Pramoedya, Banalitas Kejahatan Sistemik dan Reinterpretasi Narasi Kuasa Negara
Oleh Purnawan Andra*
Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar Indonesia yang kita peringati seabad kelahirannya pada 6 Februari 2024 lalu, telah lama dikenal sebagai penulis yang menggugah kesadaran nasional melalui karya-karyanya yang menyuarakan sejarah perjuangan dan perlawanan rakyat.
Di balik narasi heroik kemerdekaan dan perjuangan rakyat yang kerap mendominasi catatan sejarah resmi, karya-karya Pramoedya mengungkapkan banalitas kekerasan, menyuarakan penolakan terhadap kekerasan sistemik dan menginspirasi pergeseran paradigma sejarah menuju masa depan yang lebih berkeadaban. Ia tidak hanya mendokumentasikan peristiwa masa lalu, tapi juga menginterpretasi sejarah dengan kritis, sekaligus mengajukan suatu paradigma politik kemanusiaan yang menantang sistem yang menindas.
Karya-karya Pramoedya menyoroti bagaimana kekerasan negara telah menjadi bagian dari keseharian—suatu “banalitas” yang, meskipun tampak biasa, menyembunyikan struktur penindasan yang sistemik. Banalitas kejahatan (banality of evil), istilah yang disebut oleh Hannah Arendt (1963) ini sendiri, adalah sebentuk kegagalan menilai sesuatu benar atau salah sehingga tindak kekerasan yang dilakukan menjadi terasa wajar dan tidak mampu dipahami sebagai sebuah kejahatan.
Narasi Pramoedya, terutama dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, menggambarkan bahwa di balik semangat perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan, terdapat tumpukan kekerasan yang dilakukan atas nama ketertiban dan kemajuan. Dengan kata lain, apa yang terjadi dalam institusi negara—penindasan, kekerasan struktural, dan pelanggaran hak asasi manusia—telah menjadi bagian dari tatanan yang dianggap “normal” dan diterima secara sosial.
Menurut filsuf Prancis Michel Foucault (2008), negara mengatur kehidupan melalui mekanisme disipliner dan biopolitik, di mana kekerasan tidak lagi dipandang sebagai tindakan ekstrem, melainkan sebagai alat pengendalian sosial yang tersembunyi dalam rutinitas administratif dan kebijakan publik. Konsep banalitas kekerasan ini mengundang kita untuk mempertanyakan kembali narasi sejarah resmi yang seringkali menutupi kekejaman-kekejaman tersebut.
Reinterpretasi Sejarah
Dengannya, karya-karya Pramoedya bisa dibaca sebagai sebuah usaha untuk mereinterpretasi sejarah sebagai strategi untuk mengungkap realitas yang telah lama disembunyikan oleh dominasi kekuasaan. Konsep reinterpretasi sejarah merupakan proses kritis untuk meninjau ulang narasi resmi yang selama ini didominasi oleh kekuasaan, dengan tujuan mengungkap realitas tersembunyi dan suara-suara yang terpinggirkan.
Walter Benjamin dalam karyanya Theses on the Philosophy of History (2023) mengajukan pemikiran bahwa sejarah tidak harus dilihat sebagai rangkaian peristiwa linier yang mulia, melainkan sebagai fragmen pengalaman yang seringkali dipenuhi oleh penindasan dan perlawanan. Pendekatan ini menantang narasi tradisional dengan membuka ruang bagi interpretasi yang lebih kritis dan inklusif, yang mengakui penderitaan, perlawanan, dan kontribusi kaum subaltern.
Pramoedya, melalui narasinya, menggeser fokus dari kisah pahlawan tradisional ke pengalaman hidup orang-orang biasa yang selama ini terabaikan sebagai lapisan-lapisan sejarah yang terpinggirkan—suara-suara rakyat kecil yang menjadi korban kekerasan sistemik dan perampasan identitas. Tokoh-tokoh seperti Minke dan Nyai Ontosoroh tidak hanya melambangkan perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan, tetapi juga mewakili dinamika kekuasaan dan konflik internal yang membentuk sejarah bangsa.
Dengan demikian, ia mengajak pembaca untuk melihat sejarah, yang selama ini dibungkus dalam retorika kemenangan elit, sebagai sebuah dokumen hidup yang harus diisi dengan kesaksian nyata, bukan hanya cerita-cerita pahlawan yang diukir dalam buku teks resmi tapi juga menampilkan sisi gelap dan kompleks dari perjuangan kemerdekaan
Reinterpretasi sejarah yang dilakukan Pramoedya memiliki implikasi yang jauh melampaui ranah sastra. Dalam konteks politik kemanusiaan, pemikiran Giorgio Agamben tentang “state of exception” (2003) mengungkapkan bahwa negara modern sering kali memasuki kondisi luar biasa untuk menjustifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan penindasan. Dengan menolak narasi yang disusun oleh kekuasaan, Pramoedya membuka ruang bagi sebuah politik kemanusiaan yang menempatkan martabat dan hak asasi manusia di atas kepentingan struktural. Kritiknya terhadap kejahatan sistemik tidak hanya sebagai peristiwa historis, tetapi sebagai suatu kondisi yang harus diatasi melalui reformasi mendasar, sehingga setiap tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama keamanan atau kemajuan dapat diungkap dan diresapi sebagai kegagalan negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Narasi Dominan
Karya Pramoedya adalah upaya untuk membongkar struktur naratif dominan yang selama ini menutup suara-suara marginal. Teori dekontruksi Jacques Derrida menyebut bahwa makna dalam teks selalu terbuka untuk interpretasi dan tidak pernah stabil, sehingga setiap reinterpretasi sejarah merupakan bentuk perlawanan terhadap penaklukan naratif.
Narasi Pramoedya menyiratkan bahwa sejarah adalah arena pertempuran simbolik, di mana kekuasaan yang telah mapan harus terus-menerus dipertanyakan dan direkonstruksi. Pesan ini memiliki relevansi yang mendalam bagi masa depan bangsa, karena hanya dengan mengakui dan merekonstruksi narasi yang benar-benar mencerminkan realitas—termasuk kekerasan dan kejahatan sistemik yang telah dilakukan—bangsa dapat membangun tatanan politik yang lebih adil dan beretika.
Visi Pramoedya tentang reinterpretasi sejarah dan politik kemanusiaan menjadi cermin bagi generasi penerus yang tengah menghadapi tantangan globalisasi, ketidaksetaraan, dan krisis identitas. Dalam era di mana demokrasi dipertaruhkan oleh kekuatan-kekuatan yang berusaha menutupi kekerasan sistemik, warisan Pramoedya mengajarkan bahwa sejarah haruslah inklusif dan reflektif.
Masyarakat harus diberdayakan untuk melihat bahwa setiap peristiwa kekerasan, betapapun banalnya, menyimpan pelajaran penting bagi reformasi dan perbaikan. Dengan demikian, pengakuan terhadap semua fragmen sejarah—termasuk yang gelap—menjadi fondasi untuk membangun negara yang benar-benar menghargai keadilan dan kemanusiaan.
Secara visioner, karya-karya Pramoedya menantang dan mengilhami kita untuk tidak hanya menerima narasi sejarah yang telah ditetapkan sebagai rekaman statis. Sejarah adalah medan pertempuran antara kekuasaan dan kemanusiaan yang harusnya tetap menyediakan ruang untuk terus dikritisi dan ditulis ulang sebagai upaya untuk mencapai transformasi sosial yang menyeluruh.
Dalam semangat politik kemanusiaan, penolakan terhadap banalitas kekerasan, kejahatan sistemik dan penindasan bukanlah sebuah tindakan nostalgik, melainkan langkah strategis untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan beradab. Warisan sastra Pramoedya, yang menyuarakan keadilan dan kebenaran, terus menginspirasi kita untuk tidak takut menghadapi kenyataan pahit sejarah sebagai proses yang dinamis. Bahwa upaya untuk mengungkap dan merekonstruksi realitas kelam merupakan bagian penting dari perjuangan untuk kemanusiaan.
—
*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga, Pranata Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.