Umbu Landu Paranggi, RIP
Aide Memoire
bukalah jendela, di luar angin
menyiapkan pelaminan kemarau
sebelum burung-burung dan daunan
luput dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan mengubur segala kecewa
upacara kecil hari-hari kelampauanku
bukalah kerudung jiwa di sini
gemakan kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau dekat, dari ruang ini
sebelum sayap-sayap derita dan kerja
pergi berlaga mendarahi bumi
dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di mana mengkristal rindu dendamku abadi
(Umbu Landu Paranggi,1967)
Oleh Anapana
Umbu wafat. Ia meningalkan kita pukul 03.55 Wita di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur, Selasa, 6 April ini. Penyair Zawawi Imron di berbagai grup WA sastra menulis: Umbu adalah puisi sendiri. Kesederhanaannya sangat puitis. Ia pergi sendiri. Kami yang mengenangnya tidak sendiri. Umbu, ada misteri yang kau tinggalkan dan tak sepenuhnya kami mengerti.
Kata-kata Zawawi tepat. Umbu adalah misteri. Tak banyak orang yang pernah berjumpa dengan Umbu. Kami hanya mendengar kisah-kisah legenda nya di tahun 70-an saat ia mengelola rubrik puisi Sabana di Harian Pelopor Yogya. Bagaimana saat itu sepanjang malam ia selalu menyusuri Malioboro dan menggugah para penyair muda untuk meningkatkan kualitas puisi. Umbu menggembleng ruhani para penyair. Meski tak kenal dan tak pernah bersua dengannya – kisah-kisah perjalanan Umbu – menjadi guru bagi siapa saja yang mencintai sastra dan puisi. Mencintai kejujuran. Kesederhanaan dan kesubliman. Dan seperti ditulis dalam sajak Umbu, Aide Memoire di atas mampu membuka : kerudung jiwa.
Emha Ainun Nadjib – dalam sebuah tulisan pernah berkelakar mengenai rubrik puisi Sabana di Harian Pelopor Yogya yang terbit tahun 70-an di Yogya tersebut. Waktu itu jika puisinya berhasil terbit di Sabana, ia ibaratkan seperti naik haji. Sementara jika puisinya bisa tembus Majalah sastra Horison yang terbit di Jakarta itu sama saja seperti Isra Mikraj.
Hal itu menunjukkan betapa prestisiusnya rubrik puisi Sabana di mata penyair penyair muda Yogya saat itu. Meskipun Pelopor Yogya adalah media lokal, namun rubrik Sabana sama prestisiusnya dengan majalah sastra nasional sekelas Horizon dan Budaya Djaya. Dan redaktur sastra Pelopor Yogya saat itu adalah penyair Umbu Landu Paranggi. Penyair kelahiran Sumba, 10 Agustus 1943 itu dipandang sebagai mentor, guru, pengasah batin, pembimbing yang melahirkan banyak penyair Yogya ke kancah perpuisian nasional seperti Emha, alm Linus Suryadi Agustinus dan sebagainya.
Bertempat di lantai dua kantor redaksi Pelopor Yogya mingguan tersebut, jalan Malioboro 175 A, Umbu pada 5 Maret 1968 membentuk komunitas penyair Persada Studi Klub. Di komunitas itu Umbu menyelenggarakan diskusi-diskusi yang mengasah penulisan. Tiap minggu komunitas itu berkumpul. Tiap anggota membacakan karyanya, Umbu kemudian memberikan kritik dan masukan. Demikian aktifnya saat itu, diskusi bisa terjadi tiap malam di sepanjang jalan Malioboro. Membaca, menulis, berdiskusi seolah kegiatan tanpa batas waktu. Sedemikian telaten dan intensnya Umbu membina penulis-penulis muda PSK tiap malam di jalanan Malioboro sehingga ia dijuluki sebagai Presiden Malioboro.
Umbu juga sering mengajak para penyair muda mengelana berjalan kaki ke sudut sudut Yogya untuk melatih kepekaan rasa dan intuisi. Umbu mengajari orang bahwa sastra adalah kehidupan dan tulisan yang baik bertolak dari pengalaman. Ia menggugah orang untuk menangkap momen-momen puitis. Memperhatikan hal-hal kecil di jalanan dan menuangkannya dengan kata-kata yang tepat. Emha dalam tulisannya lain pernah menceritakan bagaimana hampir tiap malam ia diajak Umbu berjalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali bahkan Umbu mengajak berjalan kaki ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis. Selalu Umbul muncul tiba-tiba di kostnya tengah malam dan mengajaknya pergi. Umbu juga aktif mendorong anggota PSK membikin acara perkemahan sastra atau pembacaan sastra di berbagai lokasi mulai lereng bukit Kali Code, Kali Progo, Kali Gajah Wong sampai di surau, pesantren dan pasar.
Di Koran Pelopor Yogya Umbu menyediakan rubrik khusus bagi anak-anak PSK yang dinamai Pos Persada. Rubrik ini didesain Umbu sebagai wadah karya anggota PSK yang dikirim ke Pelopor Yogya tapi tak dimuat Umbu karena dianggap masih belum cukup bermutu. Untuk sajak-sajak yang dianggap bermutu oleh Umbu dimuat di ruangan yang disebut Sabana.
Umumnya anggota PSK karya-karyanya pernah ditolak Umbu dan dikomentari di Persada dulu sebelum akhirnya bisa menembus Sabana. Yang menarik Umbu selalu memotivasi mereka yang dikomentari di Persada. Bahkan Umbu sering mengembalikan puisi kepada si penulis dengan catatan-catatan perbaikan. Manakala hasil yang ditulis belum mencerminkan adanya peningkatan Umbu menyemangati meminta terus ditingkatkan. Itulah yang menyebabkan Umbu dianggap sebagai seorang guru.
Pada tahun 1975 , setelah menempa penyair-penyair Yogya tiba-tiba Umbu menghilang. Tahun 1979 ia muncul di Bali dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di Yogya. Ia mencari bakat-bakat terpendam penyair muda Bali, menebar benih, menyiang, memupuknya. Penyair Bali generasi 1980-an, 1990-an, 2000-an, rata-rata pernah bersentuhan dengan Umbu. Di Bali, pada tahun 1980-an Umbu mengasuh rubrik puisi di Koran Bali Post. Sebagaimana di Harian Persada Yogya, Umbu membagi-bagi ruang puisinya. Bahkan dibanding di Yogya pembagiannya lebih banyak.
Umbu mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuat ke dalam 4 kategori. Kategori Pawai bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kategori Kompetisi bagi penyair yang puisinya dianggap lumayan dan siap diadu dengan penyair lain yang selevel, kategori enyair yang sajaknya siap diadu di luar kandang dan terakhir kategori Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang dianggap sajak-sajaknya telah matang. Umbu menyatakan mereka yang bisa menembus kategori Pos Budaya dianggap sajak-sajaknya selevel dengan sajak-sajak penyair nasional yang dimuat di Horison. Umbu juga membuat kategori “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu halaman penuh koran yang sangat sulit ditembus penyair.
Menurut penyair Bali Wayan Sunartha dalam sebuah tulisannya sistem yang dibuat Umbu membuat para penyair muda Bali “mabuk kepayang” dan tergila-gila menulis puisi. Umbu sering membakar para penyair yang sajaknya baru masuk kategori kelas Pawai dan Kompetisi untuk berkarya lebih bagus. Menurut Wayan Sunartha sistem seperti itu berhasil menggugah anak-anak muda di Bali untuk berkompetisi menunjukkan karya yang paling unggul. Apalagi Umbu juga memuat esai-esai dan kritik puisi dari para penulis muda itu. Rubrik sastra Umbu yang unik dan meriah itu pun menjadi ruang polemik sastra (puisi) di antara mereka.
Pada era 2000-an, Umbu mengubah konsep rubriknya menjadi “Posis” atau “Pos Siswa” sebagai ruang untuk menampung tulisan-tulisan dari para siswa, “Posmas” atau “Pos Mahasiswa” bagi tulisan-tulisan dari mahasiswa, dan “Pos Solo Run” bagi penulis yang tampil tunggal. Umbu juga menyediakan ruang bagi para guru yang suka menulis esai-esai pendek. Terkadang sejumlah puisi dan prosa berbahasa Bali pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada sastra daerah.
Sebagaimana di Yogja, Umbu bukan tipe redaktur sastra yang hanya duduk di belakang meja. Dia menjalankan konsep “turba” atau “turun ke bawah”. Di tahun 80-an sering misalnya Umbu mengajak para penyair muda di Sanggar Minum Kopi, Denpasar menyelami kehidupan di Pasar Kumbasari yang buka 24 jam. Umbu mengajak mereka memperhatikan hal-hal kecil kesibukan ibu-ibu pedagang sayur sampai kusir dokar. Kegiatan Umbu memotivasi anak muda untuk mencintai puisi namun tidak hanya terbatas di Denpasar tapi sampai kabupaten-kabupaten. Umbu membuat jadwal pertemuan rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi. Maka di daerah-daerah seperti Jembrana dan Singaraja bermunculanlah sanggar-sanggar sastra yang dimotivasi Umbu. Di komunitas sastra di kabupaten-kabupaten itu, Umbu suka muncul tiba-tiba. Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan.
Umbu sendiri adalah penyair yang hebat. Sajak-sajak lirisnya kuat. Sajak Aide Memoire yang dikutip di atas demikian sublim. Demikian juga sajak-sajaknya yang lain seperti:
Melodia
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali
Bertahan
Karena kehidupan pun sanggup merangkum duka gelisah
Kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi
Suara-suara luar sana
Sewaktu-waktu berjaga dan pergi, membawa
Langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati
Penggembara
Dalam kamar berkisah, taruhan jernih memberi arti
Kehadirannya
Membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari
Tergesa berlalu
Meniup deras usia, mengitari jarak dalam gempuran
Waktu
Takkan jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi
Dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka-duka, hikmah pengertian
Melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas dibawah bantal,
Penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam
Manja bujukan
Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis,
Bahagia sederhana
Di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan
Dan jiwa
Kadang seperti terpencil, tapi bergairah bersahaja
Harapan dan impian
Yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi
Dan kedua tangan
Solitude
dalam tangan sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam
dalam detik-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh menggema
menggigilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian
seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung nalang nasibmu
di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi
Di Sebuah Gereja Gunung
lonceng kecil yang bertalu, memanggil-manggil belainya
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan itu, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
—berpadu memanjat doa dan terima kasih bagi kehidupan
—bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketenteraman
—di antara sesama, pada malapetaka menimpa dunia ini
—pertikaian peperangan, damailah di surga di bumi ini: mazmur mereka keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang
samamentari dan bulan yang bersinar di mana pun—
dan tuhan mendengar seru doa mereka
Namun ia tampaknya lebih bahagia apabila menemukan anak asuhannya mampu menciptakan puisi-puisi yang baik daripada puisinya sendiri. Umbu seolah tak ingin puisi-puisinya yang dilihat orang, tapi sajak-sajak anak didiknya. Ia melupakan sajak-sajaknya sendiri untuk lebih menumbuhkan sajak-sajak orang lain. Atas pengabdian Umbu yang tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih di Yogya dan Bali, maka sebuah award adalah kelayakan. Ia adalah pelopor, pendidik komunitas-komunitas sastra yang mampu melahirkan sastrawan-sastrawan tangguh. Tanpa Umbu tak akan muncul generasi-generasi penyair di Yogya dan Bali.
Sampai akhir hayatnya Umbu dikenal sebagai penyair yang berumah di atas angin. Tak seorang pun tahu di mana tempat tinggal tetapnya. Di mana Umbu suka, di situlah rumah baginya. Dia jarang mau datang ke acara-acara kesenian, meski diundang secara khusus. Tapi seperti dikatakan Wayan Sunartha dia akan muncul tiba-tiba ketika acara itu menarik perhatiannya, atau hanya mengamati jalannya acara dari jarak yang jauh atau dari balik kegelapan. Pada tahun 2018 Akademi Jakarta memberi award kepada Umbu Landu Paranggi. Sebuah perhelatan diselenggarakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Umbu diundang dari Bali dan dijadwalkan untuk pidato. Banyak seniman dan sastrawan datang ke acara itu, menunggu Umbu yang sangat layak sekali menerima award Akademi Jakarta. Tapi Umbu tak muncul. Ia tak mau menerima award – datang ke Jakarta. Terakhir tahun lalu– di saat pandemi ini, Umbu menerima award tokoh seni dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indoneia. Bens Leo, pengamat musik yang kebetulan menjadi anggota tim juri, menemui Umbu di Denpasar. Umbu ternyata menerima hangat. Seperti diceritakan Bens saat itu, Umbu mengatakan ia tak ingin pergi ke Jakarta bila menerima award apapaun. Bens Leo lalu diajak Umbu bertemu dengan para penyair muda Bali.
Dalam sebuah buku, almarhum Sapardi Djoko Damono pernah menulis Umbu. Tulisnya: “Setiap ingat Umbu, saya suka membayangkan sabana yang membentang antara tanah perbukitan dan laut yang batasnya cakrawala. Di sana saya bayangkan berkeliaran kuda-kuda, dan dari kejauhan tampak oleh saya seorang Pangeran, lelaki bertubuh kokoh di atas kuda memandang ke sekeliling yang lepas. Umbu. Dalam bayangan saya, ia menguasai keseluruhan pemandangan itu dan karenanya mampu mengubahnya menjadi apa saja. Tanah yang berbatu-batu, gerumbul yang tumbuh di sana-sini, rumputan, jalan setapak bekas kaki kuda, dan nun di sana laut yang terhampar selalu bergolak menyerukan suara-suara kekal ke daratan hening yang sesekali terganggu ringkik kuda. Umbu, dalam bayangan saya, adalah kebebasan itu.”
Lelaki kokoh di atas kuda itu – sang pejuang puisi kelahiran 10 Agustus 1943 di Waingapu, Sumba Timur itu kini telah wafat. Dunia puisi Indonesia kehilangan salah satu guru batinnya. Di sabana, sabana yang luas Umbu berbaring, seperti sebuah sajaknya sendiri:
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala