Walter Spies Kurator Bali Tahun 1930
Oleh Sigit Susanto
Today almost everybody has heared of Bali
(Miquel Covarrubias, Island of Bali, 1937)
Secara kebetulan di gudang buku barang rongsokan kota Zug aku menemukan buku A History of BALI, Indonesia`s Hindu Realm karya Robert Pringle, terbit tahun 2004 oleh penerbit Allen & Unwin di Australia.
Pada halaman muka buku tertumbuk tulisan For my granddaughters, Ni Wayan Zoe and Ni Made Penelope, to read before they visit Bali.
Pada sampul belakang disebutkan, Robert Pringle ini seorang sejarawan, wartawan dan diplomat yang tertarik pada bidang lingkungan hidup, etnik minoritas dan resolusi konflik. Ia bekerja untuk urusan luar negeri Amerika selama 30 tahun dan selama 9 tahun tinggal di Indonesia, Philipina dan New Guinea. Ia meraih doktor di universitas Cornell mengenai study sejarah Asia Tenggara.
Buku ini buatku semacam kumpulan esai yang memotret sejarah Bali dari zaman kerajaan Pejeng hingga Bom Bali. Tapi aku paling tertarik pada bab 7 yang berjudul The World Discovers Bali (1902-1942). Pada bab ini banyak diceritakan tentang sepak terjang pelukis gay Jerman Walter Spies dalam interaksinya terhadap budaya Bali dan para artis yang datang ke Bali kala itu.
Diceritakan pariwisata di Bali dimulai sekitar tahun 1930. Pada masa itu banyak para seniman dunia dan peneliti sosial mengalihkan pandangan ke pulau Bali. Bersamaan dalam upaya menaikkan pajak langsung pemerintah kolonial, banyak seniman lukis, patung, berbakat Bali mengembangkan bentuk seni mereka. Seniman asing tak secara serta merta mengenalkan tekniknya, inovasi datang dari dua arah, lokal dan asing. Pemerintah kolonial menyambut berkembangnya pariwisata lewat budaya, namun ia takut dengan makin merebaknya spirit nasionalis, komunis dan Islam radikal yang bisa mengganggu stabilitas. Disebutkan bahwa pertama turis asing yang datang ke Bali adalah dua pelaut asal Belanda pada tahun 1597. Sayangnya tak disebutkan nama dua pelaut itu. Adapun turis bisnis tercatat bernama Mads Lang dari Denmark tiba di Kuta pada tahun 1839. Disusul orang Belanda Van Kol mendarat di Bali tahun 1902.
Pemerintah kolonial mengontrol setiap wisatawan asing yang datang. Jalanan belum tertata, berdebu dan berbukit batu atau licin dan becek. Brosur pariwisata pertama dicetak tahun 1914 yang mengusung image tentang Bali. Pada tahun 1923 kapal-kapal Belanda mengangkut turis lewat pelabuhan Singapura. Dilanjutkan penginapan pemerintah kolonial dibangun di Denpasar, kemudian berubah menjadi nama Bali Hotel.
Tak lama kemudian ada program tur keliling Bali selama lima hari memakai mobil-mobil dari Amerika. Aktivitas pada waktu itu tampak menyolok, perempuan Bali banyak memotong padi dan lelakinya memanen kelapa. Tentu saja kamar ber-AC belum ada.
Relief Nieuwenkamp Naik Sepeda di Pura Meduwe Karang
Perlahan seniman dan penulis mulai menemukan Bali. Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp adalah wartawan free-lance dan seniman ikut menyaksikan peristiwa Puputan tahun 1906 di Denpasar. Ia awalnya kaget dan member kritikan. Setelah ia keliling Bali ia menulis beberapa buku dengan eksplorasi detil tentang peninggalan perunggu bulan di Pejeng.
Saat aku membaca nama Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp sama sekali tak curiga, siapa gerangan orang Belanda ini? Namun ketika membaca kisah berikutnya, mendadak aku kaget. Aku teringat masa menjadi pemandu di Bali sering mengantar turis Jerman ke pura Maduwe Karang di Singaraja. Dan biasanya ada beberapa anak kecil sudah menunggu rombongan kami. Bocah-bocah itu sabar dan ketika kami memasuki relief di dinding pura yang ada sosok orang Belanda. Kemudian anak-anak mengeja secara bersamaan dan pelan nama: Nieu….Wen…. Kamp yang berpakaian adat Bali sedang naik sepeda dengan roda bermotif bunga. Biasanya salah satu dari bocah itu maju, sambil menyelipkan bunga jepun persis di telinga relief Nie Wen Kamp itu.
Kembali pada buku ini dijelaskan, Nieuwenkamp begitu dekat dengan masyarakat dan budaya Bali, sehingga sosoknya dipahatkan dalam relief di pura Maduwe Karang, sedang naik sepeda. Belakangan ketika anggota keluarga kerajaan Karang Asem sedang belajar di sekolah kedokteran di Belanda menjelang Perang Dunia II menuliskan dalam memoarnya bahwa ia mempelajari pulau asalnya di Bali dari toko buku bekas karangan Nieuwenkamp.
Selanjutnya Gregor Krause, adalah seorang dokter Jerman, sekaligus sebagai fotografer dan penulis. Ia berada di Indonesia tahun 1920 selama beberapa tahun. Krause memang menulis beberapa buku, namun yang paling banyak mendapat sambutan luas adalah hasil fotonya yang memotret gadis-gadis Bali tanpa BH. Bahkan ungkapannya menjadi aforisme terkenal, yakni “Dada mulus yang perkasa membentuk payudara indah.“
Tentu saja keindahan budaya dan alam Bali mulai tersebar. Bali menjadi destinasi para seniman dan intelektual barat dengan tekanan sesuatu yang eksotik. Seni, drama dan musik bisa berkembang beriringan. Penulis buku ini tak ingin menyebut bahwa budaya Bali sebagai bentuk renaissance, melainkan berkembang dari waktu ke waktu. Yang menarik bahwa karya-karya Nieuwenkamp dan Krause sampai kini masih bisa ditemukan.
Walter Spies
Ia lahir di Moskow dari keluarga pengusaha kaya dan diplomat pada tahun 1895. Pada tahun 1920 ia mengunjungi Dutch East Indien dan bekerja di keraton Yogyakarta sebagai ahli musik. Ia tertarik dengan musik gamelan Jawa. Pada tahun 1927 ia diundang oleh Cokorde Gede Raka, penguasa di Ubud dan Spies mendirikan rumah di ujung desa Campuhan, tepatnya di pertemuan dua sungai. Bagi Spies pertemuan dua arus sungai itu sebagai metafor. Dari sudut pandang dunia spiritual, bahwa pertemuan dua kali merupakan sumber energi besar dalam meditasi. Spies juga dianggap sebagai seorang pencinta alam.
Bagi Spies musik Kebiar adalah yang paling dinamis dan penting dalam seni musik di Bali. Ia sampai mencetuskan aforisme baru, bahwa Gebiar adalah “ritme dadakan yang berapi-api atau kilatan.“ Spies membandingkan dengan gamelan Jawa yang kebanyakan slow motion. Pada tahun 1932 ia membantu menjadi kurator pada Museum Bali di Denpasar. Adapun tujuan Museum Bali itu adalah mengumpulkan dan melestarikan seni Bali yang terbaik dari masa silam.
Potret Mads Lang di pantai Kuta dilukis ulang oleh pelukis lokal. Sebelum pariwisata berkembang, bukan seni lukis yang mencuat terkenal, melainkan adalah drama, musik, arsitektur dan patung. Pada saat itu lukisan hanya dipajang di puri dan pura.
Pada tahun 1936 ia bergabung dengan Pita Maha. Sebelumnya pada tahun 1929 Raka Sukawati mengundang seniman asing dari Belanda bernama Rudolf Bonnet untuk menetap di Ubud. Bonnet sangat mencintai Bali, meskipun ia tidak begitu berbakat dalam seni lukis. Tetapi ia sangat dekat dengan masyarakat Bali. Saking dekatnya sehingga bertendensi seperti menggurui, berbeda dari Spies yang tak bermaksud mengajar. Tahap berikut I Gusti Nyoman Lempad yang menjadi wakil pendiri membawa Pita Maha semakin maju. Tercatat ada 150 anggota seniman pada Pita Maha yang aktif memajukan kegiatan di pura-pura.
Pada tahun 1957 Bonnet kembali ke Bali beserta Cokorde Agung Sukawati mendirikan Puri Lukisan. Tujuannya jelas, bahwa kualitas seni lukis perlu dipamerkan di Bali juga. Lempad meninggal pada tahun 1978, dilaporkan pada usia 116 tahun.
Ada satu kisah yang menarik, ketika Spies meminta seorang pematung Bali dengan memberikan selonjor kayu untuk dibuatkan dua buah patung. Ternyata pematung itu menyerahkan hasil karyanya ke Spies cuma satu patung. Pematung itu merasa tidak tega membelah kayu itu menjadi dua, ia menghormati spirit yang ada di kayu itu. Sejak kisah itu, Spies terpana dan menghargai sikap pematung itu. Spies ikut mendorong perkembangan seni patung di Bali.
Selain Spies tercatat juga seniman Meksiko Miquel Covarrubias ikut mempengaruhi corak seni Bali, meski porsinya kecil, karena fundasinya adalah dari tradisi lokal. Tak tertinggal juga seniman Belgia, Jean Le Mayeur dan dari Belanda Willem Hofker. Kedua seniman itu sangat terkenal di Eropa. Tetapi kedua seniman ini tak ada dampaknya di dunia seni Bali.
Pada catatan Pita Maha tahun 1930 setidaknya aliran seni Bali terbagi ke dalam 3 model: 1) Model Ubud, dengan ciri khas alam pedesaan, sambung ayam, upacara di pura dan kegiatan bertani. 2) Model Batuan, sebuah gaya sinisme dengan dominasi warna merah dan putih. 3) Model Sanur, lebih dipengaruhi oleh gaya maritim dan turisme komersil.
Yang tak bisa dikesampingkan adalah aliran “Young Artist“ di tahun 1960 yang dimotori ileh pelukis Belanda, Ari Smit. Spies dan Covarrubias sama-sama pengagum Lamak, dekorasi yang dipakai pada upacara di pura. Perkembangan berikutnya adalah pematung terkenal asal desa Mas bernama Ida Bagus Njana.
Pada tahun 1928 musik Bali pertama direkam dan berkembang di Bali selatan. Tiga tahun berikutnya datang ahli musik Colin McPhee dan model musik baru Bali itu sudah tersebar. Spies termasuk seniman musik bergaya ekspresionis yang tertarik dengan perkembangan musik baru. Sialnya Spies tahun 1939 dipenjara di Surabaya, karena tabiatnya. Ia menuliskan sebuah surat kepada temannya, “Kamu harus datang dan tinggal lama di Bali, karena di situ ada jenis musik yang fantastik yang akan membuatmu tercengang.“ McPhee yang termasuk penggemar musik klasik, menilai musik Kebiar memecahkan setiap corak klasik. McPhee khawatir bahwa Kebiar sebagai seni tiruan, dan menjadi contoh sebagai krisis identitas budaya Bali.
Miquel Covarrubias Honey Moon ke Bali
Pada tahun 1930 seniman Meksiko Miquel Covarrubias bersama dengan Rosa, istrinya seorang penari berdarah Amerika-Meksiko melakukan perjalanan Honey Moon ke Bali. Tarian Janger menjadi tontonan pertama kali bagi mereka. Komentar Covarrubias waktu itu, ”Pemandangan awal yang memukau pada wisatawan yang baru tiba.” Sebuah tarian dengan formasi melingkar dan sang maestro berada di tengah, para penarinya berpakaian ortodoks dan plot cerita sangat klasik. Covarrubias menilai, tarian itu sangat berharga, meskipun tak benar-benar menyentuh. Akan tetapi ketika pasangan honey moon ini pergi ke Denpasar menyaksikan tarian Janger di jalan berbeda dengan yang ditonton turis. Mereka merasa kaget karena pakaian pemain Janger mengejek orang barat, termasuk bentuk kumisnya. Demikian pula tarian kecak yang liar dibalut dengan banyak adegan humor. Setelah itu tarian Janger model ini menjadi terkenal tersebar di seluruh Bali. Pada era Perang Dunia II tarian ini sama-sekali lenyap. Pada masa ini tarian kecak mulai ditemukan dan diperkenalkan kepada wisatawan. Ada episode yang berasal dari tari Sangyang.
Pada tahun 1931 Spies ditunjuk sebagai penasihat dalam pembuatan film Island of Demons oleh perfilman Jerman. Sebuah film yang menceritakan hancurnya sebuah desa karena Rangda. Teman Spies, seniman Bali menasihati untuk mengkombinasikan dengan tari Kecak dan Ramayana. Kreasi baru itu lah yang sekarang popular dalam standar tarian kecak. Tarian kecak versi baru ini dianggap tarian sekuler yang berbeda dari aslinya. Spies ikut andil membuat variasi modern Kecak dengan Janger.
Pariwisata Menemukan Jalannya
Pada Perang Dunia II orang asing yang tinggal di Bali mencapai beberapa ratus jumlahnya. Sementara kekuasan Belanda berpusat di Buleleng. Colin McPee kawin dengan Jane Belo, seorang antropolog. Dan kedua ekspatriat ini menulis buku. Sementara ini pada tahun 1933 Miquel dan Rosa Covarrubias mengunjungi Bali kedua kalinya dan tinggal cukup lama. Keduanya menulis sebuah buku berjudul Island of Bali. Dan karena sajian buku ini begitu detil, sehingga sempat menjadi buku Best-Seller di Amerika tahun 1937.
Pariwisata mulai merangkak semarak. Perusahaan Jerman Neuhaus mendirikan sebuah aquarium di Sanur terkait dengan program seni lukis Pita Maha. Pada tahun 1920 kunjungan turis sebulannya mencapai 100 orang, tetapi pada Perang Dunia II meningkat dua kali lipat.
Ketut Tantri: Revolt in Paradise
Pada tahun 1936 pasangan orang Amerika, Robert dan Louise Koke mendirikan Hotel Kuta Beach di pantai Kuta. Mereka bekerja sama dengan Vancen Walker, seorang perempuan Amerika-Inggris yang datang untuk belajar melukis, karena terinspirasi oleh film Island of Demons. Walker belakangan mendapat julukan nama Ketut Tantri. Sayangnya kerja sama dengan keluarga Koke terjadi pecah kongsi, akibatnya hotel dimiliki oleh Ketut Tantri. Berkat hubungannya dengan penguasa yang mengelola Hotel Bali di Danpasar sangat baik, maka ia sering mendapatkan limpahan hotelnya di pantai Kuta. Masuknya Jepang menjebloskan dirinya ke penjara, karena kemudian ia membantu gerakan revolusi sebagai penyiar radio dalam bahasa Inggris ke masyarakat luar negeri. Memoarnya ia tulis dalam buku Revolt in Paradise (Revolusi Nusa Damai)
Rupanya tak ketinggalan, Koke pun menulis buku berjudul Our Hotel in Bali. Kedua hotel itu dihancurkan dalam perang, kecuali hotel di Kuta selamat. Fasilitas transportasi mulai berbenah diri, terutama jalan di Bali selatan menuju pelabuhan. Jalana masih sempit, tapi mobil sudah beroperasi. Pada tahun 1930 beberapa orang Jerman membuka usaha perhubungan dengan feri yang beroperasi antara pelabuhan Gilimanuk ke Ketapang di Jawa. Sedang wakil wali kota Belanda di Bali membuat jalan raya dari Denpasar menuju ke pangkalan feri di Gilimanuk. Penduduk Bali yang masih sedikit itu, pada malam hari masih sering ditemui harimau Bali.
Pada tahun 1932 dibuatlah landasan pesawat di semenanjung Bukit, akan tetapi pesawat yang mendarat mengalami kecelakaan. Akibat peristiwa naas itu, maka dialihkan di dekat Tuban. Bandara di Tuban dimulai tahun 1938 sebagai pelabuhan komersil Belanda yang menghubungan antara Makasar dan Australia. Dengan bertambahnya transport lewata udara, tak menurunkan kunjungan wisatawan lewat jalan darat di pelabuhan.
Lagi-lagi betapa Walter Spies dianggap sebagai orang asing yang paling berjasa mengembangkan kesenian di Bali. Ia lah pemandu asing pertama yang menyambut hangat para pengunjung asing berlatar seniman atau pun peneliti. Ia lah yang mengenalkan Bali kepada Covarrubias dan Margaret Mead. Spies tidak hanya sebagai mewakili tuan rumah yang mencarikan akomodasi buat mereka, namun turut mempengaruhi cara memandang Bali dari kaca matanya. Spies lah yang juga membantu Vicki Baum, seorang pengarang perempuan Jerman berdarah Yahudi dan penulis naskah film Hollywood. Vicki Baum menulis buku berjudul A Tale of Bali (Tod und Liebe auf Bali) yang sampai sekarang masih bisa ditemukan di toko buku. Sebuah kisah dokter Belanda yang seolah banyak tahu tentang tempat-tempat di Bali. Yang sebenarnya, salah satu sumber dari buku itu adalah dari Walter Spies dan petugas lokal Belanda.
Spies secara perlahan mempunyai hubungan yang baik dengan pemerintah Belanda di Bali. Ia memakai pendekatan intelektual. Ia bekerja sama dengan Willem Stutterheim, seorang ahli arkeologi Amerika yang juga penari. Selanjutnya Claire Holt dan Roelof Goris juga menyukai Stutterheim atas kerja dengan barang-barang antik. Pejabat Belanda yang paling ortodoks pun menganggap bahwa Spies sebagai kurator seni budaya yang cemerlang di seluruh Bali.
Spies menjadi teman direktur travel agend nasional kala itu. Ia membantu persiapan pentas tari perang yang diadakan di Paris tahun 1931 dalam acara The Paris Colonial Exposition. Ketika gubernur jenderal mengunjungi Bali tahun 1935, Spies lah yang persiapkan hiburannya. Ia juga menyambut hangat dan menjamu kehadiran seniman terkenal lain seperti Charlie Chaplin hingga Leopold Stokowski.
Pada tahun 1937 Spies membangun rumah kecil di desa Iseh, sebuah tempat terpencil di gunung Agung. Dengan harapan ia bisa menemukan ketenangan untuk berkreasi dalam seni. Secara umum Spies hidup berkecukupan. Ia tidak banyak melukis, karena pernah satu lukisannya yang ia buat dan setelah dijual bisa menghidupinya selama setahun. Pada tahun 1928 ia menjual dua lukisannya kepada teman Jerman untuk membeli mobil. Kemudian ia menuis surat kepada ibunya, “Ini mobil yang bagus, sangat perkasa dan mampu naik gunung tanpa hambatan. Sekarang aku belajar menyetir.“ Berikutnya Spies menjual sebuah lukisan sendiri kepada Barbara Huston, seorang milioner Amerika, guna membiayai kolam renang di rumahnya Campuhan, termasuk membuatkan sebuah rumah kecil untuk sang milioner di situ, walau rumah kecil itu tak pernah ditempati. Pendapatan Spies dari melukis saja sudah sangat banyak, apalagi di saat ia terjangkiti depresi, justru makin banyak karyanya.
Spies mengangkat Bali ke dunia internasional dari keindahan alam dan seni budaya. Bali dipromosikan selain lewat film, juga artikel Covarrubias berjudul Vanity Fair. Gaung artikel itu mengakibatkan Bali menjadi puncak tujuan wisata kala itu. Willard Hanna memberi catatan, bahwa dia pertama melihat mobil pertama di Bali merek Fiat Grand Phaeton pada tahun 1930 milik raja Gianjar, Ida Anak Agung Ngurah Agung. Beberapa tahun lamanya anak-anak raja menginvestasi kekayaannya dengan membeli mobil. Akibatnya Margareth Mead memprotes karena mobil-mobil itu menjadi idola seni untuk menaikkan status sosial mereka. Selain itu para raja menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kolonial Belanda. Anak-anak mereka itu kelak di tahun 1945-1949 bisa akan melawan Belanda sendiri atau menduduki posisi penting baik di tingkat daerah maupun nasional.
Para wisatawan kala itu masih menyaksikan kehidupan sehari-hari gadis Bali yang tanpa memakai kutang. Juga kebebasan kehidupan kaum homoseksual dan para cow-boy di pantai Kuta, sampai kini juga pada disko-disko di Kuta, tak pernah menjadikan sebuah tema yang perlu disoroti. Spies seorang seniman gay juga mengakui betapa Bali penuh toleransi terhadap kehidupan kaum homoseks dan biseks. Ia yang pernah tinggal di Jawa juga mengalami hal serupa, suasana tradisional Jawa dan Bali memberi kebebasan untuk mereka. Pada tahun 1970-an ketika hak-hak kaum homoseks di barat mulai diterima, seorang jenderal angkatan laut di Jakarta mengadakan kontes ratu kecantikan bagi kaum transeksual di ibu kota negara Jakarta. Kala itu Indonesia penuh toleransi.
Para ekpatriat dan turis yang berdomisili di Bali sangat menikmati suasana kolonialisme. Mereka diterima oleh pemerintah Belanda. Kalau dibandingkan dengan daerah lain, pemerintah Belanda di Bali termasuk lunak. Di tempat lain, terutama dalam gerakan persiapan kemerdekaan, sangat agresif. Di Bali orang sering merasa banyak mempunyai waktu. Para ekspatriat sering merasa sungkan untuk melawan penguasa Belanda di Bali, karena sikap para penguasa Belanda itu terhadap mereka sangat baik dan ramah. Contohnya, Margaret Mead pernah membuat kritik pada penelitiannya tentang sistem kesehatan pemerintah Belanda di Bali yang buruk.
Perkembangan pertunjukan seni Bali semakin meningkat. Atas keberhasilan ini membuat para penbuat film, aktor dan pemusik tertarik. Yang paling terkenal pada awal tahun 1930 Charli Chaplin mengunjungi Bali bersama Noel Coward. Coward membuat corat-coret lagu pendek saat berada di Bali Hotel di Denpasar. Belakangan coretan Coward menyebar ke berbagai belahan dunia seperti sebuah aforisme. Coretan Coward itu seperti ini:
As I said this morning to Charlie
There is far too much music in Bali,
And although as a place it`s entrancing.
It appears that each Balinese native,
From the womb to the tomb is creative,
And although the result are quite clever,
There is too much artistic endeavour.
Margaret Mead bekerja di Bali dengan suami ketiganya antara tahun 1936-1938. Ia ditemani seorang teman antropolog bernama Gregory Bateson. Pada waktu itu Mead sudah menjadi orang terkenal berkat penelitiannya berjudul Coming of Age in Samoa. Hasil penelitiannya pada suku Samoa itu diterbitkan delapan tahun sebelumnya. Karya Mead itu berhasil mengundang kekaguman pembaca barat, karena ajakan Mead untuk menyikapi perilaku dalam seks orang dewasa itu lebih santai dan penuh keriangan. Mead adalah mantan pekerja antropolog yang lama mengadakan penelitian di New Guinea, dimana suasana hidup masyarakatnya dan pelaksanaan upacara adat jauh lebih sulit ketimbang di Bali. Di Bali memang Mead dan Bateson tidak dikenal. Tetapi mereka adalah peneliti sosial yang tersohor. Spies telah mencarikan asisten penelitian Mead dari orang local bernama I Made Kaler. Kaler bisa berbicara 5 bahasa dan bekerja secara serabutan dari mengurus keperluan dapur sampai persiapan upacara adat. Atas kerja profesional Kaler, maka Mead perlu memberi catatan khusus, ”He was just about the nearest thing to perfection that God ever made.” Terkait Bali Mead memberi kesan, ”This Island, teemed with the expressive ritual.”
Lebih jauh Mead membuat deskripsi, bahwa orang Bali banyak melakukan upayara sebagai bentuk persembahan kepada para dewa. Mereka suka mempertunjukan atraksi seni yang bisa ditonton orang asing, tak peduli apakah orang asing itu member sedikit sumbangan. Dalam masyarakat yang penting itu kerja gotong-royong, uang tidak menjadi kekuatan penting. Mead anggap paradise itu untuk kita, tetapi upacara adat dilakukan setiap hari. Jika tak di desa satu, pasti di desa yang lain ynag jaraknya tak jauh. Ia tulis, ”Moreover, Bali`s good roads made it easy to observe a great deal.”
Mead merasa lebih mudah bergerak melakukan penelitian di Bali. Ia bahkan bandingkan, jika biasanya ia perlu tiga hari menyusuri lokasi ke lokasi di Papua New Guinea, di Bali hanya ditempuh satu jam.
Kedatangan Mead dan Bateson, juga banyak seniman asing lain, dibantu oleh Spies. Pada waktu pertama kali mereka tinggal di Ubud dekat tempat tinggal Spies. Tetapi setelah itu mereka memutuskan untuk pindah ke tempat yang terpencil dan di masyarakat yang miskin, yakni di Bayunggede, dekat Kintamani. Di masyarakat Bali Aga, mereka menemukan budaya yang terlepas dari esensial. Selama setahun mereka baru memahami, konsep budaya.
Dari waktu ke waktu mereka kembali ke wilayah dataran rendah dan bergaul membaur dengan ekspatriat lain. Mereka antara lain teman-teman Spies, juga Beryl de Zoete, McPhee dan Belo dan penari Amerika Katharane Mershon dengan suaminya Jack. Ketika ibu Bateson mengunjungi Bali, disewakan rumah di puri pada raja di Bangli. Adapun sewanya selama sebulan sebesar 9 dolar. Mead menikmati bisa berkolaborasi seni dalam pertunjukan dengan seniman lokal. Mead menuliskan kesan terhadap Spies pada saat pertama datang:
Walter is perfectly delightful person, an artist and musician, who live in Bali for some eight years and he welcomed and entertained all the interesting people who have come here. He has done a great deal to stimulate modern Balinese painting and has painted Bali himself and in general has worked out a most perfect relationship between himself, the island, its people and its traditions…Our only other neighbor is a mild, responsible, only a little twinking Dutch Artist (Bonnet) who supplies system and bookkeeping in Walter`s attempts to protect and encourage the Balinese artists to resist the tourists and do good work.
Mead dan Bateson mencoba memakai teori Freud dalam menganalisis budaya Bali. Mereka membuat film dan 25.000 foto di desa Bayunggede. Hasil penelitiannya berjudul Balinese Character: A Photographic Analysis. Jika banyak buku menyebut, bahwa Bali adalah sebuah tempat yang harmoni. Mead dan Bateson sebaliknya perlu mengetahui aturan yang menakutkan dalam karakter orang Bali. Lebih rinci ia sebut, ”It is a character based upon fear which, because it is learned in the mother`s arm, is a value as well as a threat.”
Mead dan Bateson sangat terpana dengan variasi tarian Legong, karena gadis-gadis memainkan peran sebagai Rangda yang jahat. Dari pengamatan mereka berdua, bahwa ibu-ibu di Bali dengan suka ria mencoba menarik-narik penis anak-anak lelakinya. Adapun makhluk jahat Rangda, simbol seorang ibu.
Lebih jauh Mead menyatakan,
“The dance sums up the besetting fear, the final knowledge of each Balinese male that he will, after all, no matter how hard he seeks to find the lovely and unknown beyond the confines of her familiar village, mary to Witch, mary a woman whose attitude forward human relations will be exactly that of his own mother.”
Tetapi temuan Meads tidak bisa membenarkan motivasi tragedi bunuh diri massal tahun 1966.
Bali tetap bergerak. Spies saat Mead masih di Bali menulis buku yang berbeda tentang tarian Bali dan drama dengan temannya dari Inggris bernama Beryl de Zoete. Pada waktu itu Spies berusia 39 tahun dan De Zoete 15 tahun lebih tua. De Zoete adalah mahasiswa dan seorang penulis dan kritikus seni tari. De Zoete punya istri atas cinta platonis bernama Arthur Waley.
De Zoete tak menganggap analisis Mead sebagai temuan ilmiah, termasuk foto-foto Mead dalam tajuk “Antropologhy in Bali.“ Jane Belo, sahabat baiknya Bateson dan Mead memberi kritikan, bahwa temuan Bateson dan Mead terasa dingin dan prosedural. Mead menampik dengan menjawab, “Beryl, who had an acid tongue and a gift for destructive criticism, satirized between science and art, and I identified her with the witch a prevailing Balinese figure.”
Mead dan Bateson juga mengoleksi benda seni, terutama dari Batuan, yang dianggap sebagai pusat gaya baru. Mereka menyukai nuansa gelap bahkan pernah meminta salah satu seniman dari Batuan untuk melukiskan mimpinya. Akhirnya kedua antropolog itu memutuskan meninggalkan Bali pada tahun 1938 menuju ke New Guinea. Dari temuannya di Bali mereka pakai untuk membandingkan di tempat penelitian sebelumnya di New Guinea. I Made Kaler, sebagai asisten mereka mempersiapkan sebuah lukisan perpisahan dari seniman Batuan, di tempat Mead dan Bateson bekerja. Lukisan itu menggambarkan perahu meninggalkan pulau Bali dengan asap gunung api bertuliskan, Good Bye, Good Luck. Pelukis yang menggambar itu bernama I Ketut Ngendon, yang pada saat perang mengusir Belanda, pelukis ini gugur.
Sementara Mead dan Bateson meninggalkan Bali, Spies dan de Zoete melanjutkan menulis karya master piecenya berjudul Dance and Drama in Bali. Karya ini kemudian diterbitkan pada tahun 1938. Buku ini berisi tentang pengetahuan drama, prosa yang indah dan foto. Adapun sumber-sumbernya sangat meyakinkan, sayangnya dimungkinkan telah lenyap. De Zoete member pengantar dalam buku itu sebagai berikut,
Bali is neither a last nor a lost paradise, but the home of a peculiarly gifted people of mixed race, endowed with a great sense of humour and a great sense of style, where their own creations are concerned; and with a suppleness of mind which has enabled them to take what they want of the alien civilizations which have been reaching them for centuries and to leave the rest. And in spite of the few exceptions mentioned above they seem to have left the rest vey successfully.
Ia lanjutkan lagi,
The Balinese are always building new temples, always using new motives for their temples and schulptures; whatever comes to hand, whatever amuses them at the moment. Why may they not make new dances? Obviously it would never accur to the uninitiated that they might not. But certain Europeans dread lest anything so awful should happen to the Balinese tradition. Yet the great and ineradicable charm of the Balinese is that their tradition is at once so sure and so flexible.
Spies dan de Zoete tak melihat ada perubahan yang mengaggumkan. Mereka tak tahu banyak bagaimana pembaharuan pada tarian Janger. Mereka sebut bahwa selain tarian Janger sebuah tarian agama yang disakralkan, juga dianggap sebagai Opera Melayu. Tanpa disangka, pemerintah Belanda menerapkan politik gerakan moral terhadap kaum homoseks. Pada 31 Desember 1938 Spies ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menggauli pria di bawah umur. Temannya Roelof Goris juga ditangkap pada kasus yang sama. Suasana mencekam, teman-teman Spies berusaha membelanya. Kebetulan Margaret Mead sedang berkunjung kembali ke Bali. Ia mencoba membela di pengadilan, bahwa untuk mengetahui usia orang Bali tidaklah mudah. Ia menjelaskan bahwa memusuhi kaum homoseks termasuk cara berpikir yang sempit. Namun semua usaha Mead sia-sia belaka.
Spies tetap menjalani hukuman di penjara di Surabaya hingga pada September 1939. Usai dari penjara, ia kembali ke Bali. Ia mencoba melukis lagi dengan mengingat memori awal-awal tiba di Bali dengan fokus melukis jenis serangga dan makhluk di laut. Setelah perang terjadi tahun 1940, Spies ditangkap lagi dan bersama teman-temannya diasingkan ke Sumatra.
Pada awal tahun 1942 Jepang masuk ke Sumatra dan tahanan Jerman termasuk Spies diangkut kapan Van Imhoff dibawa ke Sri Lanka. Dalam perjalanan di laut, kapal itu dibom oleh Jepang dan mulai tenggelam. Spies terjebak dan ikut tenggelam.
Sebenarnya sebelum pecah perang tahun 1940, beberapa pendapat dari barat telah memberi sinyal pesimistik tentang Bali. Pada awal Mei 1932sebuah artikel di Vanity Fair disebutkan, “Let us hasten to talk of Bali. For tomorrow it will be only memory, so true is it that men always kill what they wish to love.
Pada tahun 1939 seorang traveler telah memberi peringatan, ”Segeralah pergi ke Bali para pembaca yang budiman, jika Anda ingin menyaksikan kerlap-kerlipnya satu kehidupan masyarakat yang belum ternodai modernitas, sebelum modernitas menggilas semuanya.”
Ketika Soekarno menjadi presiden, ia yang berdarah separuh ibu dari Bali itu mengumumkan, budaya Bali adalah bagian dari Indonesia. Budaya Bali mengagumkan Indonesia dan masyarakat dunia.
*Sigit Susanto, penulis yang tinggal di Zug, Switzerland sejak tahun 1996