Kontroversi Kreasi Seni ARTIFICIAL INTELLIGENCE

Oleh Agus Dermawan T.

Perkembangan teknologi mengantar semua orang ke era AI atau Artificial Intelligence. Karya seni pun digubah dengan AI. Banyak seniman manusia yang protes, karena konon AI yang “suka mencuri” acap menihilkan soal copyright.

—————-

PADA 20 Februari sampai 5 Maret 2025 Kota New York menggelar 34 lukisan, gambar dan patung karya AI, atau Artificial Intelligence, atau Akal Imitasi. Pagelaran berjudul “Augmented Intelligence” ini menarik, lantaran karya-karya tersebut menunjukkan betapa inovasi teknologi akhirnya bisa mencipta karya seni dengan estetisme maksimal. Sehingga pameran bisa dibilang sebagai petunjuk paling mutakhir pencapaian AI dalam seni visual.

Namun pertunjukan itu menjadi masalah ketika diketahui bahwa yang menggelar adalah Christie’s. Semua faham bahwa Christie’s adalah lembaga biro lelang, yang tentu akan melego kreasi AI tersebut dalam transaksi. Lelang online itu dieksekusi pada 5 Maret 2025.

Gagasan melelang karya-karya tersebut mendapat penolakan dari sangat banyak seniman. Mereka memprotes ketika ditengarai bahwa dalam jajaran karya itu banyak yang merupakan modifikasi, stilisasi dan reka estetika dari karya seni para maestro seniman manusia, yang dicipta jauh kurun di belakang. Dengan teknologi canggih para pengendali AI dianggap mengutak-utik karya seni manual sebelumnya, sehingga menjadi seni rupa yang seolah orisinal miliknya. 

Lukisan Artificial Intelligence dalam pameran Christie’s, New York. Terjual mahal. (Foto : Christie’s)

Sedangkan “peminjaman visual” karya lama itu dianggap tidak disertai dengan ijin. Bahkan setelahnya juga tidak ada tindakan memberi kompensasi atau royalti kepada pencipta awal. Maka pagelaran itu dianggap sebagai pelanggaran etika penciptaan seni rupa. Dan disebut sebagai demonstrasi pencurian massal atas ide dan hak cipta.

Media online Cryptotimes, yang biasa membahas soal kripto, merespon kegelisahan seniman. Dicatat bahwa protes tak hanya datang dari para seniman selingkup Amerika, tetapi juga dari seluruh dunia. Sehingga sampai sebelum acara lelang dilakukan, sudah ada 6.490 seniman menanda tangani surat gugatan. Apalagi publik membaca bahwa karya-karya AI tersebut dilelang dengan harga antara 10.000 sampai 250.000 dolar Amerika. Harga yang dianggap terlampau ohoy untuk karya teknologi. Padahal karya-karya tersebut bisa diterbitkan dalam jumlah ganda. Tidak seperti seni rupa manual yang pada hakikatnya tercipta secara tunggal saja. (Suatu faktor yang menyebabkan karya seni rupa manual mahal harganya).

Namun Jessica Stanley dari Christie’s menolak semua gugatan. Ia mengatakan bahwa para seniman AI yang karyanya dilelang memiliki reputasi dalam praktik, etika dan eksekusi karya, sehingga diakui berbagai museum utama di dunia. “Para pengendali teknologi AI berpraktik seni dengan multidisiplin yang kuat. Semua ciptaannya dapat dipertanggungjawabkan secara hak cipta.” Ia juga berkata bahwa sangat banyak karya seni yang diinspirasi dan dipengaruhi oleh karya seni besar sebelumnya. Begitu juga karya seni rupa AI. Atas inspirasi dan pengaruh itu tentu AI tidak perlu membayar royalti. 

Ed Newton Rex membela Christie’s. Pendiri organisasi nirlaba Fairly Trained ini mengatakan bahwa ciptaan AI itu bisa dibilang orisinal dan bisa bersaing langsung dengan ciptaan manusia. “Persaingan kuat ini jelas membawa para seniman manusia menjadi menderita karenanya,” tulisnya. Ia berkata, apabila ada unsur-unsur “seni manusia” yang masuk dalam karya seni visual AI, itu dianggapnya wajar. Bukankah perupa manual juga boleh terinspirasi dan bahkan dipengaruhi seni orang lain? Misalnya, kubisme Picasso diinspirasi seni patung Afrika. Dengan begitu, katanya, dilema etika dalam penciptaan seni visual AI – setidaknya seperti yang digelar Christie’s – tidak perlu dipersoalkan lagi. Diketahui, Fairly Trained adalah penyertifikasi keabsahan praktik data dan hak cipta yang dilakukan perusahaan AI.

Kreasi seni video dan patung Artificial Intelligence dalam pameran Christie’s, New York. (Sumber : Associated Press).

Seni gambar Artificial Intelligence yang dilelang di Christie’s New York pada 5 Maret 2025, dan dituduh meminjam unsur-unsur lukisan manusia. (Sumber: Christie’s)

Maka lelang itu pun terus berjalan. Dari 34 karya, 20 yang terjual dengan harga menawan. Machine Hallucinations-ISS Dreams-A, kreasi seniman digital ternama Refik Anadol, terbayar 277.200 dolar. Sementara 14 yang lain terjual dengan nominal pas-pasan. Christie’s melaporkan, pendapatan total lelang “coba-coba tapi serius” ini 728.794 dolar.

Penolakan para perupa ini mengingatkan kepada protes ratusan penulis naskah film di Hollywood. Mereka mememinta agar para produser film tidak menggunakan AI dalam menggubah cerita dan skenario. “Jika AI berperan, nasib para penulis film akan amsiong,” seru mereka.

Kreasi AI-Da Robot di Sotheby’s

Christie’s sebenarnya pernah memamerkan dan melelang beberapa kreasi AI pada 2018. Tampilan itu tidak dipermasalahkan, lantaran karya itu dianggap tidak memunguti unsur visual ikonik lukisan manual manusia. Biro lelang Soyheby’s New York juga melelang kreasi AI pada 31 Oktober 2024. Karya visual dua dimensi itu berjudul AI. God. Portrait of Allan Turing, 2024. Yang mencipta adalah AI-Da Robot, yang digagas dan dikendalikan oleh Aidan Meller, pemilik galeri di Inggris. 

Karya itu berobyek wajah Alan Turing, ahli matematik Inggris dan cryptanalyst (kriptoanalis, pemecah kode) Perang Dunia II. Turing dikenang sebagai pencipta komputer, cikal-bakal AI. Kegeniusan Turing ini dianggap membahayakan oleh sebagian pihak, sehingga ia lantas dicari-carikan perkara. Ia pun dijerat kasus homoseksual tahun 1952, dan lantas dihukum dengan dua pilihan: di penjara atau dikebiri secara kimia. Ia memilih dikebiri. Dua tahun kemudian Turing diketahui meninggal karena racun sianida. Diduga ia bunuh diri. Kehebatan, kesedihan dan tragedi Turing itulah yang digambarkan oleh AI-Da Robot. 

Dalam kreasi AI.Da Robot, Turing digubah dalam dua panil. Wajah dan tengkorak Allan Turing digambarkan tetap bercahaya, meski secara fisik sudah keropos akibat digerus zaman, dan diobok-obok moralitas semu peradaban. 

Kreasi AI-Da Robot, “AI. God. Portrait of Allan Turing”. (Sumber: Sotheby’s)

Gambar AI. God. Portrait of Allan Turing dilelang dengan harga US120.000-180.000. Pada ujung lelang karya ini terbayar US$1.320.000, atau setara dengan Rp21 milyar. Sotheby’s menerima uang kripto untuk pembayarannya. Uang itu oleh Meller disalurkan untuk proyek AI selanjutnya. Sebelum dilelang karya ini sesungguhnya sudah populer, lantaran telah dipamerkan di Jenewa dalam The AI for Good Global Summit 2023

Lelang kreasi AI di Sotheby’s berjalan mulus dan bahkan menerima pujian. Faktornya bisa diraba. Lukisan AI. God. Portrait of Allan Turing dianggap tidak meminjam dan mengusik hak cipta seniman lain. Karya visual itu digubah secara orisinal, dengan elemen-elemen yang juga “milik sendiri”. 

 (Jenis karya ini mengingatkan saya kepada seni visual AI gubahan pengamat sospolbud Denny JA, yang memberangkatkan idenya dari orisinalitas puisi-esai ciptaannya. Walau ada kalanya mesin AI tidak menuruti hasrat orisinalitasnya, sehingga Denny harus mengulang dan mengulang lagi instruksinya.)

Lukisan Artificial Intelligence karya Denny JA, yang diberangkatkan dari puisi-esainya. (Sumber: Agus Dermawan T)

Karya seni AI.Da Robot itu oleh Meller disebutnya sebagai “Duchampian”. Sebutan Duchamp diambil dari Marcel Duchamp, seniman yang memelopori penolakan atas tradisi melihat seni dengan mata yang umum. Duchamp lewat gerakan Dadaisme pada 1916, mempublikasikan karya seni rupa yang brutal, nihilis, jauh dari keindahan, dan di luar konvensi. Dada bisa memposisikan onderdil kloset sebagai karya seni! 

Gen AI atau AI Generatif – pencipta konten (visual, cerita, musik, dan lain-lain) – memang bekerja berdasarkan pemrograman otomatik. Sehingga ia bisa seenaknya mencomot elemen karya-karya yang sudah ada, untuk dikompilasi dalam suatu narasi. Dengan begitu sangat besar kemungkinannya ia mengabaikan copyright, yang apabila tidak dikendalikan, akan berpotensi jadi perkara.

Contohnya, pada 2022 Charlie Warzel menerbitkan edisi newsletter di media Atlantic dengan gambar sampul hasil AI. Atas penerbitan sampul ini sangat banyak orang yang kecewa. Apalagi setelah ditelaah bahwa subyek yang diilustrasikan adalah Alex Jones, penyiar radio, pembuat film dokumenter dan tokoh teori konspirasi terkemuka Amerika. Jones sendiri juga gondok ketika tahu betapa wajahnya sekonyong-konyong diotomatisasi dan direkayasa mesin. Kekecewaan semacam juga diluapkan oleh Matt Borrs, kartunis ternama. “AI yang tanpa etika jelas menyepelekan tenaga dan perasaan ilustrator,” katanya. Ia pun mendukung kampanye “Say No to AI Art!” di berbagai platform media sosial.

Tapi teknologi luar biasa ini sudah ditemukan, dan sudah terlanjur berputar-putar di semua penjuru lapangan. Siapa pun harus menerima. Sebagai hasil kemajuan, sekaligus sebagai tantangan.

Watak dan rasa seni

Seni dan teknologi memang sering bersekutu, namun tidak jarang berseteru. Kita tahu, praktik seni rupa dengan menggunakan teknologi sudah lama dilakukan di Indonesia. Bahkan jauh sebelum kecerdasan buatan AI merasuki dunia cipta seni. Mari mengambil contoh di sektor pelukisan potret.

Pada mulanya pelukis potret membuat bagan lukisan dengan sketsa goresan tangan, setelah menghadapi langsung modelnya. Pada kemudian hari (sebagian) pelukis memotret dulu model itu dengan slide. Lalu slide   diproyeksikan ke kanvas dengan proyektor. Dari proyeksi itu pelukis membuat pola lukisan. Ketika dunia fotografi menemukan teknologi digital dan reproduksi digital, foto yang dibikin lantas dicetak di kanvas lukisan. Pelukis tinggal menimpali kanvas berfoto itu dengan cat, sehingga karya pun sah sebagai lukisan.

Digitalisasi sketsa dan pola ini juga digunakan untuk mencipta lukisan non potret. Di situ pelukis bisa mengaplikasi segala obyek yang dikehendaki, untuk diterapkan dalam komposisi, dengan metoda photoshop. Apabila hasil aplikasi photoshop sesuai dengan ide, maka gambar itu dicetak di kanvas lukisan. Untuk selanjutnya diikuti alurnya dengan sapuan cat. 

(Kita ingat, enam lukisan biografis yang menggambarkan enam Presiden Republik Indonesia – yang kini ada di Istana Kepresidenan – sebagian juga digubah dengan metoda itu. Lantaran sebelum sampai kepada proses pelukisan, pihak Istana harus melihat dan menyetujui dulu konsep visualnya dan konten biografisnya.)

Bahkan dalam wacana seni rupa kontemporer hasil cetak digital acap diangkat sebagai hasil akhir. Seniman kontemporer menganggap bahwa menggubah bentuk, garis, warna, narasi dan komposisi di dalam praktik digital sudah bisa dikategorikan sebagai penciptaan seni final.

Walaupun harus diakui, seni visual yang dicipta dengan bantuan teknologi digital, dan selanjutnya dengan AI, menyingkirkan karakter dan roso (perasaan, emosi) seniman dalam ciptaan. Kita tahu, karakter dan roso ini adalah ruh yang otomatis menjelma dalam karya. Dunia lukisan potret (dan sosok manusia) bisa diangkat sebagai contoh. 

Lukisan cat minyak karya Dede Eri Supria. Watak dan rasa semua aspeknya sulit diimitasi mesin Artificial Intelligence. (Sumber: Agus Dermawan T).

Basoeki Abdullah selalu mempercantik modelnya. Sudjojono selalu menjadikan model berwajah liat dan jauh dari rasa girang. Dullah dan Dede Eri Supria selalu mendudukkan siapa saja jadi rakyat jelata. Ronald Manulang dan Robby Lulianto selalu menghadirkan model sehalus porselen. Rudolf Bonnet melukis siapa saja dengan tubuh jangkung, seperti dirinya. Sebaliknya, pelukis bertubuh pendek akan melukis modelnya dengan sosok cenderung kunthet. 

Sampai sejauh ini masih dipertanyakan, bisakah AI mempresentasikan garis-garis emosional Affandi. Mampukah meniru sapuan liris Srihadi Soedarsono. Bisakah menggambarkan pemujaan puitis atas perempuan bagai yang digambarkan Hendra Gunawan.

Sementara itu pengetahuan dan penghayatan seniman atas watak, sifat serta perilaku si model, menjadi bagian dari denyut nafas lukisan yang diciptakan. Dunia-dalam atau inner life yang menyurat dalam ciptaan manual ini menjadikan karya seni memiliki dua kekuatan sekaligus. (Pertama) jiwa-rasa seniman yang melukiskan, dan (kedua) karakter model yang dilukiskan. Sedangkan dalam karya yang total dibantu digital, bahkan dalam karya yang berbasis AI, pantulan karakter dan jiwa-rasa itu belum ditemukan. 

Kita akhirnya jadi faham, mengapa karya seni manual dianggap lebih memiliki nilai dibanding karya yang dibikin oleh mesin atau kecerdasan buatan. Kita akhirnya tahu, mengapa harga tinggi seni AI di Christie’s – yang melebihi harga karya manual – digugat banyak seniman. 

Ujung kalam, sejauh mana kreasi AI itu kelak bisa mengalahkan kedalaman jiwa-rasa lukisan manual seniman, zamanlah yang akan menentukan. ***

*Agus Dermawan T. Penulis buku “Memorabilia” (2025). Penerima Anugerah Budaya Sultan Hamengku Buwono X, 2024.