Mempertimbangkan Pak Wibawa
Oleh Purnawan Andra*
Dulu, di persimpangan jalan utama dekat alun-alun kota kelahiran saya di Magelang, berdiri tegak sebuah sosok yang familiar dan tak lekang oleh waktu: ia adalah patung polisi yang tegak berdiri di samping traffic light “bernama” Pak Wibawa. Dalam posisi beristirahat, sorot matanya tajam mengawasi lalu-lintas. Tidak bergerak apalagi menoleh, tentu saja.
Tak jelas juga apa pangkatnya, yang pasti dalam kondisi apapun (panas terik, hujan lebat, siang malam), ia tetap setia menjalankan tugas “mewakili” jajarannya: para polisi yang manusiawi, tidak hanya menjalankan tugas, akan tetapi juga membutuhkan makan, minum dan juga tidur. Sikapnya bermaksud untuk menjelaskan suatu nilai, persis seperti namanya: (ke-)Wibawa(-an polisi).
Patung ini mungkin tampak sepele, hanya sekadar penanda atau pengganti petugas pengatur lalu lintas. Namun, jika kita mau membuka mata dan merenung sedikit lebih dalam, Pak Wibawa sesungguhnya adalah artefak budaya yang sarat makna—bukan sekadar penanda fisik, tapi simbol kuasa, ideologi, dan representasi negara dalam tubuh yang statis. Pak Wibawa hadir sebagai figur diam yang “mengawasi,” dan inilah kekuatan paling menarik darinya.
Simbolisme Budaya
Setiap kelompok masyarakat memiliki seperangkat kode (kognitif) yang meliputi domain budaya sekaligus menghasilkan model konseptual yang digunakannya dalam praktik dan keyakinan hidup sehari-hari, termasuk melalui benda-benda. Kegunaan benda-benda (sederhana sekalipun) selalu berada dalam konteks budaya dan selalu melekat dengan makna-makna budaya.
Dengan demikian, suatu benda sesungguhnya bukan hanya melulu sebagai alat untuk melakukan (mengerjakan) suatu hal, tapi sebagai tanda atas makna dalam relasi-relasi sosial yang berlangsung.
Asumsi dasarnya adalah semua kepemilikan materi mengandung makna. Artinya benda-benda berguna sebagai komunikator yang menautkan individu-individu dalam sebuah jaringan sosial. Benda-benda berperan sebagai sumber identitas sosial sekaligus membawa makna sosial.
Patung, menurut Majid Fakhry (dalam Nu’ad, 2009) berarti merepresentasikan sebuah eksistensi. Itulah sebabnya, melalui patung pak Wibawa, polisi merasa perlu menegaskan arti kehadirannya secara nyata di lapangan. Bahkan mindset masyarakat mengenai kondisi aman dan tertib pun perlu dibangun (dan dijamin?) dengan adanya sosok polisi 24 jam tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah hal semacam ini mempunyai efek positif dan nyata dalam kehidupan masyarakat? Di luar kenyataan mengenai kerja polisi yang terus dikritisi, tidakkah hal ini justru menjadi semacam pembodohan mental masyarakat? Masyarakat dianggap seperti anak kecil yang masih perlu “ditakut-takuti” dengan penggambaran “riil” sebuah sosok (polisi). Barangkali justru inilah sebuah bentuk dominasi kekuasaan polisi (negara) terhadap masyarakatnya.
Simulakra Kuasa
Dalam kajian antropologi visual dan teori kuasa, tubuh seperti Pak Wibawa ini dapat dibaca sebagai manifestasi panoptik—sebuah teknik pengawasan yang bekerja bukan melalui kekerasan atau ancaman fisik, tetapi melalui kekuatan visual yang menciptakan rasa selalu diawasi.
Seperti kamera CCTV yang pasif namun menimbulkan efek psikologis kontrol, Pak Wibawa hadir sebagai mata negara yang tanpa henti menatap, meski sebenarnya tak berdaya. Filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1995) menguraikan bagaimana kekuasaan modern beroperasi lewat pengawasan yang internalisasi: manusia akan menata perilakunya sendiri karena merasa diawasi walau sebenarnya tidak ada pengawas nyata. Patung polisi inilah versi konkret dari gagasan tersebut di ruang publik kita—simbol kuasa yang hadir sebagai “pengawas tanpa tubuh.”
Pak Wibawa adalah simulasi, bukan aktor nyata kekuasaan. Ia tidak bisa menilang, tidak bisa berbicara, bahkan bergerak saja tidak mampu. Namun kehadirannya menyiratkan kehadiran negara, hukum, dan aturan. Di sini kita memasuki ranah pemikiran Jean Baudrillard yang menyebut fenomena ini sebagai simulakrum—penanda dari penanda yang telah kehilangan referen atau rujukannya.
Pak Wibawa bukanlah perwujudan kekuasaan negara yang sebenarnya, melainkan pertunjukan teater negara yang berfungsi secara visual, bukan substantif. Dalam masyarakat yang semakin jauh dari kontak langsung dengan aparat hukum, kehadiran patung semacam ini adalah bentuk fiksi kekuasaan yang menggantikan otoritas riil. Negara yang hadir dalam rupa patung berbalut seragam rapi, tapi tak pernah benar-benar mengayomi atau menindak pelanggaran secara efektif.
Pun jika kita melihat desain Pak Wibawa, kita akan menemui tubuh ideal aparat: tegap, berwajah tegas, berkulit cerah, dan selalu mengenakan seragam yang rapi tanpa cela. Tubuhnya jauh dari gambaran manusia biasa: tidak gemuk, tidak lusuh, tidak menunjukkan tanda-tanda usia atau kelemahan. Ini adalah tubuh yang sudah distilisasi menjadi ikon kekuasaan yang tidak manusiawi.
Ini bukan kebetulan. Dalam politik estetika negara, tubuh aparat diproduksi sebagai citra ideal yang tak boleh dikritik. Tubuh patung Pak Wibawa ini menjadi standar kenormalan kenegaraan: patuh, maskulin, dominan, dan steril dari kelemahan. Patung ini bukan sekadar penanda visual, tapi pembawa pesan ideologis bahwa negara adalah entitas kuat yang tidak boleh diganggu—meski dalam praktiknya, seringkali diperdebatkan.
Estetika Ketertiban atau Fasad Ketakutan?
Pak Wibawa biasanya ditempatkan di perempatan jalan yang rawan pelanggaran, sebagai simbol estetika ketertiban. Ia seolah mengatakan: “Di sini tertib, di sini ada pengawas.” Namun, jika kita renungkan, pada saat yang sama, ini juga mencerminkan kekosongan kehadiran negara yang sebenarnya. Keberadaan patung ini justru menjadi tanda ketidakhadiran aparat nyata yang bisa menegakkan hukum.
Simbol semacam ini bisa dibaca sebagai fasad ketakutan—ilusi ketertiban yang dibangun dari benda mati. Alih-alih aparat yang bergerak dan bertindak, kita diberi pengganti yang tak berdaya namun cukup untuk menciptakan efek psikologis, meski efektivitasnya sangat diragukan.
Terlebih di tengah masyarakat yang kian kritis dan kreatif, Pak Wibawa tidak hanya dipandang sebagai simbol negara. Ia kadang menjadi objek parodi dan lelucon di ruang publik dan media sosial. Misalnya, diberi masker selama pandemi lalu, dipakaikan kacamata hitam, atau bahkan dicoret dengan grafiti.
Fenomena ini merupakan bentuk resistensi kecil yang sering disebut oleh James C. Scott dalam bukunya Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990) sebagai infrapolitik—kritik tersembunyi yang berlangsung dalam gestur sehari-hari yang tampaknya sepele. Dengan mengolok-olok Pak Wibawa, masyarakat secara halus menggugat otoritas yang diwakilinya, sekaligus mengungkapkan absurditas simbol kuasa yang statis dan tidak responsif.
Bahkan ada guyonan di masyarakat dengan bertanya “Apakah patung polisi itu bisa menilang?” Ketika pelanggaran terjadi di dekat Pak Wibawa, orang-orang tertawa karena tahu patung itu tak punya kewenangan apa-apa.
Tawa ini bukan sekadar humor ringan, melainkan bisa dibaca sebagai cerminan ketidakpercayaan publik pada institusi hukum dan kekuasaan negara. Bahwa simbol negara yang kita lihat di jalanan bisa saja hanya pajangan kaku tanpa kemampuan untuk berinteraksi dengan realitas dan menegakkan keadilan.
Monumen Otoritarianisme
Jika kita tarik konteks historis, Pak Wibawa adalah peninggalan dari semangat Orde Baru—rezim yang mengedepankan ketertiban dengan pendekatan represif, disiplin, dan formalistik. Tubuh patung ini adalah jejak arsitektur kekuasaan yang ingin menampilkan negara sebagai entitas rapi dan berwibawa, sekaligus menutupi kekosongan praktik demokrasi yang sesungguhnya.
Di era demokrasi saat ini, simbol seperti Pak Wibawa seringkali dipertahankan bukan karena efektifitas, melainkan karena estetika warisan kekuasaan yang melekat di ruang publik. Ia menjadi monumen otoritarianisme ringan yang menolak hilang, meskipun maknanya semakin dipertanyakan.
Oleh karenanya, mempertimbangkan Pak Wibawa lebih dari sekadar menertawakan boneka polisi di tengah jalan. Ia adalah bagian dari narasi bagaimana negara ingin tampil di ruang publik: lewat simbol, bukan substansi; lewat kesan ketertiban, bukan kerja nyata; lewat tubuh artifisial, bukan keadilan.
Pak Wibawa mengingatkan kita bahwa wibawa negara seringkali diserahkan pada benda mati—yang hadir sebagai pengganti kehadiran manusiawi, kerja etis, dan tanggung jawab nyata. Dalam dunia yang semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas, kita berhak mempertanyakan: apakah kita mau negara hanya hadir dalam rupa simbol kosong? Atau kita menuntut wibawa yang hidup, nyata, dan berwujud manusiawi?
Saya jadi teringat guyonan Gus Dur: di negara ini hanya ada tiga polisi yang baik dan jujur, yaitu Hoegeng, polisi tidur dan patung polisi Wibawa (yang kini makin tak ada).
—-
*Purnawan Andra, alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.