Sastra Kristiani

 Oleh Mudji Sutrisno SJ.*

Susastra

Dari susastra: tulisan yang “su”, artinya ‘yang lebih’. Maka sastra artinya adalah pertama, tulisan sastra yang lebih menuliskan nilai-nilai kristiani, kasih, kteadilan, kebenaran, keindahan, kebaikan. Kedua, mewartakan dengan segala bahasa yang dibalik peristiwa atau kejadian, itu Allah sedang bekerja melalui ciptaanNya untuk dengan manusia menanggapi mau diajak ‘menyucikan’ dunia. Ketiga, sastra yang mengajak bahagia dalam hidup dengan sesama, Allah dan sesama, auranya adalah positif, bahagia dan tidak negatif.

Seni rupa kristiani

Pertama-tama yang membawa, mewartakan Yesus Sang Juru Selamat dari Natal – Paskah sampai naik ke surga untuk menyelamatkan, menebus dari dosa dan membawaNya ke surga. Surga lebih baik dari kualitas hidup, lebih benar dan tidak bohong dalam kehidupan yang dianugerahkan. 

Kedua, karena dunia ini adalah dunia jahat dan penuh dosa, maka seni rupa kristiani harus melalui salib menuju ke kebangkitan. 

Ketiga, mendekatkan orang ke Tuhan; membawa orang untuk optimis; untuk optimis tidak putus asa tapi terus maju; membawa orang ke kabar gembira penyelamatan; yang maju yang berkembang adalah berkah dan rahmat; yang mengatur hidup dengan baik.

Maka seni rupa: saling membagi rahmat itu ke sesama. Di sini simbolisasi warna, simbolisasi alat-alat jaman sekarang berperan penting. Seni rupa yang memuliakan Allah, manusia dan semesta. Maka estetika kristiani saat mau melukiskan, mematungkan atau mengungkap ekspresi ‘sengsara’ Kristus dalam salib, ada pertanyaan langsung dikotomi (baca: pro-kontra), yaitu mau realis (seperti adanya) atau ingin simbolik abstrak? 

Yang pertama, estetika kristiani mau realis apa fakta, apa adanya dalam mengungkap realitas sengsara takutNya dengan ‘polos’, (baca: nude) seperti umumnya kita manusia. Lahir sebagai bayi polos dan menghadapNya mati juga polos. Karena itu patung-patung nude mesti diapresiasi kesana, ke dambaan akan kepolosan, ketulusan. Bukannya naked atau bugil, yang kita semua tidak mau dipermalukan dengan dibugili atau diarak bugil. Disinilah sering salah paham akan realitas polos yang mau diungkapkan. Maka butuh apresiasi dan penjelasan sama seperti makan buah salak. Bila orang asing akan terus melahap langsung dan akibatnya dia akan berdarah kena kulitnya. Dan setelah makan buahnya pun harus membuang ‘kenthos’ (baca: biji) yang keras itu. 

Kembali ke sastra seni sebagai ungkapan tulus estetika yang dimuati dengan kata penting kristiani. Dimuatilah dengan nilai kristiani, yaitu apa yang baik, benar, suci, indah menurut nilai-nilai kristiani. Bila disumberkan ya yang bersumber pada kitab suci, baik perjanjian lama maupun baru. Tetapi saya mau lebih mendasarkan, menegaskan bahwa estetika kristiani adalah yang pro-life, pro kehidupan sebagaimana diciptakan Allah. Jawanya ‘amemayu hayuning bawana’ = memperindah cosmos ‘semesta’ menurutNya. Sedang lawannya mudah diukur = yang ‘anti kehidupan’, yang destruktif menuju kematian. Maka saat dulu ada pameran sebelum covid, yaitu “The Pissing Christ” dan dimintai pendapat, saya langsung menegaskan itu anti kehidupan, dan mengolok-olok, maka bukan estetis apalagi kristiani. Itu adalah banal.    

Kembali pada sastra kristiani, semua novel, puisi atau literasi tulis yang mencerahkan, memberi harapan, encouraging to live more and to hope always, itulah message atau pesan literasi kristiani. Apalagi injil kristiani adalah evangelion, kabar gembira, kabar sukacita. Maka kegembiraan dan sukacita itu yang pertama-tama harus dilukis, dinovelkan, dipuisikan. Tengoklah makna kematian puisi ini. “Ada itu lebih bermakna, saat tiada”. Kita semua mengalami, orang-orang tercinta, orang tua, sanak saudara kita yang sudah dipanggil Tuhan (= tiada) lebih bermakna ketika sudah tiada!

Novel-novel Kristiani

“Romo Rahadi” tulisan Y.B. Mangunwijaya, melukiskan perjuangan kemanusiaan dan keadilan di Papua dalam persahabatan seorang dokter Perempuan yang tuntas mengabdi dengan seorang pastor Romo Rahadi dalam suka dukanya.

“Horeluya”, karangan Arswendo Atmowiloto

Abednego Tri Gumono, meneliti dan merangkumnya dalam Sang Kristus dalam Kesusastraan Indonesia Modern”. 

“Great Expectations” pengarang Charles Dickens. Menceritakan jaman Victorian dengan nilai-nilai visioner: compassion, loyalty, contentment, pleasure of common life.

“The Scarlet Letter”, oleh Nathaniel Hawthorne. Kisahnya mengenai kesalahan, yang diampuni/disembuhkan dengan pengampunan. Termuat 3 pandangan dunia: puritan versus romantik mengenai hidup dan dunia yang mengangkat rasa ke nilai tertinggi yaitu kasih. Pertarungan antara pahlawan Perempuan Hester Prynne dalam tahap-tahap menuju cinta kristiani sebagai nilai tertinggi Revolusi Dimmesdale akhirnya dikisahkan mencapai keselamatan pada akhirnya (klimaksnya) novel dengan gaya deskriptif, simbolis dari Hawthorne. 

“The Death of Ivan Ilyich” oleh Leo Tolstoy. Meski pengarang novel ini menarik, menyenangkan melalui fiksi protagonis Kristi seperti kita manusia pada umumnya. Ivan Ilyich bisa tetap Sahaja ditengah transisi ke modernism. Meski gugatan-gugatan kitab suci dengan nilai-nilainya menggugat dan meretak-retak dalam nuraninya. Toh protagonis akhirnya menemukan keselamatannya.

“The Stranger”, novel oleh Albert Camus. Novel ini bercerita tentang seseorang yang terlibat dalam pembunuhan, bukan karena menghilangkan nyawa sesama mati. Aneh bukan? Tetapi kenapa (eksistensial) ia tidak menangisi dan meratap di pemakaman ibunya (inilah eksistensi itu). Gaya bukunya: existentialist riveting yang harus grasp life because of its continuing presence in our culture, yang bisa tiba-tiba mati kecelakaan mobil. Eksistensial, maka harus siap menyongsong kematian. 

Ini sekedar contoh novel kristiani. Bila masuk ke ranah lukisan, tentu saja, lukisan Leonardo da Vinci, “Perjamuan Kudus Terakhir” yang di Milano, Yesus sebagai bayi dengan ibunya Maria. Serta lukisan-lukisan renaissance yang mau menggambarkan isi kitab suci (bayangkan seperti visualisasi). Contoh seperti: Yesus dibaptis oleh Yohanes pembaptis.

Michelangelo Buonarroti, seluruh kisah penciptaan dilukis di atas dinding kapel Sistina, mulai dari penciptaan sampai kisah akhir jaman. Yang di Indonesia lain, Anda tinggal meng-klik di google maps. Trims.

—–

*Mudji Sutrisno SJ, budayawan.