The Odes, Salomo dan Refleksi Kesia-Siaan Paling Sia
Oleh Tony Doludea
Octavianus adalah kaisar Romawi pertama, ia diberi gelar “Augustus”, yang berarti “yang dipertuan” oleh senat pada 27 SM. Kaisar Octavianus Augustus (63 SM–14 M) dikenal sebagai tokoh penting dalam pembentukan pemerintahan Romawi, karena memiliki strategi kepemimpinan yang sangat cerdas.
Kaisar Augustus mengakhiri perang saudara berkepanjangan dan menciptakan kedamaian, kesejahteraan dan kemegahan bagi Kekaisaran Romawi, yang dikenal sebagai Pax Romana (Kedamaian Romawi).
Pada 27 SM, Octavianus mengumumkan pemulihan kembal sistem Republik dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada para senator. Namun, Octavianus tetap menduduki kepala provinsi Spanyol, Galia dan Siria, karena ketiga tempat itu adalah basis kekuatan tentara Romawi.
Pada masa pemerintahan Kaisar Augustus, Yesus Kristus dilahirkan di Betlehem, Provinsi Yudea dan kemudian dibesarkan di Nazaret, Provinsi Galilea, wilayah yang berada di bawah pendudukan Kekaisaran Romawi.
Sebagai penguasa Romawi, tidak membuat Augustus hidup dalam kemewahan, memamerkan kekuasaan dan kejayaan di tengah-tengah rakyat Romawi. Augustus mengutamakan hidup “hemat”, istana tempat tinggalnya pun berukuran kecil, dengan perabotan sederhana.
Berkat bantuan Livia Drusilla (58 SM–29 M), istrinya itu, Augustus mampu menangani perubahan-perubahan yang terjadi di kekaisarannya. Augustus membuat undang-undang baru, yaitu undang-undang yang menghukum ketidaksetiaan dalam pernikahan dan hidup boros dalam keluarga. Maka peraturan baru itu mendorong setiap warga negara untuk bertanggung jawab terhadap masyarakat maupun keluarga.
Quintus Horatius Flaccus (65 SM—8 SM), penyair Latin yang sangat terkenal itu pun, bahkan sangat kagum kepada Augustus. Tema-tema utama Ode dan Surat-surat Horatius adalah tentang kasih, persahabatan, filsafat dan puisi.
Horatius mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip Filsafat Yunani, yaitu keadilan (keseimbangan) dan autarkeia (kemandirian). Ia menyeimbangkan moral tradisional dengan hedonisme di bawah pengaruh pandangan Epikurean. Autarkeia adalah dasar aspirasi baginya untuk hidup tenang, jauh dari keinginan politik dan hasrat yang tidak terkendali.
Dalam The Odes IV: V, Horatius memuji Augustus:
Son of the blessed gods, and greatest defender
of Romulus’ people, you’ve been away too long:
make that swift return you promised, to the sacred
councils of the City Fathers.
Blessed leader, bring light to your country again:
when your face shines on the people, like the shining
springtime, then the day itself is more welcoming,
and the sun beams down more brightly.
Then the ox will wander the pastures in safety,
Ceres, and kindly Increase, will nourish the crops,
our sailors will sail across the waters in peace,
trust will shrink from the mark of shame,
the chaste house will be unstained by debauchery,
law and morality conquer the taint of sin,
mothers win praise for new-born so like their fathers,
and punishment attend on guilt.
Every man passes the day among his own hills,
as he fastens his vines to the waiting branches:
from there he gladly returns to his wine, calls on
you, as god,…
Selanjutnya di The Odes IV: XV, Haoratius menulis:
With Caesar protecting the state, no civil
disturbance will banish the peace, no violence,
no anger that forges swords, and makes
mutual enemies of wretched towns.
On working days, and the same on holy days,
among laughter-loving Bacchus’ gifts to us,
with our wives and our children we’ll pray,
at first, to the gods, in the rites laid down,
then, in the manner of our fathers, bravely,
in verse, that’s accompanied by Lydian flutes,
we’ll sing past leaders, we’ll sing of Troy
Anchises, and the people of Venus.
The Odes itu melukiskan pengalaman pribadi sang penyair dan hendak mengakrabkan para pembacanya dengan kehidupannya. Yang menggambarkan budaya masyarakat Romawi yang luhur dan agung, sebagaimana masyarakat Yunani.
Syair-syairnya didasarkan pada perenungan filosofis tentang hidup, cinta dan kesenangan. Horatius adalah orang yang tidak dapat digoda oleh kekayaaan dan kemashyuran, namun ia meletakkan dasar bagaimana orang itu harus menjadi pribadi yang terbaik.
Salah satu ungkapan yang sangat terkenal, yang pernah ditulisnya pada The Odes 1. 11, yaitu “carpe diem, quam minimum credula postero.” “Petiklah hari ini dan percayalah sedikit mungkin pada hari esok.” Horatius mengundang para pembacanya untuk menikmati dengan sukacita hari ini dari segala segi, tiap saat, tanpa memikirkan hari esok.
Namun dalam The Odes IV. VII Horatius mengingatkan para pembacanya juga bahwa “pulvis et umbra sumus”, “kita tidak lain hanya debu dan bayang-bayang.” Ya, manusia itu hanyalah debu dan bayang-bayang.
Manusia tidaklah sebegitu penting, sebagaimana yang ia pikirkan selama ini. Lakukan apa saja yang hendak dilakukan dan kejarlah mimpi dan keinginan sebelum itu semua akan berakhir.
Manusia tidak perlu menyesali apa yang tidak dapat diraihnya. Lakukanlah apa saja yang ingin dilakukan. Sebab pada akhirnya semuanya itu hanyalah debu dan bayang-bayang.
********
Pada 970 SM, Salomo (1000 SM-931 SM) menggantikan Daud (1040 SM-970 SM), ayahnya itu sebagai raja Israel. Salomo mendapat kemujuran dari TUHAN, sehingga setiap orang Israel menaati perkataannya. Semua pemimpin, pejuang dan semua anak raja Daud mengakui kekuasaan raja Salomo.
TUHAN membuat Salomo luar biasa besar di mata seluruh orang Israel dan mengaruniakan kepadanya keagungan kerajaan seperti tidak pernah ada pada semua raja sebelum dia yang memerintah atas Israel.
Ketika seluruh orang Israel melihat bahwa hikmat dari Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan. Allah memberi memberikan kepada Salomo hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi laut.
Sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur dan melebihi segala hikmat orang Mesir. Ia lebih bijaksana daripada semua orang, daripada Etan, orang Ezrahi itu dan daripada Heman, Kalkol dan Darda, anak-anak Mahol. Sebab itu ia mendapat nama di antara segala bangsa sekelilingnya. Ia menggubah 3000 amsal dan nyanyiannya ada 1005.
Ia bersajak tentang pohon-pohonan, dari pohon aras yang di gunung Libanon sampai kepada hisop yang tumbuh pada dinding batu. Ia berbicara juga tentang hewan, burung-burung, binatang melata dan ikan-ikan.
Raja Salomo melebihi semua raja di bumi dalam hal kekayaan dan hikmat. Raj-raja di bumi berikhtiar menghadap Salomo untuk menyaksikan hikmat yang telah ditaruh Allah di dalam hatinya.
Namun raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun, ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon dan Het. Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik, isteri-isterinya itu menarik hatinya menjauh dari TUHAN.
Padahal TUHAN telah berfirman kepada orang Israel: ‘Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan mereka pun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka.’ Maka hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta.
Dalam tradisi sastra hikmat Israel, Salomo diyakini telah menulis Kidung Agung, Amsal dan Pengkhotbah. Salomo menulis Kidung Agung ketika masih muda-usia, Amsal ketika setengah umur dan matang dan Pengkhotbah ketika sang raja sudah tua renta.
Kidung Agung merupakan kumpulan syair-syair cinta. Tokoh utama kitab ini adalah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang saling mencintai satu sama lain. Mereka menceritakan tentang kisah cinta mereka, misalnya tentang kekaguman mereka terhadap pasangan satu sama lain, kerinduan yang sangat kepada pasangan mereka, kisah pertemuan mereka dan lain-lain. Tentang isi hati kedua mempelai, pujian antarpasangan, keriduan di antara satu sama lain dan undangan untuk ‘saling menikmati’ satu sama lain. Saling bersukacita dalam keintiman percintaan.
Sementara Amsal merupakan kumpulan amsal-amsal, yaitu sajak-sajak atau ucapan-ucapan ringkas berisi nasihat untuk mendidik manusia. Intinya, sebagai seorang anak, ia perlu tunduk kepada didikan Tuhan, sebagaimana seorang tunduk kepada didikan ayahnya. “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.” dan “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan.” Itu adalah pengenalan akan Tuhan dan pergaulan yang karib dan penuh hormat kepada Dia.
Sedangkan Kitab Pengkhotbah berisi “hikmat-hikmat kehidupan” dan “buah-buah pikiran” yang diperoleh Salomo, Sang Pengkhotbah itu. Kitab ini menguraikan renungan-renungan yang mendalam tentang betapa singkatnya hidup manusia yang penuh pertentangan, ketidakadilan dan hal-hal yang sulit dimengerti.
Hikmat kehidupan tersebut dialami sendiri langsung oleh Salomo. Ia telah membulatkan hatinya untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit. Ia telah menyaksikan segala perbuatan yang dilakukan manusia di bawah matahari.
Salomo telah membulatkan hati untuk memahami hikmat dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan. Ia menguji kegirangan, nikmat dan kesenangan. Ia menyelidiki dirinya dengan menyegarkan tubuhnya dengan anggur dan dengan memperoleh kebebalan.
Salomo melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, mendirikan rumah-rumah, menanam kebun-kebun anggur, mengusahakan kebun-kebun dan taman-taman dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan, menggali kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda.
Salomo mencari biduan-biduan dan biduanita-biduanita dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. Ia membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahnya. Ia mempunyai banyak sapi dan kambing domba.
Ia mengumpulkan perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah kekuasaan. Salomo tidak merintangi matanya dari apapun yang dikehendakinya dan tidak menahan hatinya dari sukacita apapun.
Namun Salomo akhirnya sampai pada pemahaman bahwa orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh. Oleh sebab itu ia membenci hidup, karena ia menganggap apa saja yang dilakukan manusia di bawah matahari itu menyusahkan.
Menurut Salomo “hidup manusia itu sia-sia” dan “tindakan Tuhan dalam menentukan hidup manusia tidak dapat dipahami”. Meskipun demikian, manusia diharapkan untuk tetap bekerja dengan giat dan sebanyak dan selama mungkin menikmati pemberian-pemberian Tuhan tersebut.
Pada bagian awal Kitab Pengkhotbah ini, Salomo sudah langsung menyimpulkan bahwa “Kesia-siaan, kesia-siaan, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Ibrani: הבל הבלים הבל הבלים הכל הבל, hevel hevelim hakkol hevel hevelim hevel).
Ungkapan tersebut merupakan nada dasar Kitab Pengkhotbah. Kata sia-sia (Ibrani: הבל, hevel) maknanya, yaitu singkat dan sementara saja, atau sekejap dan fana. Salomo menggunakan kata ini sebanyak 35 kali dalam tulisannya itu, untuk mengungkapkan ketakbermakanan dan keabsurdan hidup.
Hidup manusia itu penuh dengan ketidakadilan, penindasan, kecemburuan, kesalahan yang fatal, keserba-bersalahan, ketiadaan pengandaian pada apapun dan kehidupan yang dibayangi oleh bayang maut.
Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. Aku berkata: “Inipun sia-sia!” Oleh sebab itu aku memuji kesukaan, karena tak ada kebahagiaan lain bagi manusia di bawah matahari, kecuali makan dan minum dan bersukaria. Itu yang menyertainya di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari. Ketika aku memberi perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di dunia tanpa mengantuk siang malam, maka nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya. (Pengkhotbah 8: 14-17)
Dalam hidup manusia yang sia-sia itu, Salomo telah menyaksikan segala hal, yaitu ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya. Penindasan, air mata orang-orang yang ditindas dan tidak ada yang menghibur mereka.
Oleh sebab itu Salomo menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup. Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu menurutnya adalah orang yang belum ada, yang belum melihat perbuatan jahat, yang terjadi di bawah matahari.
Karena baginya nasib manusia itu sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Kedua-duanya menuju satu tempat, kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu.
Tidak ada yang tahu, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas binatang turun ke bawah bumi. Ia melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?
Sangat jelas ada rasa putus asa dan tema suram dalam tulisan tersebut. Penulisnya telah mengalami pengalaman-pengalaman menyedihkan. Maka ia sering mengungkapkan pikiran sedihnya itu. Penulis percaya bahwa hidup manusia tidak memiliki makna. Manusia tidak mungkin mengetahui jawaban atas semua pertanyaan mereka. Penulis tidak memiliki harapan di sini.
Penulis memperbincangkan ketidakadilan, namun pada saat yang sama ia juga membuktikan bahwa Allah itu pemurah.
Menurut Pengkhotbah segala sesuatu adalah sia-sia. Usaha terus menerus yang dilakukan oleh manusia itu pun tidak memberikan hasil yang lestari. Kehidupan manusia sangat rawan dan lemah itu ditertawakan oleh sifat alam yang berputar dan yang secara terus-menerus berulang kembali.
Proses perputaran alamiah yang terus-menerus berulang kembali itu menggarisbawahi kesia-siaan keberadaan manusia. Sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah keberadaannya di dunia ini. Irama perputaran itu tidak dapat dikuasai atau diganggu gugat oleh manusia yang singkat hidupnya.
Penulis kitab Pengkhotbah itu mampu menyajikan uraian secara tenang dan terpadu, yang membawanya kepada kesimpulan bahwa hidup manusia itu tidak punya isi nilai-nilai atau keberhasilan.
Pada dasarnya kitab ini memberitahukan kepada pembacanya mengenai sifat dan keadaan dunia, kerumitannya dan bagaimana cara untuk hidup di dalam dunia ini. Akhirnya yang hendak diungkapkan oleh Pengkhotbah, yaitu bahwa manusia itu fana.
Demikianlah, bagi Salomo hari kematian itu lebih baik dari pada hari kelahiran. Pergi ke rumah duka itu lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia. Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria. Hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.
********
Pada 27 November 8 SM Quintus Horatius Flaccus, penyair hebat itu meninggal, tidak lama setelah Gaius Cilnius Maecenasin sahabatnya itu meninggal. Ia dimakamkan di dekat makam sahabatnya itu, di bukit Esquiline Hill di Roma.
Sementara, pada 19 Agustus 14 M, Augustus meninggal saat berkunjung ke Nola, tempat ayahnya meninggal. Jenasahnya lalu dikremasi di Campus Martius di Roma. Itu menyatakan bahwa Augustus telah bergabung bersama para dewa pantheon orang Romawi.
Meskipun Augustus adalah orang yang paling berkuasa di kekaisaran Romawi, namun ia tetap ingin dekat dan terhubung dengan keprihatinan rakyat jelata dan masyarakat umum Romawi.
Ia menunjukan kedermawanan dan mengurangi gaya hidup mewah. Pada 29 SM, Augustus memberikan 400 sesterce (1/10 dari satu pon emas Romawi) per orang kepada 250.000 warganya, seribu sesterce per orang kepada 120.000 veteran perang di koloninya, dan menghabiskan 700 juta sesterce untuk membeli tanah bagi rumah-rumah tentaranya.
Augustus juga membangun ulang 82 kuil untuk menunjukan kepeduliannya terhadap dewa-dewa Romawi. Pada tahun 28 SM, ia melebur 80 patung perak, yang menggambarkan dirinya sebagai upaya untuk tampil hemat dan sederhana.
Sedangkan Salomo memerintah di Yerusalem atas seluruh Israel selama empat puluh tahun. Pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya itu.
Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon dan ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN.
Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon. Demikian juga dilakukannya bagi semua isterinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka.
Sebab itu TUHAN menunjukkan murka-Nya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada TUHAN, Allah Israel. TUHAN telah dua kali menampakkan diri kepadanya dan telah memerintahkan kepadanya, supaya jangan mengikuti allah-allah lain, akan tetapi ia tidak berpegang pada yang diperintahkan TUHAN.
Pada hari itu, menurut cerita tradisi, Salomo pergi ke Bait Allah untuk beribadah. Ia berdiri di sana berdoa. Sementara dia berdiri ditopang tongkatnya, maka kematian menimpanya. Tetapi tongkat tetap menopang mayat yang masih berdiri di situ. Salomo mendapat perhentian bersama-sama nenek moyangnya dan dikuburkan di Kota Daud.
Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati. Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati. Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. (Pengkhotbah 9: 2-5)
Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia! Itu semua karena manusia seperti rumput, seperti bunga di padang. Demikianlah ia berbunga lalu apabila angin melintasinya, maka ia tidak ada lagi dan tempatnya pun tidak mengenalnya lagi. Manusia itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap dalam kesia-siaan, “pulvis et umbra sumus.”
Tetapi kasih setia TUHAN itu dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Karena itu makanlah rotimu dengan sukaria dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, “carpe diem, quam minimum credula postero.” Namun tidakkah ini pun kesia-siaan di atas kesia-siaan juga?
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia
Kepustakaan
Goldingay, John. Ecclesiastes. Cascade Books, Oregon, 2021.
Horatius Flaccus, Quintus. The Odes of Horace. Johns Hopkins
University Press, Baltimore,2008.
Knight, George R. Exploring Ecclesiastes and Song of Solomon.
Review and Herald Pub. Silver Spring, Maryland. 2006.
Ryken, Philip Graham. Ecclesiastes: Why Everything Matters.
Crossway, Wheaton Illinois, 2010.
Shotter, David. Augustus Caesar. Routledge, London, 1991.
Slavitt, David Rytman. Odes. The University of Wisconsin Press,
Madison, 2014.
Syrios, Bill and Syrios, Teresa. Ecclesiastes: Chasing After
Meaning. InterVarsity Press, Westmont Illinois, 2012.
Wiersbe, Warren W. Be Satisfied (Ecclesiastes): Looking for the
Answer to the Meaning of Life. David C Cook, Colorado Springs, 2010.