Kuasa Seni “daripada” Ibu Tien
Oleh Agus Dermawan T.
Raden Ayu Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto, kelahiran 23 Agustus 1923, adalah penyuka seni sejak bocah. Kesukaan ini ditengarai oleh sejumlah orang di seputar keraton Mangkunegaran, Solo, tempat Ibu Tien dulu berlingkup. Kedekatannya dengan seni semakin terjelaskan ketika pada tahun 1943 Ibu Tien duduk sebagai pengurus Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan Jepang) Solo bagian seni rupa dan pertunjukan.
Zaman beralih, seni ternyata tetap lekat dengan hati dan pikirannya. Pada Januari 1968, sepuluh bulan pasca suaminya, Soeharto (kita panggil : Pak Harto), dilantik jadi Presiden, Ibu Tien memanggil pelukis Basoeki Abdullah yang kala itu berada di Thailand. Tujuannya adalah untuk melukis momentum awal dirinya sebagai Ibu Negara. Pak Harto yang dimintai tolong manut, dan lantas menginstruksi Ali Murtopo. Penasehat utama presiden ini lalu mengutus intel Mayor Aloysius Sugiyanto untuk “memburu“ Basoeki dan menjumpai Dutabesar RI di Thailand, BM Diah. Sang duta besar diminta mengapproach agar Basoeki mau pulang sebentar ke Indonesia.
Ibu Tien, Pak Harto dan segenap pembantunya tahu bahwa Basoeki yang sukarnois tak ingin pulang ke Indonesia pasca Presiden Sukarno dilengserkan oleh Orde Baru. Setelah berhasil “ditangkap”, Basoeki lantas diterbangkan ke rumah Jalan Cendana dan diminta untuk melukis Ibu Tien pada Februari 1968.
Tandatangan bikin murka
Ibu Tien sebagai penyuka seni rupa terulang terbuktikan. Pada Juni 1984 Basoeki Abdullah meminta Ibu Tien untuk membuka pameran tunggalnya di Golden Ballroom Hotel Hilton, Jakarta. Lalu dalam pameran itu Ibu Tien amat terpesona lukisan Basoeki yang berobyek sekawanan angsa.
Syahdan pada 26 Desember 1987 perkawinan Ibu Tien dan Pak Harto menjejak tahun ke-40. Dalam rangka perayaan ulang tahun perkawinan itu putera-puteri Ibu Tien, ingin memberikan kejutan. Mereka pun memesan lukisan khusus kepada Basoeki sebagai kado ulang tahun perkawinan. Begitu mendapat pesanan, Basoeki segera teringat kekaguman Ibu Tien kepada lukisan angsanya, di Hotel Hilton dulu. Maka ia pun melukis puluhan angsa di kanvas besar.
Lukisan pun jadi. Namun setelah ditatap lama di studionya, Basoeki merasa bahwa angsa sungguh tidak cocok dengan keluarga Ibu Tien. “Soang (swan, Inggris) itu heboh. Tidak cocok untuk keluarga Ibu Tien yang tak banyak bicara. Merpati lebih cocok. Merpati itu sunyi, tapi terus bermanuver dan matanya tak henti mencari,” kata Basoeki. Lalu puluhan merpati putih pun dilukiskan. Jumlah merpati itu setara dengan jumlah seluruh keluarga Ibu Tien dan Pak Harto. Lukisan “Merpati 40 Tahun” itu dipajang dengan kebanggaan di kediaman Ibu Tien.
Suatu kali siaran televisi menayangkan lukisan yang indah itu. Basoeki yang kebetulan menonton bukan main terkejut! Ternyata di bawah merpati-merpati putih tersebut dicoreti tandatangan dengan sipidol oleh Ibu Tien, Pak Harto, serta segenap anak, mantu dan cucu. Setiap merpati bertandatangan satu nama. Basoeki gusar bukan kepalang. “Itu merusak! Itu vandalisme!” katanya dengan murka. Ia pun menelpon Ibu Tien, yang dianggap sebagai temannya. Tapi tidak diangkat. Berkali-kali telpon diulang, tidak juga diangkat. Tapi Ibu Tien akhirnya merespon, dan minta lukisan itu diperbaiki. Basoeki menolak.
Pada tahun 1993 pengusaha Dewi Motik menggagas pameran besar karya pelukis perempuan. Tujuannya agar para perempuan lebih dipandang kedudukannya dalam dunia seni, dan sekaligus punya peluang ekonomi lewat seni. Ide itu disambut Ibu Tien. Luar biasa, dalam pembukaan pameran “Seratus Wanita Pelukis” di aula Arena Pekan Raya Jakarta tersebut Ibu Tien membawa sebarisan pengusaha, sehingga banyak lukisan yang terpajang tertransaksi dengan ceria.
Meringkus yang seksi
Terhadap seni yang berhubungan dengan perempuan, Ibu Tien memang serius memandang. Tidak hanya dari sisi estetik dan artistik, tapi juga dari aspek etik. Pemahaman seninya yang berangkat dari “mata etik” ini sering membuat pengelola koleksi seni di Istana Kepresidenan deg-degan. Lalu guncangan itu pun terjadi.
Pada tengah 1980-an Ibu Tien meminta agar Istana Presiden di Jakarta, Bogor, Cipanas,Yogyakarta sampai Tampaksiring tidak memajang lukisan wanita nude atau wanita yang bergaya-gaya seksi. “Biasakan mata kita melihat yang santun-santun. Jangan lupa, kita punya busana ulee ballang untuk wanita Aceh, kebaya laboh untuk Riau, baju bodo untuk Bugis, ciongsam untuk wanita Cina, klederdracht untuk orang Belanda,“ kata Ibu Tien yang selalu berkebaya Jawa. Dengan kata lain, wanita yang lepas busana bukan di Istana Presiden tempatnya.
Lalu semua lukisan yang bertema itu segera diringkus dan dimasukkan dalam kamar khusus di Istana Bogor. Tertutup bagi umum, tapi terbuka dengan ijin spesial bagi yang ingin mengintip!
Hebatnya, sampai 27 tahun semenjak ia pergi – Ibu Tien wafat pada 28 April 1996 – puluhan lukisan bertema itu tetap terkurung dalam kamar sunyi. Maka meringkuklah lukisan-lukisan ciamik karya pelukis ternama, dari Giovanetti, Garcia Llamas, Lim Wasim, Maffolani, Joan Talwinski, Tito Corbella sampai William Russel Flint!
Pada suatu kali saya bertemu dengan Daoed Joesoef di Gedung CSIS (Center Strategic and International Studies) Jakarta, dan selintas mempercakapkan kebijakan Ibu Tien itu. Tokoh yang pernah menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut menduga, bahwa pandangan Ibu Tien atas seni disandarkan pada ucapan Arthur Schopenhauer. Filsuf Jerman itu berkata : “Perlakukanlah sebuah karya seni seperti seorang pangeran. Biarkan seni itu berbicara kepada Anda. Tapi jangan dengarkan apabila ia bicara tidak senonoh.” Daoed Joesoef yang anti miss-missan, memang sejalan pikiran dengan Ibu Tien.
Pengarahan budaya Ibu Tien ini diam-diam menjadi ketetapan baku bagi penghelat kesenian di mana pun di Indonesia. Aparat pemerintah selalu rajin melarang hadirnya karya yang bertema aksi seksi di acara apa pun. Tapi kuasa seni “daripada” Ibu Tien ini (meminjam frasa khas Pak Harto), memang sudah terasa pada jauh hari sebelumnya.
Pada 1977 Redha Sorana melukis Ibu Tien sedang tersenyum (misterius) di kursi singgasananya, dengan tubuh merujuk lukisan Monalisa Leonardo da Vinci. Lukisan itu digelar dalam Pameran Pipa (Kepribadian Apa) di Galeri Senisono, Yogyakarta. Namun karya yang tak ada unsur seksinya itu dilarang dipajang oleh aparat kepolisian. Alasannya, sosok dan senyum (misterius) Ibu Tien dilarang diparodikan! Beberapa hari setelah pembukaan, pameran itu ditutup.
Pada tahun 1992 Li Shuji, seorang pelukis potret dari Tiongkok, datang ke Indonesia. Atas sponsor pengusaha Tong Djoe, seniman ini melukis para tokoh di Indonesia, termasuk Ibu Tien dan Pak Harto. Namun selain melukis potret, Li Shuji juga mahir melukis wanita telanjang. Ketika lukisannya sudah banyak, ia berhasrat menerbitkan buku. Lantaran Ibu Tien suka dengan karya Li Shuji, maka buku diberi sambutan Ibu Tien. Li Shuji tidak menduga, ternyata gubahan wanita telanjang yang jadi salah satu kekuatan seni lukisnya, dilarang masuk buku. Akhirnya lukisan wanita telanjangnya dikumpulkan dalam kitab tersendiri yang diedarkan secara diam-diam.
Guernica dalam koper
Pandangan seni rupa Ibu Tien ini diketahui oleh berbagai kalangan. Bahkan oleh Juan Carlos I, Raja Spanyol. Maka ketika Juan Carlos I berkunjung ke Indonesia, ia membawa cendera mata amat berharga untuk Ibu Tien. Yakni puluhan litografi limited edition karya Pablo Picasso, seniman terbesar abad 20. Karya itu berupa aneka drawing dari peristiwa perang saudara di Spanyol. Serenteng gambar yang kemudian oleh Picasso dikompilasi dalam lukisan legendaris Guernica (349 x 777 cm), yang kini terpajang sebagai ikon di Museum Reina Sofia, Madrid. Serial gambar itu disimpan oleh ibu Tien dalam sebuah koper.
Pada medio 1995 Siti Hediati Soeharto atau Titiek mulai membangun Graha Lukisan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Dalam graha itu akan dipajang ratusan koleksi seni keluarga Pak Harto, termasuk serial karya Picasso koleksi Ibu Tien itu. Namun koleksi itu ternyata ketlingsut! Untung akhirnya – setelah berminggu-minggu – sang Guernica diketemukan dalam selipan sebuah koper.
Ibu Tien adalah puteri dari Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sumohardjono. Ibunya, Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo merupakan keturunan Mangkunegara III dari garis ibu. Menyimak lingkaran Mangkunegaran yang sarat kebudayaan, tak heran jika Ibu Tien dekat dengan seni. Tapi Ibu Tien agaknya lupa untuk terus berguncang riang dengan seni rupa, sehingga ia nyaris tidak dibicarakan dalam wacana seni rupa Indonesia. Namun demikian Ibu Tien nyata juga punya peristiwa, dan sekaligus mencipta peristiwa. Meski kadang cipta peristiwanya bikin banyak orang pening kepala.*
*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis Buku-buku Budaya dan Seni.