Arie Smit: Mencari “Teja Jegeg”, Ketemu Bebek!

(Bagian Pertama)

Oleh Agus Dermawan T.

Pada 19 Juli sampai 19 Agustus 2025 di Neka Art Museum, Ubud, Bali, terselenggara pameran lukisan “Poetic Light” karya Arie Smit almarhum. Pameran yang diinisiasi Pande Made Kardi Suteja ini dibuka oleh Marc Gerritson, Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste. Pameran yang menjunjung Arie Smit ke ketinggian pengakuan. 

—————

ADRIANUS WILHELMUS SMIT alias Arie Smit lahir di Zaandam, Belanda, pada 15 April 1916, sebagai anak keluarga kaya pemilik Smit Expeditie, perusahaan yang mengoperasikan kapal dan truk. Namun, alih-alih jadi pengusaha, Arie malah memilih jadi seniman. Oleh karena itu ia menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Rotterdam. Kuliah ini terhenti ketika Pemerintah Belanda memerintahkan dirinya menjalani wajib militer pada 1938. Untuk kemudian “memaksa”nya berangkat ke Hindia Belanda dengan seragam serdadu KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger). Ia pun melaut selama sebulan penuh di atas kapal “Baloeran” milik Rotterdamsche Lloyd.

Di Hindia Belanda serdadu Arie digiring ke Bandung. Tak lama di sana, ia lalu dipindah ke Batavia. Di kota besar ini ia diposisikan sebagai penggambar di Topograpische Dients (Jawatan Topografi). Itu sebabnya, meski ia beseragam militer, pekerjaannya tidak memainkan bedil. “Saya ini tentara chromolithograph..,” ujarnya.

Arie Smit muda duduk dan merokok, bersama para saudaranya, di Belanda. (Sumber: Arie Smit)

Foto dokumentasi tiket dan kapal penumpang “Baloeran” yang membawa Arie Smit dari Rotterdam ke Batavia, 8 Juni 1938.  (Sumber: Buku Arie Smit – Lucienne Smit)an T).

Ketika Jepang menjajah Indonesia tahun 1942, Arie ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Malang. Ya, penjara yang beberapa tahun sebelumnya dibangun oleh Arie sendiri, bersama kawan-kawannya. Setelah disiksa tak berkesudahan, pada bulan-bulan kemudian ia dikirim ke Burma. Di sini Arie kerja rodi membangun jembatan di Sungai Kwai. Sejalur jembatan mengerikan, yang lantas diabadikan dalam film berkelas Oscar,  The Bridge on the River Kwai besutan sutradara David Lean 1957.

“Kalau kamu lihat film itu, di situ ada saya. Kurus kering, sangat kurang makan,” kisah Arie dengan sedih.

Indonesia merdeka pada 1945. Pada masa ini Arie yang sudah keluar dari bui memilih tinggal di Jakarta. Kemudian hijrah ke Bandung lagi untuk mengajar seni grafis di De Technische Hoogeschool te Bandung, perguruan yang kelak berganti nama jadi Institut Teknologi Bandung. Arie juga sempat bekerja di percetakan A.C. Nix serta membantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana dalam melay-out buku-buku yang akan diterbitkan. 

Ketika pemerintah Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia pada 1949, Arie memilih tinggal di Indonesia. “Sejak datang pertama kali, saya sudah cinta Indonesia. Jadi jangan usir saya,” alasannya. Setahun kemudian Franz Bodmer mengajak Arie jadi warga negara Indonesia. Ajakan yang menyentak hati itu ternyata datang dari Presiden Sukarno, karena Bodmer adalah salah satu fotografer keluarga dan Istana Presiden. 

Lukisan cat air Arie Smit, “Rumah-rumah di Tjideng, Batavia”, 1947. (Sumber: Agus Dermawan T).

Mencari cahaya, ketemu bebek

Tahun 1956 Arie merayap ke Bali bersama pelukis Auke Sonnega. Bali yang dipersepsi sebagai sorga ternyata sedang kusut karena gangguan pemberontak yang tak puas dengan pemerintah pusat. Di antara bayangan pemberontak, di matanya berseliang-seliung ratusan tentara RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Arie yang pernah jadi tentara, ternyata merasa takut dan terancam juga. 

“Kalau begini, cukup dua bulan saja saya hidup di Bali. Saya akan balik ke Bandung!” katanya. Anehnya, keinginan pergi dari Bali itu tak pernah terealisasi sepanjang hayat. 

Perjalanan ke pelosok-pelosok Bali pun dilakukan. Kertas, kanvas dan alat lukis tak pernah lepas dari tangan. Pulau Dewata – dari kaja ke kelod, dari utara ke selatan, atau dari gunung ke laut, ia gambarkan. Sambil melukis, Arie menyambi sebagai karyawan. Ia bahkan pernah bekerja sebagai “pemburu benda seni” untuk Pandy Gallery milik James Pandy di Sanur, Bali. Sebelum “jabatan”nya digantikan oleh pelukis Srihadi Soedarsono.

Tahun terus berjalan. Syahdan pada tahun 1959 Arie melihat kemiskinan di dusun Penestanan, Ubud. Anak-anak yang berusia 10 sampai 14 tahun itu tidak sekolah, dan setiap hari hanya mengangon (menggembala) bebek. Arie tergerak untuk mengentaskan kemiskinan itu. Tahun 1960 ia mengajak sejumlah anak untuk jadi pelukis. Namun ajakan manis dan prospektif itu tidak menggugah kesadaran warga Dusun Penestanan. Para ayah dari anak-anak itu bahkan menolak ajakan Arie. 

“Siapa yang mengangon bebek-bebek itu, apabila anak-anak semua melukis?” Atas keluhan itu Arie mengatur cara. Para ayah itu diminta mengangon, menggantikan anak-anaknya. Dan para ayah itu “digaji” oleh Arie. Bahkan ketika bebek-bebek itu bertelur, semua telurnya dibeli oleh Arie. Dengan begitu, kehidupan keluarga ayah dan anak-anak itu terjamin.

Ketika bujukan angon bebek itu berhasil di dusun sini, Arie melakukan ekspansi untuk melakukan bujukan di dusun sana. Sampai akhirnya Arie mendapat murid melukis cukup banyak. Lalu berdirilah perkumpulan seni Young Artist – Penestanan. Dengan metoda yang bebas-kreatif, anak-anak itu diajarkan untuk merespon dan menghayati alam sekitar, yang setiap hari ditaburi kecemerlangan matahari tropis. Atas pertemuannya dengan anak-anak Dusun Penestanan itu para seniman Bali punya gurauan. “Di Bali Tuan Arie mencari teja jegeg, beeh, ketemunya bebek!” Artinya, “Di Bali Tuan Arie mencari cahaya cantik, beeh, ketemunya itik!”

Lukisan Ketut Tagen, tokoh seni lukis mashab Young Artist dari Dusun Penestanan, Ubud, Bali, asuhan Arie Smit. (Sumber: Agus Dermawan T).

Seni lukis Young Artist berkembang pesat. Karya anak-anak itu dijual oleh Arie ke segenap turis yang datang ke Penestanan. Uang penjualan diberikan sepenuhnya kepada keluarga pelukis. Ketika Gunung Agung meletus Maret 1963 dan Bali selama setahun senyap dari turis, lukisan karya Young Artist menjadi satu-satunya yang hidup secara ekonomi. Ratusan lukisan lantas diekspor atas permintaan kolektor dan art dealer berbagai negara, yang jaringannya dibina oleh Arie. Aktivitas  ini mengangkat dusun Penestanan yang tadinya miskin dan gelap menjadi dusun yang kaya dan gemerlap. 

(Yang luar biasa, eksistensi lukisan Young Artist ini terus bersitegak selama 60 tahun. Ketut Soki, Ketut Tagen, Nyoman Tjakra, Nyoman Londo, Made Sinteg, Gusti Ngurah K.K, Nyoman Gerebig, Made Lasir, Wayan Pugur dan 35 pelukis lain tercatat sebagai murid utama dan tokohnya. 

Pada 24 Mei sampai 24 Juni 2025 karya para pelukis – yang sudah berusia lebih dari 70 tahun, dan masih berlabel Young Artist – dipamerkan di Srimsu Hall, Neka Art Museum. Karya mereka diiringi para penerus yang aktif pada masa sekarang.)

Setelah Young Artist dengan puluhan pelukisnya berkembang, Arie meninggalkan Penestanan. Sebagai orang yang sangat mencintai Bali, ia menyusuri peta ke mana-mana. Karena itu selama 40 tahun hidup di Bali, ia telah berpindah tempat 35 kali, di 20 desa! Sedangkan jumlah ia bepergian keluar Bali bisa dihitung dengan jari. Di Pulau Dewata ini Arie melukis alam sekitar dengan tiada habisnya. 

“Di Bali saya menemukan cahaya dunia yang seasli-aslinya. Di Eropa bumi menyerap cahaya, sehingga alam menjadi pucat. Di Bali bumi memantulkan cahaya, sehingga alam jadi gemerlap. Saya memahami itu sebisa-bisanya,” katanya. Dan Arie melukiskannya dengan girang.

Bermukim di Campuan

Beberapa tahun menjelang tahun 1990 Arie Smit merasa bahwa penjelajahannya ke sekujur Bali harus dikurangi. Ia menghitung betapa usianya telah menginjak 70 tahun. Dengan begitu ia harus mencari tempat persinggahan yang nyaman. Atau rumah tetap yang bisa menjadi base camp. Rumah yang mengayomi dirinya sehari-sehari. Sekaligus rumah yang punya pintu terbuka untuk sekali-kali ia pergi, dan sewaktu-waktu ia kembali. 

Lukisan Arie Smit, “Pasar Pagi di Bali”, 1994. (Sumber: Agus Dermawan T).

Sampul katalogus pameran “Poetic Light – Art of Arie Smit: Maestro of Poetic Realism”, di Neka Art Museum, Ubud, Bali. (Sumber: Agus Dermawan T).

“Kaki saya harus banyak beristirahat di suatu tempat. Meski saya merasa sangat sehat. Meski jiwa petualangan kesenilukisan saya terus berjalan,” katanya.

Hasratnya untuk mendapatkan tempat permukiman berjumpa dengan kenyataan, ketika ia pada suatu kali bercakap-cakap dengan Suteja Neka, pendiri Museum Neka, dan pemilik Villa Sanggingan di Kedewatan, Ubud. Sebuah vila yang luas, indah dalam penataan taman, bagus dalam pendenahan setiap unit paviliunnya. Tanah villa itu luas. Bagian depannya bersisian dengan Jalan Raya Sanggingan, sementara bagian belakangnya bertemu dengan lembah Sungai Ayung. Bentangan tanah luas itu memungkinkan hadirnya tempat yang terlindung dan tersembunyi, sehingga tidak terlalu mudah diakses oleh orang. 

“Di rumah itu, setengahnya saya ingin mengasingkan diri,” katanya.

Di seberang lembah, terhampar sawah dan ladang. Sedangkan nun jauh di sana bersitegak Gunung Agung. Satu gunung yang mengingatkan dirinya kepada cerita moncernya dan bermanfaatnya lukisan Young Artist, kreasi anak-anak Dusun Penestanan yang produksinya ia hidupkan pada 1963 silam. Dengan begitu lokasi itu ia rasanya sangat pas untuk hikayatnya, kemauan hatinya, dan jiwanya.

Arie akhirnya menganggap tempat itu adalah pilihan utama. Ia lalu mengatakan bahwa dirinya ingin berdiam di situ dalam waktu tak terbatas, sehingga akan mengontrak satu paviliun di satu sudut. Dan tentu membayar sepenuh-penuhnya. “Saya termasuk pelukis kaya juga. Saya punya uang untuk membayar,” katanya berseloroh. 

Pada bagian lain ia mengatakan bahwa, “Orang Belanda punya pepatah: Oost west, thuis best. Artinya, timur barat, rumah tetap yang terbaik. Elaborasinya: setelah jauh berjalan ke timur, setelah jauh berjalan ke barat, yang paling dirindu adalah rumah sendiri.

“Ya. Ya. Saya sudah jatuh cinta dengan tempat itu. Berapa dolar yang menjadi kewajiban saya?” tanya Arie.

Arie dan Neka bernegosiasi. Sampai akhirnya ditemukan jalan terbaik. Arie Smit yang tua dipersilakan tinggal di villa itu tanpa membayar. Sebagai imbalan, lukisan-lukisan ciptaan Arie, yang sudah jadi maupun yang baru akan dibikin, dan yang akan dilepas ke publik diserahkan penjualannya kepada Suteja Neka, atas nama Galeri Neka. Jumlah nominal seluruhnya tentu diserahkan kepada Arie, sedangkan Neka hanya memungut komisinya saja. Kesepakatan terjadi. 

(Sejarah mengingat, pada kurun itu pemburu lukisan Arie mulai bertebaran di banyak kota. Sementara nominal lukisannya mulai melambung. Bahkan pada tahun 2000-an disebut-sebut bahwa harga lukisan Arie per satu sentimeter persegi sekitar Rp70.000,-!)

Arie pun tinggal di villa itu dengan tenteram sejak 1989. Ia mencipta lukisan dengan gembira. Sejumlah asisten rumah tangga selalu siap melayani Arie, yang bertahan bujangan. 

Arie Smit memang happy benar tinggal di situ. Ia mencipta dengan produktif. Para sahabatnya sekali-sekali bertamu, dalam waktu yang kadang tidak berketentuan. Karena itu, apabila ada tamu yang melebihi jam kunjungan, Arie akan berkata, “Ya, Bapak Ibu harus pulang. Sekarang waktunya saya tidur siang.” Pada  menjelang senja sampai malam Arie tidak ingin menerima tamu.

Kehadiran Jusuf Wanandi

Pada suatu ketika politikus cum kolektor Jusuf Wanandi terpesona melihat kreativitas dan produktivitas Arie. Jusuf lalu mengumpulkan lukisan Arie, satu per satu. Tidak hanya yang didapat dari studio Arie, tetapi juga yang ia jumpai di sejumlah galeri. Pada 1990 Jusuf bersama Suteja Neka berinisiatif menerbitkan buku mengenai Arie Smit. Buku ditulis oleh pengamat seni asal Hawaii, Garrett Kam, berjudul Poetic Realism – The Art of Arie Smit. Penerbitnya adalah CSIS (Centre for Stategic and International Studies) & Museum Neka. Arie Smit yang sesungguhnya sudah ternama itu semakin populer. Berbagai ulasan ihwal lukisan Arie mulai bermunculan. 

Dr. Pande Made Kardi Suteja Neka, Sp.U (kanan) selaku Direktur Neka Art Museum, Ubud, Bali, sedang membicarakan salah satu lukisan Arie Smit. (Sumber: Istimewa).

Pada tahun 1993 Arie Smit berusia 77 tahun. Lagi-lagi Jusuf Wanandi dan Suteja Neka berinisiatif untuk memamerkan karya Arie. Pameran diadakan di Galeri Santi, Jalan Benda, Kemang, Jakarta. Karya yang dipajang sebanyak 77 bingkai, sesuai dengan jumlah umurnya. Pameran itu sungguh sukses. Sampai akhir pameran, hanya empat yang tersisa. 

Dari hasil pameran itu Suteja Neka lantas mendirikan Paviliun Arie Smit dalam kompleks Museum Neka. Di paviliun itu puluhan lukisan Arie Smit (1916-2016) secara permanen dipajang spesial, dan bisa disaksikan orang seluruh dunia sampai hari ini. * (Bersambung).

—-

*Agus Dermawan T. Penulis dua judul buku tentang Arie Smit, tahun 1993 dan 2016.