Untuk Pulih, Kita Perlu Mulih
Oleh Adi Prayuda
Mungkin banyak dari kita, saat ini, yang tidak bisa melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman. Budaya yang sudah dua tahun ini tidak bisa dilakukan sebagaimana biasanya. Perihal merayakan kemenangan, memang rumah adalah tempat yang paling indah. Berkumpul bersama keluarga, melepas begitu banyak beban dalam pemaafan. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk menyentuh dimensi rumah yang tak berwujud dan ada di dalam diri kita. Rumah yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Artinya, rumah yang tidak ada bentuknya dan tidak berada di masa lalu, apalagi masa depan.
Oleh karena rumah ini tidak ada wujudnya, maka pulangnya pun berbeda, tidak seperti pulang yang biasanya kita lakukan. Pulang yang bukan hanya sekedar menggerakkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi membawa perhatian kembali kepada sumbernya dan beristirahat di sana. Kata “di sana” sebenarnya kurang tepat, tapi itu kata terbaik yang bisa saya gunakan saat ini untuk menjelaskan sesuatu yang melampaui ruang. Mengajak perhatian beralih dari ketidakstabilan pikiran-perasaan menuju kesadaran yang tanpa penghakiman.
Tentu bukan hal yang sederhana, apalagi bagi sebagian kita yang mungkin rumahnya ada di masa lalu atau masa depan. Dominan hidup di dalam kenangan atau angan. Hidup yang sebagian besar dipersembahkan untuk mengejar impian atau berlari dari masa lalu yang memilukan. Mendedikasikan tenaga yang mungkin dibahanbakari oleh rasa takut, marah, kecewa, atau rasa kekurangan dalam siklus yang tidak ada habisnya. Ketika pulang ke bangunan rumah, hanya tubuh yang pulang, namun pikiran-perasaan masih tersesat dalam rimba ketidaktenangan.
Menyadari ruang yang menaungi gerakan pikiran-perasaan, itu langkah pertama dan sekaligus yang terakhir. Hanya sadar saja. Apapun gerakan pikiran-perasaan, tidak perlu menyentuhnya. Dibiarkan mengalir tanpa ditahan atau ditekan. Apapun pertanyaan atau celoteh pikiran, tidak perlu dijawab atau diberi respon. Jawaban apapun yang kita berikan memberi energi kepada pikiran dan memperkuatnya. Tidak perlu juga melawan pikiran-perasaan. Perlawanan terhadap pikiran memberi efek yang sama, memperkuat energi pikiran. Perlawanan terhadap rasa sedih, marah, takut, kecewa atau rasa apapun justru memperkuat energi perasaan. Ingat, tujuan kita adalah pulang, bukan berperang dengan pikiran-perasaan.
Pulang yang seperti ini adalah pulang yang menyembuhkan, pulang yang memulihkan. Untuk pulih, kita perlu mulih (pulang ke hati kita sendiri). Sudah terlalu lama perhatian kita tinggal di kepala, sibuk membandingkan, menilai, menghakimi, mengejar, menggenggam, menolak. Memaafkan pun menjadi aktivitas yang dilakukan kepala, tidak ada ketulusan, hanya rutinitas. Hati, sedari awal, adalah ruang pemaafan, yang disana tidak ada penghakiman, sehingga tidak ada yang memaafkan dan yang perlu dimaafkan. Memaafkan hanya muncul ketika ada pihak yang merasa benar. Pulang dulu saja, kurangi perjuangan untuk ikhlas atau memaafkan. Tenang saja, di rumah hati kita tidak ada tetangga.
Selamat merayakan hari kembalinya perhatian ke rumahnya yang adalah kesejatian saat ini. Saat ini bukanlah bagian dari waktu. Namun, waktu muncul dan lenyap dalam keabadian saat ini. Saat ini bukan juga bagian dari ruang. Bukan sebuah lokasi geografis. Tidak bisa ditunjuk letaknya, namun melingkupi semua ruang. Inilah Idul Fitrah, kembali kepada kealamiahan diri kita yang sejati, yang melampaui ruang dan waktu, menyentuh hidup di saat ini. Selamat pulang ke kampung di hati kita masing-masing. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin.
*Penulis adalah Pengasuh “Ruang Jeda”