750 Tahun Indonesia – Tiongkok
Oleh Agus Dermawan T.*
Pada medio April 2025 Presiden Xi Jinping bertelponan dengan Presiden Prabowo. Mereka saling mengingatkan bahwa usia hubungan diplomatik RI (Republik Indonesia) dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) terbilang 75 tahun. Namun apabila mengacu kepada muhibah para saudagar kerajaan dua negara, hubungan diplomatik itu sudah terjalin 750 tahun. Mau buktinya? Mari kita baca.
——————
SYAHDAN kebudayaan Bali sejak abad ke-12 telah meluhurkan barong landung, yang berbentuk dua sosok manusia bertubuh tinggi besar. Sosok itu menggambarkan Jero Gede, lelaki Bali yang keras hati dan sakti mandraguna. Dan Jero Luh, yang mempresentasikan perempuan Tiongkok yang berkulit putih, bertubuh segar dan beraura bahagia. Diceritakan di sini, Jero Gede dan Jero Luh saling jatuh cinta, dan mengikrarkan untuk hidup bersama selamanya.
Sebelum mereka ke pelaminan, hikayat pertemuan dengan manis menuturkan.
Pada kurun itu Kerajaan Bali yang dipimpin oleh Sri Jaya Pangus amat terkenal lantaran kemakmurannya. Bali pun didatangi para saudagar dari mancanegara, termasuk para saudagar dari Tiongkok. Salah satu saudagar yang antusias adalah Kang Cing Wei. Pada kedatangan yang kesekian Kang membawa keluarga, termasuk putrinya yang jelita. Sang putri ini diperkenalkan kepada Pangus. Melihat Putri Kang, Pangus buru-buru terpesona. Apalagi setelah diketahui bahwa Putri Kang ternyata juga pandai berbisnis, dan pintar mengatur keuangan keluarga. Mereka lantas menikah. “Dengan keuangan yang dikelola Putri Kang, Kerajaan Bali dipastikan semakin sejahtera,” kata Pangus dengan gembira.

Barong landung, visualisasi legenda yang menggambarkan perkawinan Jero Gede (Raja Bali) dan Jero Luh (Putri Cina). (Sumber: Agus Dermawan T)
Pernikahan Tiongkok-Bali ini sudah berjalan bertahun-tahun. Namun mereka berdua belum juga dikaruniai anak. Padahal salah satu tujuan dari pernikahan itu adalah untuk melahirkan keturunan yang akan mampu memakmurkan Bali sepanjang masa. Pangus pun bingung. Dalam kepuyengan itu ia lantas berkelana untuk mencari jawaban, dengan
menyamar sebagai orang biasa. Sampai akhirnya ia sampai di Danau Batur. Namun, alih-alih mencari solusi soal keturunan, Pangus malah jatuh cinta kepada seorang gadis di situ, Ida Bhatari Dewi Danu. Singkat romansa, Pangus dan Dewi Danu saling kasmaran, dan hidup bersama. Pangus telah melupakan isteri dan mengabaikan tahta serta konstitusi yang mengatur kepemimpinannya.
Namun perselingkuhan selalu saja merembeskan bocoran. Putri Kang yang tahu pengingkaran itu lalu melabrak. Dewi Danu juga sangat terkejut ketika mengetahui bahwa lelaki yang mengawini ternyata sudah beristeri. Dewi Danu, yang tak lain adalah dewi air, dewi danau, dan salah satu Bhatari Kawitan (dewi yang berasal dari leluhur yang sudah mati), sangat marah dan mengeluarkan semua kesaktian. Ia luapkan air danau sehingga Pangus terselulup tergulung-gulung. Melihat suaminya nyaris tenggelam, Putri Kang – yang tetap mencintai Pangus – berusaha menolong. Namun ia ikut perlaya. Kita akhirnya faham, Sri Raja Pangus itulah yang disebut Jero Gede. Dan Putri Kang Cing Wei itulah yang dipanggil Jero Luh.

Patung Ida Bhatari Dewi Danu di tepi Danau Batur. (Sumber: Agus Dermawan T)
Cerita hubungan diplomasi, dagang, perkawinan, sekaligus perselingkuhan dan kematian Raja Bali dan saudagar Tiongkok itu lantas menjadi hikayat barong landung, selama 750 tahun.
Lantaran sudah jadi legenda – agar memiliki makna yang tajam – visual barong landung lalu direka dengan kandungan perlambang. Rambut kusut Jero Gede adalah simbol dari orang yang punya banyak masalah. Rambut Jero Luh yang rapi disanggul adalah lambang pikiran hartawan bangsawan cemerlang. Mata Jero Gede yang besar dan melotot adalah simbol dari sikap yang selalu marah. Mata Jero Luh yang sipit serta jidatnya yang menonjol adalah lambang orang yang cermat melihat dan sigap mengolah pikiran. Gigi Jero Gede yang mengancam adalah simbol dari hasrat untuk terus berkuasa. Bibir Jero Luh yang terkatub dan tersenyum adalah lambang dari hati yang teduh, hati-hati, dan bijaksana.
Ekspansi Gajah Mada
Keeratan hubungan diplomatik sosial-ekonomi Tiongkok-Bali itu otomatis menjalar ke persekutuan budaya dan seni. Sejarah sudah menuliskan itu dengan tinta warna-warni. Simak, seni tradisional Bali yang acap memunculkan motif hias Tiongkok, yang di Bali disebut patra-cina. Lihat kedekatan hikayat kitab helai lontar Bali dengan kitab bilah bambu Tiongkok kuno.

Patra cina, salah satu ornamen Tiongkok yang terus digubah dan diajarkan dalam kesenian Bali. (Sumber: Agus Dermawan T)
Akulturasi budaya Tiongkok-Bali paling tampak dalam seni barong – yang di Tiongkok disebut barongsai. Barong dikenal sebagai perangkat seni Bali yang mengetengahkan selubung perwatakan dalam bentuk baju dan topeng. Dan dijunjung sebagai brand image dari kebudayaan Bali. Namun sejauh-jauh barong ini menjadi Bali, pengaruh bentuk barongsai dari Tiongkok tak bisa dihindari.
Pertemuan besar unsur budaya Tiongkok-Bali dalam khasanah sosial Bali sudah muncul pada abad ke-14. Unsur kebudayaan ini dibawa oleh orang-orang Kerajaan Majapahit yang berupaya menguasai Bali. Diketahui bahwa pada masa itu Majapahit sedang getol mengadopsi dan mengasimilasi unsur kebudayaan Tiongkok – bahkan sampai uang, pakaian dan makanan – sebagai konsekuensi logis dari diplomasi dagangnya dengan sejumlah kerajaan dari daratan Tiongkok. Catatan Ma Huan, penerjemah Laksamana Cheng Hoo, menuliskan kenyataan itu.

Barong Bali (atas) yang dipengaruhi barongsai dari Tiongkok (bawah). (Sumber: Agus Dermawan T)
Alkisah, Mahapatih Gajah Mada mengawali hasrat penguasaan atas Bali. Mengetahui bahwa kerajaan Bali sangat sulit ditaklukkan, Gajah Mada menerapkan “strategi lunak” dengan cara mengirim para pelaku budaya Majapahit. Karena Gajah Mada tahu betapa masyarakat Bali sedang terpesona unsur kebudayaan Tiongkok, maka dikirimlah budayawan dan seniman yang ketiongkok-tiongkokan untuk bekerja di seluruh penjuru.
Yang mengejutkan, di antara kelompok-kelompok para pekerja budaya yang dikirim itu menelusup pula para klandestin, para intel, atau agen pengintai kekuatan militer. Sampai akhirnya mereka mendeteksi bahwa di Kerajaan Bedahulu, di masa pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, ada panglima perang sangat kuat bernama Kebo Iwa, ksatria asal Blahbatu. Dan konon, kehebatan Kebo Iwa setara dengan Gajah Mada. Para klandestin ini mengatakan: agar Majapahit bisa menguasai Bali, Kebo Iwa harus dilunakkan.
Undangan kebudayaan
Selain sebagai panglima perang, Kebo Iwa diketahui juga sebagai sangging (ahli gambar serta pahat) dan undagi (arsitek tradisional) yang ulung. Gajah Mada lalu dengan hormat mengundang Kebo Iwa ke Majapahit. Tujuannya untuk bekerja sama di bidang sosial dan kebudayaan. Sebagai tanda persahabatan sosial, Kebo Iwa dihadiahi perempuan nan cantik dari Lemah Tulis, blasteran ayah Jawa dan ibu Tiongkok. Dalam kerja sama kebudayaan, Kebo Iwa diminta untuk merancang kuil beraroma Bali-Tiongkok, dan sekaligus mengawasi pelaksanaan pembangunannya.

Temuan arca batu kuno yang menggambarkan wajah Kebo Iwa. (Sumber: Agus Dermawan T)
Pada suatu hari, dalam proses penggalian tanah untuk pembuatan fondasi, Kebo Iwa melihat kelambanan para pekerja Majapahit. Ia lalu mencontohkan cara penggalian itu dengan kecakapan dan kekuatannya yang luar biasa. Dalam sekejap titik tanah fondasi itu tergali seperti sumur. Pada saat itulah tentara Majapahit dengan segera mengubur Kebo Iwa ke dalam “sumur” galiannya, dengan ramuan tanah bercampur kapur yang (ternyata sudah) disiapkan sebelumnya. Maka Kebo Iwa, atau Kebo Wandira, atau Kebo Taruna, yang artinya Kerbau Perjaka, gugur. Diduga, info rahasia “ramuan tanah dan kapur” yang mematikan itu diperoleh dari budayawan-intel Majapahit yang berhasil menyadap dokumen Sri Arya Karangbuncing, kakek moyang Kebo Iwa. Dan diduga pula, rumus ramuan itu diimpor dari Tiongkok.

Monumen Kebo Iwa, di Bali. (Sumber: Istimewa)
Setelah itu pasukan Gajah Mada yang dipimpin oleh Arya Damar dan Arya Kenceng menyerbu Bali, dengan Kerajaan Bedahulu jadi target utama. Bali pun dikuasai Majapahit pada 1343. Dengan penguasaan itu kebudayaan Majapahit yang banyak mengadopsi unsur-unsur kebudayaan Tiongkok semakin berkelindan. Dan pada era Bali dikuasai Majapahit, para saudagar Tiongkok (yang terus membawa produk kebudayaan Tiongkok) semakin banyak datang. Sementara para saudagar Tiongkok juga banyak membawa pulang produk kebudayaan Bali.
Akulturasi budaya semakin menjadi-jadi ketika Islam memasuki Majapahit pada abad 16. Para bangsawan, budayawan dan seniman Hindu Majapahit yang tetap ingin menjadi Hindu berbondong pindah ke Bali. Muhibah besar-besaran ini membawa Kerajaan Gelgel era Dalem Waturenggong mencapai ke zaman keemasan.
Maka persekutuan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Indonesia dan Tiongkok, bisa disebut bermula dari Bali, sejak 750 tahun silam. Sementara hubungan resmi diplomatik RI dan RRT dibuka pada 13 April 1950, sehingga pada 2025 ini baru berusia 75 tahun. Meski di tengah rentang waktu itu – antara 1967 sampai 1990 – hubungan diplomatik RI dan RRT sempat beku. ***
* Agus Dermawan T. Pengamat Budaya dan Seni. Penulis buku “Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun”.