Sorgum, Mama Agatha dan Kemarau di Likotuden
Oleh Puji Sumedi Hanggarawati
1
“Sorgum menjadi satu jawaban bagi kampung kami dalam mengatasi paceklik di musim kemarau.” Agatha Kola, atau lebih akrab disapa Mama Agatha anggota petani Koperasi Sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur – saya ingat, suatu hari pernah bercerita kepada saya. Likotuden – sebuah dusun di ujung timur Pulau Flores. Biasanya, musim kemarau menjadi momok menakutkan di Likotuden. Kekurangan pangan selalu terjadi. Sumber karbohidrat, beras yang selama ini dipasok dari pemerintah – tak pernah mencukupi.
“Saat itu lahan petani tidak bisa ditanami apapun. Kering, gersang dan sulit air,” kata Mama Agatha, mengingat masa-masa berat saat kemarau di Likotuden. Ia menghela nafas. Menyeka keringat yang menetes di dahinya. Ia seolah bersyukur – bahwa potret kelabu Likotuden mulai sirna. Dusun yang dulu identik dengan gersang dan rawan pangan kini berubah. Likotuden, menjadi salah satu kampung sentra sorgum
Sejak tahun 2013, perempuan berkulit sawo matang ini termasuk perintis penanaman sorgum di kampungnya bersama Maria Loretha, perempuan yang sering disebut Mama Sorgum. Maria Loretha adalah pendamping dari Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Larantuka. Yayasan ini bekerjasama dengan Yayasan KEHATI mengembangkan program pemanfaatan sumber pangan lokal berbasis masyarakat menuju kedaulatan pangan dan upaya adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kearifan dan tradisi lokal di Flores Timur, Suku Lamaholot dan Pulau Flores umumnya. “Kekuatan sorgum luar biasa di Likotuden. Padi mati, jagung mati, tapi sorgum tetap hijau dan subur di likotuden yang lokasinya batu bertanah. Tanaman ini sangat kuat meski minim air,” kata Maria Loretha.
Mama Agatha di ladang Sorgum
2
Menelusuri asal-usul jejak sorgum di Nusantara relatif minim karena terbatasnya sumber historis yang ada. Catatan tentang sorgum di Flores lebih terbatas lagi. Sorgum dengan nama latin Shorgum b icolor (L) Moench, ditengarai berasal dari Afrika yang kemudian menyebar ke berbagai benua termasuk Asia. Dari berbagai literatur, Ahmad Arif, dalam bukunya yang berjudul Sorgum : Benih Leluhur untuk Masa Depan, mencoba untuk merunut kembali perjalanan sorgum sampai ke nusantara. Beberapa informasi menyebutkan, sorgum baru masuk ke Indonesia dibawa kolonial Belanda pada tahun 1925 dan mulai berkembang pada tahun 1940-an. Namun, kemungkinan besar sorgum sudah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya.
Jejak kultural sorgum di NTT, khususnya di Flores, menunjukkan bahwa tanaman ini sudah lama menjadi bagian masyarakat sehingga tidak mungkin sorgum baru masuk ke Indonesia pada tahun 1900-an. Keberadaan sorgum yang tiba jauh lebih awal ini juga dikuatkan dengan kesaksian botanis Jerman yang bekerja untuk Dutch East India Company atau (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC), Georg Eberhard Rumphius yang tinggal dan meneliti keragaman hayati di Ambon sejak 1654. Dalam catatan yang kemudian dibukukan, Rumphius (1747:195) menyebutkan, “Sorgum telah tumbuh di mana-mana di Indies (Nusantara),” namun pada umumnya hanya ditanam di pinggir ladang.
Di buku itu diceritakan juga tentang beberapa bukti sejarah yang ada juga menunjukkan bahwa tradisi bertani di Nusantara, terutama dalam hal ini di Pulau Jawa, sudah berlangsung lama dan salah satu tanaman yang dibudidayakan di pulau ini adalah sorgum yang dalam istilah lokal disebut cantel. Beberapa peneliti bahkan menyebutkan, cantel atau sorgum ini sudah tertera dalam relief di Candi Borobudur Jawa Tengah. Dalam buku: Inscriptions Reliefs mainly on Borobudur and Prambanan Translation of Indian Ramayana by Bhatti into Old Javanese disebutkan, bahwa sorgum merupakan salah satu jenis makanan yang ada dalam relief candi dari abad ke-8 ini, selain tanaman padi. Hal ini diperkuat dalam kronik China Chu-fanchi, sebuah rekaman tentang negeri asing dari abad ke-12-13 M yang ditulis Chau-Jou-Kua disebutkan bahwa Sho-po (Jawa) adalah tempat yang cocok untuk menyelenggarakan pertanian, hasilnya antara lain: padi, serat-rami, millet, dan kacang-kacangan (Hirth & Rochhill, 1911: 77).
Bambang Budi Utomo (2013) dari Pusat Penilitian Arkeologi Nasonal menafsirkan millet itu sebagai cantel atau sorgum, walaupun mungkin saja yang dimaksud adalah jewawut. Dalam sejumlah referensi lama, antara sorgum dan jewawut memang sering tertukar. Telah lamanya keberadaan sorgum di Indonesia juga bisa dilacak dari penamaan tanaman ini dalam berbagai bahasa lokal. Menurut pemetaan Blench (2014), sebaran bahasa lokal sorgum bisa ditemukan di sekitar Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, hingga Kepulauan Maluku. Di Jawa Tengah, tanaman sorgum dikenal sebagai cantel, di Jawa Barat sebagai gandrung, dan di kalangan Melayu, termasuk Bugis di Sulawesi dan Maluku dikenal sebagai batari.
3
Disebutkan diatas, Di NTT, nama sorgum dikenal dengan beragam sebutan, seperti Pena Mina, Jagung solor, mesak, Watablolo/Jagung Rote/jagung solor, Wataru hamu. Yang menarik – tradisi bercocok tanam mulai dari penanaman sampai panen sorgum tak lepas dari upacara yang dilakukan oleh tokoh adat. Masyarakat Lamaholot ( Flores timur, adonara, Solor dan Alor ) mengenal mitologi Ibu Pangan yaitu Jedo Pare Tonu Wujo . Anak dara yang rela dipenggal, kemudian darahnya yang jatuh ketanah berubah menjadi menjadi beragam benih sumber pangan untuk mengatasi kelaparan. Dalam narasi Tonu Wujo, jelas disebutkan tentang keberadaan sorgum yang telah menjadi tradisi bertani masyarakat Lamaholot.
Pentingnya posisi sorgum di Lamaholot juga terlihat pada pelaksanaan panen padi yang dimulai dengan ritual memanen sorgum lebih dahulu. Seiring dengan waktu, tanaman ini mulai hilang lantaran tak dikonsumsi oleh masyarakat. Sebelumnya, sorgum biasa di tanam secara tumpang sari dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan masyarakat. Seiring dengan kondisi tersebut, kearifan lokal budaya setempat berupa ritual upacara sebelum penanaman sampai panen yang merupakan bentuk “penghargaan” terhadap sumber pangan pun semakin hilang.
Ladang Sorgum
Flores Timur, menjadi satu daerah yang pionir yang merevitalisasi sorgum. Maria Loretha, menjadi sosok yang aktif mengajak masyarakat untuk kembali mengembangkan ”mutiara”, sumber pangan Lamaholot yang nyaris hilang. Berawal dari penanaman di lahannya di Adonara. Dengan dukungan keuskupan Larantuka dan Lembata melalui Yaspensel, sorgum menyeberang ke kampung likotuden di flores meluas ke Tanjung Bunga, Solor, Lembata.
Tak hanya sebatas Flores Timur dan Lembata, pengembangan sorgum bergerak ke barat mulai dari Maumere, Ende, Ngada, dan Manggarai Raya bahkan sampai ke Pulau Sumba. Kini, pamor sorgum mulai terangkat. Bahkan, pemerintah daerah Flores Timur menjadikan sorgum sebagai salah satu pangan sehat untuk mengatasi stunting dengan gerakan Gempur Stunting dengan SOLOR (Sorgum Kelor).. Dari sisi ekologi, sumber daya genetic sorgum lestari dan menjadi sumber pendapatan untuk peningkatan ekonomi keluarga petani. Dengan gambaran di atas, sorgum dapat menjadi pilihan masa depan, khususnya untuk kawasan timur dan lahan kering karena terbukti adaptif.
“Kami tak perlu lagi ketakutan kurang pangan, karena kami punya cadangan sorgum untuk makan. Malah, keluarga saya sudah konsumsi sorgum terus, jadi tidak bergantung pada beras,” saya masih ingat kata-kata Mama Agatha itu . Sebuah kata yang penting – mengingat pola konsumsi pangan, khususnya karbohidrat pada masyarakat di Indonesia belum beragam. Kita tahu beras masih mendominasi. Sementara sagu, singkong, umbi-umbian,sorgum dan serelia lainnya masih minim menjadi alternatif karbohidrat.
Anak-anak Dusun Likotuden dan Sorgum
Menurut Mama Agatha bahkan dari sisi ekonomi kini warga mempunyai pendapatan dari 40 % hasil penjualan panen sorgum. Agatha aktif menyuarakan sorgum, mulai dari budidaya, pasca panen, pengolahan sampai promosi pangan sorgum untuk makanan tambahan bagi balita untuk mengatasi stunting. Tak hanya itu, Likotuden mulai dikenal dan dikunjungi publik untuk belajar atau berwisata ke kebun sorgum “ Mereka biasanya keliling kebun sorgum, ikut mengolah sorgum, makan bersama, melihat pembuatan tenun. Kami mendapat tambahan pendapatan,” papar kader posyandu ini.
Saya kira, Mama Agatha dan masyarakat Likotuden – telah memberikan contoh bagaimana upaya diversifikasi konsumsi pangan menjadi sebuah keharusan untuk menguatkan sistem pangan lokal masyarakat.
*Penulis bekerja di Yayasan Kehati.