Erni: Cokek Teluk Naga
Oleh: Ninuk Kleden-P*
Cokek di Rumah Kawin
Cerpen Erni: Cokek Teluk Naga bukan fiksi. Ia etnografi yang materinya diperoleh dari penelitian beberapa tahun, dan ditulis dengan pendekatan “baru”. Etnografi Novelistik ,dapat dirujuk dalam Expressions of Ethnography; Novel Approaches to Qualitative Method (Robin Patric Clair ed. 2003), khususnya bagian lima “Short Stories as Expressions of Ethnography” (175 – 194). Metode ini penting, khususnya dalam Antropologi untuk bisa masuk dalam sisi-sisiemosional suatu masalah yang tidak terungkap oleh kata.
———–
Hari itu pesta perkawinan Jok San yang sekarang disapa Johny. Ia berpenampilan layaknya seorang kaya, bos yang kata orang proyeknya ada di mana-mana. Pesta diselenggarakan di rumah kawin, gedung pertemuan bagi etnis keturunan T’hoa di kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Mereka dikenal sebagai Cina Benteng, karena di masa kolonial tinggal di sekitar benteng. Matanya tidak sipit, kulitnya terbakar matahari, seperti orang-orang kampung di situ. Gedung itu diterangi lampu kerlap-kerlip menjadi mirip gedung pertunjukan; ada Gambang Kromong, ada Cokek, ada pengibing, ada tukang plesir, yang selalu muncul di tiap pesta, dan ada pula penontonnya, aktif maupun pasif.
Setelah Isya, instrumentalia jenis Pobin, lagunya Kong Ji Lok, mengalunkan nada pemeriah, undangan, lambaian, sekaligus tanda ada pesta; dimeriahkan Gambang Kromong dan Cokeknya. Cokek bukan hanya perempuan pengibing, yang juga pemain utama sebuah sistem; ada Mama Pengasuh, ada grup tetap, dikelilingi tukang plesir yang selalu hadir dalam tiap pesta, seperti arak dalam gelas; menghangatkan, memabukkan, dan kadang menumpahi panggung.
Erni mematikan rokoknya setelah sekali lagi dihisapnya dalam-dalam, kemudian dibuang ke lantai. Perempuan 17 tahun itu, mempunyai anak perempuan berusia dua tahun, diurus neneknya. Bapak si bocah raib tanpa diketahui hutan rimbanya. Ia hanya pernah duduk di bangku kelas 5 SD. Erni berambut keriting sebahu. Mengenakan kebaya berbunga hijau dengan kutu baru yang dipasang rendah.
“ Ayo”, katanya sambil menggamit Mira, teman segrupnya.
“Bentar … nih kopi sesruputan lagi”.
Mereka sibuk mengatur letak kain yang sudah tidak jelas lagi warnanya. Dipasang beberapa senti di bawah lutut, dilonggarkan untuk memudahkan gerak ngibing. Mira setelah menyeruput kopi, menggoreskan gincu ke bibirnya. Yani berbisik, seolah memberi salam perpisahan pada pria teman ngobrolnya di sudut ruang yang temaram.
Rumah kawin sudah dipenuhi undangan, penonton, serta tukang plesir dan tukang ngibing, masih ada Cokek lepas, yang biasa disapa Cokek nyerbu, grup mereka sedang tidak main. Kehadirannya karena angin malam membawa lambaian Gambang Kromong. Kalau satu babak selesa, dan Cokeknya ke luar, maka ngibing digantikan Cokek lepas yang berdiri menunggu di luar arena.
Di Balik Lampu dan Gincu; Hari Pertama
Irama Gambang Kromong mengeras, melambai mereka yang tertinggal; masih ngobrol di pinggir ruangan, untuk segera mengambil tempat di sebelah perangkat Gambang Kromong.
“Rame ya”, bisik Erni. “Orangnya juga cakep-cakep. Tampangnya keren”. Mata Erni, Gita dan teman-temannya mulai menyapu tukang ngibing yang merokok bergerombol.
“Tuh anak-anak Kerawang”, seolah sapaan yang mampir di telinga Erni. Tapi ia diam saja. Dibetulkannya tenggeran handuk kecil yang tidak putih lagi, di bahu kanannya.
Gambang Kromong mulai meninggikan tangga nadanya. “Enak juga nih lagu” pikir Erni.
“Kita ngapain Ni?” bisik Gita.
“Mana gue tau”. “Jangan berisik, liat aja”.
Erni mulai masuk, spontan mengikuti teman-teman grup “Pi Cis”, grupnya. Gita di belakangnya. Mereka melenggak-lenggok menggoyangkan pinggul ke kiri-kanan dengan lembut seiring ayunan tangan mengikuti irama pobin. Ia berhenti di muka Erni. Cokek baru yang dipilihnya sebagai pasangan nyokek. Bin Seng nanti pasti mencari Erni juga, karena ia selalu ingin mencoba yang baru. Tapi ia harus menunggu babak berikut, karena kini Johny lah yang ada dihadapan Erni.
Kedua barisan laki dan perempuan itu mulai goyang, tidak ada kata, tidak ada sapaan. Nada mampu membuat pinggul mereka berputar. Erni melirik teman di sebelahnya, ia ikuti gayanya memutar pinggul, menaikkan bahu, dan menggerakkan kepala. Maklum tidak pernah ada kursus sebelumnya.
Di kejauhan Mak I Yok, Mak pengasuh mereka, seorang perempuan gemuk setengah baya, mengenakan kain kebaya dengan apik, rapi. Mulai berdiri melenggok gemulai menggendong cukin, selendang berbagai warna, untuk para lelaki yang ngibing itu.
Cukin bukan sekedar potongan kain, ia simbol kesepakatan. Kalau laki-laki sudah memberikan cukin pada Cokek pasangan ngibing, artinya ia sudah mengganti keringatnya dengan uang lelah. Tidak ada jumlah yang pasti, meskipun Cokek tahu siapa yang dermawan, siapa yang pelit, dan siapa yang sekedar menebar wewangian. Cokek baru ya hanya mendapat “uang rokok” saja, masih kaku, masih malu. Kalau sudah pandai, dan mendapat pelanggan, penghasilan cukup besar. Para pengibing juga sudah tahu Cokek mana yang bisa memberikan ibingan yang terbaik; yang memuaskan, yang panas, yang erotis, dengan pinggul diputar, seperti sedang bermain hula hup.
Malam makin padat, alunan Gambang Kromong makin keras, nada makin meninggi. Suara kendang tak putus-putus, bahkan makin terhentak-hentak, barisan ngibing juga makin merapat. Erni sudah memutar pinggul, kalau Johny mendekat, pinggul dia ayun. Indah dan erotis sekali.
Kadang muncul lelaki yang menyelipkan uang ke tukang kendang, supaya kendang tidak dihentikan.Waktu dipanjangkan, seperti denyut nadi yang tidak boleh putus, seperti bir yang terus ditenggak. Ibingan makin liar. Sampai ada wajah gelisah menunggu giliran. Tukang kendang tahu, wajah seperti itu bisa mengundang kericuhan. Segera kendang dipukul keras, disentak, dan alunannya dihentikan. Satu babak selesa, Johny ke luar, tapi Erni tetap di tempat.
Kini muncul Bin Seng di depan Erni, pria yang sudah dari tadi mengharap sentakkan kendang yang menghentikan. Ia segera ngibing dengan gaya panas, tanpa pemanasan, seperti memuncratkan hasrat. Ia juga bolak-balik menenggak bir. Ngibingnya makin merapat dan kepala diayunkan ke depan, segera dagu ditarik. Sekali-kali ia maju ke depan dengan gaya burung mematuk jewawut. Wajah Erni jewawutnya. Erni mulai gemetar dan ia tutup matanya. Isah di pelupuk mata, menangis di gendongan neneknya.
Erni segera menarik handuk yang bertengger di bahu, menyeka wajahnya, meludah ke lantai, dan mendesis “huh….”
“Bau bir …” katanya lirih. “Bikin pusing”.
Makin malam suasana makin panas, tukang kendang banyak terima uang dan gelombang alunan lagu tidak berhenti. Botol bir sudah berserak, lantai sudah basah.
***
Erni dan teman-temannya bergerombol pulang ke penginapan Mak I Yok. Karena dekat, mereka jalan kaki. Bisa juga menyewa angkot atau pick up bak terbuka kalau rumah kawinnya jauh. Yani menyendiri, ia menuju temaram sinar lampu yang beberapa sudah dipadamkan. Rupanya lelaki temannya ngobrol tadi duduk di atas motor, menunggunya. Seorang perempuan berteriak;
“Jangan kelamaan, udah pagi nih”. Yang lain nyeletuk “sambung aja besok”, sambil berjalan cekikikan.
“Reseh amat sih lu pada, nggak bisa lihat orang senang”, kata Yani sambil melompat ke boncengan motor, dan … ngueng … gas ditancap, mereka menghilang. Hanya mereka berdua yang tahu arah tujuan motor yang menembus dinginnya embun dinihari itu.
“Siapa sih tuh cowok?” tanya Gita
“Alex, yang rambutnya klimir, dan suka ngibing panas. Tapi semalam kagak nongol, dateng-dateng bawa motor”. Kata Siti. “Mukanya Cina banget, tapi namanya bule”.
“Iya siapa sih nama aslinya? Bapaknya dulu jual lumpia”. Salah seorang dari mereka nyeletuk.
“Mana gue tau. Jaman Orde Baru nama dibersihin dulu, baru orang bisa hidup, kalo bau-bau Cina bisa disemprit RT”, timpal Siti.
“Allah …itu kan si A Tong, jadi Alex, kayak nasi uduk jadi roti keju”, terdengar semburan suara salah satu perempuan itu.
Mereka tertawa. Tawa pahit, karena tahu di dalam nasi uduk masih ada bumbu, masih ada yang bisa dirasa, bukan dengan lidah.
Rumah dengan banyak bilik itu dibuka seorang penjaga. Bilik-bilik berderet tanpa pintu, hanya ditutup selembar kain gorden yang berkibar menari sewaktu tersentuh. Mereka masuk satu persatu. Tidak lama senyap, rumah itu sepi.
Semua tenggelam dalam nikmat mimpi. Tidur dalam damai yang hanya dipinjam sampai pagi.
Mimpi Erni
Mimpi itu datang dinihari. Erni nyenyak di atas bantal tipis kecoklatan, kasur tipis dan berdaster tanpa selimut. Sepoi angin membuat gorden itu menari perlahan lagi, cukup untuk menyingkap betis putihnya. Di ruang bebas mimpi, Isah muncul menangis digendongan neneknya. Tak lama. Sebab segera berkedip memori Idul Fitri dua tahun lalu.
Di ruang itu lah Erni melihat desanya, Batu Jaya, Kerawang, dipenuhi perempuan-perempuan yang pulang mudik lebaran, membawa tas jinjing; oleh-oleh untuk seisi rumah, baju apik, modis dan cantik. Salah satunya adalah Siti yang tampil seperti tokoh telenovela. Ia teman bermain Erni yang namanya Titi. Dipanggil Si Titi, yang menjadi Siti. Nama resminya di rumah-rumah kawin .
Erni duduk di muka Siti yang sibuk berceloteh tentang pekerjaan yang menyenangkan dan menenangkan. Ada uangnya. Perempuan-perempuan Batu Jaya mendengar celotehan dengan mata terbuka lebar. Di tengah paceklik, disaat sawah hanya menyisakan lumpur kering, janji kosong, dan lahan yang menyempit karena pembangunan, celotehan Siti terdengar seperti panggilan dari dunia lain.
“Nggak kotor kayak lu nyawah, bletok, kesirem panas. “Di Tangerang guwe ngibing doang”, katanya. “Mana nyang diadepin cakep-cakep, klimis, wangi”. Perempuan-perempuan Batu Jaya berdecak.
“Kalau sudah biasa mah kagak berat, anggap aja senam”, lanjutnya.
“Kalau belon tahu ibingannya, gimana Ti?” tanya Erni.
“Lihat aja. bentar juga paham”. “Kalo lu mau, nanti 3 hari abis lebaran gue balik”. “Rame-rame aja, kumpulin siapa yang mau“
Erni ingat, tiga hari setelah lebaran ia ikut bersama 5 perempuan muda lain dari desa Batu Jaya. Waktu itu ia 15 tahun, sudah menggendong bayi perempuan, yang bapaknya entah ke mana. Bayi diurus maknya di kampung. Sang nenek senang karena Erni tidak melahirkan anak laki. “Anak perempuan nggak susah cari kerja”, ia ingat bagaimana mimik senang ibunya.
Pagi itu berbekal bunga dan kemenyan, Erni ke makam tokoh perempuan spiritual yang terkenal pandai ngibing. Sekedar minta restu. Perempuan ini lah yang menjadikan Kerawang dikenal dengan goyang Kerawangnya.
Diciumnya Isah, bayi yang menangis digendongan maknya. Perpisahan tanpa makna, wajah Erni gembira. Terbayang negeri kesenangan. Mereka berhimpit dalam angkot, menembus debu jalanan menuju rumah Mak I Yok, istri pemilik grup Gambang Kromong “Pi Cis”. Di sanalah dalam bilik-bilik bergorden, mereka itu tidur berhimpitan.
Erni dan teman-temannya duduk mendengar penjelasan Mak I Yok;
“Entar kerjaan lu ngibing ya “. “Duit lu dapet dari persenan ngibing. Inget lu jangan tilep semua. Ada bagian gue”. “Yang ngibingnya bagus, tamu pada resep, nah …lu dibayar gede dah tuh”. “Biasanya sih mula-mula malu, juga masih kaku, … lama-lama mah biasa, nggak ngibing malah kaku”.”Makin lama juga makin tau deh lu goyang ngibing yang bikin resep tamu”. “Di grup “Pi Cis” lu kan Cokek baru, jadi jangan maen nyelonong aja, ada aturannya”. Mereka manggut-manggut.
Erni serasa melayang dibawa hembusan angin dini hari itu ke rumah kawin, yang mengundang grup “Pi Cis”. Di ruang bebas mimpi itu terlihat malam pertamanya nyokek dengan Johny.
Johny muncul dihadapannya. Erni mulai gemetar, tapi tetap digoyang sedikit badannya, diputar sedikit pinggulnya, digoyangkan sedikit bahunya, dan dinaikkan sedikit lengannya, mencontoh yang ngibing di sebelahnya. Jok San makin mendekat, nada mulai menggeram. Erni makin gemetar, dan dia tutup matanya karena ada yang mendarat di pipinya. Erni lihat Isah sekedipan menangis digendongan neneknya. Tangisan Isah menghapus mimpinya. Isah tidak ada.
Pagi membuka hari seperti biasa. Gorden masih menari pelan. Di baliknya satu persatu tubuh mulai menggeliat, batuk-batuk kecil dan tangan mencari sisiran. Erni masih ingin memejam, dan membayangkan Johny duduk di teras rumah mewah bersamanya, dan Isah berlari kecil mengejar kupu-kupu yang hinggap di mawar merah. Mimpi Erni.
Erni bangkit perlahan, menyisir rambutnya dengan sisa semangat. Tak ada yang berubah, tak ada yang baru, nanti malam akan ada lagi uang, dan tubuh berpeluh dibayar dengan cukin tanpa kuitansi.
Antara Nyokek dan Martabat
Aula itu terlalu hening. Lantainya licin mengkilat, kursi berjejer di sisi dindingnya. dan tape recorder duduk kaku di sudut. Tidak ada bau bir, tidak ada asap rokok, tidak ada nada yang menggoda tubuh. Sepi. Di sana duduk bersila lima perempuan, sebagiannya sudah setengah baya untuk ukuran Cokek. Mereka mengenakan celana panjang ditutup kain batik yang dililit tergesa.
Erni tidak muncul di pertemuan itu. Sambil menyendok ketupat sayur bersantan, mengunyahnya perlahan, pikirannya hadir bersama teman-temannya di pelatihan. “Ngapain ikut pelatihan ?” Erni ingat bagaimana ia ngibing, nyontek tetangga. “Rasakan nada dan masukkan dalam jiwa, maka nada akan menggoyang tubuh. Itu ngibing”, pikir Erni.
“Mana yang lain?”, sudah siang nih”, kata bu Asni, pimpinan pelaksana program itu. Kita mulai saja Bu Mimien”.
Guru tari berdiri diikuti alunan Gambang Kromong yang nadanya bukan dari kendang basah keringat. Suara kaset bersih tanpa nyawa. Guru itu bergerak; tangan dilentikkan tanpa menjalar, pinggul digerakkan sedikit, tanta diputar. Ia pernah kursus serimpi di Yogja. Gerakannya seperti orang membaca aturan martabat. Ke lima perempuan itu mulai menirukan gerak bu Mimien. Bingung, meski ikut terus. Latihan satu setengah jam, selesai. Para Cokek pulang membawa imbalan bingkisan sembako, uang lelah, dan uang transport.
“Latihan hari ini cukup, Kamis datang lagi ya”, suara bu Asni menutup acara. “Kita harap, pelatihan ini membuat ibingan bisa lebih sopan, dan bermartabat”, lanjutnya dengan nada suara percaya diri.
Tidak ada tepuk tangan. Mereka tahu, uang martabat tidak bisa untuk bayar bilik bergorden, beli susu bocah, dan tidak cukup untuk beli sabun.
***
Malam itu, di rumah kawin, Rosi, Cokek “Naga Sakti” tanya pada Erni;
“Kemana lu kemaren?”
“Males”. “Tamu mana mau ngibing kayak gitu?”.
Lalu Erni tersenyum. Agin Teluk Naga membawa pedihnya senyum itu terbang entah ke mana.
Bintaro
18/4-2025
*Ninuk Kleden-P. Antropolog peneliti etnik minoritas