Anugerah Kebudayaan 2024: Pengalaman Upacara Bersama SULTAN
Oleh: Agus Dermawan T.*
Sepercik pengetahuan untuk membekali siapa saja yang diundang ke perhelatan kesultanan yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono X. Rumit, tetapi asyik. Pengalaman dari perhelatan Anugerah Kebudayaan 2024.
PADA MEDIO September 2024 silam saya dihubungi Panitia Anugerah Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam surat yang dikirimkan termaktub pemintaan agar saya mengonfirmasi catatan riwayat hidup saya, yang mereka dapat dari berbagai sumber. Mereka mengatakan, riwayat hidup yang sudah terkonfirmasi, akan digunakan untuk bahan “pertimbangan” pemberian Anugerah Kebudayaan.
Saya agak skeptis dengan kata “pertimbangan” itu. Masalahnya, saya beberapa kali mendapat surat serupa beberapa tahun sebelumnya. Ada lembaga negara yang mencalonkan saya untuk mendapat anugerah semacam “lifetime achiement”. Ada lembaga biennale yang mencalonkan saya untuk mendapat anugerah seni. Tapi semua itu tak ada kabar lanjutnya.
Sementara saya tahu, Anugerah Kebudayaan Yogyakarta, yang diinisiasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) pada 1981, adalah penghargaan bergengsi yang dirindukan banyak orang. Apalagi diketahui betapa perhelatan yang melegenda ini digawangi ketat oleh 15 juri, yang terdiri dari para intelektual kebudayaan berbagai bidang. Ujung urusannya adalah pertanyaan: apa saya layak menerima itu?
Sedangkan sejarah sudah mencatat, sejak anugerah ini digelar pada 44 tahun silam, budayawan dan seniman junjungan sudah menerima dengan kebanggaan. Simak nama pelukis Affandi; budayawan Umar Kayam; komposer keroncong Anjar Any; ahli kamus bahasa WJS Purwadarminta; maestro pedalangan Timbul Hadi Prayitno; sejarawan Peter Carey; pelakon teater Butet Kartaredjasa; sastrawan Ashadi Siregar, Joko Pinurbo, Seno Gumira Ajidarma; pendiri dan penggerak Borobudur Writers & Cultural Festival Seno Joko Suyono; sampai sutradara film Hanung Bramantyo dan seterusnya.
Beberapa minggu setelah konfirmasi riwayat hidup terkirim, datang WhatsApp dari panitia yang isinya: pada hari dan jam yang ditentukan akan diadakan wawancarai via zoom. Wawancara pun berlangsung. Muara dari wawancara, saya dicatat sebagai penulis seni yang sangat produktif, dengan menghasilkan sekitar 4.000 judul artikel yang disiarkan sekitar 50 media massa cetak dan portal, sejak 1974. Telah menerbitkan lebih dari 60 judul buku yang ditulis secara tunggal, dan 50 buku yang ditulis berdua atau bertiga. Dalam semua tulisan yang beraroma populer itu saya dianggap selalu mengetengahkan potensi dan reputasi kebudayaan dan kesenian Yogyakarta sebagai bagian dari materinya. Itu saja.
Sedangkan sejumlah penghargaan yang sudah saya peroleh, dianggap mendukung pencalonan belaka. “Jadi Bapak sekarang resmi jadi calon penerima anugerah,” kata Ima Fatimah, pewawancara.
Rumitnya berbusana Jawa
Seminggu kemudian muncul surat undangan untuk menghadiri kegiatan pemberian Anugerah Kebudayaan, yang akan diselenggarakan di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Gubernur, Yogyakarta, 28 November 2024. Dalam kolom alamat undangan tertulis: “Kepada Calon Penerima…” Namun dalam kolom lain tertulis informasi tambahan : Pakaian Penerima Anugerah Kebudayaan, sesuai dengan PERGUB DIY No.87, harus mengenakan Busana Adat Jawa Jangkep Gagrak Yogyakarta.
Saya pun agak bingung. Sebagai “calon penerima” apakah saya harus berbusana Jangkep Gagrak? Ya kalau benar-benar menerima. Kalau nggak, kan repot. (Aha, saya jadi ingat Makhfud MD yang sudah menyiapkan busana putih-hitam, ternyata batal jadi wakil presiden, pada 2019). Dan terus terang, sebagai warga Jakarta kelahiran Rogojampi (Jawa Timur) yang pernah bermukim di Yogyakarta, tapi sudah meninggalkan “kota terbuat dari rindu” itu selama 47 tahun, saya lupa soal Jangkep Jagrak. Tapi bagaimanapun saya harus mengenakannya.
Atas bantuan sahabat, Purba Salim, seorang saudagar batik, saya membeli perangkat Jangkep Gagrak. Perangkat tersebut adalah blangkon, baju lurik, jarik (sarung) berwiru lima lipat dengan motif tertentu, sabuk (lontong), ikat pinggang lebar (kamus) lengkap dengan timang kreteb (pengencang kamus), keris Yogyakarta, serta selop polos Yogyakarta.
Lantaran takut keliru, busana itu saya kenakan dulu di rumah, dan fotonya saya kirim ke panitia. Ternyata benar-benar keliru! Sarung yang saya pakai bertepian wiru warna krem. Padahal seharusnya tepian wiru berwarna putih. “Karena krem itu untuk gaya Solo,” kata panitia. Arah membelitkan sarung (lelaki) juga harus bergerak ke arah kanan. Motif jarik saya yang menyisipkan motif parang rusak, juga dianggap “kurang aman”. Agar supaya ayem-tenterem, saya diminta mencari motif semacam sidomukti khas Yogya, kawung, truntum, ceplok kesatrian. Akhirnya saya menemukan motif wahyu, yang ditandai dengan stilisasi huruf W yang beterbangan bagai sayap garuda. Cocok.
Soal keris saya juga gagal faham. Yang saya tunjukkan adalah keris bergaya Solo, yang memiliki bentuk gayaman atau brangkah (kepala selongsong atau warangka keris) berbeda dengan gaya Yogya. Soal baju atasan pun diingatkan agar tidak mengenakan lurik pranakan (berwarna biru tua kombinasi hitam), karena busana ini adalah milik khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.
Satu-satunya yang benar dari saya adalah pilihan atas blangkon, dengan mondolan (bulatan) di belakang. Saya tahu soal ini karena ketika bermukim di Yogyakarta tahun 1971 sampai 1976 teman-teman acap mengenakan. Blangkon bagi mereka bukan hanya sebagai penutup kepala, tetapi sebagai simbol dari pelindung pikiran dan jiwa. Karena mondolan di belakang dikaitkan dengan filosofi masyarakat Jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain, dan pantang menceritakan kelebihan diri sendiri. Dengan begitu seseorang yang mengenakan blangkon akan selalu berhati-hati bertutur kata, dan berhalus-halus dalam pekerti.
Saya pun ingat filosofi dasar blangkon, yang pernah diucapkan oleh pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja penerima Anugerah Kebudayaan Yogyakarta 1988. Di antaranya adalah : Ambeg utomo, ambeg asor. (Boleh menjadi yang utama, tapi rendah-hati adalah budi yang pertama). Sabar iku ingaran mustikaning laku. (Kesabaran itu keindahan nomer satu dalam peri laku). Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Banter tan mblancangi, dhuwur tan nungkuli. (Bekerja keras tanpa pamrih. Cepat tanpa mendahului, tinggi tanpa melebihi).
Akhirnya, dengan busana lengkap itu saya duduk di Bangsal Kepatihan, pagi sampai siang. Di sebelah saya, penari dan pendidik tari Sal Murgiyanto Ph.D. mendadak berbisik : “Ojo seneng ndisik, kita ini masih calon…” Di sebelah Sal, arkeolog Drs. Daud Aris Tanudirdjo MA, Ph.D mengiyakan. “Iyo, isih calon. Nanging senajan mung calon yo wis lumayan.” (Ya, masih calon. Tapi meski cuma calon, sudah lumayan).
Dengan disaksikan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ketua Dewan Juri lantas mengumumkan nama-nama penerima anugerah. Tiga nama penerima terstatuskan sebagai budayawan yang bekerja di lingkup nasional dan internasional. Mereka adalah Daud Aris Tanudirdjo sebagai penerima Anugerah Maha Adi Dharma Budaya. Sal Murgiyanto sebagai penerima Anugerah Maha Bakti Budaya. Dan saya, Agus Dermawan T, sebagai penerima Anugerah Adikara Cipta Budaya. Maka kami pun resmi sebagai “bukan calon”.
Dan ketika disebut bahwa kami akan mendapat syal kehormatan, piagam, tropi, pin emas dan lain-lain, Sal Murgiyanto, yang pada 1980-an bertetangga dengan saya di Kelapa Gading, Jakarta, berkata, “Ora rugi wis klera-kleru tuku klambi.” (Tidak rugi sudah keliru berkali-kali membeli busana).
Di samping kami bertiga, ada 25 ksatria budaya yang mendapat Anugerah Upakara Budaya. Mereka adalah budayawan Yogyakarta yang punya kontribusi hebat bagi kotanya. Dalam deretan itu ada sinden, ahli batik, sastrawan, penggubah lampu hias, ahli tiup suling bambu, penyanyi campursari, pembuat biola, tokoh teater, pendiri perkumpulan wayang wong bocah, sampai ahli penyembuh patah tulang hewan.
Mari kita baca nama-nama tokoh itu : Soimah Pancawati, FM Djawis Carolina, Satmoko Budi Santoso, Suharjoso Soekohardjoso, Nur Ahmadi, Abdul Rachman, Wasiran, Theresia Mujinah, Zainal Arifin, Suti Rahayu, Y.Sutopo, Priyana Jatmika Salim, R.M. Murhadi, H. Gembong Danuningrat, Bekti Budi Harstuti, Afif Syakur, Awit Radiani, Agus Budi Nugroho, Joko Kuncoro, Anom Sucondro, R. Sudjarwanto, Forum Film Dokumenter, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma. Termasuk ahli tari Prof. Dr.Y. Sumandiyo S.S.T, SU, dan ahli pengobatan herbal Prof. Dr. dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR.
Upacara adiluhung
Upacara berlangsung seremonial dan megah. Hujan turun rintik pada Kamis 28 November itu. Pendopo luas dengan kubah kerucut menjulang menaungi belasan penabuh gamelan dan para wiraswara yang duduk di poros tengah. Begitu Sultan Hameng Buwono X duduk di kursinya, hujan mendadak turun dengan lebatnya. Namun suara hujan itu langsung disapu oleh gemuruh gamelan keraton yang membuncah bagai musik rock. Disusul kemunculan para penari yang membawakan koreografi klasik-kontemporer, dengan pancaran adiluhung, dalam gerakan dinamis bagai kabaret.
Setelah beberapa lakon dibawakan, acara sambut-menyambut serta penyerahan tropi pun dilaksanakan. Hujan tetap turun dengan derasnya. Namun akustik di ruang terbuka pendopo agung itu sanggup membekap semuanya. Sehingga pidato Sultan pun dapat didengar dengan seksama.
“Kebudayaan adalah inti peradaban yang terus berkembang seiring zaman. Sangat penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk menjaga tradisi, seni, dan nilai luhur sebagai warisan bangsa yang memperkuat identitas. Hari ini kita memberikan apresiasi kepada para pejuang budaya yang telah berdedikasi menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta, agar tetap relevan dan bermakna bagi generasi kini dan masa depan. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” ujar Sultan.
Acara dua jam 20 menit itu usai dengan ditutup gemuruh gamelan dan merdu-meriahnya wiraswara. Ketika Sultan siap beranjak pergi, hujan meredup dan kembali menjadi rintik. Ahhh, ajaib rasanya!
***
*Agus Dermawan T. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden. Penerima Anugerah Kebudayaan DI Yogyakarta 2024.