Tubuh Tradisi yang Terperi dan Krisis Epistemologi Kultural Kita 

 Oleh Purnawan Andra

Cerita Panji sering dirayakan sebagai salah satu karya sastra klasik paling penting dari Jawa. Ia dihidupkan ulang dalam berbagai bentuk: pementasan wayang, tari topeng, hingga festival budaya lintas negara. Bahkan UNESCO mengakui naskah-naskahnya sebagai bagian dari Memory of the World. 

Namun, di balik selebrasi itu, kita kerap lupa bahwa kisah Panji bukan hanya kisah cinta Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Ia adalah narasi yang lahir dari lanskap hidup tertentu—dari dunia agraris dan spiritual yang kini nyaris punah. Kisah ini menyatu dengan tubuh-tubuh manusia yang dulu menyatu dengan alam, dari gerak yang bukan hanya koreografi, tetapi juga artikulasi pengetahuan ekologis yang mendalam.

Ambil contoh seni pertunjukan Topeng Dalang dari Klaten. Di sana, cerita Panji tidak sekadar dituturkan, melainkan dihidupi secara utuh melalui tubuh, suara, dan ruang. Vokabuler gerak seperti umbah-umbah (mencuci di sungai), napeni (membersihkan gabah), atau ngundhuh layangan (menerbangkan layang-layang) bukan sekadar gerak tari, melainkan artefak tubuh dari masyarakat agraris yang hidup dan bernafas bersama alam. Setiap gerakan mengandung jejak komunal, ritus, permainan, dan laku hidup.

Dalam kerangka antropologi tari dan estetika gerak, vokabuler ini menyimpan lapisan makna yang tak dapat direduksi menjadi ornamen atau dekorasi. Umbah-umbah menandakan pembersihan batin dan regenerasi siklus hidup; napeni menggambarkan keterikatan manusia dengan tanah yang menjadi sumber pangan dan kehidupan; sedangkan ngundhuh layangan bukan sekadar permainan anak-anak, tapi juga relasi imajinatif manusia dengan angin dan langit (alam)—relasi dengan sesuatu yang tak tampak tapi nyata. Dalam ruang hidup ini, tubuh menjadi arsip pengetahuan, dan tari menjadi praktik epistemologis.

Namun kini, kita menyaksikan lanskap budaya yang tercerabut. Sungai yang dahulu tempat umbah-umbah kini mengalirkan limbah. Sawah-sawah yang menjadi ruang belajar gerak kini berubah menjadi perumahan dan pabrik. Anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan layar gawai ketimbang bermain layang-layang di tanah lapang. Tubuh-tubuh baru lahir dalam ruang baru—tubuh yang tak lagi mengenal tanah, air, angin, dan api sebagai sumber pengetahuan hidup.

Akibatnya, simbolisme dalam gerak tari ini berisiko menjadi fosil semiotik tubuh—jejak tubuh yang kehilangan konteks material dan sosialnya. Gerak tubuh menjadi koreografi semata, bukan artikulasi hidup. Ia tetap bisa ditampilkan, bahkan diajarkan dalam kelas-kelas tari, namun referensi hidup yang menopang maknanya telah hilang. Tubuh tak lagi menjadi wahana pengetahuan; ia tereduksi menjadi instrumen hiburan dan konsumsi.

Cerita Panji, yang pernah menyebar dari Jawa hingga ke Kamboja dan Thailand, bukan hanya dongeng romantis. Dalam lakon-lakonnya, Panji bukan pangeran penakluk, melainkan peziarah, penyamar, dan penanya. Ia menjelajahi ruang dan waktu, menghadapi krisis sosial maupun bencana alam. Dalam dirinya, Panji adalah representasi dari sistem pengetahuan lokal: kosmologi, etika, tata sosial, dan pemetaan ekologis. Tari Panji dalam Topeng Dalang, karenanya, adalah artikulasi tubuh dari kosmologi ini.

Setiap ekspresi tubuh Panji mengandung ajaran: dari kelembutan gerak, ketepatan ritme, hingga kedalaman ekspresi wajah. Ia bukan hanya tentang keindahan, tapi tentang cara hidup. Panji dalam topeng tidak melawan, ia menyelaraskan diri. Ia bukan simbol heroisme militeristik, tapi simbol kebijaksanaan dan harmoni. Dalam tubuh Panji, etika hidup ditubuhkan: ketekunan, kesabaran, penghormatan pada yang tak tampak.

Namun kini, Panji hidup dalam lanskap budaya yang retak. Topeng Dalang Klaten, yang pernah menjadi jantung komunitas seni rakyat, terancam punah. Ketika ia menghilang, yang lenyap bukan sekadar bentuk seni, tapi seluruh ekosistem makna: hubungan antara tubuh, ruang, alam, dan pengetahuan. Maka kita perlu bertanya dengan jujur dan genting: untuk siapa cerita Panji dilestarikan hari ini? Warisan siapa yang sedang dibingkai?

Ketika masyarakat asal yang melahirkan Panji—para petani, dalang desa, penari rakyat, dan spiritualis lokal—terpinggirkan dari ruang hidup mereka, pelestarian cerita Panji menjadi paradoks. Apa artinya menjaga bentuk jika jiwanya dicabut? Pelestarian tanpa konteks adalah bentuk lain dari pencabutan akar.

Krisis Ruang Ekologi Kultural

Kondisi ini tidak hanya terjadi pada Panji dan Topeng Dalang. Banyak seni tradisional Indonesia mengalami gejala serupa: kehilangan ruang ekologis dan sosial yang menopang keberadaannya. Dalam konteks antropologis, seni pertunjukan adalah hasil dari interaksi antara tubuh, alam, dan laku hidup. Ketika salah satu unsur ini rusak, seni pun mengalami disorientasi.

Tari Gandrung di Banyuwangi, misalnya. Ia dulunya adalah ekspresi syukur pasca panen, menghadirkan tubuh perempuan sebagai medium antara manusia dan kesuburan tanah. Hari ini, Gandrung hadir sebagai dekorasi festival dan seremoni formal. Gerakannya masih indah, tapi kehilangan kedalaman spiritual dan ekologis yang dahulu menyusunnya.

Demikian pula Reog Ponorogo. Di masa lalu, ia adalah bentuk perlawanan kolektif, narasi mitologis tentang hubungan manusia, hewan, dan kekuatan alam. Kini, ia tampil di jalan-jalan kota besar sebagai kontes kekuatan fisik, dilombakan demi branding kota, dipisahkan dari konteks agraris dan spiritual yang dahulu menjadi nadinya.

Kerusakan ekologis tak hanya menghancurkan habitat fisik, tetapi juga menciptakan kerusakan epistemologis. Ia memutus jaringan makna yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya. Sungai yang dibeton, sawah yang dijadikan mal, desa yang dijadikan kawasan industri—semua ini menghapus medan makna tempat seni lahir. Ketika umbah-umbah, napeni dan ngundhuh layangan tak lagi bisa dilakukan, maka geraknya dalam tari pun kehilangan daya resonansi.

Yang terjadi adalah krisis kontekstualitas: simbol tubuh tidak lagi memiliki referensi hidup. Napeni, dalam tari Panji, bukan hanya tentang memilah gabah—ia adalah lambang ritme hidup yang lambat, teliti, dan penuh penghormatan terhadap hasil bumi. Ketika pengalaman ini lenyap, simbol pun kehilangan bobotnya. Ini bukan semata soal bentuk tari, tapi soal krisis makna.

Ironisnya, dalam wacana pelestarian budaya, pendekatan institusional sering memisahkan budaya dari masyarakatnya. UNESCO mungkin menetapkan Panji sebagai warisan dunia, tapi apakah masyarakat pendukungnya memiliki suara dalam proses ini? Atau justru mereka disisihkan, dan simbol-simbol yang mereka wariskan digunakan untuk legitimasi kebijakan dan promosi pariwisata?

Seni tradisional bukan sekadar warisan visual. Ia adalah sistem pengetahuan yang hidup: ia mencerminkan cara masyarakat memahami dunia, alam, dan kehidupan. Ketika kita memisahkannya dari praksis hidup dan ruang ekologisnya, maka yang kita simpan hanyalah cangkang.

Contoh lain adalah Tari Ma’gellu dari Toraja. Ia dahulu hadir dalam ritus duka dan pemaknaan kematian. Kini, ia dikemas dalam versi pendek dan performatif untuk tampil di hotel atau YouTube. Ritual dan duka itu hilang. Yang tersisa hanya bentuk.

Kita sering menyebut ini sebagai “adaptasi” atau “modernisasi,” padahal bisa jadi ia adalah bentuk depolitisasi makna dan pengasingan tubuh. Seni kehilangan dunia asalnya. Ia menjadi representasi tanpa realitas.

Krisis ini, jika dilihat secara mendalam, bukan hanya kultural atau ekologis. Ia adalah krisis epistemologis: krisis dalam cara kita memahami apa itu seni, apa itu tubuh, apa itu pengetahuan. Ketika cerita Panji dan gerak napeni tidak lagi dimengerti sebagai pengetahuan hidup, maka mereka menjadi sekadar aset budaya. Seni direduksi menjadi ornamen. Lingkungan direduksi menjadi sumber daya. Komunitas menjadi objek yang menerima “manfaat,” bukan subjek pengetahuan.

Imaji Politik Budaya Baru

Sudah saatnya kita membongkar dikotomi pelestarian versus kemajuan demi pemajuan kebudayaan. Pelestarian yang sejati adalah yang memberi ruang hidup bagi praktik itu untuk terus tumbuh dan berubah dalam konteksnya. Ia bukan pembekuan, bukan pula komodifikasi.

Panji tidak perlu dijaga seperti artefak, melainkan dihidupkan kembali sebagai sumber imajinasi politik budaya. Sebagai tokoh yang menolak kekuasaan dan memilih jalan penjelajahan, Panji bisa menjadi simbol alternatif atas model pembangunan yang sentralistik dan eksploitatif. Ia mewakili keberanian untuk bertanya, menyamar, menjelajah, dan menyelaraskan diri dengan dunia.

Begitu pula Topeng Dalang Klaten. Ia tidak perlu disterilkan menjadi tontonan hotel bintang lima atau festival budaya elite. Yang dibutuhkan adalah restitusi ruang: biarkan dalang kembali bermain di langgar, di lapangan desa, di acara selametan, di ruang-ruang yang hidup. Biarkan anak muda belajar menari bukan untuk lomba atau panggung istana, tapi sebagai cara membaca dunia—sebagai laku hidup.

Kita perlu pendekatan lintas disiplin, lintas batas. Restorasi sungai bukan hanya urusan debit air dan DAS, tapi juga pemulihan ruang bermain, laku ritual, dan cerita rakyat. Pemulihan seni tradisional bukan sekadar pelatihan teknis atau bantuan dana sanggar, melainkan pemulihan sistem kehidupan.

Sudah saatnya kita berhenti melihat seni tradisional sebagai benda mati yang perlu diselamatkan. Kita mesti melihatnya sebagai organisme hidup yang menuntut keadilan ekologis, sosial, dan epistemologis. 

Menjelang peringatan Hari Tari Dunia 29 April, catatan tentangnya ini dituliskan – sebagai sebuah ingatan, peringatan, pun pembayangan apa yang bisa dilakukan.

—–

*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.