Kebudayaan Sebagai Ruang Hidup

Oleh Mudji Sutrisno SJ.*

1.

Kebudayaan merupakan tata acuan nilai-nilai hidup perjalanan bermartabat bagi anak-anak dari rahimnya, baik sebagai individu maupun komunitas. Anyaman nilai agar hidup bersama itu berharkat bagi masing-masing sebagai manusia, membuat jalan budaya menjadi jalan peradaban. Kebudayaan adalah juga ruang hidup ‘intuitif’, tempat cita rasa estetis yang merayakan dan memuliakan kehidupan dalam tari saat indahnya gerak alam dan gerak kehidupan diungkapkan manusia dengan raganya yang menari. Kehidupan dalam dinamikanya itu pula yang disyukuri dalam nyanyian syukur kidung berkidung. Inilah ranah seni cita rasa dan intuisi keindahan dari kebudayaan. Sebagai anak rahim kebudayaannya, manusia sekaligus lahir dari kebatinan hening lokalitas sukunya, ranah kearifan hidup budaya lokalnya yang kaya mengajari kebaikan, kebenaran, keindahan dan yang dipandang sebagai yang suci. Maka dalam kemajemukan kemajemukan Nusantara yang berharga dari keMinangan, keBatakan, keFloresan, keMinahasaan, keSundaan, saling bertemu berdialog dalam proses migrasi yang dalam sejarah kolonial dipaksakan untuk keperluan tenaga kerja, namun banyak pula alamiah dan berlayar melalui laut, menyeberang jalan darat sehingga saling menyemai satu sama lain menjadi transformasi wujud baru yang secara warna kulit itu ‘sawo matang’, tidak ada yang putih sekali, kuning sekali atau gelap pekat, tetapi sawo matang ungkapan percampuran genetika itu. 

Ketika ranah-ranah ekspresi dikekang, dihambat oleh politik kekuasaan kolonial maupun poskolonial ataupun pemaksaan penyeragaman sebagai politik kuasa budaya, maka yang muncul adalah sikap mental ketertundukan yang cukup lama sebelum pencerdasan budi dan pencerahan dilakukan oleh pergerakan menjadi bangsa dalam emansipasi dan transformasi melalui pendidikan. Menarik sekali untuk dicatat dalam sejarah, bahwa kebangkitan kesadaran sebagai bangsa majemuk yang harus bersatu kalau tidak mau dipecah belah muncul dalam perjuangan dan jalan budaya yaitu Sumpah Pemuda 1928 dengan kalimat-kalimat kunci yang semula merupakan janji mengakui bahasa persatuan, satu tanah tumpah darah dan satu bangsa yaitu Indonesia. Pokok pertama ini bisa dirangkum bahwa keIndonesiaan yang diberi bahasa perjuangan kebudayaan adalah gugat pemberian diri, komitmen nilai dari masing-masing penyusun Indonesia melalui sumbangan ‘nilai terbaiknya’ dari keragaman suku dan kearifan hidup lokal untuk diucapkan sebagai nilai-nilai terbaik dari keMinangan, keJawaan, keBalian, keBatakan, keBugisan, untuk disumbangkan bagi Indonesia. Demikian pula, yang terbaik, benar, suci dan indah dari religi bumi, religi langit: Islam, Kristen, Hindu, Budhisme, disumbangkan untuk Indonesia. Prosesnya? Secara kultural adalah ‘osmosis’, artinya saling membuahi sehingga menghasilkan transformasi wujud baru yang membuat anak-anak bangsa lebih berharkat. Proses budaya dialektispun dibutuhkan agar pola pikir feodalistik bertemu dengan pola pikir demokratis, sehingga sistesisnya: transisi eksperimen-eksperimen demokratisasi dari terpimpin sampai prosedural transaksional menjadi kematangan berdemokrasi. 

2.

Perjalanan budaya Nusantara yang kultural untuk menjadi Indonesia yang konstitusional dan demokratis sebenarnya merupakan buah visi cerdas pendiri bangsa yang menyiapkan format politik bernegara yang merajut dan jadi payung kemajemukan yaitu sistem demokrasi. Namun, kalau keragaman jadi ‘anarkis’, maka butuh tata negara yang berdasar kepastian hukum atau rule of law agar mendasarkan soal-soal perbedaan agar tidak anarkis kekerasan, maka dipecahkan dengan rambu-rambu kepastian hukum. Dengan kata lain, proses berbangsa Nusantara yang kultural bergerak menjadi negara bangsa dimana negara RI bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia dan dalam tata pergaulan internasional yang bermartabat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tanggung jawab itu dirumuskan dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 yaitu: 

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan peri-kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan dan keadilan sosial. 

3.

Karena kebudayaan merupakan ruang hidup warga negara masyarakat untuk memaknai hidup dan memproses hidup bersama agar saling menghormati sebagai sesama manusia yang berharkat, maka kebudayaan itu pada intinya adalah keseharian atau hidup sehari-hari yang dimaknai dan diberi arti. Inilah proses peradaban atau humanisasi (proses semakin memperjuangkan kemanusiaan yang makin bermartabat). Kemanakah arah humanisasi ini? Dari keadaan sosialitas saling mengerkah sesama atau homo homini lupus menuju sosialitas homo homini socius, sesama manusia Indonesia adalah teman, sahabat bagi yang lain. Bahasa hukumnya adalah keadilan. Bahasa ekonominya: pemerataan, penghapusan jurang antara yang kaya dan miskin. Konstruksi sosial dan kulturalnya, hidup dalam toleransi kemajemukan dan dalam relasi damai. Bahasa politisnya adalah hidup beragama yang aman, terjamin hak-hak pokok dalam negara demokratis, pasti hukum, seperti visi alinea 4 pembukaan UUD 1945, Yaitu hidup sebagai warga negara R.I. yang religius, berkeadaban, berkeadilan sosial, multikultural dan berdaulat. 

Bagaimana secara sederhana proses memaknai atau memberi arti sebagai tindakan budaya? Kearifan hidup Nusantara yang bahari dan kepulauan atau daratan oleh moyang kita diwariskan dalam pepatah dahsyat, yaitu: Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga! Kita diundang untuk mengabarkan dan memberi makna ‘baru’ / tafsir ‘masakan’ dalam belanga untuk Indonesia yang daratan kepulauan sekaligus lautan atau bahari. Lautan harus menjadi halaman depan keIndonesiaan dan bukan punggungnya. Pola pikir pulau-pulau atau daratan disambungkan dengan lautan, sehingga dilautlah pulau-pulau Nusantara bermukim dan dihubungkan. 

Laku budaya sederhana lain adalah saat rajutan kain songket atau tenun warna-i yang ‘kelupaan’ berada di gudang tertimbun debu dan teronggok kotor di bawah tempat tidur atau di kolong gelap, harus kita ‘bersihkan’ dan cuci, serta rawat lagi agar bisa untuk menghias perhelatan meja jamuan kebersamaan kita. Sebaliknya kalau kita tidak memasaknya lagi, asam dan garam dalam belanga, apalagi bila isi belanga kita ganti masakan, maka tindakan ini sama saja dengan ‘mengasingkan’ anak cucu dari santap masakan Nusantara. Apalagi kalau Anda memprovokasi untuk menghina keragaman warna-i kain songket, artinya Anda membawa gunting lalu memotong-motongnya hingga matilah ruang hidup budaya kita yang bhineka dan ika itu. 

—-

*Mudji Sutrisno, Budayawan