Budaya Kuat, Rakyat Sehat! (Anugerah Kebudayaan Bupati dan Walikota 2022)
Oleh Agus Dermawan T.
Salah satu tradisi Persatuan Wartawan Indonesia Pusat yang berkait dengan Hari Pers Nasional adalah “kompetisi” kebudayaan bagi Bupati dan Walikota yang sedang menjabat. Tradisi yang dinamai Anugerah Kebudayaan atau AK ini dimulai sejak 2016. Setelah terhenti sejenak, dilanjutkan lagi pada 2020, yang prosesnya dimulai pada akhir 2019. Pemilihan yang ini berlangsung menarik sampai sekarang.
Pemenang AK tahun 2022 ini adalah : Nina Agustina Dai Bactiar (Bupati Indramayu, Jawa Barat), Fadly Amran (Walikota Padang Panjang, Sumatera Barat), Suprawoto (Bupati Magetan, Jawa Timur), W Musyafirin (Bupati Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat), La Bakry (Bupati Buton, Sulawesi Tenggara), Yuhronur Effendi (Bupati Lamongan, Jawa Timur), Hendra Lesmana (Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah), Helmi Hasan (Bupati Bengkulu, Sumatera Selatan) dan Gibran Rakabuming Raka (Walikota Solo, Jawa Tengah).
Tropi AK “Abyakta” diserahkan Rabu, 9 Februari 2022, pada puncak peringatan Hari Pers Nasional di lapangan Masjid Al-Ahlam, Kendari, Sulawesi Tenggara. Acara itu disaksikan oleh Presiden Joko Widodo secara virtual di Istana Bogor. Yang bertindak sebagai juri dalam tiga tahun ini adalah Atal S. Depari (Ketua PWI Pusat), Dr. Ninok Leksono, MA (akademisi, ahli multimedia, budayawan), Dr. Nungki Kusumastuti (penari, antropolog), Yusuf Susilo Hartono (wartawan, sastrawan), dan Agus Dermawan T. (penulis buku budaya dan seni).
Super Power Kebudayaan
Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi memiliki 416 kabupaten dan 98 kota. Jumlah ini menjadi menarik ketika ternyata setiap wilayah memiliki kebudayaan khas. Sebuah realitas luarbiasa yang menggerakkan UNESCO-PBB untuk menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri super power kebudayaan. Bertolak dari pengakuan UNESCO itulah AK – PWI Pusat diselenggarakan. Apalagi ketika diketahui betapa setiap kepala daerah itu tetap menggali local genius sebagai landasan mengelola wilayah dan menghidupkan masyarakatnya, yang sudah dikelidani wawasan global.
Pada awalnya, tahun 2016, pemilihan AK dilakukan lewat pembacaan literatur dan berita. Yang lantas dilanjutkan dengan survei ke lapangan. Pada 2019 cara pemilihan itu diluaskan sehingga menjadi semacam kompetisi. Panitia mengirimkan undangan “kompetisi” kepada seluruh Bupati dan Walikota se Indonesia. Eh, ajakan ini disambut hangat, sehingga berpuluh-puluh Bupati dan Walikota (yang merasa mampu berkacak budaya) mengikutinya. Mereka mengirim laporan apa yang sudah dikerjakan dan apa yang diprogramkan ke depan. Lewat video dan proposal (puluhan halaman) yang mereka kirim, Dewan Juri mulai menilai dengan rujukan literatur, berita, dan pengamatan atas kenyataan. Dari puluhan itu kemudian tersaring menjadi sekitar 20, untuk kemudian dikerucutkan menjadi 10, yang dinyatakan sebagai finalis.
Pada AK 2020 para finalis itu diundang untuk “bersidang-dialog” dengan Dewan Juri di Kantor PWI – Pusat. Untuk AK 2021 sidang itu dilaksanakan secara daring, lantaran diganggu pandemi Covid-19. Pada AK 2022 sidang digelar lagi secara langsung. Dalam semua acara itu, sungguh menggembirakan hati : segenap Bupati dan Walikota yang datang selalu mengenakan busana daerahnya!
Berkenaan dengan AK 2022, banyak ditemukan hal yang menarik dibicarakan.
Menggali Kearifan Lokal
Sejak awal saya meyakini bahwa peserta “kompetisi” AK 2022 mengikuti dinamika AK yang sudah tiga kali diselenggarakan. Indikator dari keyakinan itu adalah semakin kreatifnya para Bupati dan Walikota untuk mendayagunakan kebudayaan khas (kearifan lokal, tata adat dan seni) sebagai sarana untuk membangun semua aspek di wilayahnya.
Maka ketika diumumkan bahwa tema utama AK tahun ini adalah “memenangkan kesehatan (mengalahkan Covid-19) dengan semangat kebudayaan”, fakta itu muncul. Kearifan lokal yang dikelola dengan semangat inovatif bermunculan sebagai kenyataan.
“Kami telah intens menggali kearifan lokal sejak Covid menyerang wilayah Bengkulu,” kata Helmi Hasan. Ia memang mengaktualisasi kegiatan belunguk (kumpul-kumpul), yang di Jawa dimaknai “mangan ora mangan ngumpul”. Bahkan belunguk ini akan dijunjung sebagai koridor “Perilaku Baru Warga Bengkulu”. Kali ini, lantaran wabah covid, belunguk ia terjemahkan sebagai “persaudaraan hati dan pikiran”, yang maknanya tolong-menolong. “Bukan berkumpul fisik,” jelasnya.
Helmi mengatakan, lewat kata belunguk masyarakat jauh lebih gampang patuh daripada kala pemerintah daerah menggemakan kata gotong royong, misalnya. Karena belunguk dianggap kata wasiat warisan nenek moyang, yang apabila dilaksanakan diyakini memberikan ke-sorga-an. Dan ke-sorga-an itu memang muncul. “Dalam waktu lama Bengkulu nol kasus covid,” kata Helmi.
Datuak Paduko Malano Fadli Amran juga melakukan hal yang sama di Padang Panjang. Ia menjadikan rumah adat kaum bagonjong di kelurahan Ganting — yang selama ini jadi obyek pariwisata — sebagai tempat isoman (isolasi mandiri) ketika Covid-19 melanda. Penggunaan rumah ini untuk melunakkan hati masyarakat yang semula tidak ingin diisoman secara terpusat. Dengan menginap di rumah adat bagonjong yang historis, “keramat” dan istimewa, mereka merasa kesembuhan akan cepat datang. Mereka bahkan bangga berisoman. Rumah bagonjong mungkin satu-satunya tempat isoman yang berbasis kearifan lokal di Indonesia. Di samping itu Walikota juga mengaktualisasi obat ramuan atau jamu tradisional sebagai penangkal korona.
Sebagai Walikota yang baru bertahta, Gibran Rakabuming Raka mengajukan banyak program pembangunan infrastruktur kebudayaan dan kesenian di Solo. “Dengan budaya dan seni, batin masyarakat akan sehat. Dan tubuhnya akan kuat,” katanya. Hampir semua yang diprogramkan itu dalam pengerjaan, dengan skala pembangunan yang termasuk besar. Seperti revitalisasi Taman Balekambang yang diharap selesai dalam dua tahun.
“Konsepnya sangat khas, nggak niru mana-mana. Tetap beraroma tradisional, tapi beraura internasional. Saya merancang ini karena menyadari bahwa Solo adalah kota maestro kebudayaan dan kesenian,” katanya. Gibran bergembira bisa menang, karena dengan begitu ia bisa berjumpa dengan Presiden pujaannya, Joko Widodo.
La Bakry bercerita bahwa di Buton ada budaya adat : memercikkan ludah bersirih ke seseorang yang sakit. Tradisi yang nyaris tinggal cerita ini diteliti hakikatnya, sampai ditemukan jawaban mengapa ”ludah bersirih” bisa untuk membunuh virus seperti korona. Hasilnya, Buton relatif aman dari ancaman Covid-19. Di luar urusan penyakit, Buton tetap mengembangkan industri seni tenunnya yang sangat khas. “Untuk mempopulerkan, Buton pernah membungkus keraton kesultanan dengan tenunan khas Buton. Agar dunia terhenyak dan membeli tenunan Buton,” kata La Bakry.
Munculnya Semangat Bermain
Untuk mengkomukasikan program, Bupati dan Walikota juga kreatif. Dan itu termanifestasi lewat “semangat bermain” yang menghasilkan tutur jenaka, menyenangkan dan gampang diingat. Semangat bermain (main) seperti ini syahdan dalam psikologi sosial ditengarai sebagai penumbuh kegembiraan bekerja dengan gairah berguyub ria.
Simak Nina Agustina Dai Bactiar yang mengenalkan program lewat akronim familier bagi masyarakat Indramayu : Dekat (Desa kabeh terang, untuk listrik), Peri (Perempuan berdikari), Kruwcil (Kredit usaha warung kecil), Bersuling (Berjamaah subuh keliling). O ya, dalam forum AK ini Nina tampil dalam busana dan hiasan kepala khas Indramayu yang penuh bunga, bagai yang biasa dipakai dalam upacara ngarot. Dan dalam perhelatan di Kendari ia ikut naik panggung untuk menari topeng.
Perhatikan Suprawoto yang dengan cerdas mengibarkan semboyan SMART untuk Magetan, singkatan dari : Sehat – Maju – Agamis – Ramah – Terampil. Di bagian lain Hendra Lesmana mencanangkan motto JUARA bagi Lamandau. Itu singkatan dari : Jujur – Unggul – Adil – Religius – Aman. Simak pula Solo yang mengumandang motto kotanya dengan kata GIBRAN, singkatan dari Gigih dan Berani.
Suprawoto yang dikenal sebagai penulis berbahasa Jawa, dianggap sukses memelihara 32 obyek karya seni di Magetan, seperti. tongkleng, wayang krucil, bedoyo Dewi Sri, doger selopanggung, jaranan dan sebagainya. Sedangkan Hendra Lesmana dikenal masyarakat sebagai Bupati yang meniti karir dari sangat bawah. Ia adalah anak tukang bangunan dan pernah berjualan es lilin dengan setiap kali menyeberang sungai yang berarus deras. Hendra juga disebut sebagai pemelihara kerukunan tiga kelompok Dayak : Dayak Tomun yang beragama Kristen Katolik, Dayak Tomun Melayu Islam., dan Dayak Tomun Kaharingan yang beragama asli Suku Dayak. Ihwal Gibran? Yang tidak tahu, ya keterlaluan.
Sangat banyak hal menarik yang bisa diunggah dari kerja para Bupati dan Walikota berbudaya ini. Salah satu yang unik adalah ketika W Musyafirin menceritakan, mengapa logo Sumbawa Barat bergambar tawon yang terbang di atas permukaan laut. Jawabnya sederhana : karena di Sumbawa Barat penghasil madu tawon, dan posisi geografisnya di tepian laut. Pengamat lambang pemerintahan akan tahu, di dunia ini hanya Sumbawa Barat yang menggunakan tawon sebagai maskot logo!
Penerima AK Sebelumnya
Untuk mengingatkan masyarakat, Bupati dan Walikota penerima Anigerah Kebudayaan 2016 adalah : Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Dedy Mulyadi (Bupati Purwakarta), Ridwan Kamil (Wakilkota Bandung) dan Enthus Susmono (Bupati Tegal).
Pada 2020 : Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan), Anang Syakhfiani (Bupati Tabalong), AS Tamrin (Walikota Bau Bau), Badingah (Bupati Gunungkidul), Danny Missy (Bupati Halmahera Barat), Ibnu Sina (Walikota Banjarmasin), Indah Putri Adriani (Bupati Luwu Utara), Richard Louhenapessy (Walikota Ambon), Soekirnan (Bupati Serdang Bedagai), dan Umar Ahmad (Bupati Tubaba, atau Tulang Bawa Barat).
Untuk 2021 : Herwin Yatim (Bupati Banggai), Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor), Ida Bagus Rai Dharma Wijaya Mantra (Walikota Denpasar), Karna Sobahi (Bupati Majalengka), Ika Puspitasari (Walikota Mojokerto), M. Taufan Pawe (Walikota Parepare), Dedy Yon Supriyono (Walikota Tegal), Tjhai Chui Mie (Walikota Singkawang), Dony Ahmad Munir (Bupati Sumedang) dan Hendar Prihadi (Walikota Semarang).
*Agus Dermawan T. Kritikus, Penulis Budaya dan Seni.