Rumah Kopi Surat: Secangkir Kopi dan Agama-Agama

Oleh  Tony Doludea*

Cerita pendek karya Leo Tolstoy (1828-1910) yang ditulis pada 1891 ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Rusia pada 1893 dan dalam bahasa Inggris pada 1901.

Tolstoy bercerita bahwa di kota Surat, di Gujarat, India bagian Barat, terdapat sebuah rumah kopi tempat banyak pelancong dan orang asing dari seluruh penjuru dunia bertemu dan berbincang.

Suatu hari, seorang teolog Persia mengunjungi rumah kopi ini. Ia sudah menghabiskan hidupnya mempelajari hakikat Allah, membaca dan menulis buku tentang hal itu. 

Ia telah berpikir, membaca dan menulis begitu banyak kajian tentang Allah. Sampai akhirnya ia kehilangan akal sehatnya dan tambah bingung. Bahkan ia tidak lagi percaya akan keberadaan Yang Ilahi itu. 

Setelah berdebat sepanjang hidupnya tentang Sebab Pertama, teolog malang ini akhirnya benar-benar bingung dengan dirinya sendiri. Alih-alih memahami bahwa ia telah kehilangan akalnya sendiri, ia mulai berpikir bahwa tidak ada Akal yang lebih tinggi, yang mengendalikan alam semesta ini.

Teolog ini memiliki seorang budak Afrika yang mengikutinya ke mana-mana. Ketika ia memasuk ke rumah kopi, budak itu tetap berada di luar, dekat pintu. Ia duduk di atas batu di bawah sinar matahari dan mengusir lalat-lalat yang berdengung mengelilinginya. 

Pria Persia itu lalu duduk di dipan dan memesan secangkir kopium. Setelah beberapa saat, kopium itu mulai mempercepat kerja otaknya. Ia bertanya kepada hambanya itu melalui pintu yang terbuka, apakah menurutnya Allah itu ada atau tidak. 

Budak ini lalu menjawab bahwa tentu saja Allah itu ada. Sambil mengeluarkan sebuah patung kecil dari kayu dari sakunya. Itulah Allah yang telah menjaganya sejak ia lahir di dunia ini.

Percakapan antara sang teolog dan budaknya ini didengarkan dengan penuh keheranan oleh tamu-tamu lain di rumah kopi itu. Mereka tercengang mendengar pertanyaan sang tuan dan terlebih lagi dengan jawaban sang budak itu.

Salah satu dari mereka, seorang Brahmana, menoleh kepadanya dan berkata bahwa ia adalah orang bodoh yang malang. Karena ia percaya bahwa Allah dapat dikantongi oleh manusia.

Hanya ada satu Tuhan—Brahman dan Ia lebih agung daripada alam semesta, karena Dialah yang menciptakannya. Brahman adalah Yang Esa, Allah Yang Maha Kuasa.

Untuk menghormati-Nya maka manusia membangun kuil-kuil di tepi Sungai Gangga, tempat para pendeta sejatinya, para Brahmana, menyembah-Nya. Mereka mengenal Allah yang sejati, tidak ada seorang pun kecuali mereka. 

Demikianlah kata sang Brahmana, berusaha meyakinkan semua orang. Tetapi seorang pedagang Yahudi membantahnya bahwa Bait Allah yang sejati itu tidak berada di India. Allah juga tidak melindungi kasta Brahmana. Allah yang sejati bukanlah Allah kaum Brahmana, melainkan Allah Abraham, Ishak dan Yakub. 

Tidak ada yang Ia lindungi selain umat pilihan-Nya, yaitu bangsa Israel. Sejak awal dunia, bangsa Israel telah dikasihi-Nya.

Meskipun Israel sekarang tersebar di seluruh bumi, itu hanyalah untuk menguji mereka. Karena Allah telah berjanji bahwa suatu hari nanti Ia akan mengumpulkan umat-Nya itu di Yerusalem. Bait Allah Yerusalem akan dipulihkan kemegahannya, Israel akan ditetapkan sebagai penguasa atas segala bangsa.

Demikianlah kata orang Yahudi itu dan ia menangis tersedu-sedu. Ia ingin mengatakan lebih banyak lagi, namun seorang misionaris Italia yang ada di sana menyela. Bahwa Allah tidak mungkin mengasihi bangsa Israel melebihi bangsa lain. 

Allah tentu tidak memihak pada satu bangsa mana pun juga, tetapi memanggil semua orang yang ingin diselamatkan ke pangkuan Gereja Katolik Roma, yang di luarnya tidak dapat ditemukan keselamatan.

Demikianlah kata orang Italia itu. Namun, seorang pendeta Protestan berwajah  pucat pasi, menoleh kepada misionaris Katolik itu dan mengatakan bahwa ia tidak dapat mengatakan bahwa keselamatan adalah milik agamanya saja. Karena orang akan diselamatkan karena ia melayani Allah sesuai Injil, dalam roh dan kebenaran. Sebagaimana diperintahkan oleh sabda Kristus.

Kemudian seorang Turki, pejabat di kantor bea cukai di Surat, sambil merokok pipa, menoleh kepada kedua orang Kristen itu. Ia mengatakn bahwa keyakinan mereka pada agama Romawi itu sia-sia saja. Karena keyakinan itu telah digantikan oleh iman sejati, yaitu iman Muhammad.

Iman Muhammad yang sejati ini terus menyebar baik di Eropa maupun Asia, bahkan di negara Tiongkok. Maka orang harus mengakui kebenaran Muhammadisme, karena ia berjaya dan telah menyebar luas. 

Tidak seorang pun akan diselamatkan kecuali para pengikut Muhammad, nabi terakhir Allah. Namun dari antara mereka, hanya para pengikut Umar saja dan bukan pengikut Ali. Karena yang terakhir itu telah salah iman. 

Teolog Persia, pengikut Ali itu tidak menangkis pernyataan orang Turki tersebut. Karena perselisihan hebat telah terjadi di antara semua orang asing dari berbagai agama dan keyakinan yang hadir di rumah kopi itu. Ada orang Kristen Abyssinia, Lama dari Tibet, Ismailiyah dan penyembah api. 

Mereka semua berdebat tentang hakikat Allah dan bagaimana Ia harus disembah. Masing-masing dari mereka menyatakan bahwa hanya di negerinyalah Allah yang benar dikenal dan disembah dengan benar. Semua orang berdebat dan berteriak-teriak.

Namun seorang Tionghoa, murid Konfusius, yang duduk diam di salah satu sudut rumah kopi itu, tidak ikut berdebat. Ia duduk di sana sambil minum teh dan mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, tetapi tidak ikut berbicara.

Kemudian mereka semua menoleh ke orang Cina itu, ingin mendengar pendapatnya tentang hal tersebut.

Orang Cina, murid Konfusius itu memejamkan mata dan berpikir sejenak. Kemudian ia membuka matanya kembali, lalu menarik tangannya dari balik lengan bajunya yang lebar dan melipatnya di dada.

Dengan suara tenang dan lirih menyatakan bahwa kesombonganlah yang terutama menghalangi orang untuk bersepakat satu sama lain dalam hal keyakinan. Ia melanjutkan bahwa ia datang ke sini dari Tiongkok dengan kapal uap Inggris yang telah berkeliling dunia. 

Mereka berhenti untuk mengambil air tawar dan mendarat di pesisir timur Pulau Sumatra. Saat itu tengah hari, beberapa dari mereka duduk di bawah naungan pohon kelapa di tepi pantai, tak jauh dari sebuah desa penduduk setempat. Mereka semua adalah sekelompok pria dari berbagai bangsa.

Lalu seorang pria buta menghampiri mereka. Ia menjadi buta karena terlalu lama dan terlalu ngotot menatap matahari. Ia mencoba mencari tahu apa itu matahari.

Sudah lama ia berusaha untuk mencapai hal ini, terus-menerus menatap matahari. Tetapi akibatnya matanya terluka oleh silaunya cahaya matahari itu.

Menurut orang itu cahaya matahari bukanlah cairan. Karena jika ia cairan, ia dapat dituang dari satu wadah ke wadah lain dan akan digerakkan, seperti air oleh angin. 

Ia juga bukan api, karena jika ia api, air akan memadamkannya. Cahaya juga bukan roh, karena ia terlihat oleh mata. Ia juga bukan materi, karena ia tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, sebagaimana cahaya matahari bukanlah cairan, api, roh atau materi, maka ia bukan apa-apa.

Seorang pria lumpuh, yang duduk di dekatnya tertawa dan mengatakan bahwa ia rupanya telah buta seumur hidupnya. Karena ia tidak tahu apa itu matahari.

Menurut si lumpuh itu matahari adalah bola api, yang terbit setiap pagi dari laut dan terbenam lagi di antara pegunungan pulau itu.

Namun seorang nelayan menyela bahwa orang lumpuh itu belum pernah keluar dari pulaunya sendiri. Menurut si nelayan bahwa matahari itu tidak terbenam di antara pegunungan pulau mereka. Melainkan seperti terbit dari lautan setiap pagi, begitu pula ia terbenam kembali di laut setiap malam. 

Lalu seorang India dari rombongan pelaut itu menyela si nelayan itu. Ia heran mengapa orang berakal sehat bisa bicara omong kosong seperti itu. Bagaimana mungkin bola api turun ke air dan tidak padam.

Menurut si India matahari itu sama sekali bukan bola api, melainkan Dewa bernama Deva, yang selalu mengendarai kereta perang mengelilingi gunung emas, Meru. 

Terkadang ular jahat Ragu dan Ketu menyerang Deva dan menelannya dan bumi menjadi gelap. Namun, para pendeta mereka berdoa agar Dewa dibebaskan, kemudian ia dibebaskan. 

Menanggapi si India itu, nakhoda kapal Mesir itu mengatakan bahwa matahari bukanlah Dewa dan tidak hanya berputar mengelilingi India dan gunung emasnya. 

Ia telah banyak berlayar di Laut Hitam, menyusuri pesisir Arabia, telah mengunjungi Madagaskar dan Filipina. Matahari menerangi seluruh bumi dan bukan hanya India. 

Menurutnya matahari tidak mengelilingi satu gunung, melainkan terbit jauh di Timur, melampaui Kepulauan Jepang dan terbenam jauh di Barat, melampaui Kepulauan Inggris. 

Si Nahkoda tahu betul hal ini, karena ia sendiri telah melihat banyak hal dan mendengar lebih banyak lagi dari kakeknya, yang telah berlayar hingga ke ujung-ujung lautan.

Tetapi seorang pelaut Inggris menyela bahwa matahari tidak terbit di mana pun dan tidak terbenam di mana pun. Ia selalu bergerak mengelilingi bumi. 

Ia sendiri baru saja mengelilingi dunia dan tidak ada tempat yang terbentur matahari. Ke mana pun ia pergi, matahari menampakkan diri di pagi hari dan bersembunyi di malam hari, sama seperti di sini.

Ia menunjuk ke navigator kapal untuk menjelaskan hal itu. Menurut navigator mereka semua telah menyesatkan satu sama lain dan mereka tertipu sendiri. Matahari tidak mengelilingi bumi, tetapi bumilah yang mengelilingi matahari, berputar dan berputar ke arah matahari setiap dua puluh empat jam.

Menurutnya, matahari itu tidak bersinar untuk satu gunung atau satu pulau atau satu lautan atau bahkan hanya untuk satu bumi saja. Melainkan untuk planet-planet lain, termasuk bumi ini. 

Seandainya mereka memandang langit, alih-alih tanah di bawah kaki mereka sendiri. Mereka tidak akan lagi menganggap bahwa matahari bersinar untuk mereka atau hanya untuk negeri mereka sendiri saja.

Setelah menceritakan pengalamannya itu. Tentang iman, menurut orang Cina itu, kesombonganlah yang menyebabkan kesalahan dan perselisihan di antara manusia. Seperti halnya matahari, demikian pula dengan Allah. 

Setiap orang ingin memiliki Allah yang istimewa untuk dirinya sendiri, atau setidaknya Allah yang istimewa untuk tanah kelahirannya. Setiap bangsa ingin mengurung Allah -yang tak dapat ditampung oleh semesta raya ini- di kuil-kuil mereka sendiri.

Karena semakin tinggi pemahaman seseorang tentang Allah, semakin baik ia mengenal-Nya. Semakin baik ia mengenal Allah, semakin dekat ia kepada-Nya, meneladani kebaikan-Nya, belas kasih-Nya dan kasih-Nya kepada sesamanya manusia.

Karena itu, hendaknya orang yang melihat seluruh cahaya matahari memenuhi dunia, janganlah menyalahkan atau meremehkan orang yang percaya takhayul, yang dalam berhalanya sendiri melihat seberkas cahaya yang sama. Janganlah ia meremehkan bahkan orang yang tidak percaya, yang buta dan tidak dapat melihat matahari sama sekali.

Demikianlah penjelasan orang Cina, murid Konfusius itu. Semua yang hadir di rumah kopi itu terdiam dan tidak lagi berdebat tentang iman siapa yang terbaik. Hal itu ia sampaikan secara langsung maupun melalui metafora matahari yang rumit. 

********

Alfred North Whitehead (1861-1947) mengatakan bahwa agama itu merupakan suatu wawasan ke depan tentang sesuatu yang ada di atas, di balik dan di dalam hal-hal yang terus berubah dan bersifat sementara. Sesuatu yang nyata tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan, suatu kemungkinan yang masih jauh, sekaligus suatu kenyataan besar yang sudah terwujud saat ini. 

Whitehead melanjutkan bahwa agama itu memberi makna atas segala hal yang sudah berlalu, namun juga yang selalu lepas dari pengertian. Agama sebagai harta tak ternilai, namun mengatasi segala usaha untuk menggapainya. Agama merupakan cita-cita tertinggi yang pantas dicita-citakan, namun mengatasi segala dambaan manusia. Agama merupakan ungkapan salah satu bentuk pengalaman manusia yang mendasar.

Namun bagi Whitehead agama itu bukan sebagai penjaga atau pengatur hidup moral pemeluknya. Meskipun perbuatan baik itu memang dapat merupakan hasil dari hidup beragama. Namun itu bukan satu-satunya hal penting dalam kehidupan beragama.  Tetapi agama secara mendasar merupakan sumber wawasan ke depan dan penggerak perjuangan. 

Agama yang kuat dalam ritual dan cara berpikirnya akan memberikan wawasan dan visi yang menggerakkan hati. Rasa bakti merupakan kekuatan illahi yang diinspirasikan oleh Allah sendiri. Meskipun demikian pelayanan dan kebaktian kepada Allah itu bukan jalan untuk mendapatkan rasa aman. Melainkan sebagai suatu petualang roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. 

Agama juga memberikan rasa damai yang diperlukan supaya manusia berani berpetualang di dunia yang bersifat sementara ini. Karena agama menyadarkan akan dimensi nilai yang tetap, kekal dan abadi. Agama memberikan kebenaran, yakni aspek yang tetap dari alam semesta dan dunia ini sebagai bermakna dan bernilai bagi eksistensi manusia.

Dengan itu agama akan menunjang proses peradaban manusia. Yang mana proses peradaban itu terletak dalam kemampuannya untuk menyediakan dasar. Yang memberikan jaminan bahwa perjuangan manusia yang tidak kunjung habisnya itu merupakan penyempurna hidup di dunia ini, tidaklah sia-sia.

Kehidupan manusia di dunia yang fana ini memiliki makna kekekalan. Kebahagiaan dan kenikmatan dunia selalu hanya bersifat sementara saja. Namun manusia memiliki kerinduan eksistensial akan kebahagiaan kekal. Agama menyediakan bagi manusia suatu jawaban atas kerinduan eksistensial tersebut. Sehingga ia boleh sadar akan kebenaran tersebut dan memberinya rasa damai.

Rasa damai ini didapatkan kendati proses hidup manusia di dunia yang fana ini tidak lepas dari penderitaan, kekurangan, kesalahan, kehilangan, kebusukan, kegagalan dan dosa. Karena bagi Whiteheaad Allah itu adalah penyair yang mampu menjalin segala hal yang tak keruan wujud dan nilainya untuk menjadi suatu karya seni yang indah. Rasa damai itu muncul dari keyakinan pada Allah yang menjadi tolok ukur keselarasan dunia.

Agama sering memberikan imajinasi manusia yang berbudaya itu dengan adegan kesendirian. Prometheus dirantai pada batu karang sendiri. Muhammad tafakur di padang gurun sendiri. Buddha meditasi di tengah hutan belantara sendiri. Anak Allah tergantung di kayu salib sendiri.  

Menurut Whitehead agama juga menyajikan gambaran dinamis tentang Allah, bukan sebagai “Yang Samasekali Lain” (The Wholly Other). Allah bersama cipataan-Nya merupakan “peristiwa” (event) kreatif.

Allah yang secara imanen berada dalam pergulatan hidup manusia di dunia ini, bukan sebagai individu yang transenden, sempurna, tinggi, jauh dan mencukupi dirinya sendiri.

Allah adalah “kawan baik atau sahabat sependeritaan yang bisa mengerti” (the great companion – fellow-sufferer who understands). Allah bukan raja alam semesta, namun pribadi yang lemah lembut dan rendah hati.

Menurut Whitehead Allah terdiri dari dua kutub. Kutub primordial-Nya, Allah itu bebas dan mutlak. Kutub consequent nature-Nya, Allah tidak bebas dan tergantung pada ciptaan-Nya.

Bagi Whitehead mengatakan bahwa Allah kekal dan dunia fana itu sama benarnya. Dunia tetap dan Allah sementara serta berubah itu sama benarnya juga. 

Mengatakan dunia ini termuat dalam Allah itu sama benarnya dengan mengatakan bahwa Allah imanen dalam dunia. Bahwa Allah transenden terhadap dunia itu sama benarnya mengatakan bahwa dunia transenden terhadap Allah.

Pandangan Whitehead ini merupakan jalan tengah antara monoteisme dan panteisme. Monoteisme tidak dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara Allah dan dunia. Sedangkan panteisme tidak dapat membedakan antara Allah dan dunia. Bagi Whitehead Allah itu tidak “di luar”, “di samping” atau “sebelum” dunia ini. Pandangan ini disebut Panenteisme, bahwa segala sesuatu itu termuat dalam Allah.

Pandangan Whitehead ini didasarkan pada kenyataan bahwa dunia ini tidak dapat dipandang lagi sebagai suatu materi, benda mati yang berjalan dalam suatu mekanisme yang pakem. Benda mati yang berdiri sendiri dan tidak terkait dan tidak bergantung dengan hal-hal lainnya. Perkembangan sains, fisika, kimia dan biologi tidak dapat lagi mempertahankan doktrin materialisme ilmiah seperti itu lagi.

Perkembangan sains tersebut justru menemukan bahwa alam semesta ini adalah organisme yang sedang berevolusi dan berproses menjadi (becoming). Maka Whitehead memperhitungkan kenyataan alam semesta ini sebagai process of nature, yang ia sebut event (peristiwa).

Maka agama itu bukan suatu pengertian, keyakinan dan praktik yang tidak dapat berubah. Namun suatu perjalanan penemuan diri dalam diri, dalam kesendirian, yang melibatkan perubahan evolutif pemahaman seseorang secara terus menerus.

Bagi Whitehead di sini Allah itu adalah penyair dunia dengan kesabaran dan kelembutan mewujudkan kebenaran, keindahan dan kebaikan dalam manusia. Allah sangat menghargai kebebasan dan makna pribadi manusia. Allah itu penuh pengertian, tidak memaksa (koersif) namun lebih menghimbau (persuasif) terkait Kemahakuasaan-Nya. 

********

Pada 1475 di Istanbul, Turki didirikan kedai kopi tertua di dunia, Kiva Han. Namun pada abad ke-16, Sultan Kekaisaran Ottoman, Murad IV memutuskan kopi sebagai produk ilegal. Karena dianggap membuat ketagihan dan berbahaya. Agar tak banyak orang yang kecanduan maka Sultan memberlakukan hukuman pancung bagi pecandu dan peminum kopi. 

Sekitar abad ke-17, kopi masuk ke Eropa lewat pedagang Venesia di Italia. Awalnya Eropa sempat mencurigai dan menyebut kopi sebagai “minuman setan”. Namun, setelah Paus Clement VIII mencicipinya, ia justru menyatakan kopi enak dan sah diminum umat Kristen.

Sejak itu, kopi berkembang pesat di Italia, Inggris dan Prancis. Rumah kopi bermunculan, menjadi tempat berkumpul, berdiskusi, bahkan melahirkan ide-ide besar.

Seiring berjalannya waktu, istilah a Cup of Java muncul di dunia barat, hal ini mengesankan kopi Indonesia identik dengan Kopi Jawa.

Di rumah kopi Surat itu, murid Konfusius itu menjelaskan tentang agama dan Allah mengunakan metafora. Metafora  adalah penggunaan bahasa kiasan (non-harfiah), dengan cara membandingkan dua hal berbeda secara langsung. 

Metafora  ingin memberikan pemahaman yang lebih dalam, menciptakan gambaran, memberikan penekanan, dengan menyatakan bahwa satu hal adalah hal lain meskipun tidak secara harfiah. 

Metafora merupakan majas, yaitu gaya bahasa atau penggunaan bahasa yang tidak biasa, untuk menciptakan efek tertentu dalam komunikasi, menjadikan kalimat lebih hidup, kaya makna dan menarik. 

Majas digunakan untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pesan secara khas dan imajinatif, seringkali melalui kiasan.

Sedangkan Whitehead menggunakan filsafat organisme atau filsafat prosesnya itu sebagai modes of thought dalam menjelaskan agama dan Allah. 

Modes of thought adalah kerangka kerja khusus, pendekatan atau cara khusus yang digunakan seseorang untuk mengolah informasi, menafsirkan kenyataan dan menanggapi lingkungan sekitar mereka.

Cara berpikir tersebut dibentuk oleh pengalaman, keyakinan, belajar dan berpikir seseorang. Modes of thought dapat dipahami dalam berbagai konteks, termasuk dalam perbincangan filosofis tentang kesadaran, dalam perdebatan piskologi tentang kognisi yang menggali beragam proses berpikir. Juga analisis sejarah tentang perubahan sudut pandangan dunia dalam masyarakat.

Modes of thought Whitehead menekankan pentingnya  terintegrasinya secara menyeluruh perasaan, imajinasi dan persepsi dengan pikiran rasional. Pikiran adalah suatu proses kesatuan menyeluruh kesadaran manusia dengan daya kreatif alam semesta raya, yang menyatu dalam event (peristiwa) pengalaman. 

Cerita secangkir kopi dan agama-agama di rumah kopi Surat dan penjelasan Whitehead itu merupakan hasil usaha sadar manusia dengan pikirannya untuk memahami dan memaknai “the wholly other” dan “the unkowable” itu. Namun Whitehead juga mengakui bahwa pikiran manusia itu penuh dengan kebimbangan dan kekaburan, karena masih terus berada dalam proses evolusi. 

Maka orang harus segera sadar bahwa Allah itu misteri, bahwa keberadaan, sifat dan cara-Nya bekerja melampaui pemahaman penuh manusia. Misteri Ilahi justru mengungkapkan diri-Nya hanya melalui ketidakterungkapan misteri-Nya itu. 

Menerima Allah sebagai misteri itu mengajar orang untuk bersikap rendahan hati, gentar-gemetar dan kagum-takjub terhadap keagungan-Nya. 

Kepustakaan

Lowe, Victor. Understanding Whitehead. Johns Hopkins University Press, Baltimore, 2020.
Sudarminta, J. Filsafat Proses. Kanisius, Yogyakarta, 1991, Tolstoy, Leo.
The Coffee-House of Surat. Library of Alexandria, Alexandria Egypt, 2025.
Whitehead, Alfred North. The Function of Reason. Princeton University Press, Princeton, 1929.
Whitehead, Alfred North. Modes of Thought. MacMillan Company, New York, 1938.
Whitehead, Alfred North. Science and the Modern World. The Free Press, New York, 1967.
Whitehead, Alfred North. Process and Reality. The Free Press,  New York, 1985.
Whitehead, Alfred North. Religion in the Making. Fordham University Press, New York, 1996.

*Toni Doludea, Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indo.