nisan Kristiyanto dibuka pada 5 – 20 November 2025, di Galeri Hadiprana, Jalan Kemang Raya, Jakarta. Pameran yang mengangkat tema “Semesta Bercerita – Perjalanan 50 Tahun Berkarya” ini menyuguhkan 50 ciptaannya, yang meliputi berbagai rupa. Ada sketsa, lukisan abstrak, lukisan impresionistik, yang menandai awal kariernya. Dan tentu lukisan naturalis hiperinsi bertema bentang alam, yang mengangkat tinggi namanya.

Sebagai pelopor lukisan naturalis hiperinci” – yang oleh publik disebut sebagai lukisan “dekoratif ancolisme” – pagelaran dihelat dengan meriah. Muncul lagu-lagu yang dibawakan empat anaknya, disertai deklamasi.Menyanyi biduanita Reda Gaudiamo, yang suaranya bagai mengalun dari surga. Menyambut pula Puri Hadiprana selaku pemilik galeri tertua di Jakarta. Sampai akhirnya Nadia Mulya, model, runner up Wajah Femina, pencinta lingkungan hidup, menggunting rangkaian melati di pintu ruang pameran.

Nisan Kristiyanto, 2025. (Sumber: Lim Hui Yung).

Selaras dengan deretan lukisan Nisan yang necis, resik dan tertata, pameran terbit sebagai peristiwa mewah dan penuh wewangian.

Namun tak banyak yang sadar bahwa peristiwa seni kota ini serta-merta mengungkap, betapa semua yang gemerlap itu berawal dari ruang gelap kala Nisan berada di “desa”. Betapa pameran seni model metropolit inisesungguhnya hadir sebagai jalan untuk mengungkap masa lalu Nisan yang pahit.

“Cahaya benderang sekarang memang akan menerangi riwayat silam,ujar Nisan.

Lalu kisah hidupnya yang berpeluh dan “berair mata” dibeber untuk kita baca.

Menjinakkan ular

Ketika studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” Yogyakarta tahun 1972, Nisan kos di satu rumah. Di tempat ini Nisan ternyata tidak berbahagia.

“Fasilitasnya terlalu minim, bahkan untuk sekelas mahasiswa yang miskin. Di antaranya adalah kamar mandi yang kotor dan gelap, dengan air yang keruh dan terbatas. Padahal jeding (bak air) itu digunakanbersama, sehingga untuk mandi harus antre lama,” kisahnya.

Nisan pun mencari jalan keluar.

Pada suatu hari ia bermain-main di Kali Serangan, yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat kos. Bagian sungai itu banyak yang kotor. Namun di tepian sungai itu, di balik batu besar yang dilindungi perdu dan pepohonan, ada belik (mata air kecil). Nisan berteriak, Eureka! (Saya menemukan!). Ia meyakini bahwa itulah tempat mandi terbaik. Belik pun digunakan sebagai “jeding alam”.

Lukisan naturalis hiperinci karya Nisan Kristiyanto, “Dosa Mula-mula”, 1974. (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan naturalis hiperinci karya Nisan Kristiyanto, “The Prayer”, 2011. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

“Setiap akan mandi, saya menguras kedung dekat belik itu agar bersih. Di situ saya bisa mandi bahkan keramas. Sabun colek B29 saya gunakansebaik-baiknya. Namun penghematan yang luar biasa ini menghadirkan ketombe di kepala.”

Kesulitan mandi itu ia alami setahun lamanya.

 

Ia lalu pindah ke rumah kos lain, yang dihuni banyak mahasiswa Asritingkat permulaan. Sehingga diskusi bisa sepanjang hari dilakukan. Di sini semua bisa saling mengintip lukisan-lukisan yang dicipta. Bisa saling kritik, caci dan puji. Bisa saling “lupa mandi” dan “rusak-rusakan”.

Pada masa itu (bahkan mungkin sampai masa sekarang) mahasiswa Asri banyak yang eksentrik perilakunya. Ada yang tak henti merokok. Ada ketagihan minum bir. Ada yang siangnya tidur malamnya baru bekerja.Ada yang senang kesunyian sambil menatap langit dengan dalih “mencari inspirasi” apa adanya.

Ada kamar yang terus menyuarakan musik hard rock dan heavy metal Led Zepellin, Black Sabbath, Deep Purple, Pink Floyd. Namun ada pula yang melantunkan suara lembut Nana “Ioanna” Mouskouri. Lantaran waktu itu belum dikenal earphone atau headphone, maka deretan kamar kos itu sungguh ribut, seperti kios dagang berpromosi di alun-alun.

 

Namun meski heboh, di situlah Nisan ia berjumpa dengan figur yang pada kemudian hari moncer dalam percaturan seni rupa Indonesia. Nama Dede Eri Supria, Haris Purnomo, Setyanto Riyadi, Gendut Riyanto, Winardi, Ivan Hariyanto, Lucia Hartini, Ronald Manulang, Suatmadji, tulus Warsito, Joko Maruto adalah di antaranya.

“Mereka adalah para teman luar biasa yang memberi ilmu macam-macam dalam hidup saya. Dari prosa, puisi, sejarah, seni suara, bahkan ilmu nyetun, mengisap ganja. Meskipun untuk yang satu ini saya sangat menghindarinya. Ganja, hashis, mariyuana, no! Hahahaha,kata Nisan.

Kristiyanto belia. Belum memakai Nisan sebagai nama depan. (Sumber: Dokumen).

Akibat pergaulannya yang sableng itu Nisan menjadi banyak minat. Ia terpikat dengan batuan bergambar. Ia terpesona kepada filsafat. Gampang terpana saat melihat kecantikan perempuan. Ia tertarik kepada olah kanuragan, seperti silat, yoga, sehingga sanggup menekuk dan melipat-lipat badan. Bahkan sampai ilmu kekebalan dan ilmu menjinakkan ular serta ilmu menawarkan racun ular. 

Salah satu pengajar ilmu ular ini adalah Y.P. Sukiyanto, guru menggambar sekolah menengah pertama Katolik Blora yang dikuliahkan di Asri jurusan ilustrasi. Nisan pun mempelajari perilaku berbagai jenis ular, habitat setiap ular, wajah ular, bentuk tubuh ular, dan cara berkomunikasi dengan ular. Kulminasinya, ia mampu menenangkan ular, berinteraksi dengan ular, dan melarang ular agar tidak menggigit.

Mengikut kepada cerita ilmu ular itu, pernah pada suatu kali tahun 1974 Nisan membawa dua ekor ular dari Blora. Sesampai di Yogyakarta ular yang dibawa hanya tinggal satu. Yang satu lepas di dalam bus!  Sampai hari ini, ujung 2025, keberadaan ular yang satu itu tidak diketahui.

Dalam pergaulan, Nisan juga bercakap erat dengan para seniman berbagai sektor. Seperti Dahlan Rebo Pahing, Areng Widodo, Toha, sampai Benny Ditus, yang tercatat sebagai personil Bengkel Teater pimpiman W.S. Rendra. Kepandaian Nisan dalam meniup seruling menyebabkan ia akrab dengan para seniman musik. Sehingga ia pun membentuk grup musik rakyat bernama Flag bersama para mahasiswa Akademi Seni Musik Indonesia, seperti Sawung Jabo, Walid, Tony Yunus dan lain-lain. Jangan main-main, grup musiknya pernah ikut dalam kejuaraan musik di Yogyakarta. Sayang, grupnya hanya berstatus “hampir menang” saja.

Nisan Kristiyanto sedang bercanda dengan ular. (Sumber: Agus Dermawan T).

 

“Kehidupan sebagai mahasiswa miskin di Asri benar-benar menggembleng mental saya, dan mengembangkan sayap kehidupan saya. Asri itu bagai kawah Candradimuka yang menjadikan seorang Gatotkaca menjadi sakti mandraguna. Bukan hanya dalam dunia penciptaan, tapi juga dalam cara menghidupi kehidupan,” kata Nisan.

 

Banyak yang harus terus diingat Nisan ketika menelisik cara Nisan menghidupi kehidupannya pada tahun 1972 – 1974.

“Bayangkan, apabila kepepet saya terpaksa harus menjual celana atau baju kepada ibu pembeli pakaian bekas, yang setiap minggu berkeliling. Celana dan baju itu saya lego dengan harga damai. Uangnya untuk, pertama, beli kanvas dan cat. Kedua, untuk ngebon makan di warung. Padahal celana dan baju saya cuma tiga.”

Karena itu, ketika pada suatu kali seorang sahabatnya memberi order menggambar ulang ornamen di nisan kuburan orang Tionghoa, Kristiyanto bersemangat mengerjakan. Itulah saat pertama ia mendapat uang dari kemampuan menggambarnya. Untuk mengenang, maka “nisan” dipakai untuk mengawali namanya. Nisan Kristiyanto!

Lalu banyak yang masih ingat, pada masa itu Nisan setiap harinya cuma mengenakan sendal, atau paling maksimal sepatu-sendal. Pilihan ini bukan untuk mereduksi etika yang mengharuskan mahasiswa pakai sepatu, tapi karena Nisan memang tidak punya barang itu.

(Kebiasaan bersepatusendal ini jadi kebiasaan sampai sekarang. Pada pada saat seremoni pembukaan pamerannya yang eksklusif di Galeri Hadiprana, Nisan juga menggunakan sepatu-sendal. Hanya bedanya, apabila 55 tahun lalu sendalnya kadang meminjam, sekarang sepatusendalnya ada enam.)

Soal alas kaki ini mungkin biasa bagi banyak orang. Namun bagi Nisan adalah jadi dongeng miris apabila diceritakan.

 

Syahdan pada tengah tahun 1960-an keluarga ayah dan ibu Nisan di Bloraberada dalam himpitan keterbatasan. Di meja makan, telor jadi idaman yang jarang datang. Ranjangnya yang kecil diisi empat orang. Baju hanya tiga helai, dan alas kaki jauh dari pandangan. Itu sebabnya Nisan berangkat ke sekolah dengan nyeker alias kaki telanjang. Panas aspal pun diinjak dan dilewati setiap hari.

Sesungguhnya ia bisa saja ke sekolah dengan memakai sendal, dan sesampai di pojok sekolah sendal itu disimpan di pojok sana. Namun ia kawatir sendal itu hilang tak tentu rimbanya. Bukankah ada semboyan:kalau sudah melata-lata, jangan sampai merugi pula!? Sementara peraturan sekolah menetapkan bahwa murid yang bersendal tidak boleh masuk kelas. Sedangkan yang sama sekali tak beralas kaki justru diijinkan berjalan-jalan bebas.

Atas realitas ini Nisan tentu saja sedih bertalu-talu. Tapi ia tidak pernah sekali pun menuntut orang tuanya untuk membelikan sepatu. “Saya tahu orang tua sudah banting tulang sejak subuh,” kisah Nisan.

Sepatu kaca dan sepatu Hatta

Berkait dengan urusan sepatu ini tentu saja Nisan tidak berani membaca ulang dongeng sepatu kaca dalam kisah Cinderella karya Charles Perrault, dan diteruskan dalam versi beda oleh Brothers Grimm. Lantaran sepatu kaca berkilau pemberian ibu peri itu hanya membuat hati Nisan nelangsa. “Itu sepatu bahagia untuk dansa-dansa. Bukan bagian saya,” katanya.

Walaupun apabila membaca cerita nyata berikut ini hati Nisan yang tuna sepatu akan terhibur juga.

Nisan Kristiyanto sedang berdialog dengan Menteri Fuad Hassan dan Ratna Sari Dewi, dalam satu acara pameran. (Sumber: Agus Dermawan T).

Nisan Kristiyanto bersama Hendra Hadiprana dalam acara pameran tunggal pertama tahun 1976. Hendra Hadiprana adalah promotor yang mempopulerkan Nisan sebagai pelukis profesional. (Sumber: Dokumen).

 

Syahdan pada suatu kali Wakil Presiden Republik Indonesia Mohamad Hatta, atau Bung Hatta, ketahuan kakinya lecet. Isterinya, Rachmi Hatta, terkejut dan bertanya, kenapa. Bung Hatta menjawab bahwa lecet itu sudah lama, karena sepatunya sudah bengkah dan tidak layak dikenakan. Rachmi berusaha membelikan sepatu yang baru, namun Bung Hatta menolak. Sebagus-bagusnya sepatu baru, lebih nyaman sepatu lama, katanya. Bung Hatta agaknya teringat ungkapan Tiongkok kuno, sepatu baru (hanya) enak dilihat, sepatu lama nyaman dipakai.”

Pada suatu kali Bung Hatta kedatangan tamu dari luar negeri. Melihat Bung Hatta agak terpincang, tamu itu bertanya sebabnya. Bung Hatta tidak menjawab. Namun sang tamu tahu bahwa itu akibat sepatu. Sang tamu lalu menunjukkan sepatunya sambil berkata, “Yang mulia sebaiknya memakai sepatu seperti ini. Nyaman dipakai sejak pertama.” Bung Hatta mengintip sepatu itu. Merknya Bally, buatan Swiss.

Bung Hatta pun melapor soal Bally itu ke isterinya. Dari situ ketahuan bahwa harga sepatu Bally 21 kali dari harga sepatu yang ia pakai, dalam keadaan baru. Bung Hatta dan Rachmi mengurungkan membeli Bally. “Rakyat Indonesia masih sangat banyak yang tidak bersepatu. Sangat keterlaluan apabila saya memakai Bally.”

Nisan juga akan adem pikirannya apabila memperhatikan makna dari kisah “Tukang Sepatu yang Mulia”, bagai yang diriwayatkan Abdullah bin al-Mubarak.

Kisah ini merujuk kepada hikayat Ali bin al-Muwaffaq, seorang tukang sepatu di Damaskus, Suriah. Ali memproduksi sepatu yang sangat nyaman dipakai. Ribuan sepatu produksinya sengaja dijual dengan harga sangat murah kepada mereka yang berangkat naik haji ke Mekkah. “Agar mereka nyaman dalam beribadah,” alasan Ali. Keuntungan sangat sedikit yang ia dapat lantas ditabung sekepeng demi sekepeng. Apabila sudah cukup, tabungan itu akan dipakai untuk dirinya dan isterinya naik haji.

Namun ketika jumlah uangnya sudah cukup, ia melihat tetangganya, seorang janda miskin, memasak daging keledai tiren (mati kemaren), untuk anak-anaknya. Ali tersentuh. Ia lalu menyerahkan seluruh tabungannya kepada janda itu. Dan sepatunya yang sudah lama dipakaijuga dihibahkan kepada si janda yang setiap hari bekerja tanpa alas kaki. Alhasil Ali bin al-Muffawaq urung naik haji. Meski akhirnya pada puluhan tahun kemudian ia mendapat predikat Haji Mabrur lantaran hatinya sangat mulia.

Hikayat jeding kotor, belik sungai, sabun B29, kos heboh, kebal ular sampai kaki tidak beralas, sudah tertinggal sebagai cerita. Kini Nisan Kristiyanto berjalan di panggung cemerlang, tentu sambil berusaha tidak melupakan riwayat masa silam.

“Tak ada yang pasti kecuali masa lampau,” kata Lucius Annaeus Seneca, filsuf dan negarawan Yunani 65 tahun sebelum Masehi, yang kalimat aslinya tertulis di bagian awal. Maka hikayat seru masa lalu Nisan dipastikan sebagai batu pijakan untuk berlari ke masa depan.

*Agus Dermawan T. Kritikus seni. Penulis buku “Hikayat dari Balik Jerami: Biografi dan Lukisan Nisan Kristiyanto”, 2025.