Antara Pahat, Pasar, dan Memori Tubuh: Sebuah Catatan Reflektif Pengabdian kepada Masyarakat di Desa Serenan

Oleh Chici Yuliana Nadi*

Di setiap sudut rumah, di ruang kerja pengrajin, suara pahat seakan menjadi denyut harian yang tak pernah absen. Ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar keterampilan teknis—sebuah memori tubuh yang lahir dari puluhan tahun kebiasaan, dari tangan-tangan yang terbiasa memahat tanpa banyak berpikir, seakan kayu dan tubuh sudah bersepakat untuk saling memahami.

Di masa lalu, Serenan pernah harum namanya sebagai salah satu sentra ukir kayu yang tersohor. Dari dusun-dusun kecil di pinggiran Klaten ini, lahir karya-karya ukir yang memenuhi rumah-rumah bangsawan, masjid, dan bangunan publik. Ukiran kayu Serenan pernah menjadi kebanggaan, dikenal karena ketekunan dan kehalusan detailnya. Tetapi zaman bergerak, selera konsumen berubah. Saat ini, yang ramai justru produksi mebel minimalis yang lebih sederhana, lebih cepat diproduksi, lebih sesuai dengan kehendak pasar modern. Di bengkel-bengkel kayu Serenan, gema pahat tradisional makin jarang terdengar, digantikan oleh mesin potong dan rakitan mebel polos tanpa ukiran. Penerus seni ukir semakin sedikit, tinggal segelintir yang masih setia menekuni jalan panjang penuh kesabaran itu.

Dalam situasi seperti ini, kami datang pada 22–23 Agustus 2025, membawa sebuah program kecil: Resin on Carving—pelatihan resin glow in the dark (menyala dalam gelap) pada ukiran kayu tradisi, yang dilanjutkan dengan pengenalan fotografi produk dengan ponsel, dan langkah awal penjualan lewat media sosial. Lokasi kegiatan ini berlangsung di Desa Serenan, Klaten, di jantung komunitas pengrajin kayu yang masih menyimpan semangat bertahan di tengah arus perubahan. Kegiatan ini adalah bagian dari pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa ISI Surakarta.

Gambar 1. Resin on carving: kombinasi resin dan bubuk glow-in-the-dark pada ukiran kayu. (Sumber: Penulis)

Gambar 2. Demonstrasi pembuatan resin on carving. (Sumber: Penulis)

Alih-alih kesulitan, para pengrajin justru cepat menangkap teknik resin ini. Gerak tangan mereka yang sudah terbiasa dengan pahat dan pola tradisi menjadikan resin sekadar tambahan kecil, seperti memasukkan bumbu baru pada resep lama yang sudah akrab. Pertanyaan-pertanyaan teknis pun bermunculan. Bukan dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman pribadi: bagaimana resin menempel di serat kayu tertentu, bagaimana daya tahannya, bagaimana mengombinasikannya dengan motif yang sudah jadi. Kami sadar, pelatihan ini sebenarnya bukanlah transfer ilmu satu arah. Kami hanyalah pemantik, sementara para pengrajin sudah punya api yang jauh lebih besar.

Gambar 3. Para pengrajin kayu mencoba membuat resin on carving. (Sumber: Penulis)

Gambar 4. Sesi Diskusi & Tanya Jawab Selama Pelatihan Berlangsung. (Sumber: Penulis)

Namun, obrolan yang lebih panjang mengantar kami pada satu kenyataan: resin hanyalah awal. Yang lebih dibutuhkan adalah pelatihan memahami budaya konsumen, membaca selera pasar, belajar memotret produk agar tampil hidup, serta berjualan di etalase digital bernama media sosial. Sebab pahat tanpa pasar hanyalah kesunyian, pasar tanpa pahat hanyalah kebisingan kosong.

Serenan menyimpan potensi besar. Tradisi ukir yang panjang, keterampilan tangan yang terlatih, dan keberanian mencoba hal-hal baru seharusnya menjadi modal untuk menembus pasar modern. Tetapi perjalanan itu tidak cukup hanya dengan memori tubuh. Ia butuh strategi, keberanian menatap layar gawai, dan bahasa baru untuk menafsirkan nilai kerja tradisi di mata konsumen masa kini.

Dari pengalaman ini, keterampilan teknis yang diberikan dalam beberapa kali kunjungan pengabdian hanyalah pemantik-pemantik kecil. Ia mungkin tak akan langsung mengubah nasib, tetapi seperti bara yang ditiup pelan, bisa menjadi api baru jika dirawat dengan kesabaran. Memori tubuh yang dimiliki para pengrajin sudah lebih dari cukup untuk menjadikan resin sekadar alat tambahan, bukan penghalang.

Namun, yang lebih mendesak sesungguhnya bukanlah pada kayu atau pahat, melainkan pada bahasa baru dunia digital. Bagaimana karya yang lahir dari tubuh dan tradisi bisa hadir meyakinkan di layar ponsel? Bagaimana tangan yang terbiasa menggenggam pahat berani menekan tombol di marketplace atau mengetik caption di media sosial? Di situlah terbentang jurang yang nyata—jurang yang bagi generasi muda mungkin mudah diseberangi, tetapi bagi generasi tua terasa curam dan asing.

Pengabdian ini hanyalah sepotong fragmen kecil dalam perjalanan panjang Serenan. Tetapi jika memori tubuh yang lahir dari tradisi mampu berpadu dengan keberanian menafsir ulang pasar, Serenan akan kembali menemukan cahaya jalannya. Sebab pada akhirnya, pahat dan pasar, tradisi dan masa kini, tubuh dan layar digital tidak harus saling meniadakan, namun saling menguatkan. 

Surakarta, 27 Agustus 2025

—-

*Chici Y.N. adalah dosen dan peneliti di ISI Surakarta yang aktif mengembangkan pendekatan interdisipliner antara pendidikan, sains dan budaya dalam bidang kriya.