Jihad Santri di Era Disrupsi: Mendayung di antara Dua Karang
Oleh: Gus Nas Jogja*
Hari Santri, 22 Oktober, adalah tanggal sakral yang menandai fatwa Resolusi Jihad—sebuah titik nol di mana santri mengubah sarung menjadi kain kafan dan pena menjadi bambu runcing. Namun, di tengah gemuruh perayaan, ingatan kita baru saja didera oleh gemuruh yang lain: robohnya bangunan di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo.
Ini adalah sebuah tragedi eksistensial yang dingin. Kematian puluhan santri yang terjebak di bawah beton bangunan yang belum selesai—konon saat hendak Salat Asar—bukan sekadar kecelakaan konstruksi. Ia adalah gugatan bisu terhadap makna kehadiran (Dasein) santri di ruang pendidikan.
Dalam sunyi puing, muncul pertanyaan fundamental. Apa artinya menjadi santri yang beriman, yang tengah bersujud, namun harus bertemu “absurditas kematian” di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman? Kematian itu, dalam pandangan filosofis, adalah penanda bahwa eksistensi mendahului esensi. Santri yang meninggal saat beribadah belum sempat menyelesaikan esensi keilmuan dan pengabdiannya, namun eksistensinya telah dihentikan oleh kerentanan struktural dunia fisik.
Mereka gugur di tengah gema takbir yang terputus. Bau semen basah bercampur aroma minyak rambut dan sarung yang baru dicuci. Mereka adalah syuhada’ di era pembangunan, korban dari tergesa-gesa modernitas yang lupa akan keselamatan (al-salamah) sebagai prinsip dasar Fikih. Puing-puing itu bukan hanya beton; ia adalah metafora visual dari rapuhnya fondasi yang dibangun tanpa kehati-hatian (al-ihtiyath) dan izin (legalitas) yang benar. Di Sidoarjo, jihad kini bukan lagi melawan penjajah, melainkan melawan kelalaian sistemik yang mengintai di balik semangat amal jariyah pembangunan.
Tragedi ini memaksa umat Islam Indonesia untuk merefleksikan kembali etos pendidikan karakter. Apakah keikhlasan santri dalam membantu pembangunan (santri ngecor, tradisi amal jariyah) telah dieksploitasi hingga mengabaikan aspek profesionalisme, keselamatan, dan tanggung jawab hukum? Karakter sejati harus mencakup tanggung jawab vertikal (ikhlas kepada Allah) dan tanggung jawab horizontal (bertanggung jawab atas keselamatan sesama manusia dan kualitas kerja).
Kontras Struktural: Demo Santri Pembela Lirboyo dan Batasan Narasi
Kontras dengan keheningan Al-Khoziny, muncul gemuruh di belahan Jawa lainnya: demonstrasi besar-besaran santri dan alumni Lirboyo (dan pesantren lain) memprotes tayangan media massa yang dinilai melecehkan martabat kiai dan pesantren. Ini adalah pertempuran di medan Strukturalisme Budaya.
Pesantren bukan sekadar kumpulan bangunan; ia adalah struktur sosial-budaya yang dibangun di atas relasi Kiai-Santri-Kitab. Struktur ini memiliki hierarki nilai dan simbol yang sangat sensitif. Simbol utamanya adalah Kiai (sebagai pewaris nabi) dan Pesantren (sebagai benteng tradisi).
Ketika sebuah tayangan media (sebuah struktur naratif dari Era Disrupsi) mencoba meruntuhkan simbol ini dengan framing negatif (misalnya menuduh adanya perbudakan, feodalisme, atau pelecehan), ia bukan sekadar mengkritik, melainkan melakukan agresi terhadap struktur sosial yang telah berumur ratusan tahun.
Respon santri melalui demonstrasi adalah sebuah upaya pertahanan struktural. Mereka mengaktifkan kode budaya kolektif mereka— ghirah (semangat membela kehormatan)—untuk menuntut pertanggungjawaban dari struktur media yang dianggap zalim. Mereka berteriak: “Kami adalah Subjek peradaban, bukan Objek liputan sensasional!”
Di tengah hiruk pikuk modernitas dan era disrupsi, sarung dan peci kaum santri hadir menjadi seragam perlawanan jiwa corsa. Setiap spanduk adalah fatwa yang ditulis dengan tinta kemarahan yang suci. Mereka berdiri, mewakili literasi kebudayaan yang menolak untuk direduksi menjadi stereotype yang dangkal. Aksi ini adalah puisi epik tentang kesetiaan (al-wafa’) dan penjagaan marwah (al-hifzhu ‘ala al-karamah). Mereka menyuarakan bahwa di era disrupsi informasi, integritas narasi adalah bentuk jihad yang paling esensial.
Peristiwa Lirboyo menantang santri untuk tidak hanya menguasai Kitab Kuning, tetapi juga Kitab Digital. Tantangannya adalah: bagaimana menjaga kehormatan (simbol struktural) sambil merespons secara cerdas dan profesional (tuntutan disrupsi)? Demonstrasi adalah respons yang sah, namun di era disrupsi, respons terbaik mungkin adalah memproduksi narasi tandingan yang unggul, menjadi content creator berakhlak yang menggeser narasi negatif dengan konten edukatif dan inspiratif yang memikat.
Refleksi Spiritual Abadi: Pesan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari
Kedua peristiwa kontras ini—keruntuhan fisik di Sidoarjo dan keruntuhan narasi di Lirboyo—seharusnya membawa kita kembali pada pusat gravitasi spiritual pesantren, yaitu Hadratusyekh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU dan Pesantren Tebuireng). Hadratusyekh Hasyim Asy’ari bukanlah sosok sejarah yang beku, melainkan arsitek spiritual yang fatwanya menembus zaman. Bergurulah pada Hadratusyaih Hasyim Asy’ari dengan mengedepankan sikap santri berikut:
Pertama, Al-Hifdzu ‘Ala Al-Qadim Ash-Shalih. Narasi spiritual Hadratusyekh selalu berakar pada penjagaan tradisi dan akidah. Baginya, pesantren adalah laboratorium akhlakul karimah. Dalam krisis, santri harus mengingat pesan terbesarnya: “Jagalah yang lama yang baik (tradisi keilmuan dan sanad) dan ambillah yang baru yang lebih baik (ilmu pengetahuan dan teknologi).”
Ini adalah fatwa spiritual tersembunyi untuk krisis Sidoarjo dan Lirboyo:
Kita menjaga tradisi amal jariyah (yang lama yang baik), tetapi harus mengambil standar keselamatan modern (yang baru yang lebih baik). Barokah tidak akan hilang hanya karena kita patuh pada IMB.
Kita menjaga marwah kiai dan ghirah santri (yang lama yang baik), tetapi harus mengambil strategi komunikasi dan literasi digital (yang baru yang lebih baik) untuk membela diri.
Kedu, Resolusi Jihad dan Tanggung Jawab. Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 adalah deklarasi Tanggung Jawab Eksistensial santri. Jihad bukanlah semata perang fisik, melainkan pengorbanan tertinggi demi keselamatan Tanah Air dan integritas agama.
Implikasi Fatwa Hadratusyaih Hasyim Asy’ari di Era Disrupsi ialah:
1. Jihad Al-Mas’uliyyah
Santri modern harus ber-jihad melawan kemiskinan struktural yang memaksa mereka mengabaikan keselamatan demi biaya pembangunan. Tanggung jawab tertinggi adalah melindungi nyawa, sesuai prinsip maqashid syariah (tujuan syariat).
2. Jihad Al-Hujjah
Di medan media, santri harus ber-jihad dengan dalil, data, dan narasi terbaik. Mereka adalah pewaris Hadratusyekh yang gagah dalam berargumen melawan kolonialisme dan penyimpangan akidah. Keberanian berdemonstrasi harus dibarengi kecerdasan merumuskan Hujjah (argumentasi) yang tak terbantahkan.
Jalan ke Depan: Santri sebagai Arsitek Dua Fondasi
Di Hari Santri, 22 Oktober 2025 ini, peran santri harus didefinisikan ulang sebagai Arsitek Dua Fondasi:
Fondasi Fisik yang Kuat dan Jujur: Santri adalah pembangun yang harus menjunjung tinggi kejujuran material (tidak korupsi bahan) dan keilmuan teknis. Mereka adalah penerus tradisi Sunan Kalijogo dan Ki Ageng Gribig yang menyeimbangkan syariat dan teknik. Mereka harus memastikan bahwa bangunan tempat mereka bersujud dan belajar adalah monumen kepatuhan sipil dan keikhlasan spiritual sekaligus.
Fondasi Narasi yang Cerdas dan Menawan: Santri harus menjadi intelektual publik yang mampu mengubah caci maki menjadi buku, mengubah fitnah menjadi riset, dan mengubah prasangka menjadi dialog. Kecerdasan emosional dan literasi digital adalah jubah baru bagi mereka.
Maka, biarlah setiap 22 Oktober 2025 ini menjadi momen di mana kita melihat puing-puing Al-Khoziny bukan sebagai akhir, melainkan sebagai titik taubat struktural. Dan biarlah kita melihat kibaran bendera protes Lirboyo bukan sebagai keributan, melainkan sebagai deklarasi istiqamah naratif.
Santri berdiri di persimpangan: di satu sisi, dunia yang runtuh karena kecerobohan; di sisi lain, dunia yang menyerang karena kesalahpahaman.
Tugas para santri kini adalah membangun fondasi baru dengan beton tauhid yang dicampur pasir profesionalisme, dan membela kehormatan dengan pena hikmah yang diasah oleh kecerdasan era disrupsi.
Inilah Jihad al-Akbar bagi santri modern. Mereka tidak lagi hanya membela Tanah Air, tetapi juga membela Keselamatan Kemanusiaan dan Kebenaran Narasi, meneruskan amanah Hadratusyekh untuk menjadi Tiang Agama dan Bangsa yang tegak dalam keseimbangan (tawazun) fisik dan naratif. Bismillah ….
—–
*Gus Nas Jogja. Budayawan.