Bunatin: Kearifan Lokal Dan Romantisme Talang Mamak
Oleh Bambang Widiatmoko
Menyelami kumpulan puisi Bunatin karya Dheni Kurnia, seakan kita diajak bersama menyelami kearifan lokal Talang Mamak. Kumpulan puisi Bunatin, Romantisme Mantra Puisi Talang Mamak terbitan MataAksara, 2018, tebal 205 halaman ini merupakan kumpulan puisi pemenang terbaik Anugerah Sayembara Buku Puisi Hari Puisi Indonesia (HPI) 2018; sehingga sangat layak untuk dikaji sebagai sebuah relasi sastra dengan kearifan lokal, pariwisata, dan ekonomi kreatif.
Buku ini berisi 99 puisi yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama Romantisme Talang dan bagian kedua Percintaan Talang. Kata pengantar ditulis oleh Taufik Ikram Jamil. Menurut Pradopo (1987: 13), kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mencapai tingkat kepuitisan tertentu Dheni Kurnia menampilkan dalam keseluruhan bentuk sajaknya yang ditulis rata tengah. dan akhirnya menjadi ciri/kekhasannya.
Mengkaji Bunatin tentu tidak dapat dilepaskan dari kearifan lokal yang menjadi tema besar dalam kumpulan puisi ini, khususnya romantisme mantra puisi Talang Mamak. Salah satu bentuk kearifan lokal atau local wisdom yang tetap “bertahan” atau tepatnya di Talang Mamak ini.
Suku Talang Mamak tergolong melayu tua (proto melayu) yang merupakan suku asli Indragiri. Mereka juga menyebut dirinya “Suku Tuha”. Sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu. Menurut mitos, suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat pati). Hal ini terlihat dari ungkapan “kandal tanah makkah, merapung di Sungai Limau, menjeram di sungai tunu”. Itulah manusia pertama di Indragiri yang bernama Patih.
Masyarakat Talang Mamak sendiri mengakui kalau mereka berasal dari Pagaruyung. Datuk Patih Nan Sebatang turun dari Pagaruyung menyusuri sungai nan Tiga Laras yaitu Sungai Tenang, yang sekarang disebut dengan Sungai Batang Hari, Sungai Keruh yang sekarang dinamakan Sungai Kuantan/Indragiri dan Sungai Deras yang sekarang disebut dengan Sungai Kampar. Di setiap sungai ini ia membuat pemukiman /kampung. Di Sungai Batang Hari ia membuat 3 kampung yaitu Dusun Tua, Tanjung Bunga dan Pasir Mayang. Sementara di Sungai Kuantan ia membuat 3 kampung juga yaitu Inuman Negeri Tua, Cerenti Tanah Kerajaan dan Pangian Tepian Raja. Di Sungai Kampar ia juga membuat 3 kampung yaitu Kuok, Bangkinang dan Air Tiris. (Sumber: Wikipedia).
Dheni Kurnia mengajak kita melalui puisi-puisinya menyelami warisan budaya Talang Mamak yang mengandung kearifan lokal. Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah tempat komunitas itu berada.
Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Dengan latar belakang kearifan lokal tersebut tidak ada artinya jika tidak didukung dengan penggunaan bahasa yang tepat untuk menunjang kekuatan puisi-puisinya. Diksi yang dipergunakan dan dipilih Dheni Kurnia dalam kumpula puisi Bunatin adalah diksi yang tepat dan menandakan tingkat kemampuan penyair dalam membedakan nuansa makna yang terwakili oleh kata-kata atau diksi tersebut.
Sajak merupakan karya sastra dan Dheni Kurnia mampu mengolahnya sebagai sarana komunikasi dengan pembaca karyanya dan sebagai pembaca kita bebas untuk menafsirkannya. Setidaknya kita mencoba menafsirkan sajak-sajaknya tentang romantisme mantra puisi Talang Mamak. Dalam pandangan Dheni Kurnia, Talang Mamak bukan lagi sekadar tempat. Talang Mamak adalah tempat menemukan Bunatin sebagai perempuan Talang. Dalam pengantar penulis dijelaskan Bunatin bukanlah ibuku, bukan pula kekasihku. Bunatin adalah perempuan Talang. Wanita sempurna yang lahir dari Rahim terbuang. Ayah Bunatin adalah Batin (kepala suku adat) Talang Mamak yang meninggal karena sakit paru-paru. Ibu Bunatin lalu berpindah ke Pasir Keranji, desa kecil di Airmolek, Pasir Penyu. Di sanalah Bunatin tumbuh dan menggadis. Ketika ibu Bunatin meninggal karena rahimnya dibuang (kanker Rahim) Bunatin pindah ke Rengat, ibukota Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Pada akhirnya aku-lirik menyukai Bunatin. Siapakah Bunatin dalam pengembaraan batin Dheni Kurnia?
Kita simak puisinya “Bunatin”: Matamu berbinar-binar/senyummu bergetar-getar/membuat hatiku/rindu tak menentu/kau bawa anganku kasih//rambutmu panjang terurai/tumbuhmu indah gemulai/membuat hidupku/bermimpi bertemu/kau curi malamku kasih//bunatin/engkaulah ladangku/bunatin/engkaulau padangku/bunatin/engkaulah rebung/yang tumbuh di jantung/kau curi tanahku/kau pagar marwahku//bunatin/engkaulah hidupku/bunatin/engkaulah talangku/bunatin/engkaulah manggar/yang memagut tubuhku/kau curi wangiku/kau balut khayalku//bunatin/kau bawa anganku/kau curi malamku/kau pagar marwahku/kau balut khayalku//(hlm. 35-36).
Mantra sebagai kekayaan khasanah melayu dan Talang Mamak juga menjadi bagian dari kekuatan Bunatin ini. Menurut Braginsky (1998: 192), barangkali pada bentuknya yang paling ringkas, konsep ini disimpulkan di dalam sebuah mantra pemanis Melayu. Mantra ini dibaca untuk memeroleh kecantikan dan ditutup dengan deskripsi tradisional tentang kecantikan perempuan. Berbeda dengan bentuk Mantra Melayu pada umumnya, mantra-mantra pada sajak-sajak Dheni Kurnia ditampilkan dalam bentuk baru dalam proses kreativitasnya dan mengalir begitu saja sebagai ungkapan kerinduan pada sosok Bunatin. Sosok yang oleh penyairnya digambarkan sebagai: Engkau adalah bunatin/berparas cantik/berhidung bangir/berjalan di atas batu/menegun angin kencang//engkau adalah bunatin/penuh pengasihan/meluluhkan jantung/merentak dada/ketika berpapas detak berhenti//engkau adalah bunatin/beristana besar/berambut Gombak/berbetis arai/mengejut mata terpejam//tapi aku adalah sulaiman/pemilik tinggi doa mahabbah/merentang tangan jauh melampai/mengejut jantung hingga putus/ruhku hilang menembus waktu/tapi aku adalah sulaiman//raja segala mantra pengasih/pengamal syariat nan terpuji/siapapun yang aku inginkan/akan bersekutu dengan hati//tapi aku adalah sulaiman/sultan talang semelinang/patih ranah tigapuluh/kemantan sepanjang adat/batin penuh serentak galah//aku adalah sulaiman/sultan talang semelinang/patih ranah tigapuluh/kemantan sepanjang adat/batin penuh serentak galah//aku adalah sulaiman/mencencang tak putus/menakik tak bergetah/bonding air lalu dedak/patuh engkau kepada aku//engkau adalah bunatin/beraja di hati/bersultan di mata/semut terinjak tak mati/alu tertungkai patah tiga//tapi aku adalah sulaiman/pengasih penuh pesona/dan engkau adalah bunatin/perentak jantung hati/maka tunduklah//(“Engkaulah Bunatin”, hlm. 33-34).
Mantra bagi masyarakat Talang Mamak merupakan bagian dari sistem kebudayaan dan menjadi perhatian tersendiri bagi Dheni Kurnia dalam penulisan puisinya. Menurut Damono (1978: 1), mantra mencerminkan gambaran kehidupan masyarakat. Apalagi, jika dipandang bahwa kedudukan mantra itu dapat berfungsi sebagai pengungkap nilai sosial budaya daerah. Dikemukakan bahwa melalui mantra ini kita dapat menggali berbagai nilai, baik utama maupun turunan (sampingan) yang mengacu pada masyarakat penggunanya.
Pembacaan atau penggunaan mantra pun dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan hasil yang diharapkannya, misalnya mantra kasih. Mantra kasih itu senada dengan harapan dan kerinduan: tapi aku adalah sulaiman/sultan talang semelinang/patih ranah tigapuluh/kemantan sepanjang adat/batin penuh serentak galah//aku adalah sulaiman/mencencang tak putus/menakik tak bergetah/bondong air lalu dedak/patuh engkau kepada aku//”Engkaulah Bunatin” (hlm. 34).
Dengan mantra maka si aku-lirik mencoba menundukkan hati bunatin pada sajak “Engkaulah Bunatin”: tapi aku adalah sulaiman/pengasih penuh pesona/dan engkau adalah bunatin/perentak jantung hati/maka tunduklah//(hlm. 34). Mantra selalu dipergunakan untuk menundukkan hati yang selanjutnya muncul dalam sajak “Kasih di Rotan Sebatang”: Di kasih rotan nan sebatang/kutanam dalam nama engkau/wahai rotan padamu aku/melihat wajah pagi dan petang/menunduk hati dalam berjanji/patuh engkau kepada aku/memuja engkau hanya aku//pengasih rotan nan sebatang/setunjuk dari alam bunian/tak berpijak tak berpaling/dari tubuh batang yang satu/dari aliran di muara batang/bertulang bagai daun sirih/satu nafas menghirup kasih/aku membaca nama engkau/dengan rotan nan sebatang/kasihlah engkau kepada aku/bersimpuh engkau kepada aku/rotan situnjuk panjang siduga/patah titi salamodo/mustajab doaku kabul di guru/di kasih rotan nan sebatang/tertulis nama wanita setia/hidup tenang terasa panjang/walau di rumah selusin penghuni/perempuan jatuh teman menjadi/mendekat karena hati tunduk/sekata kasih dalam menghirup//rotan setunjuk panjang siduga/patah titi salamodo/berkat doa para guru/tunduk engkau kepada aku/rindu engkau kepada aku//(hlm. 84-85).
Dalam kesastraan Indonesia modern masyarakat sastra pernah dikejutkan dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang dianggap menyimpang dari bentuk penulisan sajak penyair lainnya. Sutardji mengembalikan marwah perpuisian Indonesia kepada mantra dalam bentuk penulisan sastra Indonesia modern. Teeuw (1980: 150) mengemukakan, Sutardji yang menyebut sajaknya mantera, alat bahasa yang lain, yang memungkinkan manusia untuk (mudah-mudahan!) menghubungi atau menguasai dunia yang menguasai dunia di luar kemampuan atau jangkauannya yang normal. Tetapi itu tidak berarti bahwa sajak Sutardji sama sekali lepas dari konvensi atau di luar kemungkian interpretasi secara bahasa.
Sajak-sajak DK berbeda dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri.Mantra-mantra dalam sajak DK dapat ditelusuri melalui karya yang mengandung motif-motif dari hikayat klasik setelah system religi kolektif melayu beralih dari Hindu-Budha ke Islam. Ahmad (1988:x) menyebutkan apa yang disebut mantra itu tentunya akan disesuaikan dengan kepercayaan Hindu, yaitu dengan memasukkan unsur-unsur dewa-dewi, Betara Guru dan sebagainya. Penyair Dheni Kurnia percaya pada kekuatan mantra seperti tertuang dalam puisinya “Mantra Sulaiman”:
Dum
di langit
dum
di bumi
peridum di angina
peridum merisai
diri
wahai yang maha tinggi
jika engkau sampai ke timur
jika engkau sampai ke barat
jika engkau menjadi zat
jika engkau sekuat ruh
jagalah aku dari lekat
melokat di diri jarak
wahai bumi berpagar jibril
wahai langit berpagar Mikhail
wahai alam berpagar israfil
jagalah kerajaanku
dari jin dan manusia
dari semua yang melekat
dari lekat kerat lintah
wahai dunia sepanjang galah
jatuh aku jatuh malaikat
malaikat haarut
malaikat maarut
terjerembab aku di kalang rindu
pada tubuh dan gerak dada
melekat lama lupakan engkau
dum peridum
perih di bumi
perih di langit
berkat safaat
baginda nabi
khalifah rasul
puih
(hlm. 37-38)
Dalam sajak-sajaknya begitu banyak kosa kata Melayu yang tidak atau belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).Dheni menggunakan bahasa Melayu yang hidup di tengah masyarakatnya dan bukan yang terdapat dalam kamus.Lantas bagaimana Dheni Kurnia hanyut dalam romantisme mantra puisi Talang Mamak? Terlihat demikian besar gejolak hati sehingga muncul pada sajak buhur yang diartikan kemenyan/aroma wangi dalam “Buhur Bercinta”: Asap buhur dinihari/memecah jantungmu/dengan wirid rindu/menetak deras nadi/hu allah hu allah//angina akan membawamu/kea lam khayal jauh/menembus batas hutan/menerjang pintu air/bersama alir darahmu//aku merabun namamu/dengan gejolak birahi/membakar tali kasih/memutar angan-angan/tunduklah di tanah talang//aku akan membawamu/kemana kemudi pergi/dengan dendangan hati/dengan mata terbuka/menuju tempat abadi//di buhur yang terbakar/aku minyaki engkau/merengkuh jangkau angan/hingga bara bercinta/hu allah hu allah//(hlm. 70-71).
Mengapa sedemikian terpukaunya penyair ini terhadap sosok wanita bernama Bunatin?Jika dihadapkan pada konsep dasar dalam kritik sastra feminis, maka ketika menghadapi teks sastra (Ruthven, 1985). Pertama, terkait dengan proses pembacaan, sedangkan yang kedua terkait dengan kecenderungan ideologis pada proses pembacaan. Makna merupakan produk yang dihasilkan dari pembacaan terhadap teks.Kebenaran interpretasi bersifat tidak pasti karena terbatas pada komunitas pembaca tertentu.Yang jelas, aku-lirik dalam kumpulan puisi ini adalah laki-laki, dan objek pasifnya adalah wanita (yang bernama Bunatin). Dengan bebas aku-lirik menumpahkan kerinduan dengan memainkan diksi yang luar biasa seperti dalam sajaknya “Belah Jantung Batu”: Batu yang terbelah/menyerak bersama waktu/lembut di musim panas/keras di musim hujan/berbukubuku amarah dendam//aku berdiam di dalamnya/menunggu tangan kan menjangkau/menunggu bibir nan merekah/menunggu hari nan akan dating/menanti sahya rindu menjelang//letih sudah aku menunggu/kembali merekat jantung batu/yang beku bak hitam darah/yang berpaling karena khianat/bak sembilu bernanah darah//lama sudah aku menanti/hati bertaut balik berbungkah/bak kerikil yang menyatu/merekat padat tak terpisah/melawan musim selamanya//di batu yang terbelah/aku menunggu/jantung batu/rindu mencair/untuk mengumpul/kenangan lama/kelambu lama/hingga talang/datang menjelang//(hlm. 11-12).
Juga semakin kental kerinduan itu dalam sajak “Di Lubuk Tebrau”: Jangan Tanya kapan/kita bertemu lagi/seperti tahun silam/di tepian/lubuk tebrau/arah jalan bukit melenai//bukannya aku tak merasa/apa yang kau pikirkan/percayalah/di waktu dekat/rindumu terlerai/aku tepat depan waktu//aku juga seperti engkau/betapapun itu/aku ingat/saat kita membuka kebun/atau meracik getah jernang/nyawa akan kubelah//kita miliki hari yang sama/apa yang kau rasa/aku dalam darahku/tak perlu mengaku/atau pura-pura/memang itu kehendak kita// di lubuk tebrau/arah bukit melenai/pandanglah bukit/pandanglah tepian/jangan tanya kapan/aku pasti datang//(hlm. 17-18).
Konsep untuk menjaga kelestarian alam dan tanah ulayat tampak melekat dalam kehidupan Talang mamak. Dapat kita baca dalam penggalan sajak “Percintaan Talang”://tanah ulayat memiliki pantang/tidak digadai tak ditebang/dipakai elok ditanam saying/milik semua puak anak dalam/dari sipang, retih dan monti/jika dijual celakalah talang/pakailah untuk menyangga diri/hidup untuk anak dan kemenakan/tak boleh memperkaya diri/agar selamat petang dan pagi//agar terjaga dari ruh kutuk/jika salah makan, muntahkan/jika salah minum, luahkan/hutang minjam dikembalikan/menimbang harus sama berat/membagi hendak sama rata/adat terjaga syariat riyah//ulayat luas mesti dipelihara/agar ninik gadis tidur nyenyak/tak terbangun tak tersentak/jangan diganggu jangan diasak/buatlah batas seusai adat/jauh serakah melanggar syarak/ukurlah dengan mata hati/bataslah dengan luhur budi/ke timur ke batang cenaku/ke selatan pematang sedodong/ke barat ke sungai elok/ke utara ujung punti kayu//(hlm. 126-127).
Masyarakat Talang Mamak memahami hutan memiliki beberapa fungsi, yakni fungsi kultural, ekologis, sosial, dan ekonomis.Secara kultural di dalam kawasan hutan itu terdapat tempat-tempat yang dikeramatkan atau hutan larangan dan wajib dijaga kelestarianya.
Salah satu bentuk kearifan lokal Talang Mamak lainnya dan tentunya tetap terjaga adalah tradisi pengobatan. Menurut Mu’jizah (2020:), masyarakat Melayu memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan makrokosmos dan mikrokosmos sebagai sumber kehidupan manusia. Jika sumber kehidupan itu terganggu keharmoniannya akan tidak seimbang. Ketidakseimbangan inilah yang mendatangkan penyakit. Dalam Ilmu Tabib dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari empat unsur, yakni (1) api yang bersifat panas dan adanya di empedu, (2) air yang sifatnya basah dan adanya pada paru-paru, (3) tanah sifatnya kering dan letaknya di limpa, (4) angin sifatnya sejuk dan adanya di hati. Jika terjadi ketidakseimbangan dalam keempat unsur tersebut terjadilah penyakit.Oleh sebab itu, jika terdapat penyakit, pengobatannya juga harus berkaitan dengan sumber penyakitnya.
Namun dalam tradisi pengobatan Talang Mamak itu juga tidak lepas dari unsur kekuatan mantra. Dapat kita baca dalam sajak “Senandung Belelik”:
Darimana engkau datang
tengah hutan tak bertiang
dengan siapa engkau pulang
lewat angin nan berjalan
mana rupamu mana wujudmu
engkau bertitah di tanah datuk
nan sati rimbo berpenghuni
kami tunggu di muka jernih
engkau ninik penguasa hutan
tunjukkan kuku dan belangmu
katakana engkau induk kami
yang menolak segala benci
yang mengobat segala tenat
yang menghilangkan segala bala
menggeramlah di hati pedih
jadilah teman sepanjang sesak
kami lelah didera penyakit
kami pedih di siabu hutan
duduk tegak makan tak kenyang
awan berarak lupakan datang
panas terik mendera hari
bala dating tuah menghilang
bantulah kami rawatkan badan
dengan belelik kami memenyan
belelik kami pancaran budi
terus diingat sampaikan mati
menjadi pagar di siang terang
selimut hangat sepanjang hayat
hilangkan segala puaka
cabut segala hujam duri
pagarlah hati dan pedu kami
engkau tuan penguasa hutan
senandung kami memuja engkau
mantra kami di tuang engkau
kami meminta engkau yang datang
mengobat pedih dalam badan
meski kau pulang tak diantar
alam bersaksi atas nama talang
kami berhutang seumur dunia
kan menjaga hutan selamanya
wahai datuk penguasa hutan
kami sembahkan sepagar sirih
umbut rebung dan buluh perindu
daun jarak bertulang sembilan
tumpuk bara dan nipah kering
melompat dan kabul segala pinta
mengaum engkau petanda geram
belelik kami di senandung malam.
#Belelik; tradisi pengobatan talang
(hlm. 104-105)
Membaca sajak di atas lebih dimungkinkan datangnya penyakit adalah dari sesuatu yang sifatnya gaib.Ahmad (1988) menyebut bahwa masyarakat Melayu mengambil sumber obat-obatan juga berdasarkan pada kepercayaan adanya alam gaib.Alam gaib itu berkaitan dengan dunia yang tidak kasat mata seperti hantu, jembalang (hantu tanah yang mewujudkan diri sebagai binatang), polong (hantu atau roh jahat), pelesit (hantu penghisap darah). Dari kepercayaan seperti inilah muncul pengobatan dengan jampi, rajah, dan mantra.
Membaca Bunatin kita disadarkan dengan kekayaan kearifan lokal Talang Mamak sebagai romantisme mantra puisi dalam sajak-sajak Dheni Kurnia. Kemampuan yang luar biasa dalam “mengambil roh” suku Talang Mamak berupa berbagai kearifan lokalnya serta mengejewantahkan dalam sajak-sajaknya, baik secara intrinsik dan ekstrinsik dengan bahasa Melayu sebagai identitas dan Rahim budayanya.
Dheni Kurnia berhasil menciptakan ruang dialog yang akrab melalui antologi puisi Bunatin dengan publik pembaca karyanya lewat tema-tema segar dan baru dalam sajak-sajaknya.
———-
*Bambang Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta. Kumpulan puisinya al. Silsilah yang Gelisah (2017); Air Mata Sungai (2019); Mubeng Beteng (2020). Cerpennya tergabung dalam Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-ikan Kecil (2017); Alumni MUNSI Menulis (2020). Ikut menulis di Bunga Rampai Nyanyi Sunyi Tradisi Lisan (ATL,2021); Mencecap Tanda Mendedah Makna (FIB UI, 2021); Esai dan Kritik Sastra NTT (KKK, 2021). Dia dosen Universitas Mercu Buana dan peneliti/anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).