I Dewa Putu Sena dan Tsunami Flora Fauna 

Oleh Agus Dermawan T.*

Seni lukis Bali bertema flora dan fauna gaya Pengosekan sangat fenomenal, dan mendunia. Karya pelopornya, I Dewa Putu Sena, dipamerkan secara khusus sampai akhir Agustus 2025.

—————

SYAHDAN tahun 2003 sampai beberapa tahun setelahnya, di berbagai penjuru Bali, seni lukis abstrak terpajang di mana-mana. Jenis seni lukis ini hadir merajalela di ratusan art shop dan galeri. Dalam sejarah seni rupa Bali, inilah pemandangan yang seumur-umur belum pernah tertemui.

Seni lukis abstrak Bali ini dalam presentasinya mengandalkan warna, nuansa goresan dan komposisi bidang. Mereka yang suka menyimak sejarah seni rupa akan melihat karya itu sebagai penerusan dari colorfield painting sampai abstrak ekspresionis modern Barat. Karya-karya yang enteng itu sebagian tampil menyenangkan, lantaran dikerjakan dengan harmoni dan kaidah-kaidah teknik yang memadai.

Gelombang abstrak tersebut bisa disaksikan di jajaran art shop dan galeri. Mungkin tak pernah terbayangkan, bagaimana sebuah kios art shop berukuran 3 x 5 meter memajang 80 lukisan abstrak, dengan sebagian besar ditata tumpuk-berdiri di lantai. Dan puluhan yang lain digantung rapat di dinding, serta sebagian diberdirikan di anak-anak tangga kios sampai membludak ke luar, di tepian jalan.

Pelukis Bali sedang melukis abstrak, untuk dipasarkan ke segenap artshop di Bali, 2003. (Sumber: Agus Dermawan T).

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kala itu seni lukis abstrak mendominasi dunia seni lukis Bali? Jawaban yang paling utama adalah: lantaran abstrak sedang menjadi trend bisnis seni lukis. Dan trend itu – yang menguburkan seni lukis tradisional – dibentuk oleh suatu keadaan.

Alkisah, usai kebiadaban “Bom Bali I 2002”, dan “Bom Bali II 2005” – banyak turis internasional kelas atas tidak berani datang ke Bali. Namun pada masa paceklik ini tidak semua turis asing takut datang ke Pulau Dewata. Para turis kelas menengah-sedikit bawah, yang biasa disebut “backpacker tourist”, pelan-pelan menyelinap ke Bali dan bertamasya. Untuk menandai perjalanan, mereka (tetap) membutuhkan suvenir. Dan  lantaran mereka turis kelas menengah-sedikit bawah, suvenir yang dicari kudu berharga relatif murah. Lalu lahirkan karya-karya abstrak, yang dikerjakan dalam waktu cepat, sehingga berharga rendah. Tak terduga lukisan jenis ini ternyata sangat disukai banyak pendatang.

Larisnya seni lukis jenis ini bisa dilacak lewat data yang dikeluarkan oleh IFC (International Finance Corporation), lembaga milik World Bank Group, yang missinya membantu pemasaran benda seni dan kerajinan negara-negara berkembang. Dalam katalog edisi Summer 2006, diceritakan bahwa studio milik Abdullah, yang dalam sebulan mampu menjual 1.000 lukisan abstrak. Di studio yang terletak di Desa Batu Bulan itu bekerja lebih dari 70 pelukis. Celakanya, sebagian besar pelukis itu tadinya adalah pelukis tradisional Bali. 

Melawan dari Pengosekan

Namun jangan terpiuh oleh yang kelihatan di permukaan. Di tengah longsornya produktivitas pelukis tradisional di sekujur Bali, ada komunitas seni lukis Bali yang tak tergoyahkan oleh keadaan. Dan itu adalah kelompok pelukis Pengosekan (dusun di wilayah Ubud), yang khusus menggarap tema flora dan fauna. Dalam situasi darurat ratusan pelukis dari kelompok ini terus mencipta lukisan sesuai dengan tema dan gaya yang sejak awal dianutnya. 

Lukisan I Dewa Putu Sena, “Burung Hantu Menjaga Pohon Pisang”. (Foto: Agus Dermawan T)

“Saya tidak takut kepada bom. Saya tidak kawatir turunnya level turis. Saya hanya takut apabila lukisan gaya Pengosekan hilang dari peredaran,” kata Nyoman Laba, seniman Pengosekan, sambil tangannya membuat kontur di helai daun kamboja dalam lukisannya.

Tema dan gaya lukisan Pengosekan memang sangat populer sejak tahun 1980-an. Lukisan gaya ini terpapar dalam visual teduh dan familiar.  Di kanvas yang umumnya luas, berbagai pohon lengkap dengan rimbun daunnya digambarkan dengan realistik. Tidak seperti lukisan tradisional yang mengejar detil obyek dalam pola yang ngrumit, lukisan gaya Pengosekan membesarkan obyek, sehingga gampang tertangkap indra mata. 

Maka daun kamboja yang datar, daun pisang yang luwes, daun dardar yang bergerigi, daun pohon mangga yang kaku meliuk, digambarkan secara apa adanya. Sementara kondisi yang dipilih (tentu saja) kala pohon itu subur. Lalu di sela-sela dedaunan yang ditunjang ranting dan batang itu hinggap aneka burung – dari emprit, jalakbali, bangau, murai batu sampai kepodang. Burung-burung itu digambarkan secara naturalistik, dengan warni-warna yang menyenangkan mata. Walaupun, untuk mencapai sifat dekorasional, warna naturalistik itu direduksi, sehingga berada dalam lingkup warna pastel. Spektrum warna yang sangat akrab bagi siapa saja, dan bikin ayem, happy.

Lukisan gaya Pengosekan ini dikerjakan dengan pola sederhana. Pengerjaannya tidak mengandalkan sunggingan yang detil. Sementara dalam sosialisasinya tidak mengandalkan nama pelukis. Faktor-faktor itu menghantarkan lukisan flora-fauna Pengosekan terdistribusi sebagai seni affordable, terjangkau, alias “murah”. Dengan begitu pencinta seni Indonesia di berbagai lapisan menyukainya. 

Kita bisa melihat, istilah kata, rumah atau kantor mana di Indonesia yang tidak memajang lukisan flora-fauna Pengosekan, walau hanya selembar? Tidak itu saja, para turis di seluruh dunia juga menyukai. Bahkan tidak sedikit yang kulakan lukisan gaya Pengosekan untuk dijual di negerinya, seperti di Amerika, Belanda, Swiss, Prancis, Australia. 

Itu sebabnya, ketika Bali masih dicekam trauma bom, lukisan flora-fauna gaya Pengosekan tetap menjadi tulang punggung kehidupan warga Pengosekan. Dalam lima tahun, ribuan lukisan Pengosekan terbang ke mancanegara. Realitas ini bikin Desa Pengosekan jauh dari pailit. (Fenomena ini mengingatkan sejarah kepada terobosan bisnis lukisan aliran Young Artist dari Penestanan, asuhan Arie Smit, yang menolong ekonomi desa saat krisis akibat letusan Gunung Agung, 1963).

Di balik pembicaraan, kita lalu bertanya, siapa penggagas lukisan flora-fauna Pengsosekan yang fenomenal ini? Jawabnya, I Dewa Putu Sena, kelahiran Pengosekan 1943, dan wafat pada 2024.

Sang dewa flora-fauna

Di ARMA (Agung Rai Museum of Art), Pengosekan, Ubud, pada 20 Juli sampai akhir Agustus 2025 tergelar pameran lukisan Sena, sang dewa lukisan flora-fauna Pengosekan itu. Pameran yang dikuratori I Made Susanta Dwitanaya ini dibuka oleh Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha. Juluk pamerannya, “Tribute to I Dewa Putu Sena”.

I Dewa Putu Sena (1943-2024), penggagas aliran besar seni lukis flora-fauna Pengosekan. (Foto: Agus Dermawan T)

Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha saat pembukaan pameran “Tribute to I Dewa Putu Sena” di ARMA, Ubud, Bali. (Foto: Dokumen).

Sena memang layak ditribut, karena ia pelukis yang berani keluar dari pakem lukisan Pengosekan yang lama ditokohi (pelukis wayang) I Gusti Ketut Kobot, pelukis (simbol tradisi) I Dewa Nyoman Batuan, dan pelukis (figur bernarasi) I Dewa Putu Mokoh. Sena mencelat dari dominasi ketiga kampiun itu. Sehingga karya Sena menjadi warna spesial dalam Community of Pengosekan Artist yang didirikan 1970.

“Akar dari pemahaman saya tentang flora fauna ditumbuhkan dari ujaran Rudolf Bonnet, pendiri Pita Maha. Tuan Bonnet mengatakan bahwa, pelukis Bali tidak harus menggambarkan upacara religi, aktivitas ritual dan segala hal yang beraroma tradisi. Karena alam dan seluruh isi adalah juga obyek menarik sekali.”

Sena mencoba memahami itu dalam waktu lama. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Alexander Goetz, orang Jerman yang jadi sahabatnya. Sena dan Goetz sering bepergian ke tempat-tempat jauh untuk menghayati alam Bali. Sampai pada suatu kali Goetz memesan banyak lukisan kepada Sena, untuk kebutuhan dekorasi interior seorang temannya di Amerika. Lukisan yang dipesan diharapkan berbeda dengan langgam lukisan Bali yang biasanya. Dari situ Sena ingat kata-kata Bonnet, dan ingat jejak-jejak perjalanannya menelusuri alam bersama Goetz. Muncullah lukisan-lukisan flora-fauna I Dewa Putu Sena.

Lebih dari 20 karya Sena ditampilkan dalam pameran. Semua karya itu menunjukkan kebebasannya dalam melihat keluasan alam, dan kejeliannya dalam menatap lingkungan. Ia melukis burung hantu terngungun di sela-sela pohon pisang. Melukis gelatik dan kakatua di rumpun pohon jagung. Melukis burung kutilang dan kupu-kupu di rimbun daun labu. Melukis laba-laba dan sarangnya di pojok ladang. Ia juga melukis ayam jantan, ayam betina dan segenap anaknya di pekarangan. 

Lukisan I Dewa Putu Sena, “Burung-burung dan Pohon Labu”. (Foto: Agus Dermawan T)

Lukisan I Dewa Putu Sena, “Keluarga Ayam”. (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan-lukisan Sena tergubah dalam detil mempesona, namun tidak ngrumit seperti lukisan tradisional. Komposisinya padat, namun menyisakan ruang, dan menghadirkan dimensi. Gaya dan tema lukisan ini lalu ia ajarkan kepada segenap pelukis muda di Dusun Pengosekan. Dalam waktu singkat, pengikutnya sangat banyak. 

Karya para pengikut itu, seperti tsunami, lantas merangsek publik dalam berbagai kualitas. Ada yang istimewa. Ada yang sedang-sedang saja. Tidak sedikit yang berlevel pasar dengan pengerjaannya ala pengrajin, sehingga hadir sebagai produk industri. Maka lukisan Pengosekan pun jadi aliran seni sangat besar dengan distribusi amat meluas. Sementara gayanya yang memanjakan “kaum awam”, menjunjung lukisan flora-fauna Pengosekan tak pernah tergerus oleh zaman, sampai sekarang. 

Yang menarik, bentuk flora-fauna lukisan Pengosekan ini sejak tahun 1990-an merembeskan pengaruh besar kepada beberapa sektor seni rupa di Bali. Di antaranya kepada kerajinan batu padas yang berkembang di Dusun Singapadu, Sukawati, Bali. Kita tahu, kerajinan batu padas ini menampilkan pahatan flora fauna ala lukisan Pengosekan sebagai ornamennya. Dan banyak orang yang menyadari, betapa batu padas berpahat ini dipakai sebagai penghias interior ribuan rumah, villa dan hotel. Di Bali, Indonesia dan di seluruh dunia, sampai hari ini! ***

*Agus Dermawan T. Penyusun buku “Lexicon of 200 Years Balinese Traditional Painters”.