Literasi Kambing Etawa
Oleh Sigit Susanto
Kafka memberi alasan, kenapa ia sering menulis cerita fabel. Ia menganggap setiap manusia semakin dipenjara dan saling menjauh satu sama yang lain. Untuk itu kini manusia timbul kerinduan baru untuk mendekat dengan binatang.
Kafka tak hanya menciptakan karya novelet paling terkenal dengan tokoh protagonis Gregor Samsa dalam Metamorfosis (Die Verwandlung), ada yang lebih ekstrem dari itu yakni, prosa mininya berjudul Sebuah Persilangan (Eine Kreuzung). Dikisahkan tokoh aku memiliki binatang peliharaan pribadi di rumah dari warisan ayahnya. Binatang itu dianggap aneh, karena tubuhnya separuh kucing dan separuh anak kambing. Awalnya binatang itu lebih menyerupai anak kambing ketimbang kucing. Tetapi dalam perkembangannya kemudian seimbang. Kepala dan cakarnya mewakili kucing, sedang posturnya menyerupai anak kambing.
Jika Kafka membuat fantasi liar dengan seekor binatang dari dua jenis yang berbeda hidup saling berdampingan, bahkan melekat dalam satu badan, George Orwell menghadirkan novel Animal Farm. Tokoh kambing, babi, bebek bisa saling berbicara bahkan melakukan aksi memberontak kepada majikannya sendiri.
Dunia digital kali ini telah menggiring orang meninggalkan wilayah belantara teks berpindah ke sabana gersang visual dengan aneka kreasi yang bisa dilihat mata, didengar telinga, lalu bersarang di telaga hati.
Gabriel Garzia Marquez pernah berpesan, tulislah kalimat pertama yang indah, agar kalimat berikutnya dibaca orang. Günter Grass tak kalah seru menebar aforisme, problem mengarang bukan bagaimana cara mendorong orang untuk menulis, melainkan bagaimana cara menghentikan menulis.
Bagaimana dengan peralihan dari teks ke gambar ini, apakah kalimat indah pertama seperti anjuran Gabo, panggilan pendek Marquez ini masih bisa punya ruh untuk dipertahankan? Seindah apapun kalimat itu ditetaskan, akan head to head dengan aneka gambar yang kreatif.
Marcel Reich-Ranicki, kritikus sastra ternama di Jerman pernah mengungkapkan, kalau dirinya lebih menyukai kata ketimbang gambar, sebab itu ia lebih sering menonton pertunjukan teater ketimbang nonton film di bioskop.
Tak dipungkiri bahwa keindahan gambar pun itu hasil dari proses kreasi seni. Pengarang sastra masih punya harapan dengan akrobatik bahasa dan kedalaman isi cerita. Yang agak merisaukan adalah travel writer. Ia menyajikan tulisan perjalanan yang dialami sang traveller. Celakanya mata yang sudah mulai jatuh cinta pada gambar, apalagi gambar itu bergerak live, akan mengubur keindahan narasi teks dalam buku travelling. Seindah apapun narasi tentang kota metropolitan Paris disertai keagungan menara Eiffel, pasti akan terpinggirkan oleh kerlap-kerlip Paris secara visual.
Semboyan writing is believing perlahan akan bergeser menjadi seeing is believing.
Apa yang terjadi di pelosok bumi dari yang skala paling kecil mulai ditampilkan ke khalayak umum. Dari persembunyian suku terasing Mante di dalam gua kecil hutan Aceh, sampai lomba keelokan kambing, entok dan beberapa jenis binatang lain di berbagai kota.
Mungkin itu yang menjadi kegelisahan beberapa komunitas literasi di kabupaten Kendal di jalur pantai utara pulau Jawa. Mereka ingin menjaring para penulis baru sedaerah lewat ajang lomba menulis. Sebagai ajang perdana diadakan lomba menulis novel dengan tajuk. Setahun lalu ajang ini disosialisasikan ke khalayak dan pada Minggu, 30 Oktober 2022 telah diumumkan para pemenangnya.
Yozar F. Amrullah dengan novelnya berjudul Di Antara Kau dan Dia dipilih oleh dewan juri sebagai pemenang pertama. Ia pulang membawa seekor kambing peranakan Etawa.
Saffina Azhara dengan novelnya Pijakan Uap menyabet juara kedua dan pulang membawa sangkar berisi sepasang kelinci.
Salva Aliya Rahmanda dengan novelnya berjudul Sensei of The Blue sebagai juara ketiga dengan hadiah sepasang ayam.
Wahyu Trikusuma Wulandari NR dengan novelnya Seons Kurang sebagai karya apresiatif telah mendapatkan seekor bebek.
Komunitas literasi di Kendal itu telah menyadari, bahwa di daerahnya banyak lahan subur nan hijau. Hampir setiap warga memiliki ternak ayam untuk menambah lauk dalam hidangan makan di keluarga. Pun rumput masih mudah didapatkan untuk pakan kambing.
Sebagai komunitas literasi di daerah yang tetap ingin menyebarkan virus menulis dalam bidang sastra, mereka menjejak dengan segenap daya dengan napas, siapa bisa membantu apa? Nyaris tanpa sponsor. Sebuah langkah sederhana untuk mengajak anak muda menekuni jalur sastra. Jalan sepi yang sering sunyi, jauh dari hingar bingar kehidupan sehari-hari.
Bukan kemewahan sebuah atraksi sastra yang hendak dicapai dengan segenap hadiah berciri materialis. Sebaliknya mereka tetap ingin merawat kegemaran menulis, tanpa tercabut dari akar budaya tropis. Binatang sebagai pilihan menjadi hadiah yang sangat mungkin. Ini semata-mata juga bisa dimaknai bahwa kaki tetap berpijak di bumi di dalam kehidupan sehari-hari warga, walau fantasi boleh bebas dan liar sekalipun. Rasanya akan sepadan merawat idealisme sastra yang mau tak mau harus bersuntuk-suntuk dengan teks dan intuisi yang berkelindan di benak.
Berangkat dari realitas keseharian di masyarakat, mereka mengawinkan fantasi cerita fabel Kafka dan Orwell untuk diboyong ke lomba yang riil yakni sang juara mendapat kenang-kenangan serba binatang.
Barangkali jenis hadiah binatang yang lahir dari cerita fabel ini bisa dianggap sebagai lompatan kegiatan yang tidak populer. Tak apalah. Tapi memang bukan gemerlapnya hadiah yang hendak mereka gapai. Melainkan niat iklas menaburkan benih menulis, bahwa sastra sebagai jalan terindah untuk mengekspresikan kegundahan jiwa. Dengan kata lain, hadiah binatang merupakan ajakan sedikit mengerem roda globalisasi materi yang terlanjur meluas. Selain sastra masih dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai arena bermain anak kota dan cenderung dikesankan elitis. Campakkan semua embel-embel itu. Bersastralah dengan cara yang menyenangkan, tanpa beban dan kepentingan sesaat. Hati-hati mencintai sastra, kelak akan kecanduan, namun kecanduan intelektual yang bermartabat.
Sastra adalah lensa untuk meneropong kehidupan sehari-hari di masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Alat teropong yang elegan, bebas dari semua isme yang merangsek di sekitar kita. Menjadi manusia bebas saja masih kurang, bebas akan lebih bergema jika dipindahkan dari sikap, pikiran menjadi tulisan. Ada satu pemikiran yang dilupakan, bahwa merawat rasa berliterasi perlu sebuah perjalanan panjang.
Umbu Landu Paranggi, adalah begawan puisi Indonesia yang legendaris. Saat ia tinggal di Bali sering sulit dicari tempat tinggalnya. Ketika ada seorang mencoba menguntit jejak Umbu pulang dari kumpul bersama anak-anak muda di Denpasar, sambil memegang tas plastik kresek warna hitam, langkah Umbu dikuntit orang dari belakang. Sekadar ingin tahu, dimana sebetulnya Umbu bersembunyi. Pada pertigaan jalan, teman yang menguntit itu kehilangan jejak. Umbu telah membelok ke gang tanpa diketahui orang.
Guru penyair misterius ini akhirnya baru diketahui sarangnya, setelah ia jatuh sakit dan hingga meninggal. Selain Umbu, Iwan Simatupang dan Jean Paul Sartre, selama hidupnya tak memiliki rumah. Bukan materi yang dicatat oleh pembaca, tetapi kehidupan sederhana dengan karya-karyanya.
Teks adalah benih yang harus terus didekap dan dipeluk siang dan malam. Ketika pecah Perang Dunia I, James Joyce tetap melanjutkan menulis novel Ulysses di tiga kita; Trieste, Zürich dan Paris. Teman Joyce berkelakar sambil mengejek, kenapa Joyce abaikan dunia sekitar yang sedang berperang. Joyce menjawab; I wrote Ulysses and what did you do?
Selamat bagi para peraih lomba menulis novel dan tetap melaju bagi komunitas sastra di Kendal.
Gran Canaria, 6 November 2022.
*Sigit Susanto, domisili di kota Zug, Switzerland sejak tahun 1996.